WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Penggalian Data Aspek Seni dan Film

Penggalian Data Aspek Seni dan Film
Makalah disampaikan dalam kegiatan Dialog Budaya di Kab. Lebak Prov. Banten
Diselenggarakan oleh BPSNT Bandung, 2007

Drs. Agus Heryana
Peneliti BPSNT Bandung


A. Kebudayaan dan 7 (Tujuh) Unsurnya
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia yang digunakan untuk menanggapi lingkungannya. (Ditjen Kebudayaan, 1992/1993:7). Kebudayaan, seperti halnya binatang menggunakan kemampuan organ tubuhnya dalam mempertahankan hidup, merupakan pengetahuan yang diperoleh manusia dari belajar yang digunakan untuk memenuhi kebutuhannya agar tetap hidup. Artinya, manusia dalam mempertahankan sekaligus memenuhi kebutuhan hidupnya sangat erat dengan kebiasaan berpola (adat) dan melembaga yang pada gilirannya terangkum dalam sebutan kebudayaan. Dengan demikian kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Kontjaraningrat, 1985:180)
Berbicara mengenai wujud kebudayaan, maka pokok permasalahannya berkisar pada tiga hal sebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1985:186-189). Beliau menyatakan bahwa wujud kebudayaan pada dasarnya meliputi tiga hal; pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, noma-norma, peraturan dan sebagainya. Hal ini bisa dimasukkan ke dalam bagian nilai budaya. Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat yang kemudian dikenal dengan sebutan sistem sosial. Dan ketiga, adalah wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia atau tepatnya apa yang kita kenal dengan sebutan kebudayaan fisik.
Dalam praktiknya, ketiga wujud kebudayaan yang dimaksud di atas tidak berjalan sendiri-sendiri, melainkan saling menunjang dan berkaitan satu dengan lainnya. Seseorang tidak dapat melepaskan wujud fisik sebuah kebudayaan manakala ia berbicara mengenai nilai-nilai yang terkandung di dalamnya..
Wujud kebudayaan yang pertama pada dasarnya bersifat abstrak. Tak dapat dilihat, diraba atau difoto. Karena wujud kebudayaan pertama ini berupa gagasan, idiil (ide), dan nilai-nilai yang sukar diwujudkan dalam bentuk konkret. Gagasan, idiil dan nilai letaknya berada pada diri manusia itu sendiri yang berada dalam alam pikiran dari warga masyarakat saat kebudayaan yang bersangkutan hidup. Kalaulah masyarakat tadi menyatakan gagasannya dalam bentuk tulisan, maka keberadaan kebudayaan gagasan atau idiil sering berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian tidak berlebihanlah apabila karya-karya sastra (daerah) dianggap merupakan salah satu sumber gagasan atau ide pada masanya yang pada gilirannya dapat diambil manfaatnya oleh para generasi kemudian.
Selanjutnya, dalam pandangan ilmu antropologi, setiap kebudayaan sebuah bangsa memiliki unsur-unsur kebudayaan yang universal sifatnya. Universal dalam pengertian unsus-unsur tersebut ada dan bisa didapatkan di dalam semua kebudayaan dari semua bangsa di mana pun di dunia. Unsur-unsur kebudayaan itu sering disebut pula dengan sebutan 7 (tujuh) unsur kebudayaan, yaitu:
1. Bahasa
2. Sistem pengetahuan
3. Organisasi Sosial
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi
5. Sistem mata pencaharian hidup
6. Sistem religi
7. Kesenian
Setiap unsur kebudayaan di atas sudah tentu juga menjelma dalam ketiga wujud kebudayaan sebagaimana dikemukakan pada awal tulisan. Misalnya unsur universal kesenian yang dapat berwujud gagasan-gagasan, ciptaan-ciptaan pikiran, cerita-ceritera dan syair-syair yang indah. Namun kesenian juga dapat berwujud tindakan-tindakan interaksi berpola antara seniman pencipta, seniman penyelenggara, sponsor kesenian, pendengar, penonton, dan konsumen hasil kesenian; tetapi kecuali itu semua kesenian juga berupa benda-benda indah, candi, kain tenun yang indah, benda-benda kerajinan, dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1985: 204).

B. Daerah Kebudayaan : Daerah Kesenian
Lahirnya suatu kesenian pada berbagai masyarakat tradisional tentu memiliki latar belakang sendiri. Lahirnya kesenian itu biasanya merupakan tanggapan aktif terhadap tantangan yang muncul di sekitar lingkungan alam dan lingkungan sosialnya yang harus direspon. Itulah sebabnya tanggapan itu bermuatan pesan-pesan budaya, misalnya kemakmuran, kedamaian, kemuliaan, demokrasi, kesetiaan, keselamatan, di samping keindahan, dan lain-lain (Melalatoa, 1989). Semua itu merupakan nilai-nilai, dan nilai seni itu adalah “hakikat seni” atau “hakikat berkesenian” (Sedyawati, 1992:8-9). Kehadiran kesenian tradisional misalnya tidak semata-mata untuk kepentingan atau kebutuhan yang bersifat estetik, tetapi berbaur dengan gagasan, pikiran atau pengetahuan yang bersifat religi, sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain yang mereka butuhkan pada masa yang lalu. Namun pikiran mereka, dalam hal ini yang dimaksud “pikiran kolektif”, terus berkembang sesuai dengan tantangan –tantangan dari lingkungannya tadi.
Dalam lingkup lebih besar “pikiran kolektif” itu jauh melampaui daerah administratif sebuah bangsa. Sebuah daerah suku bangsa dapat diketahui dari batas-batas daerahnya berdasarkan daerah administrasinya. Tetapi tidaklah demikian manakala kita dihadapkan pada daerah atau daerah kebudayaan yang di dalamnya sarat dengan “pikiran-pikiran kolektif” . Misalnya, kita ambil contoh Provinsi Jawa Barat. Jawa Barat sebagai daerah pemerintahan memiliki batas geografis yang jelas, tetapi dilihat dari daerah budaya tidak jelas, karena batas daerah budaya justru ditentukan bukan oleh batas daerah geografis tetapi oleh “pikiran kolektif” dalam berbagai manifestasi kultural melalui : bahasa ibu, seni rakyat, upacara rakyat dll. Daerah budaya itu terdiri atas daerah budaya Priangan, Cirebon, Kaleran (Pantura), Pakidulan, Banten serta Sunda Brebes (Arthur Nalan, 2005:2).
Seiring dengan pembedaan daerah administratif dan daerah kebudayaan sebagaimana dikemukakan, mudah dimengerti apabila Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia didirikan berdasarkan daerah kebudayaan. Hal ini menyebabkan konsekuensi wilayah kerjanya menjadi lintas provinsi. Berdasarkan daerah kebudayaan, BPSNT Bandung mencakup wilayah kerja : Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan Lampung.
Cakupan wilayah kerja yang lintas provinsi ini, dalam pandangan kesenian, akan menyebabkan pembagian wilayah kesenian ke dalam beberapa daerah kebudayaan sebagaimana di bawah ini. Daerah budaya (kesenian) yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Daerah Budaya Priangan
2. Daerah Budaya Cirebon
3. Daerah Budaya Kaleran
4. Daerah Budaya Pakidulan
5. Daerah Budaya Banten
6. Daerah Budaya Sunda Brebes
7. Daerah Budaya DKI Jakarta (pesisir dan pedalaman)
8. Daerah Budaya Lampung (pesisir dan pedalaman)

C. Kesenian Berdasarkan Cabang dan Kategorisasi
Koentjaraningrat (1985:380) mengemukakan ada dua lapangan besar manakala kesenian dilihat sebagai ekspresi hasrat manusia akan keindahan itu dinikmati. Yaitu (1) seni rupa atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan mata, dan (2) seni suara atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan telinga. Setiap kelompok tentu saja membawahi cabang-cabangnya yang lain, seperti Kelompok seni rupa membawahi seni patung, seni relief, seni lukis dan gambar, serta seni rias. Kemudian kelompok kedua (seni suara) membawahi seni vokal, seni instrumental, dan seni sastra. Sementara gabungan dua kelompok tersebut melahirkan seni gerak atau seni tari, karena kesenian ini dapat dinikmati dengan mata maupun telinga. Sementara kesenian yang meliputi keseluruhannya adalah seni drama, karena di dalamnya mengandung unsur seni lukis, seni rias, seni musik, seni sastra dan seni tari yang semua itu diintegrasikan menjadi satu kebulatan utuh.
Berbeda dengan pandangan etnografi seperti dikemukakan Koentjaraningrat yang cenderung lebih umum, maka pembagian yang dikemukakan Arthur S. Nalan lebih terperinci. Pembagian cabang kesenian yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Seni Sastra
a. Sastra Lisan
b. Sastra Tulisan
2. Seni Musik
a. Musik Tradisional Perkusi
b. Musik Tradisional Gamelan
c. Musik Vokal
d. Musik Modern
3. Seni Tari
a. Tari Upacara
b. Tari Pergaulan
c. Tari Kontemporer
4. Seni Teater
a. Teater Tutur
b. Teater Non-Tutur
c. Teater Total
5. Seni Rupa
a. Seni Lukis
b. Seni Patung
c. Seni Grafis
d. Seni Multi Media
6. Seni Film
a. Film Dokumenter
b. Film Cerita
7. Seni Kerajinan
a. Seni Anyaman
b. Seni Ukiran
c. Seni Cinderamata
d. Seni Canting dan Printing

Dilain pihak, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata mendudukkan posisi cabang-cabang kesenian pada beberapa sub-direktorat. Sub-direktorat yang dimaksud adalah Seni Rupa, Seni Pertunjukan, Seni Teater dan Sastra, Seni Media, Industri Seni, dan Sub-direktorat Film. Sayang sekali pengelompokan cabang seni tersebut belum disertai penjelasan lebih lanjut sehingga di tingkat bawah masih dibayang-bayangi keraguan di dalam melaksanakan pekerjaannya.

D. Pendataan Kesenian
Sebagai unit baru di lingkungan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (Bandung), aspek Seni dan Film memerlukan data-data kesenian sesuai dengan pemilahan atau pengelompokan berdasarkan sub-direktoratnya. Langkah awal yang perlu dilakukan sesegera mungkin adalah mendata kesenian-kesenian yang ada di wilayah kerjanya, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten dan Lampung. Tentu saja pendataan di keempat wilayah tersebut memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit, bahkan tidak mustahil lingkup kerjanya “hanya” sampai mendata saja. Dalam hal ini perlu disertai upaya-upaya lain yang salah satunya melalui jaringan kerja antarinstansi, baik pemerintah maupun swasta yang respek terhadap kebudayaan, khususnya kesenian.
Pendataan kesenian diperlukan untuk mengetahui kondisi lapangan sesungguhnya yang pada gilirannya dapat memberikan solusi atau jalan keluar terhadap permasalahan kesenian yang ada disuatu daerah. Beberapa pendataan kesenian di suatu daerah pernah dilakukan tetapi itu bukan alasan untuk tidak melakukan pendataan yang sama. Tetapi hal itu lebih merupakan “pengecekan” atas “hidup – matinya” sebuah kesenian.
Bagaimanakah pendataan kesenian dilakukan ? Ada beberapa prinsip dasar di dalam melakukan pendataan kesenian.
  • Pertama, pendataan adalah langkah awal dari sebuah penelitian. Oleh karenanya, pendataan harus benar-benar akurat dan terpercaya.
  • Kedua, secara teknis seorang pendata atau menurut istilah Almarhum Ayatrohaedi, adalah pemupu, haruslah bersikap netral dan tidak memberikan komentar apa-apa terhadap data yang diperolehnya. Dengan kata lain jangan ada interprestasi terhadap data.
  • Ketiga, pendataan kebudayaan (baca: kesenian) pada dasarnya adalah “memotret” fakta di lapangan yang diterjemahkan ke dalam kata-kata. Oleh karena itu, tuliskan secara detail apa yang dilihat, apa yang didengar dan apa yang dirasakan, kecuali apa yang dipikirkan. Yang terakhir ini biasanya masuk ke dalam wilayah interpretasi yang sangat ditabukan, kecuali dalam bidang penelitian.
  • Keempat, guna memudahkan pekerjaan sekaligus mengarah pada perolehan data yang maksimal, hendaknya pendata membuat daftar tanyaan berupa format-format yang telah disusun secara sistematis. Sebagai contoh, kami sertakan format isian pendataan kesenian sebagaimana terlampir.
  • Kelima, pada dasarnya format isian itu berkisar pada pertanyaan : apa, dimana, kapan, siapa, bagaimana. Sebagai catatan, pertanyaan mengapa diperuntukkan apabila pendata akan melakukan penelitian lebih mendalam.
Selepas kerja lapangan, yakni setelah format isian telah penuh dengan data-data, masih diperlukan kerja di atas meja, yaitu menulis laporan. Secara parsial data yang terdapat dalam format isian itu telah “memenuhi” standar minimal pendataan. Namun dalam cakupan lebih luas, misalnya satu wilayah kecamatan, sebuah format isian merupakan bagian dari data yang ada di sebuah kecamatan. Oleh karena itu agar diperoleh gambaran lebih jelas dan terfokus, maka penyusunan laporan pendataan adalah sesuatu yang harus dipenuhi oleh seorang pemupu. Berikut dikemukakan sistematika pelaporan pendataan kesenian.

