WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Penayangan Film dan Diskusi Kebudayaan, Karawang Juni 2011

A. Latar Belakang Masalah
Kebudayaan merupakan kerangka acuan atau pedoman bagi sikap dan tingkah laku dalam pergaulan antarsesama warga masyarakat. Dengan demikian, kebudayaan akan mem-punyai pengaruh besar terhadap pengetahuan, pembentukan sikap, kepercayaan, dan perilaku setiap individu. Pada saat ini, ketika kontak kebudayaan semakin meningkat dan intensif, banyak sekali terjadi pergeseran dan pe-rubahan dalam kehidupan masyarakat, ter-utama dalam perubahan pengetahuan, pandangan, sikap, dan tingkah laku mengenai budaya tradisional, termasuk kesadaran ter-hadap perjalanan sejarah, baik lokal maupun kebangsaan. Pergeseran yang menyebabkan memudarnya penghargaan terhadap kebudaya-an tersebut akan sangat berpengaruh besar tidak saja bagi individu melainkan juga masyarakat secara keseluruhan yang pada akhirnya akan kehilangan jatidiri bangsa. Oleh karena itu, dalam pengembangan nilai ke-budayaan, harus mengutamakan pengemba-ngan karakter bangsa atau national character building.

Pergeseran dan perubahan dengan skala perkembangan pembangunan yang pesat terutama tampak sekali di kalangan generasi muda yang dianggap haus akan hal-hal baru dan menantang. Kekurangpahaman akan national character atau jati diri bangsa mengakibatkan lemahnya daya saring (filtering) terhadap masuknya unsur-unsur budaya dari luar yang belum tentu sesuai dengan karakter bangsa kita. Oleh karena itu, dirasa perlu untuk melakukan suatu tindakan, terutama dalam bentuk kampanye/pengenalan, supaya mereka mengenal nilai kebudayaan yang hidup dan berkembang di lingkungannya. Pengenalan tersebut pada gilirannya akan bermuara pada upaya untuk mencintai kebudayaan sendiri. Hal ini menjadi kegiatan prioritas bidang kebudaya-an dalam program kerja Kementerian Ke-budayaan dan Pariwisata karena menyangkut kepentingan seluruh rakyat Indonesia agar tertanam rasa cinta terhadap bangsa dan tanah air.

Sehubungan dengan hal tersebut, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung sebagai UPT Kementerian Kebudaya-an dan Pariwisata Republik Indonesia, memandang perlu melaksanakan program yang mengarah pada pengenalan dan pema-haman kebudayaan bagi kalangan siswa SMU melalui kegiatan yang dinamakan Penayangan Film dan Diskusi Kebudayan.

B. Tujuan
Tujuan diselenggarakannya kegiatan ini adalah:
  1. Untuk meningkatkan pengetahuan para siswa tentang arti penting nilai budaya yang tercermin dalam peristiwa budaya.
  2. Untuk meningkatkan pemahaman generasi muda tentang nilai budaya warisan leluhur yang relevansi dan urgensinya masih sangat tinggi dalam kehidupan kekinian.
  3. Sebagai wahana generasi muda untuk dapat mengenal lebih dekat dan memahami budaya sendiri.
  4. Dengan mengenali dan memahami nilai budaya yang terkandung dalam suatu peristiwa budaya, diharapkan dapat memperkokoh jati diri dan integrasi bangsa.
C. Tema
Tema kegiatan Penayangan Film dan Diskusi Kebudayaan adalah: “Kenali dan Cintai Budaya Sendiri untuk Memperkokoh Jati diri”

D. Materi dan Narasumber
Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk penayangan 2 buah film dokumenter tentang kebudayaan, yaitu “Teropong Budaya” dengan nara sumber Obar Subarja dan film “Kampung Sembilan” dengan nara sumber Ketua Adat Kampung Sembilan serta sebagai pembahas Iim Imadudin, S.S. (Peneliti BPSNT Bandung).

E. Peserta
Kegiatan ini akan diikuti oleh 100 peserta yang terdiri atas siswa dan siswi SMU, guru pembimbing yang ada di wilayah Kabupaten Karawang, dan para undangan dari instansi yang terkait, budayawan, serta lembaga-lembaga yang berada di lingkungan pendidikan dan sektor kebudayaan.

F. Pelaksanaan
Penayangan Film dan Diskusi Ke-budayaan diselenggarakan pada tanggal 27 Juni 2011 pukul 08.00 – selesai bertempat di Hotel Permata Ruby jl. Kartini No. 12 Karawang, telp/faks. (0267) 411990.

G. Penyelenggara
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Bandung, Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Untuk kelancaran pelaksanaan di lapangan, BPSNT Bandung bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karawang.

Jelajah Budaya, Cirebon Mei 2011

A. Latar Belakang
Pada masa sekarang, ketika kontak budaya semakin meningkat dan budaya asing menerpa secara intensif, terjadi pergeseran dan perubahan dalam kehidupan masyarakat, terutama pada sikap dan perilaku di kalangan generasi muda. Inilah yang menjadi masalah. Generasi muda cenderung kurang memahami budaya sendiri maupun budaya etnik lain. Mereka mudah terbawa arus globalisasi dengan meninggalkan budaya sendiri, yang belum tentu memberi dampak positif. Perhatian khusus pada generasi muda merupakan hal yang menarik, karena mereka adalah penerus dan pendukung kebudayaan yang ada sekarang ini. Perubahan pandangan, pengetahuan, sikap, dan tingkah laku pada diri mereka akan berdampak besar terhadap corak dan nuansa kebudayaan di masa depan. Padahal di sisi lain, mereka sangat mudah dipengaruhi oleh unsur kebudayaan asing atau baru dari luar kebudayaannya yang belum tentu cocok dengan kepribadian bangsa sendiri. 

