WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Wacana RIPKD Menguat di Dialog Budaya BPSNT Bandung

Serang (26/4) – Badan Pelestarian Sejarah Dan Nilai Tradisional (BPSNT) Bandung kemarin menggelar dialog budaya bertajuk “aktualisasi nilai budaya lokal dalam pembentukan karakter bangsa”. Acara yang digelar di aula Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Serang menghadirkan Waskurni S.Ag, Dadie RsN, Judi Wahjuddin dan Deni Arif selaku pembicara.

Dalam sambutannya, kadisbudpar Banten, Ajak Moeslim menyatakan bahwa nilai luhur budi masyarakat Banten telah bergeser ke tradisi emosional “Hampir semua persoalan, dihadapi dengan kepala yang tidak dingin” Ungkapnya. Hal tersebut mengundang respon keras dari pengusaha batik banten Uke Kurniawan yang menilai bahwa pernyataan Ajak Moeslim sangat kontras dengan realitanya.

Dengan menghadirkan peserta sekitar 75 orang dari seniman/budayawan, pemerhati budaya, guru dan siswa, acara tersebut dibagi dalam dua sesi. Sesi pertama menghadirkan anggota komisi II DPRD Banten Waskurni yang dipanelkan dengan Dadie Ruswandi selaku Kabid Kebudayaan Disbudpar Banten. Dalam pemaparannya, Waskurni menilai bahwa masyarakat Banten sudah kehilangan budayanya, dia mencontohkan saat ia menyaksikan kesenian yang disuguhkan dalam sebuah cara di Tangerang bukalah kesenian tradisional Banten, melainkan kesenian Reog. Hal itu besebrangan dengan apa yang diutarakan oleh Dadi RsN yang mengganggap hal itu terjadi lebih karena pengetahuan panita acara masih minim akan produk kebudayaan Banten.

Salah satu wacana yang mencuat pada sesi itu adalah pentingnya Banten segera memiliki perda kebudayaan, seperti yang digaungkan oleh Ali Faisal dan Mahdiduri. Mereka memandang urgensi Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan (RIPKD) sangat tinggi dalam upaya melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan kebudayaan yang ada. “Aturan main yang jelas antara pelaku budaya dan birokrat nantinya akan lebih mudah” Ungkap Ali di sesi diskusi.

Dalam menanggapi wacana tersebut, Waskurni berjanji akan membawanya dalam agenda rapat komisi II dalam waktu dekat ini sebagai tindak lanjut aspirasi para pelaku budaya.

Dalam sesi kedua, hadir sebagai pembicara adalah Judi Wahjudin dan Deni Arif yang membahas tentang potensi budaya dan aktualisasi nilai budaya local pada generasi muda. Dalam sesi ini, diskusi didominasi oleh para pelajar. [mahdi duri]

Bangunan Candi Bojongmenje Bakal Terwujud

PENANTIAN Rohman (70), penjaga Situs Candi Bojongmenje, selama sepuluh tahun terjawab sudah ketika Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Serang bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemprov Jabar melakukan studi teknis atas Situs Candi Bojongmenje yang ditemukan pada 2002. Selama kurun waktu sepuluh tahun ini, belum dilakukan studi teknis dan baru sebatas pemugaran situs, yakni ketika pertama kali ditemukan.

“Alhamdulillah, saya bersyukur akhirnya situs candi ini akan segera direkonstruksi bangunannya. Saya betul-betul gembira, saya menunggui situs ini selama sepuluh tahun dari 2002, dan sekarang, pemerintah segera akan merekonstruksinya,” ujar Rohman dengan mimik muka yang sumringah ketika ditemui di lokasi candi, Selasa (20/3).

Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan dari BP3 Serang, Drs Zakaria Kasimin, studi teknis ini sebagai langkah awal untuk mempermudah merekonstruksi bangunan candi. Proses yang dilakukan berupa pengumpulan batuan candi sesuai dengan bentuk bangunannya sendiri.

“Adapun untuk merekonstruksi ini, ada sejumlah kesulitan yang ditemui yakni, 30 persen batu di bagian pintu masuk candi hilang dan rusak. Selebihnya masih lengkap. Adapun untuk menggantinya, bisa ditambah,” ujarnya.

