WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

KEARIFAN LOKAL DALAM MEMBANGUN KETAHANAN PANGAN PETANI DI DESA LENCOH, SELO, BOYOLALI, JAWA TENGAH

JudulKearifan Lokal Dalam Membangun Ketahanan Pangan Petani Di desa Lencoh, Selo, Boyolali, Jawa Tengah.
Penulis/Editor      Sukari, Bambang H. Suta Purwana, Mudjijiono
PenerbitBalai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) D.I. Yogyakarta
CetakanOktober 2016
Tebal     viii  + 120 halaman
Desain Sampul           Tim Kreatif PT. Saka Mitra Kompetensi

MENGUAK MISTERI MANUSIA PRASEJARAH SANGKULIRANG MANGKALIHAT (KAJIAN AWAL TERHADAP TEMUAN GERABAH)

JudulMenguak Misteri Manusia Prasejarah Sangkulirang Mangkalihat (Kajian Awal Terhadap Temuan Gerabah)
Penulis/Editor      Rr. Charunia Arni Listiya/Vinsensius Ngesti Wahyuono
PenerbitBalai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur
CetakanJuli 2017
Tebal     vii + 174  halaman
Desain Sampul      Fitriani Jamaludin Dkk

RAGAM WADAH KUBUR DI INDONESIA

JudulRagam Wadah Kubur Di Indonesia
Penulis/Editor      Vinsensius Ngesti Wahyuono, Etha Sriputri,Andika Arif Drajat Priyatno,Dian Purnamasari/Budi Istiawan
PenerbitBalai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur
CetakanJuli 2017
Tebal     xiv + 71 halaman
Desain Sampul      Ahmad Rizki Zulfikar

Sejarah Dago di Tengah Modernisasi

Oleh Eva Rachmania
SMAN 1 Bandung

A. Pendahuluan

1. Latar Belakang

Kegiatan berpelancong atau mengunjungi suatu daerah guna menikmati segala kenikmatan yang disuguhkan oleh daerah yang dikunjungi adalah kegiatan yang sedang menjalar dan diminati oleh masyarakat banyak sekarang ini. Para pelancong, pecinta wisata tersebut kerap kali mengunjungi daerah yang kaya akan beragam kekayaan alamnya, tempat perbelanjaan yang modern hingga keunikan kuliner yang khas dan menarik.

Bandung adalah salah satunya. Kekayaan alam hingga kuliner dapat dinikmati di kota kembang ini. Ada beragam daerah yang terkenal dengan keunikan mereka sendiri. Salah satunya adalah daerah Dago. Dago terletak di bagian utara Bandung. Banyak tempat yang menarik yang dapat dikunjungi oleh para pecinta wisata. Beragam factory outlet, distro, hingga café tersebar di sepanjang jalan ini. Tidak heran kalau Dago menjadi daerah yang wajib dikunjungi ketika para pelancong tersebut sedang bekunjung ke Bandung. Di dorong oleh faktor itu, kini sudah banyak berdiri gagah gedung-gedung tinggi besar yang menawarkan kenikmatan dan kenyamanan bagi mereka pecinta wisata untuk beristirahat, hotel-hotel sampai apartemen bertengger di sana.

Terlepas dari semua kemodernan yang disuguhkan Dago, ada sisi lain yang sering kali atau bahkan sama sekali terlupakan. Pertanyaan yang tak terindahkan ketika kita telah terlelap dalam kemewahan dunia modern yang memabukkan, sejarah, asal mula dan sisi lain dari daerah itu selain kenikmatan mata yang tentunya, menguras isi kantong tapi menggiurkan.“ Seperti apakah Dago sebelum tanahnya menjadi gemerlap penuh dengan dunia glamour seperti sekarang ini?”

Di setiap kejadian pasti ada sisi baik dan buruknya. Begitu pula yang terjadi dengan Dago. It’s ok, sekarang Dago sangat modern dan memanjakan pengunjungnya. Tapi, apa akibat lain bagi Dago sendiri, selain Dago menjadi eksis di kalangan masyarakat luarnya?

Kotor, macet, pengap, panas, polusi udara dan suara. Pohon-pohon rindang telah tumbang tergantikan dengan tumbuhnya gedung-gedung baru seperti factory outlet dan hotel-hotel. Bagian-bagiannya yang masih asri dan hijau di daratan yang lebih tinggi, sekarang sedikit demi sedikit, secara disadari ataupun tidak telah terjamah oleh para pengusaha yang mengepakkan sayap bisnisnya di tempat tersebut. Mengacu pada pepatah, sedikit demi sedikit menjadi bukit. Tapi untuk dago, sedikit demi sedikit menjadi botak.

Hanya sedikit yang tahu mengenai Dago jaman dulu. Coba saja tanya pemuda-pemudi yang suka berkeliaran di jalan itu. Hanya beberapa dari mereka yang tahu asal mula nama Dago, dapat dihitung dengan jari. Sebagian besarnya, para pemuda-pemudi itu, bahkan yang memang asli penduduk di Dago sendiri, mereka hanya suka menghabiskan waktu mereka saja dengan menikmati Dago yang ‘sekarang’ tanpa tahu sejarahnya, bahkan tanpa tahu asal mula namanya. Sangat memalukan. Sangat mengkhawatirkan. Bagaimana jadinya Dago pada masa depan jikalau generasi mudanya sendiri tidak menghiraukan sejarah yang menjadi patokan-patokan untuk pembangunan di masa yang akan datang.

Sekarang, saatnya bagi kita untuk menyadari sisi lain dari kemodernan. Pentingnya sebuah sejarah bagi perkembangan sebuah daerah. Menyadari sejarah sebagai fakta penting yang menuntut batas-batas modernisasi. Karena jika bukan kita yang menyadari, siapa lagi ? Tanpa adanya kesadaran, maka bermimpilah untuk bisa bertindak dengan sadar. Bertindak tanpa sadar sama saja dengan mengigau. Mengigau berarti berjalan tanpa arah, mengacak, mengacau dan mempermalukan diri sendiri di depan orang lain. Seperti itulah gambaran sejarah untuk Dago. Atas dasar itu pula maka sangat diperlukan informasi mengenai sejarah setiap tempat, khususnya Dago yang sedang mengalami modernisasi dengan sangat pesat.

2. Permasalahan

Yang menjadi masalah dalam perkembangan Dago ini adalah kurangnya kepedulian masyarakat mengenai sejarah Dago sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan sikap acuh tak acuhnya para generasi mudanya sendiri yang merupakan penerus dalam pembangunan tetapi mereka cenderung mengabaikan sejarah.

Perkembangan yang tergolong pesat dapat menjadi salah satu penyebab sikap ‘masa bodoh’ tersebut. Modernisasi yang cenderung mengacu pada masa yang akan datang membuat para generasi muda mudah melupakan sejarah begitu saja. Ditambah perubahan lingkungan alamnya yang lebih mencerminkan kehidupan dunia modern anak muda jaman sekarang.

Perubahan lingkungan yang seperti ini pulalah yang menjadikan sejarah Dago terlupakan begitu saja. Hanya tinggal beberapa saja unsur sejarah yang tertinggal di Dago pada masa ini. Diantaranya adalah bangunan rumah-rumah tua yang masih bergaya Belanda, tapi itu pun sebagian telah berubah menjadi bangunan yang lebih modern.

Dari paparan yang telah tersebut diatas, ada suatu permasalahan yang akan akan diangkat ke permukaan berkaitan dengan pembahasan ini, yang dirumuskan dalam bentuk pernyataan sebagai berikut :
·         Sejauh mana sebenarnya peran sejarah dalam modernisasi yang sedang melanda Dago.
·         Adakah pengaruh dari unsur-unsur sejarah yang masih tertinggal maupun tidak, dalam modernisasi Dago. Sebaliknya, apakah pengaruh modernisasi yang sedang terjadi terhadap unsur-unsur sejarah tersebut.

3. Tujuan

Tujuan penulis mengangkat topik ini untuk mengajak masyarakat khususnya generasi muda agar dapat melestarikan sejarah sebagai harta berharga yang tidak akan pernah habis sampai kapanpun. Karena sejarah adalah satu aset penting yang sering kali terlupakan ketika globalisasi modern sedang melanda suatu daerah. Dengan dapat mengartikan sejarah lebih dari subjek pelajaran sekolah, kita akan dapat menemukan banyak makna seperti pelajaran nyata yang telah terjadi yang dapat dijadikan bahan pertimbangan patut atau tidak untuk diteruskan, bukan melupakannya sama sekali.

Khususnya untuk Dago. Dengan tulisan ini, penulis berharap agar masyarakat dapat menghargai sejarah Dago sendiri dan bukan hanya dijadikan dongeng pengantar tidur melainkan sebagai patokan dan aset penting dalam pembangunan.

Agar generasi muda tidak hanya memandang Dago sebagai tempat bersenang-senang belaka yang penuh dengan gemerlap kemewahan efek perkembangan jaman.