Mencermati paparan di atas, pemahaman kebudayaan dirasa perlu dilakukan, terutama dalam bentuk pengenalan agar mereka mengenal kebudayaan yang hidup dan berkembang di lingkungannya. Pengenalan tersebut pada gilirannya akan bermuara pada upaya untuk mencintai kebudayaan sendiri, sehingga kebudayaan yang ditumbuhkembangkan tidak lepas dari akarnya. Selain itu upaya pengenalan kebudayaan dari etnik lain perlu juga dilakukan, untuk mengikis etnosentrisme yang sempit dan meningkatkan pemahaman bahwa budaya yang ditumbuhkembangkan masing-masing etnik merupakan jati diri etnik yang berangkutan. Menghargai kebudayaan etnik lain dan kebudayaan sendiri, pada akhirnya akan bermuara pada terwujudnya pertahanan kebudayaan yang kokoh sehingga mampu menangkal pengaruh negatif dari arus globalisasi dan informasi yang menembus batas ruang dan waktu. 

Sehubungan dengan itu, pada tahun anggaran 2011, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung menyelenggarakan kegiatan Jelajah Budaya, yakni suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman generasi muda tentang kebudayaan. Fungsi kebudayaan pada dasarnya adalah sebagai alat komunikasi, pemersatu, dan jati diri. Oleh karena itu, kebudayaan menjadi acuan atau pedoman bagi sikap dan tingkah laku dalam pergaulan antarsesama warga masyarakat, sehingga akan berpengaruh terhadap pengetahuan, pembentukan sikap, kepercayaan, dan perilaku anggota masyarakat yang bersangkutan.

B. Tujuan
Tujuan kegiatan ini adalah: (1) Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman generasi muda tentang arti penting nilai budaya yang tercermin dalam kreativitas budaya masyarakat Kota Cirebon; (2) meningkatkan pemahaman generasi muda tentang keanekaragaman budaya; dan (3) memberikan wawasan kegiatan lapangan sebagai pelengkap pelajaran di sekolah.

C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kegiatan Jelajah Budaya meliputi dua hal, yakni lokasi dan jenis kegiatan. Lokasi yang dipilih untuk melaksanakan kegiatan Jelajah Budaya adalah Kota Cirebon, karena khasanah budaya masyarakatnya begitu kaya dan khas. Adapun jenis kegiatannya: (1) Mengunjungi tempat-tempat yang memiliki nilai historis serta mencerminkan kreativitas budaya masyarakat Cirebon; (2) Melaksanakan dialog interaktif dalam kerangka pembentukan karakter bangsa; (3) Menyelenggarakan kegiatan workshop kerajinan batik, lukisan kaca, dan topeng, yang diisi dengan aktivitas penelitian yang sangat sederhana terhadap kerajinan tersebut serta praktik membatik, melukis kaca, dan melukis topeng.

D. Tema
Tema kegiatan Jelajah Budaya pada 2011 adalah ”Kreativitas dan Keanekaragaman Budaya”.

E. Peserta
Kegiatan Jelajah Budaya diikuti oleh 150 peserta, yang terdiri atas siswa/siswi dan guru SMU/sederajat yang ada di wilayah kerja BPSNT Bandung (Provinsi Jawa Barat, Banten, Lampung, dan DKI Jakarta). Selain itu, ikut serta peliput (media massa), peneliti, dan undangan/ peninjau/pengamat.

H. Akomodasi (Tempat Penginapan)
Rombongan Jelajah Budaya menginap di Hotel Intan yang terletak di Jl. Pangeran Drajat, Kota Cirebon. Selain menjadi tempat beristirahat rombongan Jelajah Budaya pada malam hari, tempat tersebut digunakan untuk kegiatan dialog interaktif para peserta dengan sejumlah nara sumber dalam kerangka pembentukan karakter bangsa.

I. Sekretariat Kegiatan Jelajah Budaya
Kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Jl. Cinambo No. 136 Tlp. (022) 7804942 Ujungberung Bandung 42094

Deskripsi Singkat Lokasi Kunjungan Jelajah Budaya
1. Keraton Kacerbonan
Komplek Keraton atau Puri Kacerbonan berada di Jln. Pulosaren No. 48. Bangunan Keraton berdenah empat persegi panjang. Posisinya memanjang utara-selatan, dan menghadap ke utara. Luas keseluruhan bangunan keraton sekitar 38.787 m2, terdiri dari bangunan Induk, Paseban, Langgar, Gedong Ijo, Pringgowati dan Kaputren.

Pangeran Anom membangun Keraton Kacerbonan pada tahun 1808. Keberadaan Keraton tersebut terkait dengan peristiwa suksesi kepemimpinan setelah wafatnya Sultan Anom IV (Sultan Anom Muhammad Khaerudin) pada tahun 1802 M. Menurut tradisi, yang harus menggantikannya adalah anak laki-laki atau anak tertua. Sultan Anom IV memiliki anak laki-laki kembar. Pada tahun 1807 Gubernur Jenderal Daendels menetapkan bahwa keduanya mendapat gelar Sultan. 