Judul :
PENDATAAN KESENIAN DI …………. KOTA/KABUPATEN …… PROVINSI ……..

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Masalah
1.3 Tujuan Pendataan
1.4 Ruang Lingkup
1.5 Teknik Pendataan
BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENDATAAN
2.1 Lokasi dan Keadaan Alam
2.2 Kependudukan
2.3 Latar Belakang Sosial Budaya
BAB III DESKRIPSI KESENIAN (Contoh : Kabupaten Cirebon)
3.1 Kesenian ………(Tarling)
3.2 Kesenian ………(Masres)
3.3 Kesenian ………(Topeng Panji)
3.4 Dst …..
BAB IV PENUTUP
4.1 Simpulan
4.2 Saran-saran
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
E. Penutup
Hayang nyaho di sakweh ning kawih ma : kawih bwatuha, kawih panjang, kawih lalanguan, kawih panyaraman, kawih sisindiran, kawih pengpeledan, bongbong kaso, pererane, porod eurih, kawih babahanan, kawih igel-igelan, sing sawatek kawih ma paraguna tanya.
Hayang nyaho di pamaceuh ma, ceta maceuh, ceta nirus, tatapukan, bangbarongan, babakutrakan, ubang-ubangan, neureuy panca, munikeun lembur, ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini; sing sawatek (ka)ulinan ma, hempul tanya.
Hayang nyaho di pantun ma : Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi, prepantun tanya.
Sawalwira ning tulis ma : pupunjengan, hihingulan, kekembangan, alsa-alasan, urang-urangan, memetahan, sisirangan, taruk hata, kembang tarate; sing sawatek tulisma, lukis tanya.

Bila ingin tahu segala macam lagu, kawih batuha, kawih panjang, kawih lalanguan, kawih panyaraman, kawih sisindiran, kawih pengpeledan, bongbong kaso, pererane, porod eurih, kawih babahanan, kawih igel-igelan, segala macam lagu, tanyalah paraguna (ahli karawitan).
Bila ingin tahu permainan, ceta maceuh, ceta nirus, tatapukan, bangbarongan, babakutrakan, ubang-ubangan, neureuy panca, munikeun lembur, ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini; segala macam permainan tanyalah empul
Bila ingin tahu tentang pantun, Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi, tanyalah Juru pantun.
Segala macam lukisan : pupunjengan, hihingulan, kekembangan, alsa-alasan, urang-urangan, memetahan, sisirangan, taruk hata, kembang tarate; segala macam lukisan tanyalah pelukis.

Kutipan di atas diambil dari naskah Kropak 630 (Sanghiyang Siksakandang Karesian) yang ditulis tahun 1440 Saka atau tahun 1518 Masehi. Hal itu berarti naskah ini ditulis dalam masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja penguasa Pakuan Pajajaran tahun 1482 – 1521 M (Saleh Danasasmita, 1987: 6). Informasi terpenting pada kutipan di atas adalah disebutkannya nama-nama kawih (nyanyian), nama-nama permainan, nama-nama cerita pantun, dan nama-nama lukisan. Sungguh disesalkan bahwa kita dewasa ini hanya mengenal namanya saja tanpa mengetahui bentuk atau wujud dari nama-nama tersebut. Dengan kalimat lain, kita kehilangan data tanpa terlebih dahulu dicatat atau didokumentasikan. Akankah kesenian-kesenian tradisioal itu akan hilang atau tinggal catatan saja ?

DAFTAR PUSTAKA

Atja dan Saleh Danasasmita. 1981. Sanghyang Siksakanda ng Karesian. Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Edi Sedyawati. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.
Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara.
Koentjaraningrat. 1977. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia.
--------------. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru.
Saleh Danasasmita, dkk. 1987. Sewakadarma, Sanghyang Siksakandang
Karesian, Amanat Galunggung : Transkripsi dan Terjemahan. Bandung : Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Ditjen Kebudayaan Depdikbud.

Makalah :
Arthur S. Nalan. 2006. Kesenian dalam Enam Wilayah Budaya. Rancangan Penelitian Penelusuran Jejak Ki Sunda.

Lampiran :
Format Pendataan Seni Pertunjukan

A. Pendata
Nama :
Usia :
Alamat :
Pendidikan :
Pekerjaan :
B. Waktu Pendataan
Tanggal :
Tempat :
Pukul/Jam :
C. Narasumber
Nama :
Usia :
Alamat :
Pendidikan :
Pekerjaan :
D. Data Kesenian
1. Jenis Kesenian: Tari / Sandiwara / Teater / Gamelan / ………….
Nama Kesenian :
Lokasi :
Tokoh / Pemimpin :
Alamat Tokoh :
2. Teknis
Jumlah Pemain : orang
- Laki-laki : orang
- Perempuan : orang
- Campuran : orang
Busana : (Sertakan foto atau gambar)
Laki-laki
Perempuan
Alat-alat / waditra : ….. (Sertakan foto atau gambar)

Lagu-lagu vokal
Judul lagu :
Pengarang :
Syair / “rumpaka” lagu :
Notasi lagu (jika ada) :
Makna lagu :
Istilah/ungkapan khas : (sertakan bahasa aslinya dan jelaskan maksudnya)
Nama Pemain / Penabuh waditra :
Nama :
Usia :
Alamat :
Pendidikan :
Pekerjaan :
3. Tempat dan waktu Pertunjukan :
(Sertakan denah atau posisi panggung beserta pendukungnya)
4. Tahap-tahap / Struktur Pertunjukan :
(Urutan setiap peristiwa dari awal hingga akhir)
5. Jalannya Pertunjukan
(Uraian pertunjukan secara lengkap)
6. Sinopsis
(Uraian singkat tentang pertunjukan, jika ada sertakan sumber ceritanya, misalnya: legenda, mite, babad dsb)
7. Foto dan gambar
(Sertakan foto atau gambar untuk setiap detail, baik perangkat maupun saat pertunjukan)

E. Riwayat Kesenian
Kemukakan tahun munculnya kesenian yang dimaksud. Siapa pelopornya dan bagaimana awal mula munculnya. Tegasnya kemukakan latar belakang (sejarah) lahirnya kesenian yang didata. Jika memungkinkan sampai dengan tahap perkembangannya hingga masa kini.

F. Makna / Nilai Budaya
Setiap kesenian tradisional selalu disertai dengan simbol-simbol tertentu yang mengundang pertanyaan. Tugas pendata adalah mencatat makna-makna simbol tersebut

G. Fungsi
Bagaimana fungsi kesenian pada masyarakat? Apakah sebagai ritual/upacara, hiburan, atau fungsi lain di luar kedua fungsi tersebut.

Format Pendataan Seni Rupa

A. Pendata
Nama :
Usia :
Alamat :
Pendidikan :
Pekerjaan :
B. Waktu Pendataan
Tanggal :
Tempat :
Pukul/Jam :
C. Narasumber
Nama :
Usia :
Alamat :
Pendidikan :
Pekerjaan :
D. Data Seni Rupa
1. Jenis Seni Rupa : Patung / Pahat / Arsitektur / Lukis / Kerajinan Tangan / Disain / Dekoratif
Nama Seni Rupa :
Lokasi :
Tokoh / Pemimpin :
Alamat Tokoh :
2. Teknis
Jumlah Tenaga kerja : orang
Peralatan yang digunakan : (Sertakan foto atau gambar)
Bahan-bahan yang digunakan :
Istilah/ungkapan khas : (sertakan bahasa aslinya dan jelaskan maksudnya)
3. Tempat dan waktu pembuatan :
4. Tahap-tahap / Struktur Pembuatan :
(Urutan setiap pekerjaan dari awal hingga akhir)

5. Foto dan gambar
(Sertakan foto atau gambar untuk setiap detail, baik peralatan, bahan maupun saat pembuatan)

E. Riwayat Seni Rupa
Kemukakan tahun munculnya seni rupa yang dimaksud. Siapa pelopornya dan bagaimana awal mula munculnya. Tegasnya kemukakan latar belakang (sejarah) lahirnya seni rupa yang didata. Jika memungkinkan sampai dengan tahap perkembangannya hingga masa kini.

F. Makna / Nilai Budaya
Setiap kesenian tradisional selalu disertai dengan simbol-simbol tertentu yang mengundang pertanyaan, demikian pula dengan seni rupa. Tugas pendata adalah mencatat makna-makna simbol, terutama yang terdapat dalam motif dan ragam hias yang terdapat dalam karya seni rupa tersebut.

G. Fungsi
Bagaimana fungsi seni rupa pada masyarakat? Apakah ada fungsi lain selain fungsi estetika (keindahan) ?

Penggalian Data Aspek Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa

Penggalian Data Aspek Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa
Fokus Bahasan : Sistem Kepemimpinan dan Upacara Tradisional

Makalah Disampaikan dalam Kegiatan Dialog Budaya di Kab. Lebak Prov. Banten
Diselenggarakan oleh BPSNT Bandung, Tahun 2009