B. Landasan Teori

Kata sejarah yang kita kenal sekarang adalah berasal dari bahasa Arab yaitu “syajaratun” yang artinya pohon. Dari sisi lain pula, istilah history merupakan terjemahan dari bahasa Yunani “ histories” yang artinya satu penyelidikan ataupun pengkajian.

Bapak sejarah, Herodatus, mengungkapkan bahwa sejarah ialah satu kajian untuk menceritakan satu kitaran jatuh bangunnya seseorang toloh, masyarakat dan peradaban. Sedangkan menurut Aristotle, sejarah merupakan satu system yang mengira kejadian semula jadi dan tersusun dalam bentuk kronologi. Menurutnya pula, sejarah adalah peristiwa–peristiwa masa lalu yang mempunyai catatan, rekod-rekod atau bukti yang kukuh.

Shefer berpendapat bahwa sejarah merupakan peristiwa yang telah lepas dan benar-benar berlaku. Dalam arti kata lain, sejarah digunakan untuk mengetahui masa lampau berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang sahih untuk memperkaya pengetahuan dan waktu yang akan datang menjadi lebih baik. Dengan itu akan timbul sikap waspada dalam diri semua kelompok masayarakat karena sejarah juga berfungsi sebagai pengajaran yang berguna (kutipan dari sebuah website).

Sedangkan modernisasi, menurut Soerjono Soekanto, modernisasi adalah suatu bentuk dari perubahan sosial yang terarah yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan social planning. Beliau mengemukakan bahwa sebuah modernisasi memiliki syarat-sayarat tertentu, yaitu sebagai berikut:
1.      Cara berpikir yang ilmiah yang berlembaga dalam kelas penguasa ataupun masyarakat.
2.      Sistem administrasi negara yang baik, yang benar-benar mewujudkan birokrasi.
3.      Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur yang terpusat pada suatu lembaga atau badan tertentu.
4.      Penciptaan iklim yang menyenangkan dan masyarakat terhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi massa.
5.      Tingkat organisasi yang tinggi yang di satu pihak berarti disiplin, sedangkan di lain pihak berarti pengurangan kemerdekaan.
6.      Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan social. (Dalam sebuah blog, 2009)
7.      Sejarah dan modernisasi adalah dua kata yang menunjukan suatu perbandingan yang besar. Tetapi, kedua kata tersebut tidak bisa lepas dalam sebuah kehidupan. Keduanya saling berkaitan erat dan mempengaruhi satu sama lain.

Sejarah yang mana merupakan suatu kejadian di massa lampau, khususnya sejarah sebuah daerah, tempat ataupun wilayah tidak bisa lepas dari modernisasi yang akan semakin berkembang. Modernisasi sendiri tidak akan terjadi apabila sejarah itu tidak akan pernah ada sebagai bahan pelajaran yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaannya. Modernisasi bukan berarti menyampingkan sejarah sebagai bukti penting yang seharusnya sangat berarti.

Begitu pula yang dirasakan Dago sekarang ini. Sebuah jalan bersejarah yang berada 5 km kearah utara dari pusat Bandung. Modernisasi yang terjadi dengan pesat justru membuat kedudukan dari sejarah jalan ini menjadi semakin tergencet dan terdesak ke sudut-sudut terlupakan. Kedua fakta real kehidupan yang harus dijalankan dengan baik itu kenyataannya tidak bisa berjalan dengan seimbang.

C. Berkenalan Dengan Dago

1. Lokasi, Lingkungan Alam dan Kondisi Masyarakat Dago

Dago berada 5 km ke arah utara dari pusat Bandung dengan luas area sekitar 6000ha. Ketinggiannya sekitar 690-730 dpl. Karena berada di daerah utara, maka Dago merupakan daerah yang cukup sejuk, setidaknya sebelum Dago penuh sesak dengan kendaraan bermotor seperti sekarang ini. Suhu udara berkisar antara 18°C (terendah pada malam hari) sampai dengan 32° C (tertinggi pada siang hari).

Masyarakat Dago memiliki mata pencaharian yang beragam. Mulai dari PNS hingga petani. Banyak pula dari mereka yang bekerja sebagai dosen di universitas. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya berdiri perumahan bagi para dosen di daerah Dago.

Bermata pencaharian beda tentu saja mengakibatkan tempat tinggal kediaman penduduk Dago pun menjadi beragam. Banyak penduduk yang bertempat tinggal di pemukiman sederhana seperti gang-gang, namun tidak jarang pula penduduk yang tinggal di perumahan mewah.

Berbeda dengan keadaan jaman dahulu, sekitar jaman kedudukan kolonial, sebelum modernisasi global melanda negeri ini. Pada masa itu, khususnya saat jaman kolonial Belanda, Dago merupakan kawasan elite yang hanya diperuntukkan para tuan dan noni Belanda sebagai tempat tinggal mereka. Banyak dari orang Belanda itu adalah para tuan tanah. Sedangkan bagi masyarakat pribumi, Dago hanyalah tempat mereka saling menunggu satu sama lain ketika hendak pergi ke kota secara bersama-sama di daerah selatan.

Masyarakat pribuminya sendiri kebanyakan adalah sebagai petani. Berkebun di kebun mereka sendiri dan menjual hasil panennya. Mereka tinggal berkelompok di pelosok sisa-sisa tempat tinggal para Belanda. Satu kelompok pemukiman untuk satu keluarga dan mereka menggunakan kebun sebagai pembatas.

2. Asal Mula Nama Dago

(dari Dagostraat hingga Ir.H.Djuanda, Dago tetaplah Dago)
Bandung berarti Dago. Para pelancong biasanya menjadikan Dago sebagai tempat yang wajib mereka kunjungi saat berkunjung ke Bandung. Bahkan beberapa dari mereka mengatakan bahwa jika tidak ke Dago, berarti belum ke Bandung.

Dago sudah ada sejak jaman kolonial. Hanya saja awalnya adalah Dagostraat lalu berubah menjadi Dago pada tahun 1950.

Kata dago berasal dari bahasa Sunda yaitu ‘dagoan’ yang artinya ‘menunggu atau tunggu’. Pada jaman ini, penduduk pribumi yang berada di wilayah utara Bandung memiliki kebiasaan saling tunggu menunggu satu sama lain, khususnya di kawasan terminal dan simpang Dago sekarang, ketika mereka hendak pergi ke kota. Hal ini disebabkan jalan menuju kota merupakan hutan belantara yang sepi dan rawan binatang buas.

Dalam bukunya ‘Semerbak Bunga di Bandung Raya’, Haryonto Kunto menuliskan bahwa pada pertengahan abad ke-19, di antara Simpang Dago (sekarang) dengan kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) merupakan daerah hutan belukar yang sepi. Jalanannya belum bisa dilalui oleh kendaraan. Makanya, penduduk yang pergi pagi-pagi buta ke pasar biasanya saling menunggu satu sama lain agar dapat pergi dalam bentuk rombongan. Mereka juga melengkapi rombongannya dengan lelali yang bersenjata parang dan tombak untuk mengawalnya dari begal (penyamun). Kebiasaan menunggu itu dalam bahasa Sunda biasa disebut “padago-dago” (Arya Dipa, 2007).

Pada tahun 1810, jalan Dago masih berupa jalan setapak. Baru pada tahun 1900-1914, pemerintah Hindia-Belanda mengadakan pembangunan di Bandung. Pembangunan di Dago dimulai pada tahun 1905 dengan dibangunnya rumah peristirahatan Andre Van Der Brun. Rumah peristirahatan ini masih berdiri hingga sekarang (letaknya bersebelahan dengan hotel Jayakarta).

Menurut penduduk Dago sendiri, dulu Dago merupakan pemukiman elite orang-orang Belanda. Daerah utara Bandung ini diperuntukan bagi para tuan dan noni. Sebagian besar dari mereka merupakan para tuan tanah. Ada beberapa nama yang terkenal dikalangan pribumi pada masa itu, diantaranya :
·          Nyonya Dimon (tuan tanah besar). Dikatakan oleh masyarakat sekitar bahwa hampir seluruh Dago adalah tanah miliknya.
·          Tuan Heres. Tanah milik Tuan Heres meliputi daerah Jajaway atau yang sekarang disebut dengan terminal Dago.
·          Tuan Bereh. Pemilik tanah dari Dago Tea House pada masanya.
·          Nyonya Iyul. Hotel mewah yang sekarang dikenal dengan Sheraton merupakan tanah milik Nyonya Iyul.

Rumah-rumah disepanjang jalan Dago saat itu masing-masing memiliki atap yang curam. Hal ini disesuaikan dengan curah hujan yang tinggi. Selain itu, halaman rumah mereka terbentang luas dipenuhi rerumputan tertata rapi. Tinggi bangunannya sendiri tidak melebihi dua tingkat, dengan begitu cahaya dan udara dapat leluasa masuk ke dalam.

