WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Sisingaan, Perlawanan Rakyat Subang Terhadap Penjajah Melalui Seni

Oleh Musthari Ari

Semua anak di Indonesia mungkin sudah tidak asing dengan yang namanya Odong – odong. Namun tahukah Anda dari mana asal mulanya?. Setelah ditelusuri ternyata pada mulanya Odong – odong merupakan sebutan lain dari kesenian Sisingaan, seni tradisional yang berasal dari Subang, Jawa Barat.

Tak diketahui secara pasti siapa yang menciptakan kesenian ini. Menurut Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Bandung, kesenian ini diperkirakan sudah mulai muncul ketika masa penjajahan Belanda / Inggris di Indonesia pada abad ke-19. Saat itu meskipun secara politis wilayah Subang dalam kekuasaan Belanda namun secara ekonomi Subang di kuasai oleh Inggris melalui perusahaan perkebunan P & T Lands (Pamanoekan en Tjiasemlanden) yang menguasai hampir seluruh wilayah Subang.

Saat itu masyarakat Subang mendapat tekanan secara politik, ekonomi sosial dan budaya dari pihak Belanda maupun Inggris. Untuk melakukan perlawanan, mereka tidak hanya melakukannya secara fisik tetapi juga melalui bentuk kesenian Sisingaan. Kesenian ini merupakan bentuk ungkapan rasa ketidakpuasan, ketidaksenangan, atau upaya pemberontakan dari masyarakat Subang kepada pihak penjajah.

Secara filosofis para pengusung Sisingaan melambangkan masyarakat pribumi yang tertindas / terjajah. Sepasang patung Sisingaan melambangkan penjajah Inggris dan Belanda. Nayaga melambangkan masyarakat yang berjuang dan memberi semangat kepada generasi muda untuk dapat megusir penjajah dari daerah mereka. Sedangkan anak kecil penunggang singa melambangkan generasi muda yang suatu saat bisa mengusir penjajah. Anak kecil penunggang Sisingaan yang biasanya menjambak rambut Sisingaan merupakan salah bentuk ekspresi kebencian kepada kaum penjajah.

Dengan menggunakan simbol – simbol dalam Sisingaan tersebut masyarakat Subang bisa mengekspresikan perasaan mereka secara terselubung tanpa di curigai oleh para penjajah. Bahkan para penjajah malah merasa bangga karena lambang negara mereka (singa) dijadikan sebagai bentuk kesenian rakyat. Padahal kesenian itu merupakan simbol perlawanan terhadap mereka.

Pada zaman dahulu sisingaan dibuat dengan sangat sederhana, bagian kepala sisingaan terbuat dari kayu, rambut terbuat dari bunga atau daun kaso dan daun pinus. Sedangkan badan sisingaan terbuat dari carangka (anyaman bambu) yang besar dan ditutupi dengan karung karung goni atau terbuat dari kayu yang masih utuh atau kayu gelondongan. Untuk usungan sisingaan terbuat dari bambu untuk bisa dipikul oleh 4 orang. Saat ini bentuk sisingaan sudah dibuat semirip mungkin dengan bentuk singa asli.

Waditra pada masa itu sangat sederhana, hanya memakai beberapa alat musik saja (seperti beberapa angklung pentatonis berlaras salendro). Sekitar tahun 1968 mulai dimasukkan unsur ketuk tilu dan silat. Hal ini dapat dilihat dari penggabungan waditra yakni adanya tambahan dua buah gendang besar (gendang indung), terompet, tiga buah ketuk, dan sebuah kulanter (gendang kecil), bende (gong kecil), serta kecrek namun kemudian berkembang seperti saat ini.

Pada awalnya gerakannya para penarinya pun masih sangat sederhana dan dilakukan secara spontan. Demikian juga dengan busana yang dikenakan para penarinya. Pada mulanya para penari Sisingaan hanya mengenakan kampret, pangsi, iket seperti masyarakat umumnya. Namun sekarang baik gerakan tari maupun busana telah mengalami perkembangan tanpa meninggalkan kesan tradisionalnya.