Drs. H. Yudi Putu Satriadi
Peneliti BPSNT Bandung


A. Sekilas tentang Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) adalah salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktoral Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI. Lembaga ini didirikan bukan berdasarkan daerah administratif melainkan daerah kebudayaan. Oleh karena itu, wilayah kerjanya lintas propinsi.
Di Indonesia, sampai saat ini, ada sebelas BPSNT yang satu dengan lainnya mempunyai penekanan pengkajian yang berbeda. Kesebelas BPSNT itu adalah : (Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara yang berkedudukan di Aceh dengan penekanan pada kebudayaan Islam; (2) Sumatera Barat dan Bengkulu yang berkedudukan di Padang dengan penekanan pada kebudayaan matrilineal; (3) Riau, Jambi, dan Bangka-Belitung (Babel) yang berkedudukan di Tanjungpinang dengan penekanan pada kebudayaan Melayu; (4) Jabar, DKI Jakarta, Banten, dan Lampung yang berkedudukan di Bandung dengan penekanan pada akulturasi; (5) D.I. Yogyakarta, Jateng, dan Jatim yang berkedudukan di Yogyakarta dengan penekanan pada kebudayaan agraris; (6) Bali, NTB, dan NTT yang berkedudukan di Denpasar dengan penekanan pada pariwisata; (7) Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur yang berkedudukan di Pontianak dengan penekanan pada pembauran; (8) Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat yang berkedudukan di Makasar dengan penekanan pada kebudayaan maritim; (9) Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah yang berkedudukan di Manado dengan penekanan pada akulturasi; (10) Maluku yang berkedudukan di Ambon dengan penekanan pada kebudayaan kepulauan; dan (11) Irian jaya yang berkedudukan di Jayapura dengan penekanan pada kebudayaan meramu dan berburu.
Oleh karena BPSNT Jabar, DKI Jakarta, Banten, dan Lampung berkedudukan di Bandung, maka lebih dikenal sebagai BPSNT Bandung. Penekanan pengkajiannya pada akulturasi, yaitu proses percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990 : 18). Ini bermakna bahwa kesejarahan dan kenilaitradisionalan yang diamati dan atau dianalisis pada akhirnya dikaitkan dengan proses akulturasi.
Visi BPSNT Bandung adalah sebagai bank data dan informasi tentang kesejarahan dan kebudayaan masyarakat etnik di wilayah kerjanya. Sedangkan, misinya adalah melakukan pengamatan dan analisis kesejarahan dan kebudayaan yang ada atau tumbuh dan berkembang di wilayah kerjanya dengan berbagai kegiatan seperti : pendataan, penelitian (pengkajian), perekaman, perlombaan, lawatan-lawatan yang berkenaan dengan kesejarahan dan kebudayaan, seminar, diskusi, pendokumentasian dan sekaligus penyebarluasan data sejarah dan kebudayaan.
Struktur organisasi BPSNT Bandung, selain kepala BPSNT terdapat Kepala Sub Bagian TU. Kepala secara langsung membawahi tenaga fungsional atau tenaga peneliti, sedangkan Kepala Sub.Bagian TU tenaga administrasi. Bagian atau aspek yang ada di bagian tenaga fungsional terdiri dari lima aspek yakni Aspek PKPB (Pembangunan Karakter Pekerti Bangsa), Aspek Tradisi, Aspek Kepercayaan terhadap Tuhan YME, Aspek Seni dan Film, dan Aspek Sejarah. Sub Bagian TU membawahi Urusan Keuangan, Urusan Kepegawaian, Urusan dalam, Urusan Perpustakaan Publikasi dan Dokumentasi.
Masing-masing aspek memiliki bidang garapan yang berbeda-beda. Sejalan dengan tugas utama Direktorat PKPB, aspek PKPB di BPSNT memiliki tugas antara lain adalah melakukan revitalisasi nilai-nilai luhur sebagai pembangkit dan pembentuk karakter bangsa.
Hal ini menjadi sangat penting karena berbicara tentang karakter dan pekerti bangsa tida lepas dari konteks Indonesia yang bermasyarakat majemuk. Oleh karena itu, Bhineka Tunggal Ika mesti menjadi rujukan dalam pembentukan karakter bangsa. Sementara itu multikulturalisme merupakan pembentuk sikap saling pengertian yang dilandasi oleg budi pekerti. Kesadaran tentang ke-Bhineka Tunggal Ika-an dan semangat multikulturalisme pada gilirannya akan mewujudkan karakter bangsa yang berbudi pekerti, sehingga dapat meneguhkan persepsi diri sebagai golongan etnik dan sekaligus sebagai Bangsa Indonesia. Ini bermakna bahwa karakter bangsa bukan hanya dibentuk melalui proses individuation (pembeda) dan penegasan atas kelainan dari bangsa lain, tetapi juga suatu karakter yang wujud dari kesadaran individu mengerti tentang kehadiran bangsanya di samping bangsa-bangsa lain. Artinya, karakter bangsa terkait dengan identitas kolektif karena hidup bermasyarakat, baik secara lokalitas maupun globalitas, dengan menumbuhkan saling pengertian dan menghormati tentang keberadaan individu, etnik atau bangsa lain di luar dirinya.
Sesuai dengan misi BPSNT yaitu melakukan pengamatan dan analisis kesejarahan dan kebudayaan yang ada atau tumbuh melaui kegiatan seperti pendataan, penelitian (pengkajian), perekaman, perlombaan, lawatan-lawatan sejarah dan kebudayaan, seminar, diskusi, pendokumentasian dan sekaligus penyebarluasan data dan kebudayaan. Dalam melakukan kegiatan-kegiatan tersebut BPSNT (tenaga teknis) tidak dapat bekerja sendiri melainkan memerlukan bantuan fihak-fihak lain yang terkait, di antaranya adalah pejabat atau personal yang ada di Lingkungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, seperti kepala-kepala dinas, kepala-kepala seksi, dan lain sebagainya, termasuk juga masyarakat umum yang mengetahui bahan-bahan yang diperlukan. Dengan demikian, sangat perlu adanya kerja sama antara BPSNT dengan instsansi-instansi tadi dan masyarakat umum.
Demi memudahkan teknis kerja sama dalam pengumpulan data, perlu dilakukan satu kesepakatan dalam semua hal yang terkait dengan pekerjaan yang dilakukan, mulai dari materi garapan, persiapan pelaksanaan, pelaksanaan, sampai kepada pelaporan.
Pada kesempatan ini, akan dibahas tentang beberapa hal yang berkaitan dengan pendataan kebudayaan.

B. Unsur-unsur Budaya yang Perlu Didata
Koentjaraningrat pada Rosyadi menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan dari tata kelakuan, kelakuan dan hasil kelakuan yang menjadi milik bersama dari sebagian besar warga suatu masyarakat yang diperoleh melalui proses belajar, maka hampir semua sisi kehidupan manusia nyaris tidak luput dari persoalan kebudayaan. Lalu, dalam hal ini, aspek mana dari kebudayaan yang perlu didata atau diinventarisasi ?
Dalam hal ini Koentjaraningrat menklasifikasikan kebudayaan ke dalam tujuh unsure yang sifatnya universal. Artinya, ketujuh unsur ini terdapat pada hampir semua kebudayaan manusia di manapun di dunia ini. Ketujuh unsur tersebut adalah :
1. Sistem kemasyarakatan
2. Sistem ekonomi dan mata pencaharian
3. Sistem teknologi dan perlengkapan hidup
4. Sistem religi
5. Sistem pengetahuan
6. Kesenian
7. Bahasa
Dalam kegiatan pendataan kebudayaan yang dilakukan BPSNT, ketujuh unsur tersebut menjadi semacam paying. Artinya ketika kita melakukan suatu pendataan, maka ketujuh unsure kebudayaan ini menjadi setting. Selama ini pendataan kebudayaan yang dilakukan BPSNT Bandung dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis yakni pendataan yang bersifat etnografis, dan pendataan yang bersifat partial atau tematis. Pendataan yang bersifat etnografis adalah untuk mendedkripsikan atau memotret pola kehidupan suatu masyarakat. Dalam hal ini ketujuh unsure kebudayaan menjadi materi pokok dalam pendeskripsian. Sedangkan dalam kegiatan pendataan yang bersifat partial, kita hanya mengambil/menyoroti salah satu dari ketujuh unsure kebudayaan tersebut, misalnya tentang pola kepemimpinan, permainan rakyat, kesenian, cerita rakyat, dsb. Dalam pendataan partial pun, ketujuh unsure kebudayaan ini dipaparkan sebagai latar belakang sosial budaya masyarakat pada tempat pendataan dilakukan. Item-item yang perlu didata pada ketujuh unsur kebudayaan antara lain :

1. Sistem Kemasyarakatan
  • Lembaga-lembaga adat dan lembaga kemasyarakatan
  • Sistem kepemimpinan, khususnya kepemimpinan adapt, meliputi : struktur dan pola kepemimpinan , peran pemimpin adapt, hubungannya dengan pempimpin formal dll.
  • Proses-proses sosial, mencakup pola-pola dan jaringan interaksi sosial, jenis-jenis interaksi (kerja sama/gotong royong, konflik, kompetisi)
  • Struktur sosial : system kekerabatan (system penarikan garis keturunan, system perkawinan, system pewarisan)
  • Sistem pelapisan sosial (stratifikasi sosial)
2. Sistem Ekonomi/Mata Pencaharian, focus : Mata pencaharian pokok
  • Jenis pekerjaan : petani/peladang, peternak, pengrajin, dll
  • Teknik-teknik pekerjaan
  • Permodalan
  • Pola produksi
  • Pola distribusi
  • Pola konsumsi
3. Sistem Teknologi dan Perlengkapan Hidup
  • Ragam dan jenis-jenis peralatan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari (peralatan kerja, peralatan rumah tangga, dll)
  • Latar belakang/sejarah peralatan
  • Teknis dan cara pembuatan (bahan, cara perolehan bahan, cara pembuatan)
  • Penggunaan peralatan
4. Sistem Religi (Kepercayaan Lokal)
  • Konsepsi-konsepsi tentang : alam semesta, manusia, hidup, mati
  • Konsepsi-konsepsi tentang mahluk dan kekuatan gaib (nama/sebutan, tempat, kekuasaan, dll)
  • Upacara-upacara tradisional (jenis, nama upacara, latar belakang sejarah upacara, tujuan upacara, waktu penyelenggaraan upacara, tempat penyelenggaraan upacara, teknis penyelenggaraan upacara, persiapan dan perlengkapan upacara, pantangan-pantangan, makna yang terkandung dalam symbol upacara, jalannya upacara).
5. Sistem Pengetahuan : pengetahuan lokal/tradisional yang berkaitan dengan:
  • Mata pencaharian (pertanian, nelayan, dsb.)
  • Gejala alam ( gunung meletus, gerhana, banjir, wabah penyakit, astronomi, dsb.)
  • Flora dan fauna
  • Pengetahuan tentang obat-obatan tradisional
6. Kesenian : Jenis-jenis kesenian tradisional yangkhas dan yang berkembang
  • Nama kesenian
  • Sejarah/asal-usul
  • Ragam peralatan dan perlengkapan
  • Lagu-lagu
  • Pemain (jumlah pemain, peran, busana)
  • Waktu pertunjukan
  • Tempat pertunjukan
  • Jalannya pertunjukan kesenian
  • Makna yang terkandung dalam kesenian
7.  Bahasa : 
Bahasa yang digunakan sehari-hari dalam lingkungan keluarga, masyarakat, lingkungan formal, dll.
 
C. Metode dan Teknik Pendataan Kebudayaan
Pendataan kebudayaan merupakan sebuah langkah dalam upaya penyelamatan dan pelestarian kebudayaan. Melalui kegiatan pendataan kebudayaan, kita berusaha mendata dan menginventarisasi berbagai unsure kebudayaan local yang ada dan pernah ada agar jangan sampai kita kehilangan jejak atas sesuatu yang menjadi milik kita.
Tiga langkah pendataan kebudayaan yang harus dilakukan, yaitu :
1.  Tahap perencanaan dan Persiapan
Pada tahap ini langkah-langkah yang perlu dilakukan antara lain : membuat dan menyiapkan instrument pendataan , berupa pedoman pengumpulan data dan pedoman wawancara. Di samping itu, perlu juga dipersiapkan  peralatan penunjang berupa alat tulis, kamera foto, tape recorder dan kamera video (kalau diperlukan).

2.    Tahap Pengumpulan Data
Pada tahap ini dilakukan field work (bekerja di lapangan) guna mengumpulkan data di lapangan. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan dengan menggali dan mengorek data dan informasi dari nara sumber melalui percakapan. Observasi dilakukan guna meliput data yang tidak dapat dihimpun melalui wawancara, seperti kondisi fisik lingkungan, dan sikap atau perilaku warga masyarakat.