Merujuk pada situs resmi Bandung Heritage Society, pembangunan sudah dimulai pada tahun 1910. Ini seiring dengan keinginan pemerintah Gemeente (kotamadya) Bandung untuk memperluas wilayah administrasinya ke arah utara. Orang merambah kebun dan sawah, membangun jalan Dago dan Cipaganti di Bandung Utara. Pembangunan dan pengerasan jalan Dago sampai ke hutan Pakar bersamaan dengan usaha Gemeente membangun reservoir air minum di Bukit Dago (Arya Dipa, 2007). Konsep garden city coba diterapkan dalam pembangunan Dago. Konsep ini lahir sebagai jawaban atas revolusi industri yang melahirkan praktek kolonialisme di negara-negara penghasil bahan mentah. Konsekuensi selanjutnya, kebutuhan menata kota-kota administratur yang diharapkan bisa menjadi jalan keluar bagi masalah perkotaan yang ditimbulkan, seperti kepadatan penduduk, sanitasi lingkungan yang makin buruk, dan ketersediaan air minum. (Pikiran Rakyat, 2006).

Garden city memperhitungkan keseimbangan alam dengan ditanaminya pohon berakar kuat disepanjang jalan Dago. Badan jalan sebelah timur dari ruas persimpangan Pasar Simpang hingga persimpangan Cikapayang dikhususkan untuk pejalan kaki. Sedangkan sebelah barat diperuntukkan kendaraan yang waktu itu masih didominasi kereta kuda dan sepeda.

Barulah pada tahun1950 aset-aset milik Belanda dinasionalisasi dan “Dagostraat”pun berubah nama menjadi “Dago”. Sedikit demi sedikit rumah-rumah yang tadinya dihuni oleh para Belanda mulai ditinggalkan.

Pada 1960, mulai terlihat anak-anak muda yang nongkrong di bagian selatan jalanan tersebut. Sepuluh tahun berlanjut, jalanan yang tadinya hanya untuk nongkrong saja berubah menjadi sebuah jalanan yang memiliki daya tarik tersendiri. Mulai dari tempat makan roti bakar hingga perempuan, ada di sana. “Istilahnya kalau dulu itu ‘gong-li’ (bagong liar-babi liar). Dan pada 1990 pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi mulai terasa memasuki kawasan Dago. Begitu yang dipaparkan Sudarsono Katam, 61, penulis buku Bandung Kilas Peristiwa di Mata Filatelis Sebuah Wisata Sejarah. (Arya Dipa, 2007). Maka dapat disimpulkan bahwa ternyata kebiasaan para anak muda berkumpul di jalan Dago adalah kebiasaan yang sudah ada dari dulu.

Pada awal 1970-an Dago untuk yang kedua kalinya berubah nama. Kali ini menjadi jalan Ir.H.Djuanda. Nama jalan Ir.H.Djuanda diberikan untuk mengenang segala jasa beliau sebagai orang yang telah mengabdikan dirinya untuk negeri ini. Akan tetapi, berubahnya nama tersebut ternyata tidak menyebabkan nama Dago hilang dan terganti dengan mudah. Sekali Dago tetap Dago.

3. Dago sebagai tempat perkumpulan anak muda terpelajar dan Trendsetter-nya Kota Bandung

Kawasan elite telah mencap Dago dari masa jalan ini dijadikan sebagai pemukiman para Belanda. Gengsi ini semakin menjadi ditambah dengan adanya dua universitas ternama yang berdiri masih dalam kawasan, ITB (Institut Teknologi Bandung) dan UNPAD (Universitas Padjadjaran). Maka tidak heran semenjak masa Dago terdahulu, muda-mudi yang menjadi penghuni di jalan ini pada umumnya adalah kalangan terpelajar.

Hancurnya pohon rambat sebagai pembatas jalan pada 1970 sering dimanfaatkan oleh anak muda sebagai tempat mereka balapan. Pohon itu dihancurkan guna dikerjakannya pelebaran jalan.

Asal muasal segala trend di Bandung menjadikan Dago semakin hidup. Trendsetter anak muda Bandung adalah Dago. Misalnya, pengaruh generasi bunga (flower generation) di Amerika serikat dengan sangat cepat di respon para muda-mudi Dago ini.

Salah satu rumah di jalan Dago pernah dijadikan sebagai tempat perkumpulan para pemuda hippies. Hippies adalah sebutan para penganut flower generation. Mereka senang menggunakan baju bermotuif bunga sebagai tanda cinta perdamaian, kalung manik-manik, celana jeans, dan jaket dengan hasil sulaman sendiri. Fashion seperti ini mereka tunjukkan sebagai pembeda atau lebih tepat dikatakan sebagai penolakan terhadap kaum berdasi karena hippies cenderung bersikap semaunya dan rada urakan. Moto para flower generation adalah sex, drugs and love, moto yang turut diadaptasi oleh para pemuda hippies di Bandung. Untuk kali ini bukan hanya pemuda Dago saja yang terlibat, hanya saja mereka sering berkumpul di sana.

4. Bangunan dan tempat sejarah

Sebagai salah satu kawasan elite bersejarah, Dago menyimpan banyak bangunan sejarah. Kebanyakan memang adalah rumah-rumah lama peninggalan kolonial di sepanjang jalan Dago. Tapi selain itu, ada pula situs sejarah yang lain seperti Dago Pakar, Gua Jepang, dan Hutan Raya Ir.H.Djuanda.

Beberapa bangunan dan tempat peninggalan para kolonial itu diantaranya sebagai berikut :

a. Vila Tiga Warna (De Driekleur)
Driekleur mendapatkan penghargaan sebagai gedung tua terbaik di Bandung. Pengharagaan ini diberikan oleh Bandung Development Watch. Sekarang De Drikleur adalah gedung Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN).

De Deklieur berada di sudut antara jalan Dago dan Jl. Sultan Agung. Gedung ini didirikan pada tahun 1938 dan dirancang oleh seorang arsitek Belanda bernama A.F.Albers. Deklieur dipengaruhi oleh aliran Nieuw Bouwen yang berkembang di Hindia Belanda pada akhir tahun 1930.
b. Gua Belanda dan Jepang
Gua Belanda dibangun pada 1812. Lalu pada 1918 ruang pada gua tersebut mulali diperbanyak. Jumlah seluhnya ada15 lorong, semuanya menembus ke kaki bukit. Panjang gua ini sekitar 517 meter. Lorong tersebut pada awalnya dibangun untuk mengalirkan air cikapundung yang kemudian ditampung di kolam Pakar untuk pembangkit listrik tenaga air Bengkok. Namun setelah tidak aktif lagi, lorong itu akhirnya menjadi pusat radio komunikasi Belanda.

Sedangkan Gua Jepang dibangun pada 1942. Dibangun sebagai tempat penyimpanan mesiu atau gudang mesiu. Panjangnya 442 meter. Selain itu, lorong tersebut pernah dijadikan tempat balatentara Jepang untuk mempertahankan kota Bandung.

c. Rumah Peristirahatan Andre van der Brun

d. Villa milik Andries de Wilde
Andries van de Wilde adalah pemilik tanah pertama di priangan. Beliau seorang ahli bedah yang berdinas pada pasukan artileri. Tanah yang dimilikinya meliputi separuh dari kebupaten Bandung sekarang.

Pada masa pemerintahan Daendels, Andries dalam kedudukannya sebagai koffie opziener mengajukan syarat permohonan kepada pemerintah Belanda agar dikenankan untuk menukarkan sebidang tanah luasnya dengan sebidang tanah di Bandung utara. Lalu ia menikah dengan seorang mojang priangan dan mendirikan villa di kampoeng Banong (Dago).

e. Dago Tea House

f. Dago Pakar

g. ITB (TH)

i. Villa Merah
Dari kesembilan bangunan dan tempat bersejarah yang telah disebutkan, masih banyak lagi yang lain. Dan semua itu adalah tanggung jawab semua masyarakat untuk dapat melestarikannya.

D. Sejarah Dago Masih Terus Berjalan

1. Yang terkenang tetaplah hilang

Sejarah Dago buka hanya sekadar isapan jempol belaka yang patut untuk diabaikan. Banyak pelajaran dan hikmah yang dapat diambil pada masa sejarahnya hidup. Salah satunya adalah penerapan pembangunan yang kurang pertimbangan dari pemerintah sekarang ini sama sekali sangat bertolak belakang dengan Karsten plan yang menerapkan konsep garden city ketika memulai pembangunan. Mereka sangat mempertimbangan keseimbangan alam dalam pembangunannya. Coba bandingkan dengan cara pembangunan sekarang yang terbilang ngaco. Tempat resapan air dijadikan korban pembangunan dengan dibangunnya perumahan ataupun resort-resort. Pemerintah seakan tidak peduli dengan keadaan alam kita yang semakin memburuk. Mereka malah membiarkan hal seperti itu terus berlanjut bahkan bercabang.

