WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Jurnal

1. Jurnal Penelitian
2. Buddhiracana
3. Patanjala
4. Bunga Rampai
5. Handaru

Publikasi

Pengelolaan Wisata Berbasis Kebudayaan antara Peluang dan Tantangan (Studi Kasus Obyek Wisata Pangandaran dan Sekitarnya)

Oleh: Dra. S. Dloyana K.

Abstrak
Bahwa sektor pariwisata yang berbasis kebudayaan kini menjadi andalan pemerintah, khususnya dalam perolehan devisa, tidak dapat disangkal. Akan tetapi mempromosikan aset wisata dan budaya yang dimiliki daerah-daerah tertentu, tidak akan berhasil tanpa lebih dulu mencermati potensi yang dimiliki daerah wisata dimaksud. Seperti juga Pangandaran di Jawa Barat, dikenal dengan keindahan alam terutama pantai-pantai sepanjang daerah Pananjung, akan tetapi jarang orang yang bersungguh-sungguh meneliti potensi lainnya seperti tradisi dan faktor-faktor sediaan yang mendukung keberhasilan dalam menarik pengunjung.

Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian BKSNT Bandung Edisi 26, Oktober 2002

Pandangan Generasi Muda terhadap Komunitas Adat

Oleh: Moch. Sabdo Yusmintiarto
(Mahasiswa Antropologi UNPAD)

A. Pendahuluan
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki keragaman budaya yang sangat kaya dari Sabang hingga Merauke. Perbedaan geografis dari wilayah barat hingga wilayah timur menyebabkan keberagaman cara hidup masyarakatnya. Sebagai sebuah negara, Indonesia masih tergolong muda, tetapi sebagai sebuah bangsa, Indonesia memiliki sebuah sejarah yang panjang yang telah dimulai sejak jaman kerajaan-kerajaan yang tersebar di seluruh pelosok nusantara.

Proklamasi kemerdekaan merupakan sebuah pernyataan sikap para pemimpin Indonesia dalam menyatukan kelompok-kelompok masyarakat yang beranekaragam dalam sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tetapi persatuan itu tidak menghilangkan jati diri kedaerahan masing-masing kelompok. Keanekaragaman budaya ini terangkum dalam sebuah wawasan nusantara yang menjadi warisan budaya yang harus dilestarikan, karena kebudayan itulah yang menjadi jati diri dari masyarakat Indonesia. Pada umumnya masyarakat sering kali mengartikan kebudayaan sebagai seni budaya suatu masyarakat tertentu saja, padahal secara konseptual kebudayaan merupakan pedoman cara hidup suatu masyarakat. Kebudayaan adalah salah satu alat manusia beradaptasi dengan lingkungan untuk dapat bertahan hidup. Walaupun memiliki banyak definisi yang berbeda, kebudayaan lahir dari pengalaman-pengalaman individual atau kelompok yang terus diwariskan melalui proses enkulturasi dan sosialisasi. Artinya kebudayaan merupakan sebuah ilmu yang diwariskan dengan metode pembelajaran baik secara langsung maupun tidak langsung dari generasi ke generasi, bukan sesuatu yang diwariskan secara genetik.

Kebudayaan memiliki banyak definisi, salah satunya menyatakan bahwa kebudayaan merupakan pola cara berpikir, merasakan, dan bereaksi, yang terdapat dan disebarkan terutama melalui simbol, yang membentuk karakteristik pencapaian suatu kelompok manusia, termaksud gambaran yang mereka tuangkan dalam alat-alat mereka. Esensi atau inti kebudayaan berasal dari gagasan tradisional dan terutama nilai-nilai yang mereka pegang. Kebudayaan merupakan program pikiran kolektif, yang tidak hanya terwujud dalam nilai yang dipegang tetapi juga terwujud dalam simbol, pahlawan, dan ritual yang dilakukan. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Geert Hofstede untuk mendapatkan gambaran suatu masyarakat misalnya, menjadikan kebudayaan sebagai tolak ukur dalam menggambarkan karakteristik suatu masyarakat. Merujuk pada penelitian hofstede tersebut, dapat dilihat bahwa kebudayaan memiliki peranan penting dalam membentuk jati diri suatu bangsa.