3.    Penyusunan Laporan
Pada tahap ini, semua data yang diperoleh di lapangan dituangkan dalam bentuk tulisan. Adapun metode yang lazim digunakan dalam penulisan adalah metode deskriptif. Tujuan pemaparan menggunakan metode ini adalah untuk memberikan deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diamati. Penulisan laporan biasanya menggunakan sistematika sebagai berikut :

BAB I    PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Masalah
1.3 Tujuan Pendataan
1.4 Ruang Lingkup
1.5 Teknik Pendataan
BAB II    GAMBARAN UMUM DAERAH PENDATAAN
 2.1 Lokasi dan Keadaan Alam
 2.2 Kependudukan
 2.3 Latar Belakang Sosial Budaya
BAB III   DESKRIPSI
BAB IV   PENUTUP
4.1    Simpulan
4.2    Saran-saran
LAMPIRAN-LAMPIRAN

D. Instrumen Pendataan
a. Sistem Organisasi Sosial (Fokus telaah : Sistem Kepemimpinan)
I. Pengertian Kepemimpinan
Manusia sebagai mahluk sosial tidak pernah mampu untuk hidup seorang diri. Di mana atau dalam keadaan apapun, manusia cenderung untuk hidup berkelompok. Pengelompokan sosial itu antara lain dilandasi oleh adanya persamaan kepentingan antarsesama anggota kelompoknya. Untuk mewujudkan kepentingan bersamanya itu, manusia mengorganisasi dirinya serta menciptakan perangkat aturan dan sistem pengendalian sosial yang sesuai dengan lingkungan tempat mereka hidup dan bergaul bersama. Dalam melaksanakan peraturan dan sistem pengendalian sosial tersebut diperlukan seorang pemimpin.
Terdapat dua jenis pemimpin, yaitu pemimpin formal dan pemimpin informal. Pemimpin formal adalah pemimpin yang diangkat dan ditunjuk oleh pemerintah secara resmi. Pemimpin informal diakui oleh sebagian masyarakat karena dianggap orang “terbaik” di kalangan masyarakatnya. Biasanya orang seperti itu memiliki kemampuan menjaga amanah serta memecahkan berbagai masalah yang dihadapi masyarakatnya. Pemimpin informal dianggap berhasil mendekati masyarakat karena kedekatannya, keluwesannya, dan atau kharismanya (Koentjaraningrat, 1992 :199).

II. Sistematika Penulisan Laporan
a. Deskripsi Kepemimpinan di Kampung Adat (Baduy)
1.    Struktur Kepemimpinan
2.    Pola Kepemimpinan
3.    Peran Pemimpin Adat
4.    Masa Kepemimpinan
5.    Hubungan Sosial
6.    Sanksi Adat

III  Pedoman Wawancara
1. Struktur Kepemimpinan Adat
a.    Uraikan bagaimana struktur kepemimpinan adat di Kampung Adat Baduy ?
b.    Adakah perubahan struktur tersebut dari dahulu hingga sekarang ?
2. Pola Kepemimpinan
Bagaimana sistem kepemimpinan pada masyarakat Kampung Adat Baduy (formal     atau informal)?
Bagaimana sistem pemilihan ketua adat dan kuncen pada masyarakat Kampung Adat Baduy (dipilih oleh masyarakat, turun-temurun, atau bagaimana)?
Apa criteria untuk menjadi seorang kuncen dan ketua adat pada masyarakat Kampung Adat Baduy ?
Siapa yang membantu kuncen dan ketua adat dalam mengendalikan roda   kehidupan pada masyarakat Kampung Adat Baduy ?
Bagaimana sistem pemilihan para pembantu pimpinan pada masyarakat Kampung Adat Baduy ?
Adakah pantangan yang dikenakan bagi pemimpin adat dan para pembantunya ?
3    Peran Pempimpin Adat
-    Apa peranan (fungsi, tugas, dan kewenangan) kuncen dan ketua adat di Kampung Adat Baduy ?
-    Apa pula peranan (fungsi, tugas, dan kewenangan) para pembantu kuncen atau pembantu ketua adat ?
4.    Masa  Kepemimpinan
-    Berapa lama masa jabatan kuncen dan ketua adat beserta para pembantunya pada masyarakat Kampung Adat Baduy ?
-    Apakah masa jabatan kuncen dan ketua adat serta para pembantunya sudah merupakan ketentuan yang pasti atau masih bisa berubah sesuai dengan situasi dan kondisi ?
5.    Hubungan Sosial
a.    Bagaimana hubungan kuncen dan ketua adat di Kampung Adat Baduy dengan masyarakatnya ?
b.    Bagaimana hubungan para pembantu pimpinan adat dengan
c.    masyarakatnya ?
d.    Bagaimana sikap masyarakat dengan kuncen dan ketua adat dan para pemban tunya?
e.    Pernahkah terjadi konflik pada masyarakat ? Andaikan pernah dalam hal apa ?
f.    Seandainya terjadi konflik, bagaimana cara penyelesaiannya dan siapa yang  mengatasinya ?
g.    Pernahkan terjadi konflik antarwarga masyarakat Baduy  dengan warga luar?
h.    Bagaimana cara penyelesaiannya dan siapa yang  menyelesaikannya ? Dalam hal  ini siapa saja yang terlibat ?
6.  Sanksi Adat
-    Apa sanksi yang diberikan apabila pimpinan atau para pembantu  pimpinan melanggar adat ?
-    Apa sanksi yang diberikan apabila ada warga masyarakat yang melanggar adat?
-    Apakah sanksi tersebut hanya berlaku untuk warganya sendiri atau juga berlaku untuk orang-orang di luar warganya?
-    Jika berlaku untuk orang luar, pelanggaran semacam apa yang mendapatkan sanksi dan berupa apa saja sanksinya?

b. Sistem Religi  (Fokus Telaah : Upacara Tradisional)
I.    Pengertian Upacara Tradisional
Upacara tradisional adalah tingkah laku resmi yang dibakukan untuk peristiwa-peristiwa yang tidak ditujukan pada kegiatan teknis sehari-hari, akan tetapi, tingkah laku yang berkaitan  dengan kekuatan gaib. Kekuatan ini dapat diartikan sebagai Tuhan Yang Mahaesa atau dapat pula diartikan sebagai kekuatan supernatural. Seperti roh nenek moyang, pendiri desa, roh leluhur, kekuatan alam yang dianggap mampu memberi perlindungan kepada keturunannya, dan sebagainya (Sri Guritno, 2001 : 2). Upacara yang biasa dilakukan umumnya berupa : upacara yang berkaitan dengan daur hidup (life cycle) contohnya :tujuh bulanan, akekah, matang puluh, dan sebagainya. Upacara yang berkaitan dengan mata pencaharian, contoh : seren taun, seba, dan sebagainya, dan upacara khusus/khas contohnya : upacara memayu di Cirebon, upacara ganti ke ambu, upacara pergantian gelar adat, dan lain-lain.

II.  Sistematika Penulisan Laporan (Fokuskan pada salah satu upacara)
Deskripsi Upacara
1.    Nama Upacara
2.    Latar Belakang Sejarah Upacara
3.    Tujuan Upacara
4.    Waktu Penyelenggaraan Upacara
5.    Tempat Penyelenggaraan Upacara
6.    Teknis Penyelenggaraan Upacara
7.    Persiapan dan Perlengkapan Upacara
8.    Pantangan-pantangan
9.    Makna yang Terkandung dalam Simbol Upacara
10.    Jalannya Upacara menurut Tahapan-tahapannya

III  Pedoman Wawancara
1.    Nama Upacara
-    Berikan penjelasan mengapa upacara itu dinamakan demikian ?
-    Apakah nama itu mengandung arti ? Jika ya, apakah artinya ?
-    Selain nama tersebut, adakah nama atau istilah lainnya ?
2.    Latar Belakang Sejarah Upacara
-    Sejak kapan upacara itu dilaksanakan ?
-    Apa yang melatarbelakangi dilaksanakannya upacara ?
-    Siapa pelaksana pertama upacara ini? Apa  kedudukannya di masyarakat?
-    Dimana dilaksanakan upacara tersebut untuk kali pertama?
-    Apakah upacara tersebut harus dilaksanakan ?
-    Siapa yang melanjutkan pelaksanaan upacara ini ? apakah harus keturunannya langsung? Bagaimana apabila tidak memiliki keturunannya?
-    Dengan cara bagaimana pelaksana upacara terdahulu mewariskan kepada generasi berikutnya ?
-    Adakah perubahan dalam pelaksanaan upacara terdahulu dengan sekarang? Jika ada dalam hal apa ?
-    Hal-hal apa yang boleh berubah dan apa yang tidak boleh berubah ?
3.   Tujuan Upacara
-  Apa tujuan dan manfaat dilaksanakannya upacara ini ?
-  Pernahkan upacara ini tidak dilaksanakan ?
-  Jika tidak melaksanakan upacara ini, apa akibatnya ?
4.   Waktu Penyelenggaraan Upacara
- Kapan upacara itu dilakukan (bulan, tanggal/hari, pagi, siang,sore, atau malam hari)
- Mengapa harus pada waktu-waktu itu ?
- Seandainya penyelenggaraan upacara bertepatan dengan hari besar, bagaimana pengaturannya?
5.  Tempat penyelenggaraan Upacara
- Di mana upacara itu dilaksanakan ? Jelaskan tempat mana saja yang digunakan?
- Apakah tempatnya harus khusus ?
6.  Teknik Penyelenggaraan Upacara
- Siapa saja yang terlibat langsung dalam pelaksanaan upacara dari masa persiapan hingga akhir penyelenggaraan upacara ?
- Siapa yang wajib/boleh terlibat dalam upacara tersebut dan siapa yang tidak boleh mengikuti upacara tersebut ?
- Siapa yang memimpin upacara ?
- Apakah yang memimpin harus orang tersebut? Jelaskan !
- Syarat apa yang harus dimiliki seseorang agar bisa memimpin upacara ?
- Bagaimana jika pemimpin yang harus bertugas pada saatnya berhalangan?
7.  Persiapan dan Perlengkapan Upacara
- Kegiatan apa saja yang dilakukan pada masa persiapan ?
- Sejak kapan persiapan upacara dilaksanakan ?
- Perlengkapan apa saja yang diperlukan untuk upacara ?
- Siapa yang mempersiapkan perlengkapan upacara tersebut ?
- Mana di antara perlengkapan itu yang termasuk sakral ?
- Dari mana perlengkapan itu diperoleh ?
- Apakah perlengkapannya selalu sama dalam setiap pelaksanaan upacara ?
- Jika ada yang berubah, apanya yang berubah ?
- Perlengkapan apa saja yang tidak boleh diganti dan apa yang boleh diganti?
8.  Pantangan-pantangan
- Adakah pantangan yang dikenakan selama pelaksanaan upacara ? Jika ada apa saja pantangan tersebut ?
- Siapa yang dikenai pantangan tersebut ?
- Apakah pantangan tersebut wajib dilaksanakan? Jika ya, bagaimana jika tidak dilaksanakan ?
- Adakah perubahan dalam pantangan dari dulu hingga sekarang ?
9.  Makna yang Terkandung dalam Simbol Upacara
- Adakah makna yang terkandung dalam upacara tersebut, misalnya dalam setiap perlengkapan dan aktivitasnya ? Jika ada jelaskan !
10. Jalannya Upacara Menurut Tapan-tahapannya
- Uraikan dengan rinci tentang jalannya upacara sesuai dengan tahapan-tahapannya !
Demikian sekilas tentang pendataan kebudayaan dengan fokus telaah sistem kepemimpinan dan upacara tradisional.

DAFTAR  PUSTAKA

BKSNT    Panduan Lawatan Budaya Kp.Kuta-Ciamis, Depbudpar, 2006
Rosyadi, Drs.    Pendataan Kebudayaan, Upaya Penyelamatan dan Pelestarian Kebudayaan, BPSNT, Bandung, 2006
Sindu Galba, Drs    Tupoksi Direktorat PKPB, Jakarta,
Sri Guritno, Drs    Upacara Tradisional, Direktorat Tradisi dan Kebudayaan, Jakarta, 2001

Penggalian Data Aspek Tradisi

Penggalian Data Aspek Tradisi
Makalah disampaikan dalam kegiatan Dialog Budaya di Kabupaten Lebak Prov. Banten
Diselenggarakan oleh BPSNT Bandung, tahun 2009


Drs. Nandang Rusnandar
Peneliti BPSNT Bandung

Bila kita mengacu kepada konsep kebudayaan yang dilontarkan oleh Koentjaraningrat yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan dari tata kelakuan dan hasil kelakuan yang menjadi milik bersama dari sebagian besar warga suatu masyarakat yang diperoleh dari proses belajar, maka hampir semua sisi kehidupan manusia nyaris tidak luput dari persoalan kebudayaan. Atau Konsep mengenai kebudayaan sebagai warisan sosial “Social Haritage” , pengertian ini lebih terfokus lagi, karena secara tersirat di dalamnya mengandung arti pelestarian, pembinaan, pemeliharaan, dan sekaligus pengembangan kebudayaan itu sendiri. Koentjaraningrat sendiri mengkalsifikasi kebudayaan menjadi 7 unsur yang universal, artinya hampir seluruh manusia di dunia ini memiliki kebudayaan yang ‘sama’. Ketujuh unsur tersebut adalah : 1) sistem kemasyarakatan, 2) sistem ekonomi atau mata pencaharian hidup, 3) sistem teknologi, 4) sistem religi, 5) sistem pengetahuan, 6) kesenian dan 7) bahasa.
Aspek-aspek kebudayaan tersebut di ataslah  yang perlu di data.  Pendataan ini dapat dilakukan dengan dua macam cara yaitu : pendataan yang bersifat etnografis dan pendataan yang bersifat Tematis/Partial. Pendataan yang bersifat etnografis, adalah pendataan yang mendeskripsikan pola kehidupan suatu masyarakat, ketujuh unsur kebudayaan di atas adalah keseluruhan yang akan menggambarkan bentuk kehidupan masyarakat tersebut. Sedangkan pendataan tematis, adalah pendataan yang sifatnya partial yaitu mengambil atau memfokuskan diri pada salah satu unsur kebudayaan saja.

