Oleh Eva Rachmania
SMAN 1 Bandung
A.
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Kegiatan
berpelancong atau mengunjungi suatu daerah guna menikmati segala kenikmatan
yang disuguhkan oleh daerah yang dikunjungi adalah kegiatan yang sedang
menjalar dan diminati oleh masyarakat banyak sekarang ini. Para pelancong,
pecinta wisata tersebut kerap kali mengunjungi daerah yang kaya akan beragam
kekayaan alamnya, tempat perbelanjaan yang modern hingga keunikan kuliner yang khas
dan menarik.
Bandung adalah
salah satunya. Kekayaan alam hingga kuliner dapat dinikmati di kota kembang
ini. Ada beragam daerah yang terkenal dengan keunikan mereka sendiri. Salah
satunya adalah daerah Dago. Dago terletak di bagian utara Bandung. Banyak
tempat yang menarik yang dapat dikunjungi oleh para pecinta wisata. Beragam
factory outlet, distro, hingga café tersebar di sepanjang jalan ini. Tidak
heran kalau Dago menjadi daerah yang wajib dikunjungi ketika para pelancong
tersebut sedang bekunjung ke Bandung. Di dorong oleh faktor itu, kini sudah
banyak berdiri gagah gedung-gedung tinggi besar yang menawarkan kenikmatan dan
kenyamanan bagi mereka pecinta wisata untuk beristirahat, hotel-hotel sampai
apartemen bertengger di sana.
Terlepas dari
semua kemodernan yang disuguhkan Dago, ada sisi lain yang sering kali atau
bahkan sama sekali terlupakan. Pertanyaan yang tak terindahkan ketika kita
telah terlelap dalam kemewahan dunia modern yang memabukkan, sejarah, asal mula
dan sisi lain dari daerah itu selain kenikmatan mata yang tentunya, menguras
isi kantong tapi menggiurkan.“ Seperti apakah Dago sebelum tanahnya menjadi
gemerlap penuh dengan dunia glamour seperti
sekarang ini?”
Di setiap kejadian pasti ada sisi baik dan buruknya. Begitu pula yang terjadi
dengan Dago. It’s ok, sekarang Dago
sangat modern dan memanjakan pengunjungnya. Tapi, apa akibat lain bagi Dago
sendiri, selain Dago menjadi eksis di kalangan masyarakat luarnya?
Kotor, macet, pengap, panas, polusi udara dan suara. Pohon-pohon rindang
telah tumbang tergantikan dengan tumbuhnya gedung-gedung baru seperti factory
outlet dan hotel-hotel. Bagian-bagiannya yang masih asri dan hijau di daratan
yang lebih tinggi, sekarang sedikit demi sedikit, secara disadari ataupun tidak
telah terjamah oleh para pengusaha yang mengepakkan sayap bisnisnya di tempat
tersebut. Mengacu pada pepatah, sedikit demi sedikit menjadi bukit. Tapi untuk
dago, sedikit demi sedikit menjadi botak.
Hanya sedikit yang tahu mengenai Dago jaman dulu. Coba saja tanya pemuda-pemudi
yang suka berkeliaran di jalan itu. Hanya beberapa dari mereka yang tahu asal
mula nama Dago, dapat dihitung dengan jari. Sebagian besarnya, para
pemuda-pemudi itu, bahkan yang memang asli penduduk di Dago sendiri, mereka
hanya suka menghabiskan waktu mereka saja dengan menikmati Dago yang ‘sekarang’
tanpa tahu sejarahnya, bahkan tanpa tahu asal mula namanya. Sangat memalukan.
Sangat mengkhawatirkan. Bagaimana jadinya Dago pada masa depan jikalau generasi
mudanya sendiri tidak menghiraukan sejarah yang menjadi patokan-patokan untuk
pembangunan di masa yang akan datang.
Sekarang, saatnya bagi kita untuk menyadari sisi lain dari kemodernan.