Selain itu seiring dengan perkembangan zaman fungsi Sisingaan juga semakin luas. Pada awal terbentuknya kesenian Sisingaan terbatas hanya untuk sarana hiburan pada saat khitanan seorang anak, dengan cara melakukan helaran keliling kampung. Namun pada saat ini kesenian Sisingaan mempunyai fungsi yang beragam antara lain untuk prosesi penyambutan tamu terhormat atau acara seremonial lainnya.
Saat ini kesenian Sisingaan sudah sangat dikenal tidak hanya di daerah Subang saja. Di daerah sekitar kabupaten Subang pun bermunculan grup – grup seni Sisingaan. Penyebutan nama kesenian ini kadang berbeda di setiap daerah, ada yang menyebutnya odong-odong, citot, kuda depok, kuda ungkleuk, kukudaan, kuda singa atau singa depok.

Masyarakat pesisir pantura Jawa Barat biasanya menyebutnya dengan Odong – odong. Kesenian ini kemudian menjadi cikal bakal odong – odong yang sangat digemari anak – anak saat ini. Odong – odong yang asalnya diusung kemudian mengalami modifikasi dengan dipasangkan pada badan becak. Hingga akhirnya bentuk Sisingaan yang dipasang pada becak justru yang dimodifikasi menjadi bentuk lain, seperti bentuk kuda-kudaan hingga bentuk komidi putar, namun tetap menggunakan istilah Odong – odong.

Kabupaten Subang sebagai daerah asal Sisingaan sangat gencar mempromosikan kesenian ini. Setiap tahun di daerah ini di gelar festival Sisingaan. Bahkan pada bulan Pebruari 2012 digelar pemecahan rekor MURI Sisingaan dengan jumlah penari terbanyak. Semoga kesenian yang sarat akan makna perjuangan ini akan tetap dicintai masyarakat.

Organisasi Sosial pada Masyarakat Giri Jaya Padepokan Desa Giri Jaya Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi

Oleh Ria Andayani Somantri

Abstrak
Penelitian tentang organisasi sosial pada masyarakat Giri Jaya Padepokan di Kabupaten Sukabumi bertujuan untuk mengetahui dasar-dasar pembentukan dan struktur organisasi sosial pada masyarakat tersebut. Metode penelitian yang digunakan bersifat deskripsi, dengan pendekatan kualitatif melalui teknik pengumpulan data berupa wawancara dan pengamatan. Dari penelitian tersebut diperoleh gambaran bahwa organisasi sosial pada masyarakat Giri Jaya Padepokan mengacu pada satu tatanan lama warisan leluhur atau lembaga adat yang masih digunakan sampai saat ini. Sekalipun tidak ada nama lokal bagi lembaga adat tersebut, struktur lembaga adatnya cukup jelas dan sederhana. Struktur lembaga adat itu terdiri atas ketua adat, sesepuh adat (wakil ketua adat, juru kunci, amil, tokoh seni, tokoh agama, paraji, koordinator warga, dan tokoh masyarakat), serta warga Giri Jaya Padepokan yang disebut jamaah.

Kata kunci: organisasi sosial.

Abstract
This paper is about social organization of the community of Giri Jaya Padepokan in Sukabumi. The aim of the study is to examine some basis for the function of the structure of social organization in the community. The author used descriptive method and qualitative approach. Data were collected through interviews and observations. The author came into conclusion that the community of Giri Jaya Padepokan is still preserving the structure of social organization inherited from their ancestors. The institutions in question are ketua adat (the chief), sesepuh adat (the elders), juru kunci (the locksmith), amil (a person who collects charity for religious purposes), and other public figures such as art and political figures, paraji (midwives), a coordinator for people, and the people of Giri Jaya Padepokan itself called jamaah.

Keywords: social organization.

Diterbitkan dalam Patanjala, Vol. 2 No. 3 September 2010

Batik Garut: Studi Tentang Sistem Produksi dan Pemasaran

Oleh Irvan Setiawan

Abstrak
Batik Garut atau yang lebih dikenal dengan nama batik Garutan, saat ini sudah menampakkan kiprahnya dalam kancah dunia perbatikan Indonesia. Upaya untuk berkiprah ini tidak luput dari beberapa persiapan yang harus dilakukan, terutama dalam sistem produksi dan sistem pemasaran agar dapat bersaing baik dengan motif batik dari daerah lain, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Oleh karena itu, penelitian yang menggunakan metode deskripsi dengan pendekatan kualitatif ini ingin mengungkapkan dua hal tersebut di atas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meski masih menggunakan sistem manajemen keluarga namun dalam hal sistem produksi yang dilakukan mulai menunjukkan adanya unsur teknologi modern di samping teknologi tradisional yang digunakan untuk mendukung pesanan dalam jumlah banyak. Sistem pemasaran juga sudah mulai menampakkan perubahan dari sistem lama yang hanya menggunakan keahlian berkomunikasi, kini telah mengalami peningkatan terutama dari segi promosi baik dengan menggunakan media elektronik (promosi dengan menggunakan internet) ataupun keikutsertaan dalam berbagai macam pameran dan pergelaran busana.