Seiring dengan kemajuan zaman, kebudayaan lokal mulai terdegradasi dan masyarakat mulai mengalami suatu proses hegemoni secara global yang merujuk pada kebudayaan barat. Masyarakat Indonesia pada umumnya tidak lagi mengenal kebudayaan nenek moyangnya, mereka akan lebih familiar dengan kebudayaan barat yang setiap hari mereka lihat melalui media-media televisi maupun secara langsung. Ironis memang jika konseptual kebudayaan merupakan pedoman cara hidup suatu masyarakat, maka pedoman tersebut sudah mulai ditinggalkan dengan pedoman masyarakat lain yang belum tentu memiliki nilai-nilai yang sama atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan kepada kita sejak kecil. Namun dibalik degradasi kebudayaan lokal ini terdapat sebuah fenomena menarik yang telah ada sejak jaman pemerintahan kolonial, yaitu adanya keberadaan komunitas adat di berbagai tempat di Indonesia.

Dari definisi yang saya ambil dalam panduan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, komunitas adat merupakan suatu kesatuan lokal yang menempati suatu wilayah tertentu dan berinteraksi secara terus-menerus sesuai sistem adat istiadat tertentu pula. Dari definisi tersebut kita dapat melihat bahwa komunitas adat merupakan sekelompok orang dengan pranata-pranata sosial yang berdiri sendiri sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut. Komunitas adat lebih memilih untuk hidup dengan cara nenek moyang mereka dibandingkan terhegemoni oleh kebudayaan mayoritas. Perbedaan inilah yang menjadikan komunitas adat sebagai kaum minoritas yang dianggap “berbeda” dengan masyarakat kebanyakan yang bertindak sebagai mayoritas. Karena itu tidak berlebihan jika saya menyebutkan bahwa komunitas adat merupakan para penjaga warisan budaya.

Ironisnya, Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak sekali keanekaragaman budaya masih belum dapat memberikan perlindungan yang cukup bagi para komunitas adat tersebut.. Selain itu kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah menjadikan komunitas adat seolah terasingkan dari kelompok mayoritas. Karena itu jika berbicara tentang pandangan kaum muda terhadap komunitas adat, tidak banyak yang dapat dikatakan, karena tidak banyak dari kaum muda itu sendiri yang tahu akan keberadaan dan arti dari komunitas adat itu sendiri. Kaum muda saat ini cenderung hanya mengenal dunia modern dan mengalami proses modernisasi. Mereka lebih terpacu dalam kompetisi yang tercipta di masyarakat saat ini dan mengindahkan nilai-nilai tradisional yang mereka miliki. Ketertarikan pada komunitas adat hanya dimiliki oleh sekelompok akademisi dengan bidang ilmu tertentu saja. Komunitas adat menjadi sebuah kelompok eksotis yang terkesan primitif bagi kebanyakan orang.

B. Pembahasan
Indonesia merupakan negara majemuk dimana setiap kelompok suku bangsa memiliki pranata-pranata sosial mereka sendiri. Kemajemukan ini biasanya didasari atas faktor perbedaan geografi dan kebudayaan. Globalisasi yang telah melanda Indonesia menjadikan masyarakat lebih kompleks dan terhegemoni oleh dunia barat. Khususnya kaum muda, mereka akan lebih mengenal budaya barat dibandingkan budaya leluhurnya sendiri. Contoh paling kongkrit dari hal ini adalah minimnya antusiasme kaum muda dalam melestarikan budaya lokal, mereka akan lebih senang membentuk band yang memainkan alat musik modern dibandingkan mengembangkan alat-alat musik tradisional, mereka akan lebih bangga bergaya hip-hop atau harajuku syle dibandingkan berpakaian tradisional. Tetapi sejak kasus pengakuan Malaysia terhadap batik Indonesia, corak ini mulai meramaikan pasar fashion di Indonesia.

Fenomena sosial yang terjadi pada kaum muda Indonesia lebih kepada bentuk tergerusnya jati diri nasional dan tergantikan dengan jati diri baru bentukan dari globalisasi. Karena itu jika harus membahas pandangan kaum muda mengenai komunitas adat, tidak banyak yang dapat saya katakan, karena mereka akan lebih mengenal budaya pop dibandingkan budaya daerah. Para generasi muda akan lebih memilih Bali, Bunaken, Tangkuban Perahu atau wisata alam lainnya, karena keindahan tempatnya dibandingkan mengenal Baduy, Kampung Dukuh, Rancakalong, dll. Walaupun pemerintahan mencanangkan sebuah program kepariwisataan edukasi terhadap komunitas-komunitas adat tetapi pada kenyataan mereka kaum akademisi tertentu saja yang berminat terhadap nilai-nilai yang dianut oleh komunitas adat.