Kembali kepada kesadaran setiap individu masing-masing. Mungkin masih ada waktu untuk kembali memperbaiki. Mungkin yang terkenang bisa saja dibiarkan hilang, tapi tidak berarti melupakannya begitu saja. Sejarah Dago masih akan terus berjalan dan kitalah yang akan menciptakan sejarah untuk masa depan. Maka dari itu, jangan sampai satu langkah salah terus dilanjutkan. Bertindak dengan otak demi masa depan tanpa melupakan sejarah yang telah melahirkan kita. Karena tanpa adanya kejadian yang telah terjadi di masa itu, mana bisa Dago jadi sebagus sekarang.

2. Dunia glamour modern terus berjalan semaunya, bangunan glamour sejarah bersiap lenyap

Bedirinya gedung-gedung komersil tidak menutup kemungkinan akan membabad habis bangun bersejarah di Dago. Lama kelamaan lenyap satu persatu.

Gedung-gedung komersil yang sekarang bertengger gagah dan mewah di sepanjang jalan Dago kemungkinan akan terus bertambah dan berkembang. Dalam pembangunannya sendiri, gedung-gedung itu membutuhkan lahan yang biasanya mereka dapatkan dengan membeli bangunan-bangunan rumah tua di Dago.

Hilangnya rumah-rumah tua itu akan menyebabkan hilangnya identitas Bandung sebagai kota bersejarah, bukti-bukti peninggalan sejarah, akses sejarah untuk generasi yang akan datang, dan lain-lain (Jejen Jaelani, 2008).

Jika itu akan terus berlanjut, bersiaplah menghadapi masa depan yang buta sejarah akan ibu yang telah mengandung.

E. Kesimpulan

·         Bandung adalah kota yang kaya akan sejarah. Salah satunya adalah Dago.
·         Dago sendiri berasal dari bahasa Sunda yaitu dagoan yang artinya tunggu. Intinya, pada masa jaman kolonial, masyarakat pribumi selalu tungugu menunggu atau padago-dagoan khususnya di kawasan terminal Dago sekarang, ketika mereka hendak pergi ke kota. Hal itu mereka lakukan karena pada masa itu daerah Bandung utara masih merupakan hutan belantara dan rawan binatang buas. Denga saling tunggu menunggu mereka bisa pergi bersama-sama melewati hutan tersebut.
·         Nama Dago telah berganti dua kali. Asalnya adalah Dagostraat. Pada tahun 1950 barulah menjadi Dago dan pada tahun 1970 berubah lagi menjadi Ir.H.Djuanda.
·         Dago dulu diperuntukkan bagi para tuan dan noni Belanda. Banyak banguna mewah yang mejadi milik para Belanda, oang-orang yang berstatus tinggilah yang memiliki rumah disana, sehingga Dago dicap sebagai kawasan elite.
·         Selain itu, Dago juga merupakan tempat perkumpulan para anak muda terpelajar. Karena dijadikan tempat yang sering dipakai untuk berkumpul muda-mudi, Dagopun menjadi asal mula segala trend yang ada di Bandung masa itu.
·         Banyak pelajaran yang dapat diambil dari sejarah Dago ini. Sayangnya, masyarakat khususnya pemerintah tampaknya malas untuk belajar mengambil hikmah.
·         Salah satu pelajaran yang dapat diambil yaitu pertimbangan keseimbangan alam ketika akan mengadakan pembangunan.
·         Jika para penjajah saja bisa menyayangi daerah jajahannya, mengapa kita justru tidak bisa menyayangi daerah ataupun kawasan yang memang milik kita sendiri ?

F. Kritik dan Saran

1. Kritik

Pemerintah belum bisa mengelola Dago dengan bijak. Sikap memberikan lampu hijau pada pembangunan gedung-gedung komersil itu membuat Dago bahkan Bandung akan kehilangan identitasnya.

Masyarakat Dago sendiri kurang mencintai sejarahnya. Hanya beberapa saja yang tahu sejarah Dago dan itupun kebanyakan para sesepuh yang memang berperan langsung ketika Dago masih di bawah kedudukan kolonial.

Anak muda yang asli Dago saja banyak sekali yang tidak tahu bahkan tidak peduli. Pendidikan sejarah yang kurang mendukung di sekolah juga bisa menjadi salah satu penyebabnya. Kurangnya sosialisasi pemerintah daerah tentang sejarah sendiri dan terlalu dimanjakannya anak muda sekarang dengan keadaan lingkungan yang komersil dan glamour.

2. Saran

Pemerintah harus bisa melaksanakan aturan yang telah dibuat dengan tegas. Pembangunan komersil di kawasan resapan air dan yang menyangkut bangunan bersejarah sebaiknya dihentikan demi masa depan generasi mendatang.

Ditingkatkannya pelestarian dan pembugaran bangunan-bangunan lama yang merupakan identitas Dago.

Pemerintah juga sebaikanya lebih meningkatkan sosialisasi mengenai sejarah apapun, bukan hanya sejarah suatau tempat, kepada generasi muda dengan mengadakan sesering mungkin pameran ataupun festival sejarah yang bersifat menarik dan tidak membosankan.

Sistem mangajar seorang guru sejarah juga sebaiknya lebih diperbaiki. Agar sejarah tidak hanya dipandang sebagai dongeng pengantar tidur oleh siswa-siswinya.

Daftar Pustaka

Kunto Hayoto, 2008, Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, PT. Granesia, Bandung
Suganda Her, 2008, Jendela Bandung Pengalaman Bersama Kompas, Kompas, Jakarta
http://id.wikipedia.org/wiki/Dago,_Coblong,_Bandung#Letak_Geografis_.26_ Ketinggian
http://marsiela.multiply.com/journal/item/1/Rendevouz_at_Dagostraatg,_Bandung
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=65569
http://www.arsitekturindis.com/?cat=5&paged=4#Letak_Geografis_.26_Ketinggian
http://www.bandungheritage.org/index.php?option=com_content&task=view&id=97&Ite mid=1
http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/26/11300846/dago.konservasi.atau.komersialisasi
mengerjakantugas.blogspot.com/
mus­_1981.tripod.com/

Sumber:
Makalah pada Lomba Penulisan dan Diskusi Sejarah Lokal Tingkat SMA/Sederajat yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, tanggal 20 Juni 2009.

Penolakan Penetrasi Belanda Abad XX Melalui Gerakan Sosial Cimareme

Oleh Windi Rismayanti
SMA Negeri 1 Tarogong Kidul

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Masuknya kekuasaan pemerintah kolonial Belanda pada abad XIX telah menimbulkan berbagai perubahan serta kegoncangan dalam kehidupan Bangsa Indonesia. Usaha penetrasi dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda yang berimbas kepada perubahan-perubahan tatanan kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Pada hakekatnya, penetrasi ini menyebabkan kehidupan rakyat makin menderita dan kesejahteraan hidupnya menjadi merosot. Terutama keadaan ini banyak terdapat dalam masyarakat pedesaan, yang mana mereka selalu diwajibkan untuk membayar pajak.

Menjelang meletusnya perang dunia I (1914), di Indonesia nampak gejala-gejala memburuk dalam kehidupan sosialnya yang tidak lancar. Harga kebutuhan hidup melonjak, penghasilan rakyat menurun. Kehidupan rakyat menjadi lebih buruk dengan adanya kewajiban pajak yang besar (Sutrisno Kutoyo, 1983, 16).

Penerobosan pengaruh ke dalam masyarakat pedesaan tersebut juga akan menimbulkan kegelisahan sehingga masyarakat pedesaan melakukan gerakan sosial dengan caranya sendiri. Adapun gerakan sosial yang mereka lakukan sering dilandasi oleh semangat kekeluargaan dan erat kaitannya dengan ideologi-ideologi tradisional di alam pedesaan yang banyak disebarkan dan diajarkan oleh pemimpin agama.

Dan dalam rangka untuk mengetahui dan memahami permasalahan yang sering muncul di lingkungan masyarakat pedesaan pada masa lampau, maka studi mengenai gerakan sosial dalam sejarah Indonesia dirasakan makin penting. Oleh karena itu dalam karya tulis ini penulis mencoba meneliti dan mengungkapkan gerakan sosial yang terjadi di Jawa Barat tepatnya di kampung Cimarame pada awal abad XX, walaupun peristiwa ini bersifat segmentasi dan tradisional, tetapi membawa dampak yang cukup basar bagi pemerintah kolonial Belanda dan Bangsa Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan dengan mengutarakan beberapa pertanyaan, antara lain:
1.    Apa yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa di Cimareme?
2.    Bagaimana peran Hasan Arif dalam peristiwa Cimareme?
3.    Bagaimana kronologis peristiwa Cimareme?
4.    Bagaimana pengaruh Sarekat Islam dalam peristiwa Cimareme?

1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi gerakan sosial Cimareme.
2. Untuk mengetahui peranan Hasan Arif dalam peristiwa Cimareme.
3. Untuk mengetahui kronologis peristiwa Cimareme.
4. Untuk mengetahui korelasi antara Sarekat Islam dengan peristiwa Cimareme.

1.4 Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini penulis mengambil metode kualitatif yang ditunjang dengan metode wawancara, survei lapangan, kajian pustaka, dan analisis data.