Pangeran Raja Kanoman, satu dari dua anak sultan, diangkat sebagai Sultan Kacerbonan sampai akhir hayatnya. Keturunannya melanjutkan kedudukan sultan dengan gelar pangeran saja dan tidak menjadi pegawai pemerintah kolonial. Penguasa Keraton Kacerbonan tidak memiliki wilayah kekuasaan. Sementara itu, putra Sultan Anom IV yang lain, Pangeran Abusaleh Imamudin, ditetapkan oleh Daendels sebagai Sultan Anom V. Keturunannya dapat menggunakan gelar sultan.

Pembangunan Keraton Kacerbonan tidak dilakukan sekaligus. Raja Kanoman pada tahun 1808 hanya mendirikan bangunan induk, Paseban, dan Langgar. Pangeran Daendawijaya yang bergelar Raja Madenda membangun Gedong Ijo pada tahun 1875, dan Pangeran Partaningrat Madenda III membangun Pringgowati pada masa pemerintahannya antara tahun 1915-1931.

2. Keraton Kanoman
Keraton Kanoman berada di Kampung Kanoman, Kelurahan Lemah Wungkuk, Kecamatan Lemah Wungkuk. Di sebelah utara keraton terdapat pasar tradisional yang cukup ramai. Di sebelah selatan dan timur merupakan pemukiman penduduk. Di sebelah barat terdapat sekolah Taman Siswa. Bangunan Keraton berdenah empat persegi panjang, arah utara-selatan. Tata ruang komplek ini dibagi empat bagian, yaitu bagian depan komplek, halaman pertama, halaman kedua, dan halaman ketiga. 

Ada dua versi yang menyebut tahun pembangunan Keraton ini. Pertama, tahun 1510 saka (1588 M) ketika Pangeran Mohammad Badridin (Pangeran Kertawijaya), yang bergelar Sultan Anom I mendirikan Keraton Kanoman. Titimangsa ini mengacu pada prasasti berupa gambar surya sangkala dan Keraton Sangkala pada pintu Pendopo Jinem menuju ruang Prabayasa. Matahari berarti 1, wayang Dharma Kusuma berarti 5, bumi berarti 1 dan bintang kemangmang berarti 0. Candarasengkala itu menunjukkan angka tahun 1510 saka (1588 M). Kedua, tahun 1678/1679 M saat penobatan Pangeran Mohammad Badridin menjadi Sultan Kanoman. Pembangunan keraton diperkirakan bersamaan waktunya dengan peristiwa tersebut.

Witana terletak di dalam komplek Keraton. Witana diambil dari kata awit ana, yang berarti bangunan tempat tinggal pertama yang didirikan ketika membentuk Dukuh Caruban. Dalam kakawin Negarakertagama bangunan witana digambarkan berupa panggung kayu dengan atap tanpa dinding sebagai tempat bersemayamnya raja. Menurut Babad Cerbon, Cirebon yang dikenal sekarang bermula dari pedukuhan kecil. Pedukuhan ini dibuka pada abad ke-15, yaitu sekitar 1 sura 1367 Hijriah (1445 M). Perintisnya adalah Ki Gede Alang-alang dan kawan-kawan. Pangeran Cakrabuana pada tahun 1242 M membangun Keraton Pakungwati dan Tajug Pejlagrahan di pedukuhan ini. Dalam perkembangannya, penduduk dari berbagai daerah dengan beragam mata pencaharian menetap di dukuh ini. Itulah sebabnya, dukuh ini disebut juga caruban yang berarti campuran.

3. Keraton Kasepuhan
Keraton ini dibangun pada tahun 1529 oleh Pangeran Cakrabuana (Haji Abdullah Iman Al Jawi). Keberadaan keraton ini tidak dapat dilepaskan dari Keraton Pakungwati yang telah mengalami perluasan. Keraton Pakungwati (Dalem Agung Pakungwati) yang terletak di sebelah timur Keraton Kasepuhan merupakan cikal bakal keraton Kasepuhan. Keraton Pangkuwati dibangun oleh Pangeran Cakrabuana. Perluasan dan pelebaran keraton dilakukan pada tahun 1479 hingga luasnya mencapai 4900 m2. Sekarang, situs pertama di Cirebon ini hanya menyisakan reruntuhannya dengan sisa-sisa bangunan, gua buatan, sumur dan taman.

Sepeninggal Sunan Gunung Jati, Pangeran Emas Zaenal Arifin gelar Panembahan Pakungwati I menggantikan buyutnya. Ia membangun keraton Pakungwati di sebelah barat daya keraton lama. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1529. Nama Pakungwati yang diberikan pada keraton yang baru tersebut dimaksudkan untuk mengenang putri Pangeran Cakrabuana yang meninggal saat memadamkan kebakaran hebat yang melanda Mesjid Agung Sang Cipta Rasa. Kesultanan Cirebon terbagi dua menjadi Kesultanan Kanoman dan Kasepuhan pada tahun 1969. Kesultanan Kanoman dipimpin oleh Pangeran Kartawijaya gelar Sultan Anom I, sedangkan Kesultanan Kasepuhan oleh Pangeran Martawijaya gelar Sultan Sepuh I.

Pintu gerbang utama Kraton Kasepuhan memiliki dua pintu gerbang di utara dan selatan komplek. Gerbang utara yang berupa jembatan disebut Kreteg Pangrawit, sedangkan di sebelah selatan disebut Lawang Sanga (pintu sembilan). Kreteg Pangrawit merupakan akses masuk ke bagian depan keraton. Di bagian ini terdapat dua bangunan, yaitu Pancaratna dan Pancaniti.