Untuk merekonstruksi bangunan candi, kata Zakaria, paling tidak, harus ada potret atau gambar semula bangunan candi ini. Namun, karena tidak ada potret atau gambar bangunan awal, itu menjadi salah satu kendala. Cara mengantisipasinya, bisa menggunakan metode pembanding dengan candi lain yang diduga sezaman dengan Candi Bojongmenje.

Bojongmenje ini kemungkinan sezaman dengan Candi Cangkuang di Kabupaten Garut. Selain itu, keduanya juga diduga memiliki lingkungan dan budaya yang sama.

“Dengan metode pembanding seperti itu, bisa membantu bentuk Candi Bojongmenje ini,” ujarnya.

Batuan Candi Bojongmenje yang ada sekarang merupakan batuan untuk bangunan candi bagian kaki dan bagian badan candi. Untuk atap atau bagian kepala candi, batunya tidak ada. Kondisinya pun sebagian rusak, karena faktor cuaca.

Zakaria juga mengatakan, rekonstruksi ini sebenarnya tidak terlalu sulit, asalkan batuan candinya masih lengkap dan didukung oleh anggaran. Selain itu, beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam proses rekonstruksin ini salah satunya keaslian bahan atau batuan candi, bentuk candi seperti apa, teknologi rekonstruksi candi seperti apa dan metode pembanding untuk menentukan bentuk candi seperti apa.

“Setelah studi teknis ini selesai, akan ditentukan seperti apa bentuk candi, teknologi rekonstruksinya dengan teknologi seperti apa serta
pembanding mana yang akan dipakai untuk membangun bentuk candi,” paparnya.

Candi Bojongmenje memiliki luas 7x7 meter persegi ini, 1 meter perseginya berada di lokasi pabrik dan terhalang tembok pabrik. “Untuk merekonstruksi secara total, pembebasan lahan harus dilakukan karena sebagian lokasi candi saat ini ada di lokasi pabrik,” kata Zakaria.

Kasi Kepurbakalaan Disbudpar Pemrov Jabar Romlah mengatakan, respons masyarakat secara keseluruhan sangat bagus ketika dilakukan studi teknis ini. Menurut Romlah, sebelum rekonstruksi, yang harus dilakukan adalah pembebasan lahan. Jika pembebasan lahan lancar, rekonstruksi juga akan lancar.

“Kami harap sih lancar karena ini menyangkut kebanggaan masyarakat,” ujarnya.

Untuk proses rekonstruksi ini, pihaknya bekerja sama dengan BP3 Serang, Balai Arkeologi Bandung, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Bandung serta Pemkab Bandung.

“Tentunya, semua instansi bekerja sama sesuai dengan fungsinya dalam merekonstruksi bangunan Candi Bojongmenje. Seperti, studi teknis dan rekonstruksi ini melibatkan BP3 Serang, riset arkeologi candi melibatkan Balai Arkeologi Bandung, pengembangan nilai-nilai sejarah Candi Bojongmenje melibatkan BPSNT Bandung serta tentunya melibatkan Pemkab Bandung. Semuanya bekerja sama sebagai satu kesatuan yang utuh untuk membangun Candi Bojongmenje,” kata Romlah.

Sementara menurut keterangan Rohman, di wilayah Rancaekek, tidak hanya ada Candi Bojongmenje. Ke sebelah barat dari Candi Bojongmenje, kata Rohman, terdapat Candi Kukuk dan Malaka dengan jarak masing-masing dari Candi Bojongmenje 150 meter. Sementara ke sebelah timur Candi Bojongmenje, juga terdapat Candi Wayang dan Candi Samiaji. Jarak Candi Bojongmenje ke Candi Wayang, yakni 150 meter dan dari Candi Bojongmenje ke Candi Samiaji sekitar 2 KM.

“Selain Bojongmenje, masih ada candi lain namun semuanya terhalang bangunan pabrik dan bangunan rumah penduduk. Yang tidak teralang ya Candi Bojongmenje saja,” kata Rohman.

Menanggapi hal itu, Romlah kembali mengatakan, keberadaan candi lain di sekitar Candi Bojongmenje akan terus ditelusuri.