BAB  II KAJIAN TEORI

2.1 Kerangka Teoritik
2.1.1 Konsepsi Pola Kehidupan Tani di Pedasaan Jawa.
Masyarakat tani merupakan suatu masyarakat yang hidup di alam pedesaan, dimana kehidupannya masih tertutup dan terbatas oleh adat atau tradisi yang ada. Dalam pola berpikirnya,mereka menempatkan pola kekerabatan, pola kekeluargaan, pola keseimbangan dan pola religius yang dimaksudkan untuk menjaga agar karawanan sosial dan karawanan religius tidak merusak kehidupan masyarakat.

Di dalam dess, kehidupan ekonomi dan sosial budaya berpusat di sekitar keluarga inti sekalipun suatu sistem kekerabatan dua pihak yang diperluas masih tetap memainkan fungsi-fungsi tinggalan yang penting. Sebagai suatu masyarakat kecil, hubungan dengan sesamanya yang tertutup dan kerap kali terpencil,  desa sangat berkepentingan dalam mempertahankan keserasian internal dan kerja sama yang baik (Sutristo Kuyoto, 1983, 41).

Sebagai esensi dari pola kehidupan masyarakat petani di pedesaan Jawa, maka petani pemilik, penyewa tanah maupun buruh tani, di dalam kehidupannya mempunyai hubungan timbal balik dengan didasarkan sistem sosialnya. Sistem social ini akan mencakup sistem pemerintahan desa.

Pemerintahan desa dipimpin oleh seorang kepala (lurah), yang dibantu oleh punggawa-punggawa desa. Sesuatu yang terpisah dari kelompok pimpinan duniawi ini adalah para petugas keagamaan (kaum) yang jabatan-jabatannya terutama terbatas pada lingkungan keagamaan. Selain berdirinya struktur pemerintahan juga ada para pimpinan yang berkuasa secara alami seperti kyai, haji, guru agama dan dukun (Sartono Kartodirdjo, 1975, 42).

2.1.2 Konsep Penetrasi
Penetrasi diartikan sebagai suatu penyusupan pengaruh ke dalam segi-segi kehidupan masyarakat yang dalam pelaksanaannya akan terjadi secara damai atau paksaan (S. Surjontoro, 1975, 135). Berlangsungnya proses penetrasi ini diawali dengan kedatangan sekelompok manusia atau lembaga dari suatu daerah/negara ke daerah/negara lain dengan motif tertentu, seperti motif religi, motif ekonomi, motif politik, motif budaya maupun motif sosial. Berbagai motif yang melandasi adanya penetrasi ini pada hakekatnya bertujuan untuk mencari keuntungan.

Kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia pada mulanya memang hanya meliputi tujuan untuk berdagang rempah-rempah. Namun seiring dengan perkembangan dari jiwa imperialisme, tujuan bangsa Belanda datang ke Indonesia ini pun menjadi lebih kompleks. Aksi pendudukan Belanda ke Indonesia ini dapat dikatakan sebagai titik permulaan masuknya unsur-unsur asing. Pendudukan ini dalam perkembangan selanjutnya akan berubah menjadi penjajahan di berbagai bidang kehidupan. Untuk dapat merealisasikan penguasaan dalam bidang-bidang kehidupan ini, maka ditempuhlah usaha penetrasi guna memperkuat kedudukannya di tanah air.

Pada dasarnya proses penetrasi ini dapat dilakukan secara sengaja dan tidak sengaja, serta dapat berlangsung dengan damai atau dengan unsur paksaan. Koentjaraningrat (1983) dalam hal ini mengemukakan bahwa penetrasi merupakan suatu usaha untuk memasukkan nilai-nilai, norma-norma ataupun unsur-unsur asing lainnya yang dilakukan sengaja maupun tidak sengaja dan berlangsung secara damai, biasanya terjadi di dalam suatu bentuk hubungan yang disebabkan karena adanya persebaran suatu agama oleh para penyiar agama yang bersangkutan. Adapun untuk pemasukan unsur-unsur asing yang berlangsung dengan paksaan sering terjadi di dalam suatu bentuk hubungan yang disebabkan oleh adanya peperangan atau penguasaan atas suatu negara.

Kaitannya dengan kependudukan bangsa Belanda di Indonesia, khususnya di Jawa menunjukkan bahwa penetrasi yang dilakukan bersifat paksaan, sehingga akan menekan rakyat. Berbagai penerobosan unsur-unsur asing ini tidak hanya mencakup di lingkungan perkotaan saja, tetapi juga datanamkan di lingkungan masyarakat pedesaan. Dalam hal ini masyarakat pedesaan akan menolak adanya unsur-unsur yang berasal dari asing. Sehingga menyebabkan munculnya dua sikap yang bertolak belakang, di satu pihak ingin tetap mempertahankan tata kehidupan yang lama dengan corak tradisionalismenya, di lain pihak ingin mengganti dengan cara kehidupan yang baru.

Sebagai akibat dari penetrasi ini, khususnya masyarakat petani di pedasaan merasa adanya suatu kondisi yang tidak adil, bahkan mereka kehilangan hak-haknya sebagai masyarakat pribumi, baik itu dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dalam bidang politik dapat dilihat dengan semaki merosotnya penguasa pribumi, dalam bidang ekonomi terlihat dengan munculnya berbagai macam pajak dan peraturan lainnya. Adapun di bidang sosial dan budaya terlihat dengan semakin lemahnya ikatan-ikatan tradisional serta masuknya budaya-budaya asing yang menyebabkan terjadinya disintegrasi budaya dalam kalangan masyarakat Indonesia.

2.1.3 Konsepsi Gerakan Sosial
Pada masa kekuasaan pemerintah kolonial Belanda abad XIX dan XX, di alam pedesaan masyarakat tani Jawa sering diwarnai dengan adanya gerakan-gerakan sosial. Munculnya gerakan sosial tersebut dilatarbelakangi oleh adanya penetrasi yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda di lingkungan masyarakat tani pedesaan Jawa. Penerobosan pengaruh ini akan menimbulkan kegoncangan-kegoncangan di berbagai segi kehidupan. Hal ini mengingat sifat dari masyarakat pedesaan yang statis, tidak mudah untuk menerima suatu perubahan dan melepaskan unsur-unsur tradisional. Setelah penetrasi ini berhasil menembus kehidupan masyarakat desa, maka rakyat pedesaan mulai merasakan adanya situasi dan kondisi yang tidak memuaskan, dalam arti mereka tidak dapat merasakan kehidupan yang wajar. Sehingga keadaan ini akan menimbulkan kegelisahan dan keresahan rakyat akibat dari kemerosotan dalam kesejahteraan dan taraf hidupnya.

Keadaan yang demikian itu mmungkinkan munculnya golongan-golongan yang tidak puas serta merasa dirugikan sehingga mereka akan menyatakan perasaan dan mengorganisasikan tindakannya sebagai reaksi terhadap tatanan kehidupan yang berlaku. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa penderitaan yang dialami oleh masyarakat di pedesaan akan mengilhami atau mempercapat munculnya suatu pemberontakan yang dilakukan oleh golongan yang tertindas.

Pemberontakan ini mencerminkan aksi protes dari masyarakat yang tertindas dan mempunyai tujuan untuk menentang peraturan atau menolak keadaan yang tidak adil. Aksi protes yang dalam realisasinya berwujud gerakan sosial ini akan menempatkan kaum tani di pedesaan sebagai basis utamanya, karena golongan petani inilah yang sangat menderita akibat adanya penetrasi.

Gerakan sosial merupakan salah satu bentuk utama dari perilaku kolektif. Secara formal gerakan sosial didefinisikan sebagai suatu aktifitas yang melakukan kegiatan dengan kadar kesinambungan tertentu untuk menunjang atau menolak perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok yang mencakup kolektifitas itu sendiri (Paul B. Horton, Chester L. Hunt, 1990,195).

Gerakan sosial dalam sejarah Indonesia mencakup fenomena historis, seperti revilisme historis, gerakan ratu adil, dan gerakan perang sabil, kesemuanya itu merupakan manifestasi dari usaha kolektif untuk mengadakan atau menolak perubahan kehidupan masyarakat (Sartono Kartodirdjo, 1970, 9).

Gerakan sosial yang sering terjadi dalam masyarakat tani di pedesaan Jawa pada abad XIX-XX ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan. Menurut Sartono Kartodirdjo (1967) gerakan sosial dikategorikan menjadi enam golongan yaitu:
1.    Perbandingan sosial, adalah suatu gerakan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda. Dalam gerakan yang terjadi terdapat sikap anti asing (anti penjajahan).
2.    Gerakan untuk memprotes suatu keadaan atau peraturan yang tidak adil.
3.    Gerakan revivalitas, adalah suatu gerakan yang bertujuan untuk mengajak rakyat agar lebih rajin dan taat menjalankan agamanya.
4.    Gerakan navitisme, adalah suatu gerakan yang bertujuan untuk menegakkan kembali kerajaan kuno.
5.    Gerakan messianisme, adalah suatu gerakan yang mengharapkan akan datangnya Ratu Adil atau Imam Mahdi.
6.    Gerakan perang sabil, yaitu suatu gerakan yang bertujuan untuk untuk membela agama Islam atau melawan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda yang dianggap sebagai perang kafir.