Pentingnya sebuah sejarah bagi perkembangan sebuah daerah. Menyadari sejarah
sebagai fakta penting yang menuntut batas-batas modernisasi. Karena jika bukan
kita yang menyadari, siapa lagi ? Tanpa adanya kesadaran, maka bermimpilah
untuk bisa bertindak dengan sadar. Bertindak tanpa sadar sama saja dengan
mengigau. Mengigau berarti berjalan tanpa arah, mengacak, mengacau dan
mempermalukan diri sendiri di depan orang lain. Seperti itulah gambaran sejarah
untuk Dago. Atas dasar itu pula maka sangat diperlukan informasi mengenai
sejarah setiap tempat, khususnya Dago yang sedang mengalami modernisasi dengan
sangat pesat.
2. Permasalahan
Yang menjadi masalah dalam perkembangan Dago ini adalah kurangnya
kepedulian masyarakat mengenai sejarah Dago sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan
sikap acuh tak acuhnya para generasi mudanya sendiri yang merupakan penerus
dalam pembangunan tetapi mereka cenderung mengabaikan sejarah.
Perkembangan yang tergolong pesat dapat menjadi salah satu penyebab sikap
‘masa bodoh’ tersebut. Modernisasi yang cenderung mengacu pada masa yang akan
datang membuat para generasi muda mudah melupakan sejarah begitu saja. Ditambah
perubahan lingkungan alamnya yang lebih mencerminkan kehidupan dunia modern
anak muda jaman sekarang.
Perubahan lingkungan yang seperti ini pulalah yang menjadikan sejarah Dago
terlupakan begitu saja. Hanya tinggal beberapa saja unsur sejarah yang
tertinggal di Dago pada masa ini. Diantaranya adalah bangunan rumah-rumah tua
yang masih bergaya Belanda, tapi itu pun sebagian telah berubah menjadi
bangunan yang lebih modern.
Dari paparan yang telah tersebut diatas, ada suatu permasalahan yang akan
akan diangkat ke permukaan berkaitan dengan pembahasan ini, yang dirumuskan
dalam bentuk pernyataan sebagai berikut :
·
Sejauh
mana sebenarnya peran sejarah dalam modernisasi yang sedang melanda Dago.
·
Adakah
pengaruh dari unsur-unsur sejarah yang masih tertinggal maupun tidak, dalam
modernisasi Dago. Sebaliknya, apakah pengaruh modernisasi yang sedang terjadi
terhadap unsur-unsur sejarah tersebut.
3. Tujuan
Tujuan penulis mengangkat topik ini untuk mengajak masyarakat khususnya
generasi muda agar dapat melestarikan sejarah sebagai harta berharga yang tidak
akan pernah habis sampai kapanpun. Karena sejarah adalah satu aset penting yang
sering kali terlupakan ketika globalisasi modern sedang melanda suatu daerah.
Dengan dapat mengartikan sejarah lebih dari subjek pelajaran sekolah, kita akan
dapat menemukan banyak makna seperti pelajaran nyata yang telah terjadi yang
dapat dijadikan bahan pertimbangan patut atau tidak untuk diteruskan, bukan
melupakannya sama sekali.
Khususnya untuk Dago. Dengan tulisan ini, penulis berharap agar masyarakat
dapat menghargai sejarah Dago sendiri dan bukan hanya dijadikan dongeng
pengantar tidur melainkan sebagai patokan dan aset penting dalam pembangunan.
Agar generasi muda tidak hanya memandang Dago sebagai tempat bersenang-senang
belaka yang penuh dengan gemerlap kemewahan efek perkembangan jaman.
B. Landasan Teori
Kata sejarah yang kita kenal sekarang adalah berasal dari bahasa Arab yaitu
“syajaratun” yang artinya pohon. Dari sisi lain pula, istilah history merupakan terjemahan dari bahasa
Yunani “ histories” yang artinya satu penyelidikan ataupun pengkajian.
Bapak sejarah, Herodatus, mengungkapkan bahwa sejarah ialah satu kajian
untuk menceritakan satu kitaran jatuh bangunnya seseorang toloh, masyarakat dan
peradaban. Sedangkan menurut Aristotle, sejarah merupakan satu system yang
mengira kejadian semula jadi dan tersusun dalam bentuk kronologi. Menurutnya
pula, sejarah adalah peristiwa–peristiwa masa lalu yang mempunyai catatan,
rekod-rekod atau bukti yang kukuh.