“Keberadaan candi lain di sekitar candi ini tentunya akan terus ditelusuri. Masyarakat tidak akan asal menyebut di suatu daerah ada candi jika tidak ada sebab musababnya. Makanya, kami masih melakukan penelusuran atas candi lain selain Candi BojongMenje,” tegasnya.

Adapun studi teknis ini, kata dia, ditargetkan hingga Kamis (22/3) ini. Setelah studi teknis, kata Romlah, akan disusun rencana rekonstruksi beserta anggaran rekonstruksi. “Doakan saja proses rekonstruksinya segera dilaksanakan dan lancar,” harapnya. (*)

Fakultas Adab Gandeng Kemenbudpar untuk Kerjasama Kesejarahan

Dalam rangka melakukan pengembangan prodi dan jurusan Sejarah dan Peradaban Islan, Fakultas Adab dan Humaniora melakukan kerjasama dengan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisonal (BPSNT) Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI. Hal tersebut dilakukan pada hari Rabu, (4/04/2012) bertempat di ruang rapat Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisonal (BPSNT) Bandung.

Menurut Toto Sucipto, selaku Kepala UPT BPSNT Bandung, bahwa BPSNT ini merupakan Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata di bawah Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film.

“BPSNT Bandung yang mempunyai 4 wilayah kerja, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan Lampung, menekankan pengkajiannya pada akulturasi budaya yang bersifat intangible heritage. Ini bermakna bahwa kesejarahan dan kenilaitradisonalan yang diamati dan atau dianalisis pada akhirnya dikaitkan dengan proses akulturasi,”paparnya.

Lebih lanjut, beliau mengungkapkan bahwa kegiatan yang selalu dilakukan oleh lembaganya adalah kajian, pendataan, pembuatan peta budaya Indonesia, perekaman, inventarisasi dan dokumentasi warisan budaya takbenda, pengemasan hasil kajian, dan pengembangan hasil kajian.

Eksistensi lembaga BPSNT tersebut di atas, menurut Prof.Dr.H. Agus Salim Mansyur selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, seiring dengan keberadaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Menurutnya, fokus kajian kedua lembaga ini sama-sama bergerak dalam bidang kebudayaan dan kerjasama ini sangat penting artinya bagi pengembangan kedua belah pihak.

“Adapun tujuan kerjasama ini disepakati untuk mengadakan program kegiatan dalam bentuk peningkatan wawasan dan pengetahuan tentang sejarah dan budaya melalui kegiatan penelitian sejarah dan budaya, pendokumentasian dan sosialisasi budaya dan kesejarahan, inventarisasi tempat bersejarah, inventarisasi naskah, kegiatan seminar, penyelenggaraan praktikum mata kuliah, pemanfaatan dosen sebagai peneliti, pemanfaatan jurnal ilmiah dan publikasi sejarah dan nilai-nilai tradisonal,”jelasnya Agus.

Baik Sucipto ataupun Prof. Agus berharap bahwa kerjasama ini yang berlaku sampai 4 tahun ini bisa berjalan dengan lancar dan memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi pengembangan kedua belah pihak.***[]

Metode Sejarah Lisan

Oleh Reiza D. Dienaputra

PENGANTAR
Berbicara tentang sejarah berarti berbicara tentang perjalanan eksistensi manusia di atas panggung kehidupan. Dengan demikian, sejarah selalu berkait erat dengan manusia dan perannya semasa masih hidup. Tidak ada sejarah tanpa manusia dan tidak ada sejarah tanpa kehidupan. Karena sejarah berbicara tentang manusia dan kehidupannya maka secara otomatis sejarah selalu berbicara tentang peristiwa yang benar-benar pernah terjadi dan menempatkan manusia sebagai aktor sentralnya. Pemahaman ini dapat dikatakan menjadi pemahaman standar yang perlu dimiliki manakala berbicara tentang sejarah.