Bangunan Pancaratna dengan ukuran 8 x 8 m berada di kiri depan komplek arah barat. Bangunan ini berlantai tegel dan berpagar terali besi. Atapnya berbahan genteng disangga 4 sokoguru di atas lantai yang lebih tinggi dan 12 pada lantai yang lebih rendah. Di bagian puncak atap terdapat mamolo. Di sini, para demang atau wedana sering menerima pimpinan desa atau kampung yang datang hendak menghadap. Selain itu, bangunan ini merupakan tempat seba. 

Bangunan Pancaniti terletak di sebelah kiri bagian depan komplek. Bangunan ini berukuran 8 x 8 m, berlantai tegel, dan menghadap ke utara. Bangunan ini tidak berdinding. Atapnya berbahan sirap yang ditunjang 16 tiang. Bangunan ini memiliki pagar terali besi. Bangunan ini difungsikan sebagai tempat perwira melatih prajurit dalam perang-perangan, tempat istirahat, dan juga sebagai tempat pengadilan. 

Setelah melalui gerbang utama, terdapat halaman pertama melalui gapura adi atau gapura benteng. Halaman pertama merupakan komplek Siti Inggil terdiri dari mande pendawa lima, mande malang semirang, mande semar timadu, mande karesmen mande pengiring, dan pengada. Untuk memasuki halaman kedua melalui dua gerbang, yaitu regol pengada dan gapura lonceng. Halaman kedua terbagi dua, halaman pengada dan halaman komplek langgar agung. Halaman ketiga melalui pintu gledeg (guntur). Di bagian ini terdapat taman bunderan dewandaru, museum benda kuno, museum kereta, tunggu manunggal, lunjuk, sri manganti, dan bangunan induk keraton. Ruangan yang ada dalam bangunan induk keraton, antara lain kuncung dan kutagara wadasan, jinem pangrawit, gajah nguling, bangsal pringgandani, bangsal prabaya, bangsal agung panembahan, pungkuran, bangunan dapur maulid, dan pamburatan.

4. Taman Sari Gua Sunyaragi
Menurut buku Purwaka Carabuna Nagari karya Pangeran Arya Carbon, Tamansari Gua Sunyaragi dibangun pada tahun 1703 M oleh Pangeran Kararangen. Pangeran Kararangen adalah nama lain dari Pangeran Arya Carbon. Gua Sunyaragi saat ini merupakan salah satu bagian dari keraton Kasepuhan. Sunyaragi berada tepat di sisi jalan by pass Brigjen Dharsono, dan termasuk dalam wilayah kelurahan Sunyaragi, Kesambi, Kota Cirebon denganluas sekitar 16 hektar. Di lokasi tersebut terdapat sebuah situs yang mirip candi. Konstruksi dan komposisi bangunan situs ini merupakan sebuah taman air. Oleh karena itu, masyarakat Cirebon biasa menyebut bangunan tersebut dengan nama Gua Sunyaragi, atau Taman Air Sunyaragi, atau sering disebut sebagai Tamansari Sunyaragi. Air yang keluar dari taman Sunyaragi tersebut pada zaman dahulu mengalir ke sebuah danau yang mengelilingi situs tersebut, yaitu Danau Jati. Saat ini Danau Jati sudah mengering. Lokasi persawahan dahulunya sudah digantikan oleh perumahan penduduk. Beberapa perubahan pada lokasi taman sari tersebut adalah telah dibangunnya air terjun buatan sebagai penghias, dan hiasan taman seperti Gajah, patung wanita Perawan Sunti, dan Patung Garuda.

Sunyaragi menurut bahasa sansekerta berasal dari kata ”sunya” yang berarti sepi dan ”ragi” yang berarti raga atau jasad. Taman ini berada di dalam kekuasaan Keraton Kasepuhan. Taman Sari Gua Sunyaragi sering berubah fungsi menurut kehendak penguasa pada zamannya. Pernah fungsi taman tersebut adalah sebagai tempat beristirahat dan meditasi para Sultan Cirebon dan keluarganya. Ada juga beberapa fungsi lainnya, namun secara garis besar Taman Sunyaragi adalah taman tempat para pembesar keraton dan prajurit keraton bertapa untuk meningkatkan ilmu kanuragan.

Taman Sunyaragi terdiri dari 12 bagian: (1) bangsal jinem, tempat sultan memberi wejangan sekaligus melihat prajurit berlatih; (2) goa pengawal, tempat berkumpul para pengawal sultan; (3) kompleks Mande Kemasan (sebagian hancur); (4) gua Pandekemasang, tempat membuat senjata tajam; (5) gua Simanyang, tempat pos penjagaan; (6) gua Langse, tempat bersantai; (7) gua peteng, tempat nyepi untuk kekebalan tubuh; (8) gua Arga Jumud, tempat orang penting keraton; (9) gua Padang Ati, tempat bersemedi; (10) gua Kelanggengan, tempat bersemedi agar langgeng jabatan; (11) gua Lawa, tempat khusus kelelawar; (12) gua pawon, dapur penyimpanan makanan.