--00--



Pembuatan Laporan

Pengantar
  • Perlu adanya proposal sebagai awal penelitian atau pendataan, sebagai  rencana dalam rangka pelaksanaan suatu penelitian atau pendataan.
  • Sebelum menulis usulan penelitian dituntut dengan cermat dan melakukan kajian pustaka yang terkait dengan judul.

Judul
  • Mencerminkan isi pendataan  yang menggambarkan gejala yang diteliti.
  • Judul harus jelas, ringkas, singkat, dan concise menggambarkan dengan tepat dan cepat isi dari proposal. spesifik, dan jelas, tidak panjang bertele-tele, sehingga mengaburkan arti dan melelahkan pikiran pembaca.
  • Judul harus menarik dan mengajak pembaca untuk menelaah lebih lanjut.

Latar Belakang Masalah
  • Pernyataan tentang gejala/fenomena yang akan diteliti, boleh diangkat dari masalah teoretis atau diangkat dari masalah praktis.
  • Argumentasi tentang pemilihan topik penelitian (menunjukkan permasalahan sebagai perbedaan antara das Sein dan das Sollen (konsep atau teori yang ada).
  • Situasi yang melatarbelakangi masalah (yang dipermasalah-kan).
  • Nyatakan mengapa topik pendataan ini penting, pantas, dan perlu dilakukan.  
  • Timbulkan kesan, bahwa pendataan ini penting, perlu dan berguna. Karena itu bagian akhir uraian latar belakang harus ditutup dengan kalimat: "Atas dasar uraian di muka, maka dirasa perlu untuk melakukan pendataan tentang .....".

Perumusan Masalah
  • Biasanya dan sangat memudahkan perumusan masalah ini dinyatakan dalam kalimat tanya atau pernyataan yang mengandung masalah.

Maksud dan Tujuan
  • Maksud adalah konsekuensi dari masalah pendataan.
  • Tujuan, adalah merujuk  pada hasil yang akan dicapai atau diperoleh dari maksud pendataan.
  • Kegunaan, apa yang dapat dicapai dari penerapan pengetahuan yang dihasilkan pendataan ini sebagai perwujudan dari aspek praktis (?).
Metode Penelitian
  • Bagian ini  menegaskan pendekatan, metode, dan teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data yang dapat menjawab atau menjelaskan masalah pendataan.

Teknik Pencarian Data
  • Menyajikan deskripsi yang mendalam dan lengkap, sehingga informasi yang disampaikan nampak hidup sebagaimana adanya dan pelaku-pelaku mendapat tempat untuk memainkan peranannya
  • Bercorak holistik / menyeluruh
  • Menggunakan bahasa biasa dan bukannya dengan bahasa teknis yang sulit dimengerti pembaca.

Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data
A. Teknik Pengumpulan Data
  • Pengamatan
  • Pengamatan Terlibat
  • Wawancara
  • Data Pengalaman Individu & Dokumen
  • Sumber Data
  • Informan
  • Pelaku
  • Responden

Pengamatan
  • Metode pengamatan; digunakan untuk mengamati gejala-gejala yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari dari masyarakat yang diteliti. Sehingga dapat dengan lengkap  memperoleh gambaran mengenai gejala-gejala (tindakan, benda, peristiwa, dsb yang bermakna bagi kehidupan masyarakat yang diteliti.
  • Lingkup pengamatan: ruang/tempat, pelaku, aktivitas, benda/alat, peristiwa, ekpresi pelaku.

Metode Pengamatan Terlibat
  • Sebuah teknik pengumpulan data yang mengharuskan si peneliti melibatkan diri dalam kehidupan dari masyarakat yang diteliti untuk dapat melihat dan memahami gejala-gejala yang ada, sesuai maknanya dengan yang diberikan atau dipahami oleh para warga masyarakat yang ditelitinya. Di dalamnya adalah wawancara dan mendengarkan serta memahami apa yang didengar.

Wawancara dengan Pedoman
  • Teknik untuk mengumpulkan informasi dari para warga masyarakat yang diteliti mengenai suatu masalah khusus dengan teknik bertanya yang bebas tetapi berdasarkan atas suatu pedoman yang tujuannya adalah untuk memperoleh informasi khusus dan bukannya untuk memperoleh respon atau pendapat mengenai sesuatu masalah.
  • Teknis wawancara: Sapaan dan saling mengakrabkan, mengajukan pertanyaan dan menghindari pengulangan, menunjukkan minat, menunjukkan ketidaktahuan, dan waktu sela serta diakhiri dengan penutup.

Sumber Data
  • Pemberi informasi atau keterangan dalam penelitian kualitatif, dinamakan informan.
  • Informan, adalah mereka yang dapat memberikan keterangan-keterangan atau informasi-informasi tentang pelbagai data yang berhubungan dengan penelitian – menentukan kriteria.
  • Pelaku, adalah seseorang yang menjadi obyek pengamatan dalam suatu setting peristiwa (alam)
  • Responden, adalah pemberi data mengenai respon atau pendapat dari orang yang diwawancarai mengenai sesuatu gejala atau peristiwa – teknik sampling.

Organisasi Penulisan
Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
     1.1 Latar Belakang Masalah
     1.2 Masalah
     1.3 Tujuan Pendataan
     1.4 Ruang Lingkup
     1.5 Teknik Pendataan
Bab II Gambaran Umum Daerah Pendataan
     2.1 Lokasi dan Keadaan Alam
     2.2 Kependudukan
    2.3 Latar Belakang Sosial Budaya
Bab III Isi (Pokok / Materi pendataan)
Bab IV Penutup
    4.1 Simpulan
    4.2 Saran

Simpulan
  • Simpulan adalah inferens, deduksi, abstraksi, implikasi, interpretasi, pernyataan umum, dan/atau generalisasi berdasarkan temuan.
  • Simpulan adalah turunan logis dan sahih dari hasil penelitian. Sebaiknya simpulan tidak mengandung angka sebab angka-angka biasanya membatasi efek atau dampak cakupan generalisasi. Jangan menyimpulkan apapun dari hal-hal yang tidak Anda teliti.
  • Simpulan harus menjawab permasalahan penelitian. Penelitian Anda dapat dikatakan tidak berarti bilamana permasalahan penelitian tidak terjawab dengan baik.
  • Simpulan harus dibuat berdasar fakta, bukan yang tersirat daripadanya.
  • Simpulan harus dirumuskan dengan ringkas dan cermat, tetapi mengandung semua informasi hasil penelitian sebagaimana yang menjadi permasalahan penelitian.
  • Pernyataan harus tegas; jangan ada keraguan dalam hal kesahihan dan keterandalan. Penggunaan kata seperti mungkin, barangkali, kiranya, tampaknya, sedapat-dapatnya dihindari.
  • Simpulan hanya mengacu pada populasi, tempat, atau subjek tertentu.
  • Dalam menarik simpulan, bersikaplah kritis.
 
Saran
  • Saran yang dikemukakan mestinya berasal dari hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan atau hasil pendataan. Jangan ungkapkan “…agar pendataan ini dilanjutkan”.
  • Ditujukan untuk mengatasi atau membantu menyelesaikan masalah yang diselidiki.
  • Saran harus berkait dengan hal-hal yang dibahas. Saran untuk hal yang sama sekali tidak dibahas tidaklah relevan.
  • Praktik atau sistem yang baik dapat disarankan untuk digunakan, atau bahkan disarankan untuk diperbaiki.
  • Saran harus dapat dikerjakan dan praktis. Tidak ada gunanya menyarankan hal-hal yang mustahil.
  • Saran harus logis dan sahih. Bila masalahnya adalah kurangnya sarana, yang paling logis untuk disarankan adalah pengadaan sarana.
  • Saran dapat ditujukan kepada orang, lembaga, atau satuan yang berwenang untuk melaksanakannya.
  • Penelitian lanjutan dapat disarankan untuk maksud verifikasi, penguatan, atau bahkan melawan temuan

Daftar Pustaka
  • Berisi daftar buku yang digunakan dalam penulisan Laporan
  • Tatacara penulisan daftar pustaka dapat merujuk pada kelaziman penulisan yang berlaku di setiap instansi

Penutup
  • Setelah selesai menulis kemudian baca dan simak kembali, manakala ada kesalahan teknis penulisan dan pengetikan, juga tidak kalah pentingnya kekeliruan logika dan keruntutan berpikir.

Penulisan Daftar Pustaka
 
Koentjaraningrat (red). 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

Rujukan Elektronik
Boon, J. (tanpa tahun). Anthropology of Religion. Melalui <http://www.indiana edu/~wanthro/religion.htm > [10/5/03]
Kawasaki, Jodee L., and Matt R. Raven. 1995. “Computer-Administered     Surveys in Extension”. Journal of Extension 33 (June). E-Journal on-ine. Melalui < http://www.joe.org/june33/95.html >     [06/17/00].

Pedoman Wawancara :
A. Sistem Teknologi Tradisional

1. Pengertian Sistem Teknologi Tradisional.
Teknologi adalah keseluruhan dari teknik-teknik yang dimiliki oleh anggota suatu masyarakat, yaitu keseluruhan dari cara bertindak dan berbuat dalam hubungannya dengan pengumpulan bahan-bahan mentah dari lingkungannya dan memprosesnya menjadi alat kerja, alat untuk menyimpan, makanan, pakaian, perumahan, alat transportasi, dan kebutuhan lain yang berupa materil (Harsojo, 1977 :223) Adapun yang dimaksud dengan teknologi tradisional adalah peralatan serta cara-cara mempergunakan peralatan tersebut dalam kehidupan sehari-hari yang sifatnya masih sederhana dan diwariskan secara turun temurun.

2. Bagaimana cara menyusun laporan Pendataan
a. Deskripsi Sistem teknologi Tradisional (Membuat Gula Aren)
-    Sejarah Pembuatan Gula Aren di Kampung A
-    Tulis berbagai semua macam peralatan yang dipergunakan
-    Dari mana peralatan tersebut diperoleh (dibuat sendiri / beli dari mana?)
-    Tulis semua bahan Gula Aren
-    Asal-usul bahan Gula Aren
-    Berapa macam Jenis Gula Aren
-    Teknik Pembuatan Gula Aren (dari awal hingga akhir)
-    Tenaga Kerja
 b. Kesimpulan Tulisan
 c. Daftar Informan

3. Pedoman Wawancara
1. Sejarah Pembuatan Gula Aren di Kampung A
-    Sejak kapan pembuatan gula aren dimulai ?
-    Siapa yang pertama kali memperkenalkannya ?
-    Apa yang melatarbelakangi munculnya pembuatan gula aren di kampung ini?
2. Peralatan Pembuatan Gula Aren
-    Alat apa saja yang digunakan untuk membuat gula aren ?
-    Terbuat dari apa alat-alat tersebut ?
-    Sampai berapa lama alat-alat tersebut dapat digunakan ?
-    Bagaimana cara pemeliharaan alat-alat tersebut ?
3. Asal-usul Peralatan pembuatan gula aren.
-    Dari mana peralatan tersebut diperoleh, apakah dengan membeli atau membuat sendiri ?
4. Macam-macam bahan gula aren
-    Bahan apa asaja yang dipergunakan untuk membuat gula aren ?
5. Asal-usul bahan gula aren
-    Dari mana bahan-bahan tersebut diperoleh, apakah dengan membeli atau mengambil sendiri atau membuat sendiri dari kebun ?
6. Jenis Gula Aren
-    Ada berapa jenis gula aren ? Jelaskan nama-nama setiap jenisnya.
7. Teknik membuat Gula Aren
-    Bagaimana cara membuat gula aren dari awal hingga akhir proses.
8. Tenaga Kerja
-    Berapa orang yang dibutuhkan untuk membuat gula aren ini ?
-    Dari mana saja orangnya ? apakah masih keluarga ? sekampung ?
-    Persyaratan apa untuk menjadi pembuat gula aren ?
-    Dari mana pengetahuan dalam membuat gula aren? Bagaimana cara memperoleh pengetahuan tersebut ?
 