Dari berbagai jenis gerakan sosial yang muncul di dalam masyarakat pedesaan, pada umumnya dipelopori dan dipimpin oleh elite agama tradisional dengan kaum tani sebagai pengikutnya.

Gerakan sosial sebagai suatu manifestasi dari pergolakan kaum tani di pedesaan mempunyai sifat-sifat khusus. Adapun ciri-ciri dari gerakan sosial ini diantara lain adalah:
a.       Bersifat arkais, artinya dalam hal organisasinya, program, strategi, dan taktiknya masih sederhana.
b.      Bersifat kedaerahan, artinya gerakan yang terjadi hanya mencakup wilayah tertentu.
c.       Dalam kepeloporan dan kepemimpinan yang dipegang oleh elite kultural atau elite keagamaan tradisional dengan petani sebagai massa pengikutnya.
d.      Jangka waktu gerakannya sangat pendek.
e.       Belum memiliki orientasi dan tujuan yang jelas.
f.       Bersifat tradisional, artinya gerakan yang terjadi dipengaruhi oleh pandangan religio magis.

2.2 Kerangka Berpikir (Hipotesis)
Sebagai suatu negara kepulauan yang bercorak agraris, penduduk Indonesia sebagian besar tinggal di alam pedesaan, terutama pedesaan Jawa yang cenderung tertutup. Meski masih memegang teguh nilai-nilai, norma-norma maupun kaidah-kaidah tradisional. Sebagai suatu masyarakat yang hidup dalam kungkungan dan keterikatan tradisi, maka segi-segi pendangannya akan selalu diwarnai dengan unsur-unsur religio magis yang merupakan perpaduan Hindu, Budha, dan Islam.

Masuknya kekuasaan Belanda dengan unsur-unsur asingnya pada abad XIX-XX menimbulkan kertakan dalam berbagai bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dalam situasi yang serba tidak menentu akhirnya masyarakat pedesaan cenderung untuk menghidupkan ideologi-ideologi tradisionalnya seperti milliniarisme, messianisme, revivalisme, nativisme dan semangat perang sabil. Dan ini akan mempercepat untuk timbulnya gerakan sosial.

Semakin maraknya aksi-aksi protes dari kaum tani merupakan fenomena yang sangat menonjol pada abad XIX-XX di daerah pedesaan, khususnya Jawa. Salah satu peristiwa yang merupakan bentuk penentangan kaum tani di pedesaan terhadap penetrasi Belanda adalah peristiwa Cimareme, ini merupakan suatu manifestasi dari pergolakan masyarakat tani di pedesaan.

BAB  III PEMBAHASAN

3.1 Latar Belakang Peristiwa Cimareme
3.1.1 Latar Belakang Umum
Indonesia sebagai negara jajahan Belanda tidak dapat dipisahkan dari peraturan politik internasional, khususnya keadaan politik di Asia. Kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun 1905 membukakan kesadaran bangsa-bangsa di Asia yang terjajah. Bangkitnya Jepang mengilhami perjuangan yang dilakukan oleh India dan berpengaruh pula ke Eropa. Sedangkan di Indonesia sendiri mengilhami berdirinya Budi Utomo.

Meletusnya Perang Dunia I (1914) menambah kekhawatiran Belanda yang mempunyai daerah jajahan. Walaupun Belanda sendiri tidak ikut berperang namun Perang Dunia I itu mempengaruhi terhadap kehidupan-kehidupan negara di dunia. Belgia pun yang kenetralannya dijamin oleh negara-negara besar di dunia akhirnya ikut terlibat dalam peperangan. Melihat hal itu Belanda bertambah lebih kacau. Mereka harus menjaga negaranya sendiri agar tidak terlibat perang tetapi di lain pihak daerah jajahannya menghadapi perkembangan organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan. Di dalam situasi ini Belanda sangat khawatir akan timbulnya pemberontakan-pemberontakan rakyat di negeri jajahannya. Oleh karena itu Belanda sangat berhati-hati dalam pembentukan milisi untuk menghadapi meluasnya peperangan.

Perang Dunia I pula yang memberikan dampak buruk bagi perekonomian Belanda. Perekonomian Belanda yang dititikberatkan dalam sector perdagangan internasional menjadi terganggu. Tentunya ini juga sangat berimbas pada perekonomian Indonesia sebagai tanah jajahannya.

3.1.2 Latar Belakang Khusus
Peristiwa Cimareme adalah suatu peristiwa pertempuran tokoh agama yang dipimpin oleh Hasan Arif melawan Belanda, di kampung Cimareme, desa Sulasari, Kecamatan Bayuresmi, Kabupaten Garut (peta terlampir).

Guna melaksanakan politik ethis Belanda di Garut, maka daerah Garut dijadikan daerah perkebunan. Tanah-tanah yang subur disewakan kepada pengusaha perkebunan Belanda dan bangsa lainnya dalam jangka panjang. hampir sebagian besar masyarakat Garut harus melayani kepentingan Belanda. Ini tentu memberikan kehidupan ekonomi masyarakat Garut semakin memburuk. Akibatnya rakyat banyak meninggalkan tanah pertaniannya.

Sementara itu kemajuan pendidikan di masyarakat Indonesia yang diusahakan sendiri sudah nampak seperti di kalangan para wanita dan anak-anak remaja putrid yang tergabung dalam Sekolah Keutamaan Istri oleh Raden Ayu Lasminingrat, mengikuti jejak Dewi Sartika.

Di kalangan masyarakat luas, kesadaran berpolitik juga sudah mulai tumbuh. Pada thun 1913 didirikan cabang Budi Utomo di Garut oleh M. Sudjirja dan Raden Anggakusuma, tetapi perkumpulan ini kurang berkembang dengan pesat. Ketika Serekat Islam didirikan di Garut maka kebanyakan anggota Budi Utomo pindah memasuki organisasi keislaman ini.

Masyarakat Garut merupakan masyarakat yang kuat berpegang pada ajaran Islam. Di Garut terdapat banyak pesantren yang merupakan lembaga pendidikan keagamaan Islam yang berjiwa menentang penjajahan. Karena itu Sarekat Islam dapat berkembang pesat di Garut.

Pada zaman Perang Dunia I, kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Garut juga mengalami kegoncangan. Dalam keadaan normal, kesulitan penduduk akan bahan makanan, dapat diatasi dengan peminjaman padi dari lumbung-lumbung desa. Tetapi menjelang tahun 1917 itu sudah banyak lumbung desa yang ditutup. Pemerintah dalam usahanya mengatasi kekurangan bahan makanan itu, mengeluarkan peraturan penyerahan wajib, yaitu peraturan wajib jual pada pemerintah (G.Gonggrijp, 148).

Guna mengatasi perekonomian yang semakin terpuruk, pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan wajib pajak. Peraturan wajib jual padi itu dirasakan berat oleh masyarakat pedesaan Garut. Namun mereka tidak berani menentang perintah Belanda tersebut, tetapi dalam hal ini Hasan Arif merupakan pengecualian. Dengan keberanian dan tanggung-jawabnya Hasan Arif berani menentang keputusan-keputusan Belanda itu demi pembelaannya terhadap keadilan, kemerdekaan dan harga diri.

Demikianlah keadaan khusus di Garut menjelang terjadinya peristiwa Cimareme. Suasana batin masyarakat sudah penuh dengan perasaan menentang penjajah, keadaan ekonomi masyarakat sungguh suram.

3.2 Peranan Hasan Arif dalam Peristiwa Cimarene
Hasan Arif lahir dan dibesarkan di kampung Cimareme yang terletak di daerah pegunungan yang subur kurang lebih 15 (lima belas) km dari kota Garut.

Hasan Arif banyak belajar dari sang ayah Kyai Tubagus Alpani tentang sikap Non Cooperation dengan penjajah Belanda yang dinilai tidak ada keadilan bagi kaum bumi putera. Beliau menolak dengan tegas ketika beliau ditawari oleh pemerintah Belanda untuk diakui secara resmi sebagai pemimpin di masyarakat dengan memberikan Surat Keputusan (Besluit).

Ajaran Non Cooperation sangat melekat bukan saja pada keluarga Hasan Arif tapi kepada hamper semua penduduk Cimareme. Ini bisa dilihat dari semenjak kakek Hasan Arif Kartaningrat sampai kepada masa kemerdekaan tahun 1945. Tidak seorang pun penduduk Cimareme yang pernah bekerja pada Dinas Pemerintahan Hindia Belanda.

Beliau mempunyai 10 bahu sawah (1 bahu = 500 bata) atau kurang lebih 5000 bata dengan penghasilan 5 kg per bata. Setiap panen bisa mendapatkan padi sebanyak 2500 kg. keadaan ini berlainan sekali dengan kebanyakan penduduk Cimareme yang hanya mempunyai sawah rata-rata antara 100 sampai 200 bata per orang.