Menurut pendapat saya, persepsi yang ada di masyarakat umum pada saat ini lebih melihat komunitas adat sebagai obyek wisata yang menarik karena “berbeda”. Mereka melihat komunitas adat bukan sebagai suatu masyarakat yang memiliki derajat yang sama dengan masyarakat kota umumnya, tetapi lebih melihat kelompok orang yang berada dalam kategori primitif. Masyarakat pada umumnya tidak melihat nilai-nilai yang dimiliki oleh berbagai komunitas adat di Indonesia, mereka tak ubahnya melihat kehidupan suatu komunitas adat sebagai sebuah sirkus manusia. Mungkin tulisan saya terkesan sinisme, tetapi inilah persepsi yang dapat saya tangkap dari sebagian orang yang tahu mengenai komunitas adat, walaupun lebih banyak kelompok yang tidak mengetahui apa itu komunitas adat.

Selain itu, komunitas adat lebih sering dikaitkan dengan kegiatan yang berbau mistik oleh masyarakat. Karena keilmuan yang mereka miliki lebih berbentuk lisan atau pamali yang diturunkan secara generasi ke generasi tanpa mengerti alasan di balik itu semua. Contoh kongkrit bisa kita lihat banyaknya komunitas adat yang memiliki hutan-hutan larangan. Dalam pengetahuan mereka, hutan larangan merupakan sesuatu yang dikeramatkan sehingga mendapatkan penjagaan dan ritual-ritual khusus dalam pengelolaannya. Mungkin jika kita melihat dalam persepsi mayarakat awam, hal itu tidak beralasan dan tidak rasional. Tetapi jika kita melihat fungsi hutan sebagai salah satu ekosistem penunjang kehidupan manusia, maka justru komunitas adat lebih memiliki kesadaran dalam menjaga lingkungan, karena mereka menjadikan diri mereka sebagai bagian dari alam, bukan di atas alam itu sendiri. Tak jarang terdapat sebuah persepsi bahwa komunitas adat lebih terbelakang karena tidak rasional dibandingkan masyarakat kota, tetapi melihat kasus tersebut, terbersit sebuah pertanyaan dibenak saya, mana yang lebih terbelakang sebenarnya?

Pendidikan modern yang lebih mengarah pada rasionalitas seringkali mengabaikan ilmu pengetahuan-pengetahuan lokal yang kaya akan nilai-nilai budaya. Saya sangat sependapat bahwa bangsa yang besar perlu memiliki karakteristik yang kuat. Namun akan menjadi sebuah permasalahan jika kita tidak dapat mengenal jati diri bangsa kita sendiri. Bagaimana kita dapat memiliki sebuah identitas nasional jika tidak mengenal akar budaya nenek moyang kita? Jika fenomena ini terus berlanjut, mungkin beberapa tahun ke depan para pemuda Indonesia akan menjadi orang asing di negerinya sendiri. Mereka akan lebi mengenal cara hidup orang-orang barat dibandingkan cara hidup nenek moyangnya. Padahal baik dari segi geografis maupun sosial budaya, Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara barat.

Hilangnya pengetahuan akan keberadaan komunitas adat pada kaum muda Indonesia merupakan sebuah hal yang perlu diperhatikan oleh berbagai pihak. Selain itu perlu adanya sebuah kebijakan baru yang tidak hanya melindungi komunitas adat tersebut, tetapi mengenalkan nilai-nilai ajaran luhur yang dimiliki oleh komunitas-komunitas adat di Indonesia terhadap kaum muda di Indonesia. Dalam antropologi sering dikenal istilah yang disebut dengan relativitas kebudayaan. Dimana setiap kebudayaan memiliki nilai yang berbeda-beda sehingga tidak dapat dibandingkan antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lainnya.