Shefer berpendapat bahwa sejarah merupakan peristiwa yang telah lepas dan
benar-benar berlaku. Dalam arti kata lain, sejarah digunakan untuk mengetahui
masa lampau berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang sahih untuk memperkaya
pengetahuan dan waktu yang akan datang menjadi lebih baik. Dengan itu akan
timbul sikap waspada dalam diri semua kelompok masayarakat karena sejarah juga
berfungsi sebagai pengajaran yang berguna (kutipan dari sebuah website).
Sedangkan modernisasi, menurut Soerjono Soekanto, modernisasi adalah suatu
bentuk dari perubahan sosial yang terarah yang didasarkan pada suatu
perencanaan yang biasanya dinamakan social planning. Beliau mengemukakan bahwa
sebuah modernisasi memiliki syarat-sayarat tertentu, yaitu sebagai berikut:
1. Cara berpikir yang ilmiah yang berlembaga
dalam kelas penguasa ataupun masyarakat.
2. Sistem administrasi negara yang baik, yang
benar-benar mewujudkan birokrasi.
3. Adanya sistem pengumpulan data yang baik
dan teratur yang terpusat pada suatu lembaga atau badan tertentu.
4. Penciptaan iklim yang menyenangkan dan
masyarakat terhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi
massa.
5. Tingkat organisasi yang tinggi yang di
satu pihak berarti disiplin, sedangkan di lain pihak berarti pengurangan
kemerdekaan.
6.
Sentralisasi
wewenang dalam pelaksanaan perencanaan social. (Dalam
sebuah blog, 2009)
7.
Sejarah dan modernisasi adalah
dua kata yang menunjukan suatu perbandingan yang besar. Tetapi, kedua kata tersebut tidak bisa lepas dalam
sebuah kehidupan. Keduanya saling berkaitan erat dan
mempengaruhi satu sama lain.
Sejarah yang
mana merupakan suatu kejadian di massa lampau, khususnya sejarah sebuah daerah,
tempat ataupun wilayah tidak bisa lepas dari modernisasi yang akan semakin
berkembang. Modernisasi sendiri tidak akan terjadi apabila sejarah itu tidak
akan pernah ada sebagai bahan pelajaran yang harus dipertimbangkan dalam
pelaksanaannya. Modernisasi bukan berarti menyampingkan sejarah sebagai bukti
penting yang seharusnya sangat berarti.
Begitu pula yang dirasakan Dago sekarang ini. Sebuah jalan bersejarah yang
berada 5 km kearah utara dari pusat Bandung. Modernisasi yang terjadi dengan
pesat justru membuat kedudukan dari sejarah jalan ini menjadi semakin tergencet
dan terdesak ke sudut-sudut terlupakan. Kedua fakta real kehidupan yang harus
dijalankan dengan baik itu kenyataannya tidak bisa berjalan dengan seimbang.
C. Berkenalan Dengan Dago
1. Lokasi, Lingkungan Alam dan Kondisi Masyarakat Dago
Dago berada 5 km ke arah utara dari pusat Bandung dengan luas area sekitar
6000ha. Ketinggiannya sekitar 690-730 dpl. Karena berada di daerah utara, maka
Dago merupakan daerah yang cukup sejuk, setidaknya sebelum Dago penuh sesak
dengan kendaraan bermotor seperti sekarang ini. Suhu udara berkisar antara 18°C
(terendah pada malam hari) sampai dengan 32° C (tertinggi pada siang hari).
Masyarakat Dago memiliki mata pencaharian yang beragam. Mulai dari PNS
hingga petani. Banyak pula dari mereka yang bekerja sebagai dosen di
universitas. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya berdiri perumahan bagi para
dosen di daerah Dago.
Bermata pencaharian beda tentu saja mengakibatkan tempat tinggal kediaman
penduduk Dago pun menjadi beragam. Banyak penduduk yang bertempat tinggal di
pemukiman sederhana seperti gang-gang, namun tidak jarang pula penduduk yang
tinggal di perumahan mewah.