Kata kunci: batik Garut, produksi, pemasaran.

Abstract
Batik Garut, or popularly called batik garutan is becoming a more significant asset in the world of batin in Indonesia nowadays. Efforts such as production and marketing system should be into consideration in order to make batik garutan worth competing with batiks of other regions in Indonesia, especially in terms of quality and quantity. These issues were examined in this research, and the author conducted a descriptive method as well as qualitative approach.The result indicates that, although the industries are still applying family management system, modern technology has been adopted without leaving the old and traditional one. In fulfilling great amount of market demands, old marketing system is improved by implementing an online marketing tekchnique as well as participating in fashion shows and other exhibiton events.

Keywords: batik Garut, production, marketing.

Diterbitkan dalam Patanjala, Vol. 2 No. 3 September 2010

Seminar Hasil Penelitian Fungsi Leuit Pada Masyarakat Kasepuhan Cicarucub Banten


Provinsi Banten merupakan pemekaran dari Provinsi Jawa Barat. Kini Provinsi Banten memiliki beberapa kabupaten dan kota di antaranya Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Cilegon, Kota Serang, dan Kota Tangerang. Di Provinsi Banten beberapa komunitas adat. Komunitas adat ini hidup di suatu tempat yang terpencil dan jauh dari perkotaan. Komunitas adat ini diidentikkan sebagai kampung adat dan masyarakatnya disebut masyarakat adat. Di antara kampung-kampung adat tersebut adalah: Baduy, Kampung Cicenet, Kasepuhan Cisungsang, dan Kasepuhan Cicarucub.


Dengan medan dan lingkungan alam yang jauh dari kemudahan perkotaan, umumnya komunitas adat ini memiliki daya kemampuan survival yang tangguh. Secara aktif dan tiada henti-hentinya mereka senantiasa berupaya untuk mengatasi persoalannya, terutama dalam meningkatkan kualitas hidupnya dengan menggunakan berbagai potensi yang ada pada dirinya dan lingkungan hidup sekitarnya. Dari sekian komunitas adat yang terdapat di Provinsi Banten di antaranya adalah masyarakat Kasepuhan Cicarucub. Masyarakat Kasepuhan Cicarucub sejak dahulu hingga kini masih tetap mempertahankan adat istiadat warisan leluhur (karuhun). Masyarakat ini terletak di pebukitan yang berada di wilayah adminitratif Desa Neglasari Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak. Kasepuhan Cicarucub memiliki pranata-pranata adat yang mengatur kehidupan warganya, sehingga mereka mampu mempertahankan kelangsungan hidup kelompoknya dengan mengandalkan tradisi-tradisi warisan dari nenek moyang yang dipegang teguh. Salah satu pranata adat yang menjamin kesejahteraan hidup mereka adalah berfungsinya leuit (lumbung padi) berserta perangkat tradisi yang menyertainya dalam tatanan hidup mereka.

Untuk mendeskripsikan keberadaan leuit yang merupakan salah satu lembaga adat, lembaga sosial, dan sekaligus lembaga ekonomi dalam upaya mempertahankan kelangsungan dan kesejahteraan hidup warga Kasepuhan Cicarucub, maka BPSNT Bandung menyelenggarakan Kegiatan Seminar Kajian Perrlindungan Ekspresi Keragaman Budaya Fungsi Leuit Pada Masyarakat Kaseupuhan Cicarucub Banten. Kegiatan ini dimaksudkan pula untuk mendeskripsikan aktivitas kehidupan warga masyarakat Kasepuhan Cicarucub, menggali, dan mengkaji tradisi-tradisi serta nilai-nilai budaya yang hidup pada masyarakat setempat. Kegiatan Seminar Kajian Fungsi Leuit Pada Masyarakat Kaseupuhan Cicarucub Banten, dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 18 Desember 2012. Tempat pelaksanaan di GOR ONA Jl. Siliwangi Kab. Lebak Prov. Banten. Materi seminar disampaikan oleh Drs. Yuzar Purnama, Drs. H. Iwan Roswandi, dan Dra. Nina Merlina dan melibatkan 50 orang peserta.