Arsitektur gua Sunyaragi merupakan hasil dari perpaduan antara gaya Indonesia klasik atau Hindu, gaya Cina atau Tiongkok kuno, gaya Timur Tengah atau Islam dan gaya Eropa. Ciri arsitektur dari gaya Indonesia klasik atau Hindu terlihat pada beberapa bangunan berbentuk joglo yang dapat dilihat diantaranya pada bangunan Bale Kambang, Mande Beling dan gedung Pesanggrahan, bentuk gapura dan beberapa buah patung seperti patung gajah dan patung manusia berkepala garuda yang dililit oleh ular. Dilihat dari ornamen bangunan secara keseluruhan menunjukkan adanya suatu sinkretisme budaya yang kuat yang umumnya dipengaruhi oleh gaya arsitektur Indonesia Klasik atau Hindu.

Gaya Cina juga terlihat dari arsitektur gua sunyaragi. Hal ini dicirikan pada pada ukiran bunga seperti bentuk bunga persik, bunga matahari dan bunga teratai. Pengaruh Cina juga diperkuat, pada zaman dahulu, oleh adanya hiasan berbagai ornamen keramik Cina di bagian luarnya. Saat ini banyak hiasan keramik-keramik yang hilang atau rusak sehingga sulit tidak diketahui corak atau motif keramik tersebut. Lokasi hiasan keramik-keramik di antaranya pada bangunan Mande Beling serta motif mega mendung seperti pada kompleks bangunan gua Arga Jumut memperlihatkan bahwa gua Sunyaragi mendapatkan pengaruh gaya arsitektur Cina. Hal ini kemudian diperkuat lagi dengan adanya semacam kuburan Cina. Dikatakan demikian karena fungsi bangunan tersebut bukan layaknya kuburan biasa melainkan sejenis monumen yang berfungsi sebagai tempat berdoa para keturunan pengiring-pengiring dan pengawal-pengawal Putri Cina yang bernama Ong Tien Nio atau Ratu Rara Sumanding yang merupakan istri dari Sunan Gunung Jati.

Gaya Islam dan tikmur tengah juga terlihat pada arsitektur Gua Sunyaragi. Pembangunan gaya arsitektur tersebut adalah tatkala pemimpin pada masa lalu adalah seorang Sultan yang beragama Islam. Beberapa lokasi yang mencirikan gaya keislaman tersebut adalah pada relung-relung dinding beberapa bangunan, tanda-tanda kiblat pada tiap-tiap pasholatan atau musholla, adanya beberapa pawudlon ‘tempat wudhu’ serta bentuk bangunan Bangsal Jinem yang menyerupai bentuk Kabah jika dilihat dari sisi belakang Bangsal Jinem. Hal tersebut menjelaskan bahwa gaya arsitektur gua Sunyaragi juga mendapat pengaruh dari Timur Tengah atau Islam.

Pada masa penjajahan Belanda, Gua Sunyaragi tak luput dari sentuhan arsitektur bergaya kolonial atau eropa. Tanda tersebut dapat terlihat pada bentuk jendela yang tedapat pada bangunan Kaputren, bentuk tangga berputar pada gua Arga Jumut dan bentuk gedung Pesanggrahan.

Festival Permainan Anak-Anak, Kuningan 24 September 2011

A. Latar Belakang
Permainan anak-anak (Sunda=kaulinan barudak) diartikan sebagai permainan anak yang khas dilakukan oleh anak-anak pada masyarakat Sunda. Sebenarnya kata “anak” adalah relatif karena dapat saja permainan anak ini dilakukan oleh orang dewasa, layang-layang adalah salah satu contohnya.

Sangat beragam jenis permainan anak-anak di kalangan masyarakat Sunda. Dan, keseluruhannya tidak ada yang dapat dilakukan seorang diri. Minimal 2 orang atau lebih untuk menjalankan permainan ini. Riang, ceria, serta olah tubuh tampak jelas dalam setiap tahap permainan. Tidak luput dalam diri pemain adalah strategi untuk memenangkan permainan. Unsur kreativitas juga terdapat dalam bentuk “kaulinan barudak” karena terkadang pada beberapa jenis “kaulinan” membutuhkan alat bermain yang haris dibuat sendiri. Dengan demikian, setiap anak akan saling bersaing untuk membuat alat permainan sebagus mungkin. Mencermati uraian tersebut, tampak bahwa fungsi permainan anak-anak antara lain merupakan bagian dari upaya pembekalananak menuju proses pendewasaan yang ceria, kreatif, sehat jasmani didampingi jiwa yang sportif dan strategi yang matang untuk mencapai tujuan.

Mungkin, anggapan bahwa terjadi adanya pembodohan anak saat bermain, dilihat dari kondisi kekinian tatkala melihat anak asyik bermain sehingga lupa makan, ibadah, dan belajar. Padahal jenis “kaulinan barudak” biasanya dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, yang biasanya tidak lebih hingga waktu makan (pagi, siang, sore/petang). Mereka akan segera pulang dengan sendirinya tatkala waktu-waktu tersebut telah tiba. Dengan demikian, waktu belajar, ibadah, dan makan tidak akan terganggu.

B. Pokok Permasalahan
Saat ini, bentuk “kaulinan barudak” sudah jarang terlihat terutama di perkotaan. Faktor lahan bermain tampaknya menjadi pemicu utama hilangnya bentuk “kaulinan barudak” yang memang sangat membutuhkan cukup ruang untuk bermain. Di samping itu, proses sosialisasi kurang berjalan dengan lancar pada diri setiap anak sehingga mereka memilih jenis permainan individual seperti video game ataupun game online yang memang bisa dilakukan tanpa proses sosialisasi terlebih dahulu. Alat permainan modern ini tidak mengenal batas waktu untuk bermain sehingga seorang anak bebas memainkannya setiap waktu sehingga adakalanya mereka lupa makan, belajar, dan ibadah.