Hasan Arif mendirikan perkumpulan Cisareme yang merupakan tempat digemblengnya paham-paham politik dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Terinspirasi oleh suatu perkumpulan rahasia di Cina pada waktu pemberontakan Bokser 1899 menentang kepada semakin besarnya kekuasaan Barat di negeri itu.

Cimimiti Rame merupakan organisasi yang sangat rapih dan bersifat sangat rahasia. Kader-kadernya terdiri dari para pemuda yang terus menerus diberi pendidikan agama, ilmu pengetahuan, ilmu politik. Ditambah untuk menguatkan jiwa mental keberanian mereka dilatih ilmu kebatinan dan seni ilmu bela diri di perkumpulan “Pencak Silat Gerak Cepat”.

Boleh dikatakan dalam pandangan dan pemikirannya sebagai “Man of Thought Or Inspiration”, seorang yang mempunyai gagasan dan pemikiran. Dengan pemikiran dan karya nyatanya beliau mendorong bangsa berjuang menentang penjajah.

Ketika pemerintah akan membuat jalan baru dengan membendung Situ Cibudug, Hasan Arif segera mengajukan protes menentang kebijakan tersebut karena dianggap beliau akan menyebabkan sawah-sawah di Desa Sukasari (Cikendal) LeuwiGoong dan Desa Dungusiku akan kekurangan air. Dampaknya para petani di desa tersebut menderita. Akibat dari penentangan ini hamper saja beliau menjadi korban dari senjata pistol kontrolur Belanda.

Keberanian lain dalam menolak suatu peraturan yang dianggap akan merugikan masyarakatnya adalah penolakan beliau terhadap wajib jual padi (padi opkoop) 4 pikul padi perbahunya.

Penentangan dan perlawanannya untuk membela kaum lemah, penindasan yang dilakukan oleh sistem dan atas nama hokum yang akhirnya merenggut jiwanya beserta beberapa orang pengikutnya dalam peristiwa Drama Cimareme 7 Juli 1919 yang bukan saja melahirkan peristiwa yang dinamakan Genjlong Garut (gempa Garut) tapi yang mengungubah semua tatanan politik pemerintah Belanda dan pergerakan Nasional kita dalam babak baru.

3.3 Kronologis Peristiwa Cimareme
Peraturan pemerintah wajib jual padi sampai juga di Cimarene melalui Lurah Desa Sukasari, Wiraatmaja. Walaupun rumah mereka berdekatan tetapi mereka berdua tidak terlalu akrab. Hasan Arif mengajukan keberatan terhadap peraturan wajib jual padi tersebut, dan berpesan kepada Lurah Sukasari untuk menyampaikan kepada Camat Banyuresmi. Hasan Arif berpendapat bahwa penyetoran padi tersebut akan menyebabkan rakyat kesulitan dalam penyediaan pangannya. Penolakan Hasan Arif terhadap pemerintah ini diteruskan oleh lurah kepada camat dan kemudian camat sendiri datang menemui Hasan Arif untuk menyampaikan peraturan pemerintah tersebut. Jalan negosiasipun tidak berjalan dengan lancer. Camat tersebut bereaksi sangat keras dengan membentak bahwa keputusan tersebut merupakan keputusan pemerintah.

Hasan Arif berusaha untuk mencari jalan penyelesaian sebaik-baiknya dengan mengirimkan surat kepada Bupati Garut R.A.A. Suria Kartalegawa tertanggal 5 Juni 1919, berisi permohonan  agar pemerintah mempertimbangkan usul masyarakat Cimareme. (Naskah surat terlampir dalam kutipan surat panitia khusus Cimareme kepada Jth. P.J.M. Presiden Rep. Indonesia tanggal 8 September 1958) tetapi surat itu baru diterima Bupati Garut tanggal 1 Juli 1919.

Asisten residen menetapkan bahwa hari Jumat tanggal 4 Juli 1919 sebagai hari untuk rombongan pemerintah bertindak dan menangkap Hasan Arif dan pengikutnya untuk dibawa ke Garut.

Ketika mengetahui keadaan semakin genting, Hasan Arif tidak gentar dan tidak mundur sedikitpun. Sudah siap tekadnya akan melawan sekuat tenaga dan akan berjihad. Kemudian Hasan Arif meminta bantuan sahabatnya untuk mengatur langkah.

Sesudah kejadian itu Hasan arif bermusyawarah dengan para pengikutnya untuk menentukan sikap akhirnya mereka menyepakati untuk melawan sekuat-kuatnya karena memang sebanarnya alasan Hasan Arif itu bukan sekadar masalah penolakan setoran padi, tetapi sebenarnya masalahnya terlatak pada dasar yang lebih dalam. Bukan sekadar karena banyaknyakeluarga, buruknya panen, musim paceklik dan sebagainya tetapi inti hakikinya sebenarnya merupakan harga diri sebagai bangsa, sebagai seorang muslim yang terjajah dan merasa diperlakukan dengan penuh ketidakadilan dan semena-mena oleh pihak yang menjajah.

Sementara itu sesudah Bupati Garut menerima laporan dari wedana Leles, kemudian langsung menghubungi Asisten Residen dengan tertulis dan lisan. Suasana pun semakin gempar. Segera Asisten Residen mengadakan rapat yang dihadiri oleh Bupati Garut, Patih Rd. Suradihardja dan penghulu Rd. Moh. Tabri. Penghulu menyarankan agar kembali diusahakan jalan musyawarah dengan Hasan Arif tapi Asisten Residen sudah sangat marah dan kehilangan kesabarannya. Dia sangat tersinggung karena alasan Hasan Arif bukan saja menolak menyerahkan padi tetapi sudah siap menentang pemerintah Belanda. Asisten Residen langsung menghubungi Residen JHR. L. de Steurs di Bandung dan akan mengambil tindakan kekerasan.

H. Gojali, Adikarta, dan Adinata diserahi tugas untuk menyiapkan urusan peralatan perang berupa pengumpulan senjata tajam. Mereka juga menyiapkan kain belacu berwarna putih lalu dipotong selebar enam meter dan dibagi-bagikan kepada para santri dan pengikut Hasan Arif. Kain putih itu dimaksudkan sebagai pakaian seragam yang bermakna jihad. Apabila seseorang mati dalam pertempuran, maka baju atau kain putih itu sudah berlaku sebagai kain kafan pembungkus jenazah. Jadi para pendukung perjuangan Hasan Arif sudah berniat mati syahid. Barang-barang yang dipakai dalam peristiwa Cimareme tersebut sekarang berada di Museum Sejarah Nasional VI/Siliwangi Bandung (Salinan surat penerimaan barang di museum terlampir).

Selanjutnya H. Hasanudin, Udi dan Ijiguana diperintahkan untuk menghubungi sahabat Hasan Arif yang tersebar di daerah-daerah dengan pesan agar pada hari Bupati dan Asisten datang di Cimareme sudah mengerahkan pasukan bersenjata.

Ajakan Hasan Arif memperoleh respon positif. Sejak Kamis sore para sahabat sudah banyak yang datang di daerah Cimareme dengan membawa pasukan bersenjata tajam dan berbaju putih.

Pada keesokan harinya, Jumat tanggal 4 Juli 1919 sekitar jam 09.00 WIB rombongan pemerintah Asisten Residen, Bupati, Wedono dan kontrolir dikawal oleh 27 Polisi Lapangan bersenjata (Vield Polite) dipimpin oleh Komando Datasemen tiba di Cimareme.

Pertemuan antara Hasan Arif dan beberapa orang terdekatnya dengan Asisten Residan L. Van Weeldern dan Bupati R.A.A Suria Kartalegawa. Hasan Arif mengemukakan keberatannya atas keputusan pemerintah dan juga ketakutannya atas ancaman Wedono Leles. Beliau juga bertanya bertanya apakah keputusan wajib jual padi tersebut telah disahkan oleh Gubernur karena beliau merasa telah mengirimkan suran melalui Lurah Wiriatmaja untuk disampaikan kepada Bupati tetapi tidak menerima jawaban (Surat tertanggal 21 April 1919).

Asisten menyadari sepenuhnya bahwa kedudukan mereka tidak menguntungkan. Kolonial Belanda yang hanya berjumlah 60 orang dihadapkan dengan 6000 orang yang sudah siap mempertaruhkan jiwa raganya untuk berperang melawan mereka.

Perunding berjalan tanpa adanya suatu keputusan yang bisa diterima oleh kedua belah pihak. Akhirnya Asisten Residen memutuskan : usul Hasan Arif akan diteruskan kepada Gubernur Jendral di Batavia, semua pengawal  Hasan Arif harus dipulangkan ke daerahnya masing-masing, dan Hasan Arif harus menunggu dengan sabar karena akan memakan waktu cukup lama untuk keputusan selanjutnya.

Keputusan tersebut merupakan suatu dalih atau tipu muslihat yang biasa dilakukan penguasa Belanda kepada masyarakat pribumi, sebenarnya mereka tidak sama sekali mempunyai itikad baik untuk mengabulkan permohonan apapun.