Berbeda dengan keadaan jaman dahulu, sekitar jaman kedudukan kolonial,
sebelum modernisasi global melanda negeri ini. Pada masa itu, khususnya saat
jaman kolonial Belanda, Dago merupakan kawasan elite yang hanya diperuntukkan
para tuan dan noni Belanda sebagai tempat tinggal mereka. Banyak dari orang
Belanda itu adalah para tuan tanah. Sedangkan bagi masyarakat pribumi, Dago
hanyalah tempat mereka saling menunggu satu sama lain ketika hendak pergi ke
kota secara bersama-sama di daerah selatan.
Masyarakat pribuminya sendiri kebanyakan adalah sebagai petani. Berkebun di kebun mereka sendiri dan
menjual hasil panennya. Mereka tinggal berkelompok di pelosok sisa-sisa tempat
tinggal para Belanda. Satu kelompok pemukiman untuk satu keluarga dan mereka
menggunakan kebun sebagai pembatas.
2. Asal Mula Nama Dago
(dari Dagostraat hingga
Ir.H.Djuanda, Dago tetaplah Dago)
Bandung berarti Dago. Para pelancong biasanya menjadikan Dago sebagai
tempat yang wajib mereka kunjungi saat berkunjung ke Bandung. Bahkan beberapa dari mereka mengatakan
bahwa jika tidak ke Dago, berarti belum ke Bandung.
Dago sudah ada sejak jaman kolonial. Hanya saja awalnya adalah Dagostraat
lalu berubah menjadi Dago pada tahun 1950.
Kata dago berasal dari bahasa Sunda yaitu ‘dagoan’ yang artinya ‘menunggu atau tunggu’. Pada jaman ini,
penduduk pribumi yang berada di wilayah utara Bandung memiliki kebiasaan saling
tunggu menunggu satu sama lain, khususnya di kawasan terminal dan simpang Dago
sekarang, ketika mereka hendak pergi ke kota. Hal ini disebabkan jalan menuju
kota merupakan hutan belantara yang sepi dan rawan binatang buas.
Dalam bukunya ‘Semerbak Bunga di Bandung Raya’, Haryonto Kunto menuliskan
bahwa pada pertengahan abad ke-19, di antara Simpang Dago (sekarang) dengan
kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) merupakan daerah hutan belukar yang
sepi. Jalanannya belum bisa dilalui oleh kendaraan. Makanya, penduduk yang
pergi pagi-pagi buta ke pasar biasanya saling menunggu satu sama lain agar
dapat pergi dalam bentuk rombongan. Mereka juga melengkapi rombongannya dengan
lelali yang bersenjata parang dan tombak untuk mengawalnya dari begal
(penyamun). Kebiasaan menunggu itu dalam bahasa Sunda biasa disebut
“padago-dago” (Arya Dipa, 2007).
Pada tahun 1810, jalan Dago masih berupa jalan setapak. Baru pada tahun
1900-1914, pemerintah Hindia-Belanda mengadakan pembangunan di Bandung.
Pembangunan di Dago dimulai pada tahun 1905 dengan dibangunnya rumah
peristirahatan Andre Van Der Brun. Rumah peristirahatan ini masih berdiri hingga sekarang (letaknya bersebelahan
dengan hotel Jayakarta).
Menurut penduduk Dago sendiri, dulu Dago merupakan pemukiman elite
orang-orang Belanda. Daerah utara Bandung ini diperuntukan bagi para tuan dan
noni. Sebagian besar dari mereka merupakan para tuan
tanah. Ada beberapa nama yang terkenal dikalangan pribumi pada masa itu,
diantaranya :
·
Nyonya Dimon (tuan tanah
besar). Dikatakan oleh masyarakat sekitar bahwa hampir seluruh Dago adalah
tanah miliknya.
·
Tuan Heres. Tanah milik Tuan
Heres meliputi daerah Jajaway atau yang sekarang disebut dengan terminal Dago.
·
Tuan Bereh. Pemilik tanah dari
Dago Tea House pada masanya.