Dalam kaitan itu semua, dikenal adanya pengertian sejarah dalam arti objektif dan sejarah dalam arti subjektif. Sejarah dalam arti objektif dimaknai sebagai peristiwa sejarah itu sendiri atau proses sejarah dalam aktualitasnya. Dengan demikian, sejarah dalam arti objektif terkandung pengertian bahwa peristiwa sejarah tersebut hanya akan terjadi satu kali sehingga tidak berulang dan tidak dapat diulangi lagi. Kalaupun kemudian muncul ucapan “sejarah berulang”, maka yang dimaksud adalah bahwa yang berulang tersebut hanyalah jenis peristiwanya, sementara peristiwanya sendiri secara substansial akan berbeda, baik pelaku, waktu, maupun tempatnya.

Sejarah dalam arti subjektif adalah sejarah yang merupakan produk rekonstruksi dari peristiwa sejarah atau bangunan yang disusun penulis (rekonstruktor) sebagai suatu uraian atau ceritera. Sejarah dalam arti subjektif atau sejarah sebagai kisah direkonstruksi dari empat jenis sumber sejarah, yakni, tertulis, benda, lisan, dan visual. Sumber tertulis misalnya, surat kabar, majalah, lembaran negara, dokumen (dari bahasa latin docere yang berarti mengajar), notulen rapat, kontrak kerja, surat-surat, bon-bon, dan laporan-laporan. Sumber benda, misalnya, foto-foto, bangunan-bangunan, makam, dan tugu-tugu peringatan. Sumber visual, adalah rekaman-rekaman gambar hidup, seperti, rekaman peristiwa, rekaman peringatan, dan rekaman berita-berita televisi. Sumber lisan, yakni sumber sejarah yang berbentuk lisan atau menghasilkan suara. Sumber lisan dapat dikategorikan dalam tiga kelompok besar, tradisi lisan, rekaman suara (rekaman rapat, pidato, ceramah, dan sebagainya), dan sejarah lisan. 

Sumber lisan sebagai salah satu sumber sejarah dalam prakteknya seringkali terpinggirkan, terutama manakala sumber tertulis tersedia cukup memadai ketika rekonstruksi sejarah akan dilakukan. Sumber lisan, khususnya dalam bentuk sejarah lisan, biasanya baru dilirik oleh rekonstruktor sejarah manakala sumber tertulis dianggap kurang memadai atau tidak ada sama sekali. Terpinggirkannya sumber lisan sebagai sumber sejarah bisa jadi dikarenakan rekonstruksi sejarah seakan selalu memerlukan “bukti yang dapat dilihat dan diraba”. Kenyataan ini tidak pelak lagi merupakan salah satu kelemahan sumber lisan. Sumber lisan baru akan bernilai manakala sumber tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk lain, seperti rekaman suara atau tulisan. Tanpa perubahan wujud, sulit rasanya sumber lisan dapat digunakan sebagai sumber sejarah. Dalam kaitan itu, Charles-Victor Langois dan Charles Seignobos dari Universitas Sorbonne, Paris, mengatakan bahwa, “The historian works with documents…There is non substitute for documents: no documents, no history”. 

SEJARAH LISAN DAN FOLKLOR
Berbicara tentang sejarah lisan (oral history) pada dasarnya berarti berbicara tentang sesuatu yang baru tapi lama. Betapa tidak, sejarah lisan sebagai suatu istilah merupakan sesuatu yang relatif “baru” dikenal dalam ilmu sejarah. Sebaliknya, secara materi, dalam kedudukannya sebagai sumber sejarah, sejarah lisan merupakan barang lama yang sama tuanya dengan sejarah itu sendiri.

Bila sejarah secara umum dipahami sebagai peristiwa yang terjadi di masa lampau yang menempatkan manusia sebagai aktor sejarahnya, maka sejarah lisan secara sederhana dapat dipahami sebagai peristiwa-peristiwa sejarah terpilih yang terdapat di dalam ingatan (memori) hampir setiap individu manusia.