B. Sistem Ekonomi
1. Pengertian Sistem Ekonomi.
Sistem eknomi tradisional adalah seluruh rangkaian adat istiadat, aktifitas, mekanisme, dan sarananya yang berkaitan dengan usaha memproduksi, menyimpan, dan mendistribusikan barang kehidupan manusia. Contohnya : berburu, menangkap ikan bercocok tanam, dan industri sederhana (Depdikbud, 1986 :32)

2. Bagaimana cara menyusun laporan Pendataan
a. Deskripsi Sistem Ekonomi Tradisional Pertanian
    - Menetapkan Lahan garapan
    - Menyiapkan Lahan garapan
    - Peralatan Bertani
    - Benih Tanaman
    - Masa Tanam
    - Masa Pemeliharaan
    - Masa Panen
    - Penyimpanan  Hasil
    - Pola Distribusi dan Konsumsi
b. Kesimpulan Tulisan
c. Daftar Informan

3.Pedoman Wawancara
1. Menatapkan Lahan Garapan
-    Di manakah menentukan laha garapan ?
-    Bagaimana cara menentukan lahan garapan tersebut? Apakah masyarakat dapat menentukan sendiri lahan grapannya ?
-    Siapa saja yang terlibat pada saat menetapkan lahan garapan ?
-    Apakah ada pantangan yang diberlakukan pada saat menetapkan lahan garapan ?
2. menyiapkan Lahan garapan.
-    Bagaimana caranya menyiapkan lahan garapan ?
-    Siapa saja yang terlibat pada saat menetapkan lahan garapan ?
-    Apakah ada pantangan yang diberlakukan pda saat menyiapkan laha garapan?
3. Peralatan Bertani
-    Sebutkan peralatan apa saja yang digunakan ?
-    Darimana diperolehnya ? membeli ? Membuat sendiri ?
4. Benih Tanaman.
-    Apakah ada ketentuan khusus untuk benih ini ?
-    Dari mana atau bagaimana caranya benih tanaman tersebut didapatkan ?
-    Siapa saja yang terlibat pada masa pem,ilihan benih ?
-    Apakan ada pantangan dalam penentuan benih ini ?
5. Masa Tanam
-    Kegiatan apa saja yang dilakukan pada masa tanam, jelaskan secara rinci dari awal hingga akhir !
-    Siapa saja yang terlibat pada masa tanam ?
-    Apakah ada pantangan pada masa tanam ?
6. Masa Pemeliharaan
-    Kegiatan apa saja yang dilakukan pada masa pemeliharaan ?
-    Siapa saja yang terlibat dalam masa pemeliharaan ?
-    Apakah ada pantangan pada masa pemeliharaan ?
7. Masa Panen
-    Berapa lama antara masa tanam hingga masa panen berlangsung ?
-    Kegiatan apa saja yang dilakukan pada masa panen ?
-    Siapa saja yang terlibat pada masa panen ?
-    Apakah ada pantangannya ?
8. Penyimpanan hasil
-    Di mana hasil panen di simpan ?
-    Bagaimana cara penyimpanannya ? Apakah ada teknik yang khusus ?
-    Siapa saja yang terlibat dalam kegiatan ini ?
-    Apakah ada pantangan ketika kegiatan ini berlangsung ?
9. Pola Distribusi dan Konsumsi
-    Dimanfaatkan untuk apa hasil panen ini ? Dijual? Atau dikonsumsi sendiri ?
-    Berapa banyak hasil panen yang dijual atau dikonsumsi?
-    Apakah ada pantangan pada saat hasil itu dikonsumsi atau dijual ?
-    dst.

Daftar Pustaka

Ade Makmur Kartawinata. 2005. Teknik Pembuatan Usulan Penelitian Makalah PELATIHAN PENULISAN KARYA TULIS MAHASISWA, di UNIVERSITAS PADJADJARAN
Rosyadi, Drs. 2006. Pendataan Kebudayaan “Upaya penyelamatan dan pelestarian Kebudayaan” Makalah Bedah Proposal di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
Booklet Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, 2006. Lawatan Budaya Kampung Kuta Ciamis.

Penggalian Data Aspek Kepercayaan

Penggalian Data Aspek Kepercayaan
Makalah disampaikan dalam kegiatan Dialog Budaya di Kab. Lebak Prov. Banten
yang diselenggarakan oleh BPSNT Bandung Tahun 2007

Drs. Aam Masduki
(Peneliti BPSNT Bandung)

A. Pendahuluan
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Bandung adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Lembaga yang didirikan berdasarkan daerah kebudayaan ini melaksanakan kegiatan pendataan, penelitian, pendokumentasian, dan penyebarluasan informasi tentang kesejarahan dan kenilaitradisionalan (termasuk budaya spritual dan kesenian) di wilayah kerjanya (Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten dan Lampung). Dalam struktur organisasi BPSNT terdapat tenaga fungsional yang dibagi ke dalam lima aspek, salah satunya adalah Aspek Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa. Aspek ini mulai ada di BPSNT pada tahun 2003. Apakah itu aspek kepercayaan dan seperti apa garapannya, akan kita ulas satu persatu, sekaligus contoh untuk melakukan pendataan yang terkait dengan aspek kepercayaan.
Satu hal yang perlu dijelaskan terlebih dahulu adalah konsep tentang kepercayaan. Secara antropologis, kepercayaan dapat diartikan sebagai aktivitas-aktivitas dan proses-proses rohaniah seperti penangkapan pengalaman, rasa, kemauan, dan keinginan yang berlangsung dalam alam pikiran individu atau kolektif yang terkait langsung dengan ketentraman dan keseimbangan untuk menempatkan person (individu) di bawah kolektif (masyarakat) dan masyarakat di bawah semesta alam (Ade MK, 2006:2).
Zulyani Hidayah dalam makalahnya menyatakan, dalam pengertian religi atau keagamaan, “kepercayaan” merupakan suatu bagian dari dasar-dasar moral dan spritual yang luas, dan biasanya disebut “keyakinan”. Menurut sejarahnya, keyakinan dikembangkan oleh sekelompok orang yang mencari dasar-dasar fungsional yang kuat untuk melestarikan keyakinan tersebut. Umumnya sebuah keyakinan akan diterima semakin kuat apabila keyakinan tersebut telah mengalami berbagai tekanan, penjelasan atau munculnya berbagai peristiwa yang dianggap sebagai “wahyu”.
Garapan Aspek Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa dibedakan menjadi dua.. Yang pertama adalah kepercayaan komunitas adat, yakni paham yang bersifat dogmatis, terjalin dalam adat istiadat hidup dari berbagai suku bangsa yang dipercayai secara turun temurun berdasarkan norma-norma adat yang berlaku pada masing-masing suku bangsa. Hal ini erat kaitannya dengan sistem religi yang dianut oleh suatu komunitas adat.
Kepercayan “komunitas adat” sebagai suatu sistem keyakinan merupakan warisan leluhur yang telah mewarnai manusia Indonesia umumnya yang terdiri dari beratus-ratus suku bangsa. Masing-masing suku bangsa tentunya mempunyai cara dan tindakan dalam menunjukkan simbol-simbol yang diaktifkan dalam kepercayaan sebagai suatu sistem religi. Banyaknya simbol yang diaktifkan menunjukkan adanya keanekaragaman bentuk kepercayaan.
Adapun bentuk-bentuk dari kepercayaan masyarakat “komunitas adat” seperti kepercayaan pada benda-benda/makam yang dikeramatkan, kepercayaan kepada makhluk-makhluk/roh-roh halus, kepercayaan yang diwujudkan ke dalam larangan/tabu, motos-mitos, ramalan-ramalan/kepada hal-hal diluar kebiasaan (supranatural), takhyul dan sebagainya yang perbedaannya tampak lahir pada upacara-upacara, kepercayaan dan mitologinya. Sedangkan pada kepercayaan komunitas adat yang “spesifik” biasanya mempunyai ajaran yang dijadikan acuan dalam tindakan, misalnya Sunda Wiwitan (Baduy) dan sebagainya.
Yang kedua adalah kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa atau peribadatan serta pengamalan budi luhur. Dalm hal ini, difokuskan pada kepercayaan yang dilembagakan dalam berbagai organisasi penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa, seperti Aliran Kebatinan Perjalanan, Organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa Ibu Pertiwi, dll. Organisasi tersebut merupakan wadah bagi para penghayat dalam satu keyakinan untuk mendalami, menghayati, melestarikan ajaran kepercayaan. Data yang dapat diliput dari organisasi penghayat di antaranya tentang ajaran, yang meliputi:

- Konsepsi tentang Tuhan
- Konsepsi tentang Manusia
- Konsepsi tentang Alam Semesta
- Ajaran Budi Luhur
- Ritual Peribadatan
- Upacara-upacara