·
Nyonya Iyul. Hotel mewah yang
sekarang dikenal dengan Sheraton merupakan tanah milik Nyonya Iyul.
Rumah-rumah disepanjang
jalan Dago saat itu masing-masing memiliki atap yang curam. Hal ini disesuaikan
dengan curah hujan yang tinggi. Selain itu, halaman rumah mereka terbentang luas dipenuhi rerumputan
tertata rapi. Tinggi bangunannya sendiri tidak melebihi dua tingkat, dengan
begitu cahaya dan udara dapat leluasa masuk ke dalam.
Merujuk pada situs resmi Bandung Heritage Society, pembangunan sudah
dimulai pada tahun 1910. Ini seiring dengan keinginan pemerintah Gemeente
(kotamadya) Bandung untuk memperluas wilayah administrasinya ke arah utara.
Orang merambah kebun dan sawah, membangun jalan Dago dan Cipaganti di Bandung
Utara. Pembangunan dan pengerasan jalan Dago sampai ke hutan Pakar bersamaan
dengan usaha Gemeente membangun reservoir air minum di Bukit Dago (Arya Dipa,
2007). Konsep garden city coba diterapkan dalam pembangunan Dago. Konsep ini
lahir sebagai jawaban atas revolusi industri yang melahirkan praktek
kolonialisme di negara-negara penghasil bahan mentah. Konsekuensi selanjutnya,
kebutuhan menata kota-kota administratur yang diharapkan bisa menjadi jalan
keluar bagi masalah perkotaan yang ditimbulkan, seperti kepadatan penduduk,
sanitasi lingkungan yang makin buruk, dan ketersediaan air minum. (Pikiran
Rakyat, 2006).
Garden city memperhitungkan keseimbangan alam dengan ditanaminya pohon
berakar kuat disepanjang jalan Dago. Badan jalan sebelah timur dari ruas
persimpangan Pasar Simpang hingga persimpangan Cikapayang dikhususkan untuk
pejalan kaki. Sedangkan sebelah barat diperuntukkan kendaraan yang waktu itu
masih didominasi kereta kuda dan sepeda.
Barulah pada tahun1950 aset-aset milik Belanda dinasionalisasi dan
“Dagostraat”pun berubah nama menjadi “Dago”. Sedikit demi sedikit rumah-rumah
yang tadinya dihuni oleh para Belanda mulai ditinggalkan.
Pada 1960, mulai terlihat anak-anak muda yang nongkrong di bagian selatan
jalanan tersebut. Sepuluh tahun berlanjut, jalanan yang tadinya hanya untuk
nongkrong saja berubah menjadi sebuah jalanan yang memiliki daya tarik
tersendiri. Mulai dari tempat makan roti bakar hingga perempuan, ada di sana.
“Istilahnya kalau dulu itu ‘gong-li’ (bagong liar-babi liar). Dan pada 1990 pertambahan penduduk dan
pertumbuhan ekonomi mulai terasa memasuki kawasan Dago. Begitu yang dipaparkan
Sudarsono Katam, 61, penulis buku Bandung Kilas Peristiwa di Mata Filatelis
Sebuah Wisata Sejarah. (Arya Dipa, 2007). Maka dapat disimpulkan bahwa ternyata
kebiasaan para anak muda berkumpul di jalan Dago adalah kebiasaan yang sudah
ada dari dulu.
Pada awal 1970-an Dago untuk yang kedua kalinya berubah nama. Kali ini
menjadi jalan Ir.H.Djuanda. Nama jalan Ir.H.Djuanda diberikan untuk mengenang
segala jasa beliau sebagai orang yang telah mengabdikan dirinya untuk negeri
ini. Akan tetapi, berubahnya nama tersebut ternyata tidak menyebabkan nama Dago
hilang dan terganti dengan mudah. Sekali Dago tetap Dago.