Di pedesaan memang masih ada jenis-jenis “kaulinan barudak” namun pamornya sudah mulai memudar karena bentuk permainan modern sudah mulai merambah ke pedesaan. Alhasil mereka sedikit demi sedikit mulai beralih ke jenis permainan modern.

Kata “modern” seakan menjadi sebuah kata sakral dan mengharuskan setiap individu untuk ikut terjun di dalamnya. Sementara yang tidak ikut dianggap “kuno”. Memang demikian adanya karena lawan kata modern adalah kuno. Dengan demikian istilah “tradisional” pada akhirnya disamakan dengan kata “kuno” atau ketinggalan zaman. Hal seperti ini tapaknya sudah mulai menghinggapi berbagai bentuk aktivitas tradisional termasuk di dalamnya adalah “kaulinan barudak”. Memang “kaulinan barudak” sudah dilakukan anak-anak sejak dulu namun bukan berarti dianggap kuno karena kata bermain sebenarnya tidak ada istilah “kuno”. Sepak bola contohnya, adalah sebuah jenis permainan yang telah dimainkan sejak lama tapi tidak dianggap sebagai sebuah permainan kuno. Jadi, “kaulinan barudak” bukanlah sebuah permainan yang kuno. Bedanya, bahwa sepak bola bukanlah khas masyarakat Indonesia, sementara “kaulinan barudak” adalah bentuk permainan yang khas pada masyarakat Sunda.

C. Tujuan
Tujuan kegiatan ini adalah sebagai berikut:
1. Menemukenali permainan tradisional anak-anak.
2. Menumbuhkembangkan cinta terhadap budaya sendiri, terutama bagi anak-anak.
3. Mengungkap nilai-nilai budaya yang terkandung dalam permainan anak-anak.
4. Menanamkan nilai-nilai budaya, norma-norma sosial, serta pandangan hidup, terutama kepada anak-anak dalam upaya membangun karakter bangsa.
5. Melestarikan warisan budaya lokal dalam upaya memperkokoh jati diri.

D. Tema
Tema kegiatan Festival Permainan Anak-anak adalah Membangun Kreativitas dan Sportifitas melalui Revitalisasi Nilai Budaya pada Permainan Anak.

E. Bentuk Kegiatan
Kegiatan Festival Permainan Anak-anak dilakukan dalam bentuk peragaan/visualisasi beberapa jenis permainan dari beberapa kelompok bermain di Kabupaten Kuningan, diiringi dengan paparan/deskripsi permainan yang bersangkutan agar lebih mudah untuk dicermati/dikenal.

F. Pelaksanaan
Festival Permainan Anak-anak dilaksanakan di Pendapa Paramarta Kompleks Stadion Olah Raga Mashud Kabupaten Kuningan. Waktu pelaksanaan pada hari Sabtu, 24 September 2011, pukul 09.00 WIB s.d selesai.

G. Materi
Lingkup permainan anak dalam kegiatan ini lebih menitikberatkan pada bentuk pengemasannya. Artinya, berbagai permainan anak dikemas sedemikian rupa untuk tujuan tontonan. Adapun permainan anak yang akan diperagakan antara lain sebagai berikut:
1. Sorodot Gaplok
2. Gatrik
3. Egrang
4. Perepet Jengkol
5. Kelom Batok
6. Rorodaan
7. Bedil jepret
8. Sumpitan
9. Engklek
10. Panggal

Masa Pendudukan Jepang di Kabupaten Garut 1942 – 1945

Oleh: Drs. Heru Erwantoro

Abstrak
Masa pendudukan Jepang di Kabupaten Garut yang berlangsung selama 3,5 tahun menimbulkan perubahan sosial yang cukup signifikan. Perubahan itu disikapi oleh masyarakat Garut dengan melakukan strategi adaptasi yang kebetulan sesuai dengan teori Toynbe tentang penindasan. Menurut Toynbe setiap penindasan akan memancing perlawanan dari pihak yang terjajah, bentuk perlawanan itu berupa: pertama, melawan secara angsung; kedua, berdiam diri; dan ketiga mengindarkan diri.

Masyarakat garut menyadari bahwa dirinya tidak mungkin melakukan perlawanan secara frontal dan juga tidak mungkin menghindarkan diri. Oleh karena itu, jalan satu-satunya adalah melawan dengan cara diam. Perlawanan dengan cara diam itu, pada satu sisi mematuhi semua apa yang diharuskan oleh si penjajah, tetai pada sisi yang lain berusaha menyusun kekuatan diri dengan memanfaatkan apa-apa yang mungkin di dapatkan dari si penjajah. Strategi adaptasi ini membuat masyarakat Garut memiliki berbagai kemampuan yang pada akhirnya digunakan untuk melawan penjajah.

Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian BKSNT Bandung Edisi 31, Juli 2005

Nilai Budaya dalam Permainan Rakyat di Kabupaten Indramayu

Oleh: Drs. Suwardi A.P.

Abstrak
Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Indramayu ini berupaya mengungkapkan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Sehingga permainan rakyat yang menempati tempat dalam kehidupan masyarakat dan sumber daya ini mempunyai arti dan guna di dalam menanamkan sikap dan keterampilan bagi masyarakat pendukungnya.

Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian BKSNT Bandung Edisi 31, Juli 2005

Wawacan Buhaer Kajian Struktural dan Analisis Isi

Oleh Agus Heryana

Abstrak
Wawacan Buhaer adalah sebuah naskah koleksi Balai Pengelolaan Museum Negeri Sribaduga Provinsi Jawa Barat dan Ecole Francaise d'Extreme-Orient (EFEO-Jakarta) yang ditulis dengan tangan menggunakan huruf Arab Pegon serta bahasa Sunda. Teks Wawacan Buhaer berisi mengenai tokoh Buhaer. Buhaer adalah nama seorang pemuda miskin yang menjadi kaya karena faedah tiga buah azimat sakti. Tujuan penelitian teks Wawacan Buhaer adalah untuk mengungkap dan menyosialisasikan nilai budayanya. Guna mengungkap kandungannya, teks Wawacan Buhaer dikaji dari sudut bidang sastra dengan menggunakan pendekatan sturktural dan analisis isi. Hasil pengkajiannya memberikan gambaran bahwa di dalam mencapai sita-cita atau keinginan seseorang harus mempunyai semangat, keteguhan hati, ketabahan dan kesabaran dalam penderitaan, serta kekuatan atau kemampuan diri di dalam menanggulangi rintangan atau gangguan.

Kata kunci: naskah, Wawacan Buhaer, kajian struktural, analisis isi

Diterbitkan dalam Patanjala, Vol. 3 No. 1 Maret 2011

Patanjala

Patanjala
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya
Terakreditasi
ISSN 2085-9937


Patanjala bermakna air sungai yang tiada hentinya mengikuti alur yang dilaluinya hingga ke muara. Seperti halnya karakteristik air sungai, manusia harus bekerja dan beramal baik, serta fokus pada cita-citanya. Patanjala adalah media penyebarluasan tentang nilai budaya, seni, dan film serta kesejarahan yang dilaksanakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung di wilayah kerja Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan Lampung. Patanjala diterbitkan secara berkala tiga kali dalam satu tahun. Siapapun dapat mengutip sebagian isi dari jurnal penelitian ini dengan ketentuan menuliskan sumbernya.

Pelindung
Direktur Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Penanggung Jawab
Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung

Mitra Bestari
Prof. Dr. A. Sobana Hardjasaputra, S.S., M.A. (Sejarah, UNPAD)
Dr. Ade Makmur K., M.Phil (Antropologi, UNPAD)
Dr. T.M. Marwanti, Dra., M.Si (Antropologi, STKS)
Dr. Mumuh Muhsin Z., M.Hum (Sejarah, UNPAD)

Redaksi

Ketua :
Iim Imadudin, S.S. (Sejarah)

Anggota :
1. Dra. Ria Intani T. (Antropologi)
2. Dra. Lina Herlinawati (Sastra Indonesia)
3. Dra. Lasmiyati (Sejarah)
4. Hary Ganjar Budiman, S.S. (Sejarah)
5. Erik Rusmana, S.S., M.Hum (Editor Bahasa Inggris)

Redaktur Pelaksana
Titan Firman

Diterbitkan oleh
Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Jl. Cinambo No. 136 Ujungberung - Bandung 40294
Telp./Faks. (022) 7804942
E-mail:jurnalpatanjala@yahoo.com
http://bpsnt-bandung.blogspot.com

Tata cara penulisan:
Penulis yang hendak mengirimkan tulisan diwajibkan mengikuti format penulisan yang telah ditetapkan oleh redaksi yang dapat diunduh disini dengan menyertakan biodata. Dua file tersebut dapat dikirimkan ke jurnalpatanjala@yahoo.com
2018
2017
2016
2015
2014
Patanjala Volume 6, No. 1 Maret 2014

2013
2012
Patanjala Volume 4, No. 3 September 2012
Patanjala Volume 4, No. 2 Juni 2012
Patanjala Volume 4, No. 1 Maret 2012