B. Pendataan Tempat-Tempat Keramat

1. Pengertian tentang Tempat-Tempat Keramat
Pendataan Tempat-Tempat Keramat dipandang tepat untuk dijadikan contoh dari Aspek Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa dalam kegiatan ini. Wilayah Banten dipandang kaya dengan komunitas adat seperti Baduy, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Cisungsang, dan kasepuhan-kasepuhan lainya. Umumnya, tempat keramat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaan suatu komunitas adat. Oleh karena itu dipandang perlu untuk dilakukan pendataan.
Secara etimologi, tempat keramat terdiri atas dua kata, yakni “tempat” dan “keramat”. Tempat artinya ruang (bidang, rumah) yang tersedia untuk melalukan sesuatu, sedangkan keramat mempunyai arti yang berhubungan dengan sifat kejiwaan rohani atau batin (KBBI, 1990:960). Berdasarkan pengertian di atas, maka tempat keramat adalah tempat/ruang yang tersedia untuk berkomunikasi dengan Tuhan Yang Mahaesa atau dewa. Dalam arti sempit, tempat keramat dianggap sebagai tempat untuk melakukan kegiatan ritual suci yang terlindung dari pelanggaran, pengacauan, atau pencemaran yang sifatnya religius. Artinya, tempat-tempat yang dianggap suci dan dianggap akan diberkati akan mendapat perlakuan dan penghormatan yang khusus. Di tempat seperti itu, manusia religius akan berperilaku berbeda dengan di tempat-tempat yang profan (bukan keramat).
Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki tempat-tempat keramat. Di tempat tersebut masyarakat pendukungnya dapat mengekspresikan dirinya secara religius dengan cara-cara dan perilaku yang beragam sesuai dengan eksistensi tempat-tempat keramat itu sendiri.
Keberadaan tempat-tempat keramat yang ada di wilayah Indonesia begitu beragam. Keberagaman ini dapat dilihat dari aspek bentuk, sifat, dan fungsi masing-masing tempat keramat. Tempat keramat sebagai tempat untuk melakukan kegiatan ritual suci yang sifatnya religius ini, dari segi bentuk yang dapat dibedakan menjadi dua, yakni tempat keramat di alam terbuka dan alam tertutup.
Tempat-tempat keramat di alam terbuka merupakan tempat-tempat (alam) yang belum banyak atau bahkan sama sekali belum mendapat sentuhan perubahan bentuk oleh manusia dan diyakini memiliki kekuatan gaib. Bentuk-bentuk yang ada merupakan ciptaan alam dan dibentuk oleh alam itu sendiri, misalnya sendang, pantai, pegunungan, sumur, bebatuan, tumbuhan, dan sebagainya. Adapun tempat-tempat keramat di alam tertutup dimaksudkan sebagi suatu tempat yang memang diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kepentingan emosi keagamaan. Sejak proses penciptaan tempat tersebut sudah diperlukan nilai-nilai religius. Tingkat emosi keagamaan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu pendukungnya juga berbeda, oleh karena itu dalam proses penciptaannya juga beragam sesuai dengan latar belakang kepercayaan yang dianutnya, misalnya Goa Intan di Jongol, Goa Kotamanah di Sukabumi, Makam Sunan Gunung Jati, Makan Sultan Hasanudin, petilasan-petilasan Nyi Roro Kidul di Cisolok Pelabuhan Ratu, dan sebagainya.
Pada hakekatnya suatu tempat keramat merupakan tempat yang dianggap tempat suci. Masyarakat pendukungnya datang ke tempat-tempat keramat sesuai dengan keyakinan dan didorong oleh motivasi bersifat rohaniah maupun duniawi. Sifat Rohani, yang dimaksud adalah manusia dalam melakukan spritual lebih mengarah kepada “Illahian” dan menganggap bahwa alam ini ada yang mengatur yakni Zat yang Maha Tinggi. Biasanya yang bersifat rohani lebih mengarah kepada penghormatan. Sifat diniawi, yakni lebih mengarah kepada keinginan atau maksud tertentu untuk segera dikabulkan, misalnya ingin penglaris dan sebagainya. Biasanya yang sifatnya diniawiyah mengarah pada pemujaan-pemujaan leluhur.
Berangkat dari pengertian mengenai sifat-sifat keramat, dimana manusia dalam mewujudkan hasratnya dipengaruhi bermacam-macam keinginan, maka sifat-sifat kedunawian dan kerohanian dapat lebih dipertegas lagi pada fungsi tempat-tempat keramat yang sesuai dengan maksud mesyarakat pendukung kebudayaan untuk melakukan kereligiusannya.
Fungsi tempat keramat bisa dibedakan sebagai tempat untuk mendapatkan ilmu spritual dan sosial. Pada fungsi spritual, masyarakat pendukungnya yang datang ke tempat-tempat keramat hanya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan spritual atau orientasinya yang lebih mengarah dalam mencari keseimbangan keselarasan. Pada fungsi sosial, masyarakat pendukung, baik secara individu maupun kelompok datang ke tempat-tempat keramat dengan tujuan/orientasi mengarah pada keinginan mendapatkan suatu kemudahan (mendapat sesuatu secara mudah). Contoh : Gunung Kawi merupakan tempat pesugihan, yang datang ke tempat-tempat keramat dengan orientasi yang tertuju pada hasrat/keinginan memperoleh kedudukan, kehormatan dan sebagainya.

2. Kerangka Penulisan Laporan Pendataan
Berangkat dari batasan mengenai tempat-tempat keramat tadi, dipandang perlu untuk membuat suatu kerangka penulisan laporan pendataan tentang Tempat-Tempat Keramat. Kerangka tersebut bisa digunakan semuanya jika ingin membuat satu tulisan secara lengkap, utuh, dan sistematis seperti yang akan diuraikan nanti. Tidak salah juga pilihan ditujukan pada bab III saja, jika hanya ingin membuat tulisan ringan mengenai tempat-tempat keramat di suatu wilayah tertentu. Kearangka penulisan laporan pendataan Tempat-Tempat Keramat secara lengkap dan utuh adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Ruang Lingkup
1.5 Teknik Pendataan
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENDATAAN
2.1 Lokasi dan Keadaan Alam
2.2 Kependudukan
2.3 Kehidupan Sosial Budaya
BAB III DESKRIPSI TEMPAT-TEMPAT KERAMAT
3.1 Tempat-Tempat Keramat di Alam Terbuka
3.2 Tempat-Tempat Keramat di Alam Tertutup
BAB IV PENUTUP
4.1 Simpulan
4.2 Saran-saran
Daftar Pustaka
Lampiran

3. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara perlu disusun untuk mempermudah tim pendataan menggali data atau informasi dari informan yang sudah ditentukan sebelumnya. Pedoman ini disusun khusus untuk mengisi Bab III, baik untuk tempat-tempat keramat di alam terbuka maupun di alam tertutup.

a. Asal-usul
- Apa nama tempat keramat tersebut dan dimana lokasinya?
- Ada berapa jumlahnya?
- Bagaimanakah bentuk fisiknya sungai, gunung, batu, pepohonan, dll) ?
- Adakah makna yang terkandung dari benda-benda yang melekat pada tempat tersebut?
- Apakah tempat tersebut ada isinya?
- Bagaimanakah riwayat keberadaan tempat keramat tersebut?
- Siapakah penjaga tempat keramat tersebut?
- Adakah kriteria tertentu untuk menjadi penjaga tempat keramat?
- Apakah keistimewaan tempat keramat itu?
- Adakah ritual tradisi (upacara, dll) yang dilaksanakan di tempat tersebut?

b. Pantangan
- Siapa saja yang menziarahi tempat keramat tersebut?
- Bagaimanakah tatacara mengunjungi tempat keramat tersebut
- Adakah orang yang dilarang ke tempat keramat tersebut ( perempuan yang sedang datang bulan misalnya)?
- Berapa jumlah pengunjung setiap harinya, kapan puncak keramaiannya?
- Berapa lama mereka berada di sana (paling lama dan paling sebentar)?
- Adakah jam, hari, dan, bulan yang dilarang untuk berkunjung ke sana?
- Adakah ketentuan khusus yang dikenakan kepada pengunjung ( cara berpakaian, barang yang dibawa, perilaku, dan lain-lain) yang datang ke tempat ?
- Adakah larangan yang dikenakan khusus pada makam dan areal di sekitarnya yang harus dipatuhi oleh pengunjung?

c. Fungsi
- Apakah keistimewaan tempat keramat itu dalam pandangan masyarakat atau pengunjung?
- Untuk mendapat keistimewaan tersebut, persyaratan apa yang harus dipenuhi pengunjung , baik perilaku maupun perlengkapan lainnya?
- Siapakah yang menentukan persyaratan tersebut (kuncen, dll)
- Adakah makna khusus dari perilaku yang dijalani dan perlengkapan yang dibawa pengunjung ? Uraikan jika ada!
- Bagaimana kalau tidak sanggup menjalani persyaratan tersebut, adakah penggantinya?
- Apa saja tujuan apa saja yang ingin dicapai pengunjung datang ke makam tersebut?

Daftar Pustaka

Damami Mohammad, Pemberdayaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Makalah disusun dalam rangka Presentasi Penataran Tenaga Teknis Pamong Budaya Spritual, Jakarta 13 Desember 2005.

Maria Siti, Pelestarian Kepercayaan Komunitas Adat. Makalah dalam Pamong Budaya Spritual, Jakarta 23 Desember 2006.

Makmur K, Ade, Pemberdayaan Masyarakat Adat. Makalah dalam Penataran Tenaga Teknis Pamong Budaya Spritual Tingkat lanjutan, Jakarta 20 Desember 2006.

Penggalian Data Aspek Sejarah

Penggalian Data Aspek Sejarah
Makalah disampaikan pada kegiatan Dialog Budaya di Kabupaten Lebak (Prov. Banten)
yang diselenggarakan oleh BPSNT Bandung. 2007




Drs. Heru Erwantoro
(Peneliti BPSNT Bandung

A. Pendahuluan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.38/OT.001/MKP-2006 tertanggal 7 September 2006, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional berganti nama menjadi Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional selanjutnya disebut Balai Pelestarian.
Balai Pelestarian mempunyai tugas melaksanakan pelestarian kebudayaan yang mencakup perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pendokumentasian aspek-aspek nilai budaya, seni dan film, serta kesejarahan. Untuk melaksanakan tugas itu Balai Pelestarian menyelenggarakan fungsi:
a. Pelaksanaan penyusunan rencana dan program;
b. Pelaksanaan pengkajian terhadap nilai-nilai budaya, seni dan film, serta kesejarahan.
c. Pengembangan hasil kajian;
d. Pelaksanaan pengemasan hasil kajian dan pemanfaatannya;
e. Pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan;
f. Pelaksanaan pendokumentasian dan penyebarluasan informasi;
g. Pelaksanaan perlindungan;
h. Pelaksanaan pelayanan publik;
i. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Balai pelestarian.
Untuk melaksanakan tugas dan fungsi yang telah digariskan tersebut Balai Pelestarian Bandung yang Wilayah Kerjanya mencakup Propinsi Jawa Barat, Propinsi DKI Jakarta, Propinsi Banten, dan Propinsi Lampung memiliki 6 Aspek Kelompok Peneliti, yaitu: Aspek PKPB, Aspek Tradisi, Aspek Kesenian dan Film, Aspek Kepercayaan, Aspek Nilai Sejarah, dan Aspek Geografi Sejarah.

B. Aspek Sejarah
Aspek Sejarah sesuai dengan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata yang telah disebutkan di atas, memiliki tugas perlindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pendokumentasian di bidang kesejarahan dengan melaksanakan tugas mengkaji, mengemas, memanfaatkan, mendokumentasikan, dan mensosialisasikan informasi kesejarahan kepada publik.
Di dalam melaksanakan tugas dan fungsi tersebut Aspek Sejarah Balai Pelestarian di seluruh Indonesia diharapkan dapat membantu menjawab berbagai permasalahan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia baik dalam konteks nasional, lokal/regional, dan global. Tentu saja hal itu merupakan tantangan yang berat yang perlu disiasati dengan berbagai program aksi. Hal yang penting adalah program kegiatan yang disusun haruslah merupakan program yang mendukung peningkatan wawasan teoritik dan metodologi serta kemampuan menggunakan sumber sejarah yang lebih beragam jenis dan bahasanya. (Susanto Zuhdi, 2004: 1). Lebih jauh Susanto menjelaskan bahwa rencana strategis kajian sejarah haruslah memperhatikan PLI (Pencermatan Lingkungan Internal) yaitu memperhatikan kekuatan dan kelemahan internal (SDM, Program, sarana dan mekanisme kerja) dan PLE (Pencermatan Lingkungan Eksternal) yaitu berkaitan dengan kemampuan membaca perkembangan di masyarakat lokal, nasional, dan global.
Bila bertitik tolak pada harapan yang telah disebutkan di atas tampaknya ruang lingkup kajian sejarah tidaklah cukup pada topik yang bertema politik semata akan tetapi diperlukan diversifikasi tema/topik penelitian yang mencakup bidang sosial-budaya, sosial-ekonomi, kesenian dan lain-lain. Tema kajian itu dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Sejarah Lokal/Regional
1.1 Sejarah Pemekaran Wilayah
1.2 Sejarah Kota: Propinsi, Kabupaten/Kota.
2.Sejarah Politik: Demokrasi
2.1 Pemilu Dari Masa ke Masa
2.2 Wacana Poitik
2.3 Perilaku Politik
2.4 Institusi Politik
3. Sejarah Sosial-Ekonomi
3.1 Sejarah Konflik
3.2 Sejarah Perdagangan
3.3 Sejarah Pasar
4. Sejarah Sosial-Budaya
4.1 Sejarah Masyarakat di Wilayah Perbatasan Antarnegara
4.2 Sejarah Sukubangsa (Ethno-History)
4.3 Sejarah Kesenian
5. Sejarah Lingkungan (Eco-History)
5.1 Pencemaran Lingkungan
5.2 Masalah-masalah Kehutanan
5.3 Musibah Bencana Alam (Banjir, tsunami, kekeringan)
5.4 Bendungan/Kanal/Dam
6. Sejarah Maritim (Kelautan)
6.1 Pelabuhan/Kota Pelabuhan
6.2 Pelayaran
6.3 Perdagangan
6.4 Penyelundupan
6.5 Perompakan
6.6 Perikanan
6.7 Masyarakat Laut/Nelayan
6.8 Masyarakat Pulau Kecil.