Dalam pengertiannya seperti di atas, jelaslah bahwa sejarah lisan pada dasarnya merupakan rekonstruksi visual atas berbagai peristiwa sejarah yang benar-benar pernah terjadi yang terdapat di dalam memori setiap individu manusia. Pengertian inilah yang secara otomatis membedakan sejarah lisan dengan tradisi lisan (oral tradition). Tradisi lisan dipahami sebagai kesaksian lisan yang dituturkan secara verbal dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kesaksian lisan dimaksud pada umumnya bukanlah kesaksian tentang peristiwa sejarah yang benar-benar terjadi tetapi bisa jadi hanyalah tentang tradisi-tradisi yang berkembang di tengah masyarakat. Tradisi lisan dengan demikian dalam batas-batas tertentu dapat diidentikan pula dengan folklor, khususnya folklor lisan (verbal folklor) dan folklor sebagian lisan (partly verbal folklor). Menurut James Danandjaja (1997), folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun temurun di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).

Folklor lisan dipahami sebagai folklor yang bentuknya memang murni lisan. Dengan demikian, di antara tiga bentuk folklor sebagaimana diungkapkan Jan Harold Brunvand (lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan atau non verbal folklor), folklor lisan merupakan yang paling dekat dengan tradisi lisan. Beberapa bentuk folklor lisan, antar lain, pertama, bahasa rakyat (folk speech), seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan. Kedua, ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan pemeo. Ketiga, pertanyaan tradisional, seperti teka-teki. Keempat, puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair. Kelima, cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng. Keenam, nyanyian rakyat. Di antara keenam bentuk besar folklor lisan tersebut, yang sering diidentikan dengan tradisi lisan tidak lain adalah cerita prosa rakyat, baik mite, legenda, maupun dongeng. Bahkan legenda, seringkali dipandang sebagai “sejarah” kolektif (folk history). Nilai “sejarah” yang melekat pada legenda menjadi demikian pudar dikarenakan sifatnya yang tidak tertulis dan besar kemungkinan telah mengalami distorsi. Distorsi nilai “sejarah” dalam legenda menjadi lebih jelas lagi manakala secara eksplisit legenda juga memiliki tampilan sifat yang migratoris, yakni dapat berpindah-pindah sehingga dikenal luas di daerah-daerah yang berbeda.

Folklor sebagian lisan dapat diartikan sebagai folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan. Salah satu contoh folklor sebagian lisan adalah kepercayaan rakyat atau yang juga dikenal dengan takhyul. Kepercayaan rakyat pada dasarnya terdiri dari pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib, seperti batu-batuan tetentu atau benda-benda yang dianggap berkhasiat untuk melindungi diri atau dapat membawa rezeki. Di luar kepercayaan rakyat, yang dapat dikelompokan ke dalam folklor sebagian lisan adalah permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat istiadat, upacara dan pesta rakyat. Di antara bentuk-bentuk folklor sebagian lisan sebagaimana disebutkan di depan, yang paling dekat hubungannya dengan tradisi lisan adalah kepercayaan rakyat. Kepercayaan rakyat ini dapat dikatakan merupakan folklor sebagian lisan yang relatif paling intens diturunkan secara turun temurun. Termasuk di era modern yang dianggap sarat dengan manusia-manusia yang rasional.

Adanya perbedaan yang sangat mendasar antara tradisi lisan dan sejarah lisan, tidaklah berarti tradisi lisan tidak diperlukan atau tidak bisa digunakan sebagai sumber sejarah. Tradisi lisan tetap dapat digunakan sebagai sumber sejarah untuk tujuan dan kepentingan tertentu serta setelah melalui proses kritik yang sangat ketat. Dalam bahasa James Danandjaja, legenda sebagai salah satu bentuk tradisi lisan jika hendak digunakan untuk merekonstruksi sejarah suatu folk maka mau tidak mau harus membersihkan terlebih dahulu bagian-bagiannya yang mengandung sifat-sifat folklor.

LANGKAH PENELITIAN
Sejarah lisan dipahami sebagai peristiwa-peristiwa sejarah terpilih yang terdapat di dalam ingatan hampir setiap individu manusia. Dengan pemahaman seperti itu, menjadi jelas ada dimana sebenarnya sejarah lisan. Sejarah lisan ada di dalam memori manusia. Untuk itu, agar sejarah lisan dapat digunakan sebagai sumber sejarah, perlu ada upaya untuk mengeluarkannya dari memori individu manusia. Tanpa itu, bisa jadi sejarah lisan tidak akan pernah bisa digunakan sebagai sumber sejarah dan akan menjadi hak milik abadi sang pemilik kisah. Dalam tradisi yang berkembang di Afrika, sebuah benua yang kaya dengan sejarah lisan, sering dikatakan “kalau ada orang tua meninggal, maka sebuah perpustakaan telah hilang”.