3. Dago sebagai tempat perkumpulan anak muda terpelajar dan
Trendsetter-nya Kota Bandung
Kawasan elite telah mencap Dago dari masa jalan ini dijadikan sebagai
pemukiman para Belanda. Gengsi ini semakin menjadi ditambah dengan adanya dua
universitas ternama yang berdiri masih dalam kawasan, ITB (Institut Teknologi
Bandung) dan UNPAD (Universitas Padjadjaran). Maka tidak heran semenjak masa
Dago terdahulu, muda-mudi yang menjadi penghuni di jalan ini pada umumnya
adalah kalangan terpelajar.
Hancurnya pohon rambat sebagai pembatas jalan pada 1970 sering dimanfaatkan
oleh anak muda sebagai tempat mereka balapan. Pohon itu dihancurkan guna
dikerjakannya pelebaran jalan.
Asal muasal segala trend di Bandung menjadikan Dago semakin hidup.
Trendsetter anak muda Bandung adalah Dago. Misalnya, pengaruh generasi bunga (flower generation) di Amerika serikat
dengan sangat cepat di respon para muda-mudi Dago ini.
Salah satu rumah di jalan Dago pernah dijadikan sebagai tempat perkumpulan
para pemuda hippies. Hippies adalah sebutan para penganut flower generation.
Mereka senang menggunakan baju bermotuif bunga sebagai tanda cinta perdamaian,
kalung manik-manik, celana jeans, dan jaket dengan hasil sulaman sendiri. Fashion
seperti ini mereka tunjukkan sebagai pembeda atau lebih tepat dikatakan sebagai
penolakan terhadap kaum berdasi karena hippies cenderung bersikap semaunya dan
rada urakan. Moto para flower generation adalah sex, drugs and love, moto yang
turut diadaptasi oleh para pemuda hippies di Bandung. Untuk kali ini bukan
hanya pemuda Dago saja yang terlibat, hanya saja mereka sering berkumpul di
sana.
4. Bangunan dan tempat sejarah
Sebagai salah satu kawasan elite bersejarah, Dago menyimpan banyak bangunan
sejarah. Kebanyakan memang adalah rumah-rumah lama peninggalan kolonial di
sepanjang jalan Dago. Tapi selain itu, ada pula situs sejarah yang lain seperti
Dago Pakar, Gua Jepang, dan Hutan Raya Ir.H.Djuanda.
Beberapa bangunan dan tempat peninggalan para kolonial itu diantaranya
sebagai berikut :
a. Vila Tiga Warna (De Driekleur)
Driekleur mendapatkan penghargaan sebagai gedung tua terbaik di Bandung.
Pengharagaan ini diberikan oleh Bandung Development Watch. Sekarang De Drikleur
adalah gedung Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN).
De Deklieur berada di sudut antara jalan Dago dan Jl. Sultan Agung. Gedung
ini didirikan pada tahun 1938 dan dirancang oleh seorang arsitek Belanda
bernama A.F.Albers. Deklieur dipengaruhi oleh aliran Nieuw Bouwen yang berkembang
di Hindia Belanda pada akhir tahun 1930.
b. Gua Belanda dan Jepang
Gua Belanda dibangun pada 1812. Lalu pada 1918 ruang pada gua tersebut
mulali diperbanyak. Jumlah seluhnya ada15 lorong, semuanya menembus ke kaki
bukit. Panjang gua ini sekitar 517 meter. Lorong tersebut pada awalnya dibangun
untuk mengalirkan air cikapundung yang kemudian ditampung di kolam Pakar untuk
pembangkit listrik tenaga air Bengkok. Namun setelah tidak aktif lagi, lorong
itu akhirnya menjadi pusat radio komunikasi Belanda.
Sedangkan Gua Jepang dibangun pada 1942. Dibangun sebagai tempat
penyimpanan mesiu atau gudang mesiu. Panjangnya 442 meter. Selain itu, lorong
tersebut pernah dijadikan tempat balatentara Jepang untuk mempertahankan kota
Bandung.
c. Rumah Peristirahatan Andre van der Brun
d. Villa milik Andries de Wilde
Andries van de Wilde adalah pemilik tanah pertama di priangan. Beliau
seorang ahli bedah yang berdinas pada pasukan artileri. Tanah yang dimilikinya
meliputi separuh dari kebupaten Bandung sekarang.