C. Penggalian Data/Sumber Sejarah
Untuk melaksanakan tugas dan fungsi yang telah ditetapkan itu, tampaknya penggalian data sejarah menjadi hal yang pertama dan utama yang harus dilakukan oleh Aspek Sejarah. Namun demikian, sudah menjadi rahasia umum bahwa di dalam penulisan sejarah, kendala yang paling utama dihadapi para penulis sejarah adalah mengenai sumber sejarah. Bayak hal yang menyebabkan mengapa hal itu terjadi, di antaranya karena bangsa kita: pertama, kurang tradisi baca tulisnya (masih terlalu kuat budaya lisannya); kedua, budaya ahistoris yang masih melekat kuat; ketiga, belum memiliki tradisi pendokumentasian, dan keempat, bisa jadi belum memahami apa itu sumber sejarah. Pada kesempatan ini, penyebab keempat yang akan dibahas mengingat pentingnya pengetahuan mengenai apa itu sumber sejarah.
Secara umum penggolongan sumber sejarah didasarkan atas bahannya, asal-usul atau urutan penyampaiannya, dan tujuan sumber itu dibuat. Sumber sejarah menurut bahannya dapat dibagi dua, yaitu sumber tertulis dan tidak tertulis. Sumber sejarah menurut urutan penyampaiannya dapat dibedakan menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Adapun menurut tujuannya, sumber sejarah, dapat pula dibagi menjadi sumber formal dan informal (Abdurrahman, 1993: 31). Uraian lebih lanjut mengenai klasifikasi sumber sejarah adalah sebagai berikut:

1. Berdasarkan Bahannya
a. Sumber Tertulis
Sumber tertulis ialah kumpuln data verbal yang berbentuk tulisan dan dalam arti sempit biasa disebut dengan istilah dokumen. Beberapa pakar sejarah yang telah melakukan pengklasifikasian atas dokumen dalam arti sempit ini ialah:

- R. Van Niel
R. Van Niel setelah mempelajari secara komprehensif atas sumber sejarah Jawa pada abad 19 yang tertulis dalam bahasa-bahasa Barat, menggolongkan sumber sejarah ke dalam enam katagori, yaitu: (1) dokumen-dokumen pemerintah yang belum diterbitkan; (2) dokumen-dokumen pemerintah yang telah diterbitkan; (3) laporan-laporan pemerintah; (4) arsip pribadi yang belum diterbitkan; (5) surat-surat keluarga; dan (6) catatan-catatan perjalanan (Alfian, 1994: 35).

- Louis Gottchalk
Louis Gottchalk dalam bukunya “Understanding History: A Primer of Historical Methode” menggolongkan dokumen ke dalam delapan jenis, yaitu: (1) Rekaman sejaman, yang berupa instruksi, rekaman stenografis dan fonografis, surat-surat niaga dan hukum, buku-buku catatan dan memori pribadadi; (2) Laporan konfidensial berupa berita resmi militer dan diplomatik, jurnal atau buku harian, dan surat-surat pribadi; (3) Laporan umum berupa surat kabar, memoir dan otobiografi, sejarah resmi atau otorisasi; (4) Questionnaire tertulis tentang informasi dan opini; (5) Dokumen pemerintah berupa laporan badan pemerintahan, undang-undang, dan peraturan-peraturan; (6) Pernyataan opini berupa tajuk rencana, esei, pidato, brosur, dan surat kepada redaksi; (7) Fiksi berupa nyanyian dan puisi; dan (8) Cerita rakyat (folklore) berupa nama-nama tempat, pepatah, dan peribahasa.

- Gilbert J. garraghan S.J
Gilbert J. Garraghan S.J dalam bukunya “ A Guide to Historical Method” membagi sumber tertulis ke dalam dua kategori, yaitu: (1) Annal dan kronik yang berupa historiografi Abad Pertengahan; (2) Inskripsi yaitu data dalam bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, dan agama yang terdapat dalam bentuk tulisan pada batu, perunggu, marmer, perkamen, atau bahan keras lainnya.

- Sartono Kartodirdjo
Sartono Kartodirdjo dalam tulisannya yang berjudul “Metode dan Dikdatik Sejarah” mengamati sumber sejarah tertulis dari cirri-ciri khasnya. Sartono menggolongkan sumber tertulis ke dalamlima jenis, yaitu: otobiografi, surat pribadi, surat kabar, dokumen pemerintahan dan cerita roman.

2. Sumber Tidak Tertulis
Yang termasuk dalam kategori sumber tidak tertulis itu adalah artefak dan sumber lisan (Abdurrahman, 1999: 36). Artefak itu sendiri memiliki arti sebagai materi atau benda yang diubah atau mengalami perubahan oleh manusia. Maksudnya benda yang dibentuk oleh manusia sehingga memiliki kegunaan (Djafar, 1993/1994: 7). Adapun yang dimaksud dengan sumber lisan ialah pengetahuan tentang kejadian-kejadian di masa lampau didasarkan pada data atau informasi yang masih tersebar secara lisan (Abdurrahman, 1993: 37). Penjelasan keduanya ialah sebagai berikut:

- Artefak
Djafar (1993/1994: 7-9) membagi peninggalan bersejarah yang berupa benda berdasarkan zamannya, yaitu: (1) peninggalan zaman prasejarah berupa kapak batu paleolitik (kapak genggam), alat-alat serpih (flakes), alat-alat dari batu dan tulang, kerangka manusia dan hewan, sisa tumbuh-tumbuhan, kapak batu mesolitik (kapak genggam Sumatera), kapak batu neolitik (kapak beliung/persegi), kapak lonjong, mata panah, gerabah, perhiasan (manik-manik dan gelang), kapak perunggu, cadrasa, nekara, moko, arca batu, arca perunggu, bangunan megalitik (menhir dan bangunan berundak), dolmen, pandhusa, batu dakon, gua tempat tinggal, dan lukisan pada dinding gua; (2) Peninggalan zaman Hindu-Budha berupa prasasti (batu dan logam), candi, petirtaan, gapura, arca (batu dan logam), alat-alat upacara (genta, talam, mangkuk), perhiasan, senjata (tombak, keris), gerabah, keramik, mata uang, sisa bangunan profane (rumah, keraton), sumur, kolam, relief dan hiasan berukir, lingga, dan yoni; (3) Peninggalan zaman Islam berupa prasasti, piagam, kuburan, nisan kubur, masjid, menara, gapura, keraton, benteng, senjata (keris, tombak), alat-alat kerja, ukiran, perhiasan, gerabah, keramik, mata uang, materai, sisa bangunan profane (sisa pemukiman), sisa kapal/perahu, kitab-kitab kuno (keagamaan dan kesusastraan); (4) Peninggalan zaman Kolonial berupa prasasti, kuburan, nisan kubur, gedung, monument, benteng, loji, gereja, arca, ukiran, alat-alat rumah tangga, senjata, gerabah, keramik, mata uang, dan materai; dan (5) Peninggalan yang bercorak budaya Cina, yaitu: kelenteng, kuburan, nisan kubur, keramik, mata uang, arca, ukiran, alat-alat upacara, dan senjata.

b. Sumber Lisan
Garraghan membagi sumber lisan atas dua jenis, yaitu: (1) Resent events, artinya penyebaran lisan tentang peristiwa-peristiwa yang masih terekam dalam ingatan orang, dan (2) Remote events atau oral tradition, yaitu informasi tentang kejadian-kejadian sejarah yang disebarkan dari mulut ke mulut.
Oral tradition ini terdiri atas: (1) Fabel, yaitu suat cerita yang tokohnya erdiri atas mahluk hidup yang bukan manusia yang mengambil perwatakan manusia; (2) Dongeng , yaitu suatu cerita yang berkaitan dengan waktu, tempat, dan actor yang tidak menentu; (3) Mitos, yaitu sejenis cerita yang bersumber seperti halnya sejarah tetapi sarat dengan khayalan; (4) Legenda, yaitu suatu cerita yang dalam berbagai hal berisi kebenaran, termasuk di dalamnya unsure-unsur histories sering kali mengandung isi aktual; (5) Sage, yaitu suatu cerita yang berpusat pada tokoh pahlawan.

3. Berdasarkan Urutan Penyampaiannya
a. Sumber Primer
Sumber primer adalah sumber yang keterangannya diperoleh secara langsung dari orang dari orang yang menyaksikan suatu peristiwa secara langsung dengan mata kepalanya sendiri. Buku-buku Adam Malik (1970), Moh. Hatta (1969), Ahmad Subardjo (1972), dan Sudiro (1975) mengenai peristiwa di sekitar proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan sumber primer (Kosim, 1984: 37). Contoh lain mengenai sumber primer ialah catatan rapat, daftar anggota organisasi, dan arsip-arsip laporan seorang asisten residen abad 19 M (Kuntowijoyo, 1995: 96).

b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder ialah sumber yang keterangannya diperoleh dari orang yang tidak menyaksikan suatu peristiwa secara langsung. Buku Benedict R.O.G. Anderson mengenai saat-saat proklamasi yang berjudul “Jawa in a Time of Revolution” adalah sumber sekunder, karena ia tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkannya (Kosim, 1984: 37).

4. Berdasarkan Tujuannya
Berdasarkan tujuan dibuatnya, sumber sejarah dibedakan antara sumber resmi dan tak resmi serta formal dan informal. Kedua macam klasifikasi itu dapat saling memotong. Ada dokumen resmi formal dan dokumen resmi informal, ada pula dokumen tak resmi formal dan tak resmi informal. Sebagai contoh, Keputusan Presiden mengenai pengangkatan Sekretaris Dewan Jenderal Departemen Pertahanan-Keamanan Nasional, adalah dokumen resmi formal. Surat dari Menteri Pertahanan-Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata kepada Kepala Perbekalan ABRI yang berupa “kattebelletje” mengenai pembuatan seragam ABRI ialah suatu dokumen resmi informal karena ditulis oleh seorang sebagai pejabat kepada pejabat yang lain, tetapi cara menulisnya biasa. Surat Presiden Suharto sebagai pribadi kepada kepala suatu sekolah mengenai hal ihwal putra beliau, adalah dokumen tak resmi formal, karena ditulis bukan sebagai pejabat akan tetapi ditulis dengan surat yang memenuhi syarat-syarat surat-menyurat formal. Dan akhirnya, surat dalam perjalanan dari Pak Adam Malik kepada Ibu Adam Malik mengenai urusan rumah tangga yang ditinggalkan beliau merupakan dokumen tak resmi informal (Notosusanto, 1978: 37).

D. Penutup
Penggalian data memegang peranan yang penting di dalam melaksanakan tugas dan fungsi Balai Pelestarian. Karena fungsinya yang sentral itu, maka penggalian data atau yang di dalam metode sejarah disebut sebagai tahap heuristik di mana dilakukan upaya pencarian, pengumpulan, dan penghimpunan data haruslah diupayakan setuntas mungkin. Kelemahan pada tahap ini akan membawa akibat yang buruk terhadap hasil pengkajian.
Untuk memperbaiki dan menyempurnakan makalah ini marilah kita diskusikan bersama.

Daftar Bacaan

Abdurrahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Alfian, Teuku Ibrahim, dkk. 1984. Bunga Rampai Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.
Djafar, Hasan. 1993/1994. Pengenalan dan Pengenalan Bukti Sejarah Benda: Pokok-pokok Materi Kuliah Penataran Tenaga Teknis Kesejarahan. Jakarta: Proyek Pembinaan Tenaga Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktur Jenderal Kebudayaan.
Kosim, E. 1984. Metode Sejarah: Asas dan Proses. Bandung: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Notosusanto, Nugroho. 1971. Norma-Norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sedjarah. Djakarta: Pusat Sedjarah ABRI.
Susanto Zuhdi, “Penelitian Bidang Sejarah di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional: Masalah dan Prospeknya”. Makalah yang disampaikan pada Diskusi Staff Peneliti Bidang Sejarah Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional se-Indonesia pada tanggal 7 Juni 2004 di Jakarta.

Popular Posts