Eksistensi Keraton di Cirebon Kajian Persepsi Masyarakat Terhadap Keraton-keraton di Cirebon

Oleh Toto Sucipto

Abstrak
Karya tulis yang merupakan resume hasil penelitian ini mengungkapkan gambaran mendalam mengenai eksistensi keraton di tengah peradaban masa kini dengan fokus telaah pada persepsi masyarakat terhadap keraton. Penelitian berangkat dari anggapan bahwa keraton semakin menempati posisi marginal belakangan ini. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh perubahan sikap dan pandangan masyarakat terhadap keraton akibat derasnya arus kebudayaan dunia dan lingkungan global. Keraton kini hanya dianggap sebagai pusat kebudayaan bagi masyarakat setempat, bukan lagi merupakan sebuah wilayah kekuasaan politik yang independen. Meskipun demikian, masyarakat masih mengenangnya sebagai salah satu lumbung budaya daerah yang potensial. Untuk mengupas permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Adapun teknik pengumpulan datanya adalah studi literatur, observasi dan wawancara. Setelah dikaji, penulis mencoba merumuskan beberapa usulan kebijakan mengenai langkah-langkah revitalisasi keraton dalam mengantisipasi era globalisasi, yaitu mewujudkan dan memantapkan identitas kepribadian bangsa yang dikemas dengan model masa kini tanpa harus tercerabut dari akarnya.

Kata kunci: eksistensi keraton, lumbung budaya, revitalisasi keraton.

Abstract
The paper is a resumé of a research concerning depth description of the existence of keraton (karatuan = royal palace) in the middle of modern society focusing on the peoples’s perception on keraton. Today people think keraton merely a cultural centre for local people, not as a domain of an independently political power. Changes in world culture and global environment might be responsible for this point of view.To analyse the problem the author conducted a descriptive research method with qualitative approach. Data were collected from bibliographical study, observation, dan interviews. Some suggestions are proposed, such as the policies that should be taken by keraton in anticipating globalization. Revitalization should be made possible in maintaining the recent national identity without having to abandon old traditional values.
Keywords: existence of the palace, granaries culture, revitalization palace.

Diterbitkan dalam Patanjala, Vol. 2 No. 3 September 2010

Tritangtu Di Bumi di Kampung Naga: Melacak Artefak Sistem Pemerintahan (Sunda)

Oleh Agus Heryana

Abstrak
Tritangtu di Bumi adalah sistem pemerintahan tradisional di tatar Sunda yang membagi kekuasaan dalam tiga peran yaitu Rama (Tuhan), Prabu (manusia), dan Resi (alam). Keberadaannya masih dapat dilacak di kampung-kampung adat, salah satunya adalah Kampung Naga. Penelitian ini menggunakan metode deskripsi yang mampu menjelaskan secara rinci perihal perikehidupan masyarakat Kampung Naga. Di samping itu, penelusuran terhadap teks naskah-naskah Sunda Kuna masa pra-Islam telah memberikan informasi lengkap terdapat keberadaan konsep pemerintahan Sunda masa lampau. Tujuan penelitian ini adalah menemukenali prinsip-prinsip pemerintahan tradisional dalam kerangka memahami kepemimpinan orang Sunda. Kampung Naga dalam kesehariannya dewasa ini lebih kental dan menonjol unsur keagamaannya, yaitu agama Islam. Akibatnya adalah konsep tritangtu nyaris hilang dan tak dikenal lagi. Hasil penelusuran pada tatanan pemerintahan dan ’artefak’ fisik Kampung Naga ciri pemerintahan tradisional masih terlihat dalam bentuk lain.

Kata kunci: Tritangtu, rama, prabu, resi, leuweung (hutan), Kampung Naga.

Abstract
Tritangtu di Bumi (three-power on Earth)is a traditional Sundanese ruling system that divides power into three roles: Rama (God), prabu (human being), and resi (mother nature). The system can be traced to many kampung adat (villages that preserved traditional customs/adat), one of which is Kampung Naga.

The author conducted a descriptive method in describing daily life of Kampung Naga’s society. Ancient Sundanese manuscripts are also studied in tracing concepts of pre-Islamic Sundanese ruling system.

The purpose of the research is to rediscover traditional Sundanese ruling principles in order to understand leadership in Sundanese’s point of view.

Islamic practices performed by Kampung Naga/s society today have made concept of tritangtu vanished, but the artifacts are still recognized.

Keywords: Tritangtu, god, human, nature, forest, Naga Village.

Diterbitkan dalam Patanjala, Vol. 2 No. 3 September 2010

Popular Posts