Pada masa pemerintahan Daendels, Andries dalam kedudukannya sebagai koffie
opziener mengajukan syarat permohonan kepada pemerintah Belanda agar dikenankan
untuk menukarkan sebidang tanah luasnya dengan sebidang tanah di Bandung utara.
Lalu ia menikah dengan seorang mojang priangan dan mendirikan villa di kampoeng
Banong (Dago).
e. Dago Tea
House
f. Dago Pakar
g. ITB (TH)
i. Villa Merah
Dari kesembilan
bangunan dan tempat bersejarah yang telah disebutkan, masih banyak lagi yang
lain. Dan semua itu adalah tanggung jawab semua masyarakat untuk dapat
melestarikannya.
D. Sejarah Dago Masih Terus Berjalan
1. Yang terkenang tetaplah hilang
Sejarah Dago buka hanya sekadar isapan jempol belaka yang patut untuk
diabaikan. Banyak pelajaran dan hikmah yang dapat diambil pada masa sejarahnya
hidup. Salah satunya adalah penerapan pembangunan yang kurang pertimbangan dari
pemerintah sekarang ini sama sekali sangat bertolak belakang dengan Karsten
plan yang menerapkan konsep garden city ketika memulai pembangunan. Mereka
sangat mempertimbangan keseimbangan alam dalam pembangunannya. Coba bandingkan
dengan cara pembangunan sekarang yang terbilang ngaco. Tempat resapan air
dijadikan korban pembangunan dengan dibangunnya perumahan ataupun
resort-resort. Pemerintah seakan tidak peduli dengan keadaan alam kita yang
semakin memburuk. Mereka malah membiarkan hal seperti itu terus berlanjut
bahkan bercabang.
Kembali kepada kesadaran setiap individu masing-masing. Mungkin masih ada
waktu untuk kembali memperbaiki. Mungkin yang terkenang bisa saja dibiarkan
hilang, tapi tidak berarti melupakannya begitu saja. Sejarah Dago masih akan
terus berjalan dan kitalah yang akan menciptakan sejarah untuk masa depan. Maka
dari itu, jangan sampai satu langkah salah terus dilanjutkan. Bertindak dengan
otak demi masa depan tanpa melupakan sejarah yang telah melahirkan kita. Karena
tanpa adanya kejadian yang telah terjadi di masa itu, mana bisa Dago jadi
sebagus sekarang.
2. Dunia glamour modern terus berjalan semaunya, bangunan
glamour sejarah bersiap lenyap
Bedirinya gedung-gedung komersil tidak menutup kemungkinan akan membabad
habis bangun bersejarah di Dago. Lama kelamaan lenyap satu persatu.
Gedung-gedung komersil yang sekarang bertengger gagah dan mewah di
sepanjang jalan Dago kemungkinan akan terus bertambah dan berkembang. Dalam
pembangunannya sendiri, gedung-gedung itu membutuhkan lahan yang biasanya
mereka dapatkan dengan membeli bangunan-bangunan rumah tua di Dago.
Hilangnya rumah-rumah tua itu akan menyebabkan hilangnya identitas Bandung
sebagai kota bersejarah, bukti-bukti peninggalan sejarah, akses sejarah untuk
generasi yang akan datang, dan lain-lain (Jejen Jaelani, 2008).
Jika itu akan terus berlanjut, bersiaplah menghadapi masa depan yang buta
sejarah akan ibu yang telah mengandung.
E. Kesimpulan
·
Bandung
adalah kota yang kaya akan sejarah. Salah satunya
adalah Dago.
·
Dago sendiri
berasal dari bahasa Sunda yaitu dagoan yang
artinya tunggu. Intinya, pada masa jaman kolonial, masyarakat pribumi selalu
tungugu menunggu atau padago-dagoan
khususnya di kawasan terminal Dago sekarang, ketika mereka hendak pergi ke
kota. Hal itu mereka lakukan karena pada masa itu daerah Bandung utara masih
merupakan hutan belantara dan rawan binatang buas. Denga saling tunggu menunggu mereka bisa pergi
bersama-sama melewati hutan tersebut.