Dalam kaitannya dengan upaya untuk mengeluarkan sejarah lisan dari memori individu manusia maka akan sampailah pada pembicaraan tentang cara, teknik, atau metode untuk mengeluarkannya. Cara, teknik, atau metode untuk mengeluarkan sejarah lisan ini untuk mudahnya bisa disebut sebagai metode sejarah lisan. Berpijak pada pemikiran bahwa sejarah lisan yang dikeluarkan dari pengkisah (narrator) pada akhirnya harus dapat dijadikan sebagai sumber sejarah yang dapat dilihat dan diraba dan bahwa inti metode sejarah lisan pada dasarnya adalah wawancara maka metode sejarah lisan sebagai sebuah cara pengggalian sejarah lisan sudah jelas harus memenuhi tiga persyaratan awal agar dapat menghasilkan keluaran sebagaimana yang diinginkan, yakni, pewawancara, pengkisah, dan alat rekam (beserta kaset). Tanpa itu semua, sulit rasanya untuk dapat menjadikan sejarah lisan sebagai sumber sejarah. 

Sebagai sebuah metode, secara sederhana metode sejarah lisan dapat dipahami sebagai sebuah cara penelitian sejarah, dengan wawancara yang direkam dalam sebuah alat rekam sebagai ciri utamanya, serta dimaksudkan untuk menggali dan memperoleh data yang semaksimal mungkin dari pengkisah, tentang suatu peristiwa, kejadian, atau hal-hal khusus yang pernah dilihat, dirasakan, dipikirkan, atau dialaminya secara langsung. Dilihat dari segi bentuk pertanyaannya, wawancara yang dimaksudkan tidak pelak lagi adalah wawancara terbuka (open interview) dan wawancara langsung.

Sebagaimana halnya dengan metode sejarah, metode sejarah lisan pun pada dasarnya mengenal beberapa tahapan kerja. Namun, secara garis besar tahapan kerja dalam metode sejarah lisan dapat dikelompokan dalam tiga tahapan kerja utama. Pertama, tahapan persiapan. Kedua, tahapan pelaksanaan. Ketiga, tahapan pembuatan indeks dan transkripsi. Ketiga tahapan kerja tersebut tentunya di dalamnya mengandung tahapan-tahapan kegiatan yang lebih spesifik sesuai dengan kebutuhan sebuah penelitian. 

Pembagian tahapan kerja metode sejarah lisan ke dalam tiga tahapan kerja bukanlah tanpa maksud. Trikotomi tersebut tidak lain ditempuh untuk memudahkan upaya penggalian sejarah lisan. Betapapun, mengingat tampilan utama metode sejarah lisan adalah wawancara yang direkam dalam sebuah alat rekam, seringkali metode sejarah lisan dipandang sebelah mata. Timbul anggapan dan kesan bahwa wawancara dalam metode sejarah lisan sama dan sebangun dengan wawancara dalam kegiatan jurnalistik. Jadi, bisa kapan saja, dimana saja, siapa saja, dan pelaksanaannya sangat terbuka kemungkinan bagi timbulnya wawancara yang bersifat spontanitas. Oleh karenanya, wawancara dalam metode sejarah lisan dipandang sebagai wawancara sebagaimana umumnya berlaku dalam dunia jurnalistik. 

Realitas penyamaan pemahaman tentang tampilan wawancara dalam sejarah lisan dengan wawancara dalam dunia jurnalistik baru akan benar-benar berhenti manakala dilakukan penelaahan secara seksama terhadap perangkat metode sejarah lisan. Dengan kata lain pula, pemahaman yang baik tentang metode sejarah lisan secara otomatis akan mampu meluruskan pemahaman yang mungkin keliru tentang tampilan wawancara dalam metode sejarah lisan. Wawancara dalam metode sejarah lisan adalah tidak sama dan sebangun dengan wawancara dalam dunia jurnalistik. Dalam batas-batas tertentu, wawancara dalam dunia jurnalistik dapat dikatakan memiliki tampilan yang jauh lebih praktis dibanding dengan tampilan wawancara dalam metode sejarah lisan.