  1. Jejak Kepemimpinan Orang Sunda: Pemaknaan Ajaran dalam Naskah Carita Parahyangan (1580)
    (Agus Heryana)
  2. Etnis Betawi: Kajian Historis
    (Heru Erwantoro)
  3. Kedudukan Elit Pribumi dalam Pemerintahan di Jawa Barat (1925-1942)
    (Ani Ismarini)
  4. Cipatat Kolot: Dinamika Kampung Adat di Era Modernisasi
    (Irvan Setiawan)
  5. Pandangan Orientalis Terhadap Identitas dan Isu Politik Tokoh Perempuan dalam Putri Cina
    (R. Myrna Nur Sakinah)
  6. Ditioeng Memeh Hoedjan: Pemikiran Pangeran Aria Suria Atmadja Dalam Memajukan Pemuda Pribumi Di Sumedang (1800-1921)
    (Lasmiyati)
  7. Studi Kepercayaan Masyarakat Jatigede
    (Yuzar Purnama)
  8. Pesantren Cipasung di Bawah Kepemimpinan K.H. Ruhiat (Studi Keterlibatan Kiai dalam Perjuangan Kemerdekaan)
    (Adeng)
  9. Pasar Tradisional: Studi Kasus Pasar Wisata 46 dan Pasar Wisata Cibiru, Kelurahan Cipadung, Kecamatan Cibiru
    (Ali Gufron)
  10. Bioskop Keliling Peranannya dalam Memasyarakatkan Film Nasional Dari Masa Ke Masa
    (Heru Erwantoro)
  11. Mengail di Air Keruh: Gerakan PKI di Sulawesi Selatan 1950-1965
    (Taufik Ahmad)
  12. Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah di Priangan Abad Ke-19
    (Mumuh Muhsin Z)
Patanjala Volume 6, No. 1 Maret 2014
  1. Etnis Betawi: Kajian Historis
    (Drs. Heru Erwantoro)
  2. Mitos Oheo dan Asas Hubungan dalam Konsep O Rapu: Menguak Posisi Perempuan dalam Keluarga Suku Tolaki
    (Heksa Biopsi P.H.)
  3. Dinamika Teater Mendu di Kalbar (1712-2014)
    (Dewi Juliastuty)
  4. Pesindo Aceh 1945-1952: Organisasi Nasional diTingkat Lokal
    (Sudirman)
  5. Dampak Kapitalisme Perkebunan terhadap Perubahan Kebudayaan Masyarakat di Kawasan Subang 1920-1930
    (Iim Imadudin, S.S.)
  6. Dari Ronggeng Gunung ke Ronggeng Kaler: Perubahan Nilai dan Fungsi
    (Risa Nopianti, S.Sos)
  7. Budaya Spritual pada Masyarakat Indramayu (Kajian Sosial Budaya)
    (Dra. Nina Merlina)
  8. Perkembangan Sosial di Kabupaten Majalengka (Berdasarkan Data Statistik 2004 – 2006)
    (Drs. H. Iwan Roswandi)
  9. Uga Bandung Pengetahuan Orang Sunda dalam Ramalan dan Antipasi Terhadap Perubahan Fenomena Alam
    (Drs. Nandang Rusnandar)
  10. Eksistensi Seni Penca Silat di Kabupaten Purwakarta
    (Irvan Setiawan, S.Sos)
  11. Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah di Priangan Abad Ke-19
    (Mumuh Muhsin Z)
Patanjala Volume 2, No. 3 September 2010
  1. Fungsi Seni Gembyung dalam Kehidupan Masyarakat Panjalu Kabupaten Ciamis
    (Drs. Endang Supriatna)
  2. Upacara Perkawinan Adat Sunda di Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung
    (Drs. Aam Masduki)
  3. Perkembangan Pemerintahan Kabupaten Cirebon
    (Drs. H. Iwan Roswandi)
  4. Persepsi Masyarakat terhadap Petilasan Sunan Kalijaga dan Taman Kera di Kota Cirebon
    (Drs. Hermana)
  5. Kajian Nilai Budaya pada Arsitektur Tradisional di Giri Jaya Padepokan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat
  6. (Dra. Lina Herlinawati)
  7. Organisasi Sosial pada Masyarakat Giri Jaya Padepokan Desa Giri Jaya Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi
    (Dra. Ria Andayani Somantri)
  8. Batik Garut: Studi Tentang Sistem Produksi dan Pemasaran
    (Irvan Setiawan S.Sos)
  9. Eksistensi Keraton di Cirebon Kajian Persepsi Masyarakat Terhadap Keraton-keraton di Cirebon
    (Drs. Toto Sucipto)
  10. Tritangtu Di Bumi di Kampung Naga: Melacak Artefak Sistem Pemerintahan (Sunda)
    (Drs. Agus Heryana)
  11. Perkembangan Wayang Gantung Singkawang dan Upaya Bertahan dari Ancaman Kepunahan
    (Benedikta Juliatri Widi Wulandari)
  12. Permainan Congkak: Nilai Dan Potensinya Bagi Perkembangan Kognitif Anak
    (Dheka D. A. Rusmana)

Patanjala Volume 2, No 2 Juni 2010
  1. Tritangtu Di Bumi Di Kampung Naga : Melacak Artefak Sistem Pemerintahan (Sunda)
    (Drs. Agus Heryana)
  2. Museum Etnografi: Perkembangan dan Fungsinya Saat Ini
    (Drs. T. Dibyo Harsono)
  3. Pesantren Riyadlul Awamil Kabupaten Serang-Banten
    (Dra. Euis Thresnawaty S.)
  4. Sejarah Kota Bandung dari ”Bergdessa” (Desa Udik) Menjadi Bandung ”Heurin Ku Tangtung” (Metropolitan)
    (Drs. Nandang Rusnandar)
  5. Pola Pengasuhan Anak Pada Komunitas Adat Giri Jaya (Suatu Tinjauan Sosial Budaya)
    (Dra. Nina Merlina)
  6. Nilai Budaya  Arsitektur Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon Provinsi Jawa Barat
    (Drs. Suwardi Alamsyah P.)
  7. Mitos dan Nilai Dalam Cerita Rakyat Masyarakat Lampung
    (Drs. Tjetjep Rosmana)
  8. Pengelolaan Rumah dan Lahan Produksi pada Masyarakat Guradog di Lebak- Banten
    (Drs. Yudi Putu Satriadi)
  9. Arsitektur Rumah Adat Kampung Keputihan
    (Drs. Yuzar Purnama)
  10. Indramayu Masa Penjajahan Belanda (Abad  Ke-19)
    (Dra. Lasmiyati)
  11. Dari Federalis ke Unitaris: Studi Kasus Sulawesi Selatan 1945-1950
    (Muhammad Amir)
  12. Budaya Prasejarah pada Bukit Kerang Pangkalan, Akar Pluralisme dan Multikulturalisme di Pesisir Timur Pulau Sumatera
    (Ketut Wiradnyana)

    Popular Posts