·
Nama
Dago telah berganti dua kali. Asalnya adalah Dagostraat. Pada tahun 1950
barulah menjadi Dago dan pada tahun 1970 berubah lagi menjadi Ir.H.Djuanda.
·
Dago
dulu diperuntukkan bagi para tuan dan noni Belanda. Banyak banguna mewah yang
mejadi milik para Belanda, oang-orang yang berstatus tinggilah yang memiliki
rumah disana, sehingga Dago dicap sebagai kawasan elite.
·
Selain
itu, Dago juga merupakan tempat perkumpulan para anak muda terpelajar. Karena
dijadikan tempat yang sering dipakai untuk berkumpul muda-mudi, Dagopun menjadi
asal mula segala trend yang ada di Bandung masa itu.
·
Banyak
pelajaran yang dapat diambil dari sejarah Dago ini. Sayangnya, masyarakat
khususnya pemerintah tampaknya malas untuk belajar mengambil hikmah.
·
Salah
satu pelajaran yang dapat diambil yaitu pertimbangan keseimbangan alam ketika
akan mengadakan pembangunan.
·
Jika
para penjajah saja bisa menyayangi daerah jajahannya, mengapa kita justru tidak
bisa menyayangi daerah ataupun kawasan yang memang milik kita sendiri ?
F. Kritik dan Saran
1. Kritik
Pemerintah belum bisa mengelola Dago dengan bijak. Sikap memberikan lampu
hijau pada pembangunan gedung-gedung komersil itu membuat Dago bahkan Bandung
akan kehilangan identitasnya.
Masyarakat Dago sendiri kurang mencintai sejarahnya. Hanya beberapa saja
yang tahu sejarah Dago dan itupun kebanyakan para sesepuh yang memang berperan
langsung ketika Dago masih di bawah kedudukan kolonial.
Anak muda yang asli Dago saja banyak sekali yang tidak tahu bahkan tidak
peduli. Pendidikan sejarah yang kurang mendukung di sekolah juga bisa menjadi
salah satu penyebabnya. Kurangnya sosialisasi pemerintah daerah tentang sejarah
sendiri dan terlalu dimanjakannya anak muda sekarang dengan keadaan lingkungan
yang komersil dan glamour.
2. Saran
Pemerintah harus bisa melaksanakan aturan yang telah dibuat dengan tegas.
Pembangunan komersil di kawasan resapan air dan yang menyangkut bangunan
bersejarah sebaiknya dihentikan demi masa depan generasi mendatang.
Ditingkatkannya pelestarian dan pembugaran bangunan-bangunan lama yang
merupakan identitas Dago.
Pemerintah juga sebaikanya lebih meningkatkan sosialisasi mengenai sejarah
apapun, bukan hanya sejarah suatau tempat, kepada generasi muda dengan
mengadakan sesering mungkin pameran ataupun festival sejarah yang bersifat
menarik dan tidak membosankan.
Sistem mangajar seorang guru sejarah juga sebaiknya lebih diperbaiki. Agar
sejarah tidak hanya dipandang sebagai dongeng pengantar tidur oleh
siswa-siswinya.
Daftar Pustaka
Kunto Hayoto, 2008, Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, PT. Granesia, Bandung
Suganda Her, 2008, Jendela Bandung Pengalaman Bersama Kompas, Kompas,
Jakarta
http://id.wikipedia.org/wiki/Dago,_Coblong,_Bandung#Letak_Geografis_.26_ Ketinggian
http://marsiela.multiply.com/journal/item/1/Rendevouz_at_Dagostraatg,_Bandung
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=65569
http://www.arsitekturindis.com/?cat=5&paged=4#Letak_Geografis_.26_Ketinggian
http://www.bandungheritage.org/index.php?option=com_content&task=view&id=97&Ite
mid=1
http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/26/11300846/dago.konservasi.atau.komersialisasi
mengerjakantugas.blogspot.com/
mus_1981.tripod.com/
Sumber:
Makalah pada Lomba
Penulisan dan Diskusi Sejarah Lokal Tingkat SMA/Sederajat yang diselenggarakan
oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, tanggal 20 Juni 2009.