Lebih dari itu, tidak sebagaimana halnya wawancara dalam metode sejarah lisan, wawancara dalam dunia jurnalistik setidaknya terikat oleh dua tuntutan (Atmakusumah, 1982). Pertama, ketergesa-gesaan karena waktu dirasakan sangat sempit, terutama untuk mengejar deadline (batas waktu) penulisan dan penerbitan. Seringkali ketika timbul gagasan untuk mengadakan wawancara maka pelaksanaan wawancaranya itu sendiri harus dilakukan sesegera mungkin, bisa keesokan harinya, hari saat gagasan tersebut muncul atau bahkan saat itu juga, segera setelah gagasan wawancara muncul. Bila tidak dilakukan sesegera mungkin, bisa jadi permasalahan yang hendak diungkapkan melalui wawancara menjadi basi atau tidak lagi aktual. Kedua, realitas bahwa wawancara yang hendak diangkat dalam dunia jurnalistik bukan ditujukan untuk suatu kelompok masyarakat tertentu yang mempunyai minat tertentu pula dan dengan tingkat pengetahuan yang sudah dapat dipastikan tetapi haruslah diupayakan mampu menarik perhatian seluruh golongan masyarakat pembaca, terutama mereka yang menjadi pendukung utama penerbitan, baik sebagai pelanggan maupun pembeli eceran.

DAFTAR SUMBER
Atmakusumah. 1982. “Wawancara Lisan Menurut Kebiasaan Jurnalisme”, Lembaran Berita Sejarah Lisan, Nomor 9, Oktober 1982, Arsip Nasional Republik Indonesia.

Baum, Willa K. 1982. Sejarah Lisan untuk Masyarakat Sejarawan Setempat. Jakarta: Arsip Nasional RI.

Bigalke, Terry. 1982. “The Oral History Method”, Lembaran Berita Sejarah Lisan, Nomor 9, Oktober 1982, Arsip Nasional Republik Indonesia.

Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, Dan Lain Lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Davis, Cullom, et.al. 1977. Oral History: From Tape to Type. United States of America: American Library Association.

Dienaputra, Reiza D. 2005. “Sejarah Kertas di Indonesia”, dalam Setiawan Sabana dan Hawe Setiawan, Legenda Kertas: Menelusuri Jalan Sebuah Peradaban. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Hoopes, James. 1979. Oral History: an Introduction for Students. United States of America: The University of North Carolina Press.

Huen, P. Lim Pui, James H. Morrison, dan Kwa Chong Guan (ed.). 2000. Sejarah Lisan di Asia Tenggara: Teori dan Metode. Jakarta: LP3ES.

Kartodirdjo, Sartono. 1991. “Pengalaman Kolektif Sebagai Objek Sejarah Lisan”, Lembaran Berita Sejarah Lisan, Nomor 13, Maret 1991, Arsip Nasional Republik Indonesia.

---------------. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Lapian, A.B. 1981. “Metode Sejarah Lisan (Oral History) dalam Rangka Penulisan dan Inventarisasi Biografi Tokoh-tokoh Nasional”, Lembaran Berita Sejarah Lisan, Nomor 7, Pebruari 1981, Arsip Nasional Republik Indonesia.

---------------. 1982. “Sumber Primer atau Sekunder Tergantung pada Konteks Permasalahannya”, Lembaran Berita Sejarah Lisan, Nomor 9, Oktober 1982, Arsip Nasional Republik Indonesia.

Thompson, Paul. 1978. The Voice of the Past: Oral History. London-New York: Oxford University Press.

Vansina, Jan. 1961. Oral Tradition: A Study in Historical Methodology. London: Routledge

Sumber:
Makalah disampaikan sebagai materi presentasi dalam Kegiatan Bimbingan Teknik Penelitian yang diselenggarakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, Bandung, 29 Februari 2012.

Popular Posts