Bagi Hasan Arif dan pengikutnya hal itu belum dapat disebut kemenangan tetapi baru bulatan tekad untuk mempersatukan keinginan. Hasan Arif mempersilahkan sahabatnya beserta pasukannya untuk kembali ke daerahnya masing-masing dengan catatan bahwa kewaspadaan harus tetap dijaga dan pasukan tetap diperlukan sewaktu-waktu.

Residen Bandung setelah menerima laporan dari Asisten Residen segera memerintahkan untuk mengerahkan dua kompi Marsose.

Hasan Arif mengira kalaupun pasukan Belanda akan menyerang diperkirakan paling cepat dua minggu kemudian. Perkiraan Hasan Arif memang meleset. Tanpa diduga tiga hari setelah kedatangan pemerintahan Belanda yang pertama tanggal 7 Juli 1919 sebanyak 300 orang pasukan Belanda mendatangi Cimareme dan mengepung rumah Hasan Arif. Pasukan marsose itu dibagi dua, satu kompi tetap mengepung rumah Hasan Arif sedangkan yang lainnya melakukan razia. Setiap laki-laki yang dijumpai ditangkap dan dikumpulkan di pekarangan rumah Hasan Arif.

Sementara itu pasukan marsose di rumah Hasan Arif berusaha pula untuk menangkap Hasan Arif. Mereka mengancam supaya Hasan Arif segera keluar dan menyerah, kalau tidak menyerah akan ditembak mati.

Situasi di dalam rumah Hasan Arif yang berisi 116 orang tersebut sangat mencekam. Perintah untuk keluar terus diteriakkan tidak membuahkan hasil, sekalipun tembakan salvo yang pertama telah ditembakkan.

Pasukan marsose semakin tidak sabar, mereka mulai menembaki rumah tersebut dengan arah yang lebih rendah. Akhirnya mereka mendobrak  masuk ke rumah dan memberondong Hasan Arif yang sedang bersembahyang dengan tembakan-tembakan gencar bersama dengan anggota keluarga dan pengikut lainnya. Maka gugurlah Hasan Arif ditmbak oleh pasukan pemerintah kolonial Belanda tepat pada arah kepala ketika beliau sedang menghadap Tuhan.

Pada pukul 16.00 WIB, barulah peristiwa pembunuhan tersebut dapat selesai dengan meninggalkan korban dan air mata. Dalam peristiwa tersebut telah gugur 7 orang, 22 luka-luka, dan 33 ditawan (data terlampir).

3.4 Peristiwa Cimareme dengan Kegiatan Sarekat Islam
Pihak Belanda menuduh bahwa peristiwa Cimareme itu merupakan pemberontakan yang diatur oleh Sarekat Islam, khususnya Sarekat Islam Afdeeling B. Sebagian pihak keluarga Hasan Arif mengatakan bahwa gerakan tidak ada hubungannya dengan kegiatan Sarekat Islam apalagi Sarekat Islam Afdeeling B.

Perlu diketahui bahwa sekitar tahun 1914-1915 sudah terdapat 15 kring Sarekat Islam antara lain : Sadang, Malangbong, Tarogong, Bojong Salam, Leles, Tanggulung, Margawati, Cikujang, Nangkaruka, Pameungpeuk dan Cimareme. Pimpinan Sarekat Islam di Cimereme adalah Haji Gojali, menantu dari Hasan Arif (A. Somara, 24). Pertumbuhan Sarekat Islam di Garut bagaikan jalatan api di padang rumput yang menimbulkan rasa takut dalam hati orang Belanda yang konservatif.

Berdasarkan analisis D.M.G. Konch, di dalam tubuh Sarekat Islam terdapat tiga aliran, yaitu bersifat fanatic, yang menentang keras dan golongan yang hendak mencari kemajuan dengan berangsur-angsur dan dengan bantuan pemerintah.

Tetapi bagaimanapun, cirri kerohanian Sarekat Islam tetap demokratis dan militant, sangat siap untuk berjuang. Beberapa aspek perjuangan terkumpul menjadi satu di dalam tubuh Sarekat Islam, sehingga Sarekat Islam merupakan gerakan nasionalistis, demokratis dan ekonomis.

Dari tahun 1917-1920, Sarekat Islam merupakan organisasi massa yang pertama di Indonesia dan pengaruhnya sangat nyata dalam politik Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, bahwa corak demokratis dan kesiapan untuk berjuang ini juga menyebabkan aliran Marxis dapat meynyusup ke dalam tubuh Sarekat Islam diantaranya Sarekat Islam di bawah pimpinan Semaun dan Darsono.

Sementara itu, sebagai akibat dari penyusupan marxis yang berkepanjangan akhirnya di tubuh Sarekat Islam terjadi perpecahan. Istilahnya dikenal dengan Sarekat Islam golongan kiri (Afdeeling B) dan Serekat Islam golongan kanan.

Sarekat Islam Afdeeling B bergerak dengan kekiri-kirian, bergerak dengan rahasia bahkan anggota Sarekat Islam biasa pun tidak boleh mengetahui. Taktik perjuangan Sarekat Islam Afdeeling B itu antara lain:
1.    Barahan : artinya segera menyerahkan uang dan harta benda sejumlah 1/3nya kepada khazanah perang manakala perang sabil sudah pecah di Pulau Jawa.
2.    Tetap agama Islam : tetap berpegang teguh pada ajaran agama Islam dan menentang mereka yang murtad.
3.    Ikhlas : semua penghianat yang membocorkan rahasia Sarekat Islam Afdeeling B harus dibunuh.
4.    Peletik : bertanggung jawab sendiri terhadap akibat yang diterimanya, meskipun tindakn itu dilakukan bersama orang lain.

Apabila kita memakai analisis D.M.G. Koch terhadap Sarekat Islam Afdeeling B, maka mereka itu termasuk kelompok yang menentang keras.

Dihubungkan dengan riwayat perjuangan Hasan Arif, maka beliau jelas tidak memiliki pandangan yang sama dengan Sarekat Islam Afdeeling B. Walaupun Hasan Arif sebagai pimpinan umat Islam, tetapi cara kekiri-kirian yang ada pada pihak Afdeeling B itu tidak sama dengan kepribadian beliau. Hasan Arif pada hakekatnya lebih bergerak secara luas, dalam skala pergerakan kebangsaan, dan tidak mengikatkan diri pada Sarekat Islam Afdeeling B itu.

Hal ini diperkuat oleh penglihatan Residen Priangan, De Steurs kepada Gubernur Jendral Van Limburg Stirum bahwa pemberontakan Cimareme itu mempunyai sumber yang berlainan dengan gerakan Sarekat Islam Afdeling B.

Pemberontakan Cimareme itu tidak berasal dan tidak memperoleh pimpinan dari pusat Sarekat Islam Afdeeling B, tetapi bahkan yang terjadi adalah Hasan Arif memang berniat melawan pemerintah Belanda dengan kekerasan, dan beliau hanya memanfaatkan eksistensi organisasi Afdeeling B untuk tujuan melawan Belanda.

BAB  IV KESIMPULAN

1.    Peristiwa Cimareme merupakan mata rantai dari perjuangan Bangsa Indonesia menuju kemerdekaan yang hakiki. Semangat perjuangan telah dibuktikan dari setiap pribadi masyarakat Indonesia walaupun hidup di alam pedesaan.
2.    Kejadian penolakan pembayaran wajib padi oleh pemerintah kolonial Belanda hanya merupakan sebab langsung dari peristiwa Cimarene, sedangkan penyebab khususnya merupakan wujud penolakan masyarakat Indonesia atas penetrasi yang dilakukan oleh Belanda.
3.    Peristiwa Cimareme dan gerakan Sarekat Islam Afdeeling B merupakan dua peristiwa yang harus dipisahkan.
4.    Hasan Arif mempunyai peranan yang sangat penting dalam peristiwa Cimareme. Dengan semangat patriotismenya mampu menggugah kesadaran para pengikutnya untuk berani melawan penjajahan.

DAFTAR  REFERENSI

Harton, Paul B dan Chester L. Hunt. 1990. Sosiologi Pedesaan. Jakarta : Erlangga
Kuyoto, Sutrisno.1983. Hasan Arif Riwayat Hidup dan Perjuangannya. Jakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
H. Lubis, Nina. 2000. Tradisi dan Transformasi Sejarah Sunda. Bandung : Hu+maniora Utama Press.
Koentjaraningrat. 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.
Kartodirdjo, Sartono. 1967. Pergerakan Sosial dalam Sejarah Indonesia. UGM: Dies Natalis.
S. Surjontoro. 1975. Kamus Praktis Serba Guna. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Harian Kompas
Surat Kabar Garut Post
www.Garut.go.id
www.islamina.com
www.pikiran-rakyat.com
http:fakta.blogsome.com

Sumber:
Makalah pada Lomba Penulisan dan Diskusi Sejarah Lokal Tingkat SMA/Sederajat yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, tanggal 27 September 2007.

Popular Posts