Masyarakat pada umumnya dan kaum muda pada khususnya sering kali salah paham dengan keberadaan komunitas adat, maupun ajaran-ajaran mereka. Sehingga tidak jarang mereka melihat komunitas adat sebagai sekumpulan orang dengan kepercayaan tertentu dan lebih berbau-bau mistik. Hal ini dapat kita lihat pada beberapa tempat di komunitas adat seperti Kampung Dukuh misalnya, yang sering kali dijadikan tempat ritual oleh beberapa orang tertentu untuk medapatkan keuntungan tertentu.

Padahal jika kita mau mengenal mereka dengan lebih baik, maka kita akan melihat bahwa pada dasarnya komunitas adat tidaklah berbeda dengan kelompok mayoritas. Mereka hanya menjalankan apa yang mereka percayai berdasarkan ajaran nilai-nilai tradisional. Bahkan terkadang komunitas adat dapat lebih bijak dalam beberapa hal dibandingkan masyarakat mayoritas. Karena itu perlu adanya sebuah program pengedukasian masyarakat tentang keberadaan komunitas adat, bukan hanya sekedar untuk menyadai eksistensi mereka, tetapi juga agar dapat lebih mengenal akar budaya kita sendiri, sehingga komunitas-komunitas adat tidak lagi menjadi kaum yang termarjinalkan karena perbedaan yang mereka miliki dengan masyarakat pada umumnya.

C. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan saya diatas, mungkin tidak dapat menjawab terlalu banyak tentang pandangan kaum muda terhadap komunitas adat. Karena pada kenyataannya tidak banyak orang yang menyadari eksistensi dari komunitas adat itu sendiri. Komunitas adat masih menjadi kaum minoritas yang berjuang untuk mendapatkan hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia.

Kita harus lebih melihat relativitas kebudayaan dan tidak menilai komunitas adat dengan nilai-nilai yang kita miliki, karena pada dasarnya setiap kebudayaan memiliki cara-cara yang unik sebagai salah satu bentuk adaptasi manusia untuk bertahan hidup. Masyarakat harus dapat mempelajari nilai-nilai yang dianut oleh komunitas adat terlebih dahulu tanpa memberikan sebuah penilaian tertentu. Dengan adanya pembelajaran ini tentunya masyarakat akan memiliki pemahaman lebih tentang komunitas adat sehingga, tidak lagi menganggap mereka secara “berbeda”, dan penghapusan perbedaan inilah yang menurut pendapat saya dapat membantu komunitas adat untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia.

Daftar Pustaka
Hofstede, Geert. 2001. Cultur’s Consequences (edisi kedua). California. Sage Publication.

Suryadinata Leo. 1984. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Graffiti Pers.

Suparlan Parsudi. 2005. Cetakan kedua: Suku Bangsa dan Hubungan Antara Suku Bangsa. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu-Kepolisian.

Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2004 (2003). Teori Sosiologi Modern. Edisi ke 6 (terjemahan Alimandan). Jakarta: Kencana (Apendiks: Sociological Metatheorizing dan Skema Metateori untuk Menganalisis Teori Sosiologi. Hlm: A2-A29).

Sumber:
Makalah disampaikan dalam Kegiatan "Festival Komunitas Adat" yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung tanggal 13 Juli 2010 di Sumedang

UPACARA NYANGKU SEBAGAI PEMERSATU MASYARAKAT SECARA TRADISIONAL DI KABUPATEN CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT

Oleh : Aam Masduki


Abstrak

Hingga saat ini, sebagian besar masyarakat Indonesia umumnya dan khususnya orang Sunda masih sangat menyadari bahwa keberadaannya di dunia tidak pernah lepas dari pengaruh lingkungan dan kekuatan-kekuatan lain yang dianggap dapat mempengaruhi pola tingkah laku mereka sehari-hari. Kondisi kehidupan seperti itu, tercermin dalam simbol-simbol yang mengandung nilai-nilai dimana kesatuan hidup tersebut mengikatkan diri dengan lingkungan dan kekuatan gaib atau adikodrati yang diyakininya. Dalam hal tertentu, tidak dapat dijangkau oleh kemampuan inderawinya, sehingga perlu diwujudkan dalam bentuk hubungan komunikasi simbolik sehingga tercapai keseimbangan dan keserasian dalam kehidupannya.

Kata Kunci: Upacara, pemersatu masyarakat secara tradisional

Popular Posts