WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Lintasan Sejarah Pemerintahan Kabupaten Serang Abad XVI – XX

Oleh Dra. Euis Thresnawaty

Abstrak
Sejarah pemerintahan daerah Serang mencakup waktu sangat panjang, karena berawal dari pembentukan Kesultanan Banten abad ke-16. Berarti pemerintahan di daerah tersebut berlangsung pada zaman Kompeni, Hindia Belanda, Pendudukan Jepang, dan zaman kemerdekaan.

Dalam perjalanan sejarahnya, Kesultanan Banten mengalami dinamika akibat gejolak situasi politik pada zaman penjajahan, bahkan kesultanan itu akhirnya dihapuskan. Zaman Hindia Belanda dan Pendudukan Jepang, Serang menjadi ibukota Keresidenan Banten dan Kabupaten Serang. Mulai akhir tahun 2000, Serang kembali memiliki kedudukan pentng sebagai ibukota kabupaten merangkap ibukota Provinsi Banten sejak tanggal 4 Oktober 2000.

Dalam perjalanan sejarahnya, banyak peristiwa penting terjadi di daerah Serang yang penting dipetik maknanya. Atas dasar itulah tulisan ini dibuat.

Diterbitkan dalam Patanjala, Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Vol. 1 No.2 Juni 2009

Sistem Pelapisan Sosial dan Dampaknya pada Masyarakat Kasepuhan Cicarucub Kabupaten Lebak-Banten

Oleh Drs. Yudi Putu Satriadi

Abstrak
Untuk mencegah terjadinya konflik akibat stratifikasi sosial, memerlukan suatu penanaman pengertian terhadap sikap masyarakat. Pemberian pengertian ini, di antaranya dengan menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa yang membuat perbedaan kelas sosial dalam masyarakat adalah atas kehendak Allah. Sebenarnya, kesadaran seperti ini sudah terjadi di dalam masyarakat tradisional dengan selalu mencontoh dan melaksanakan semua yang telah diperintahkan oleh leluhur mereka.

Salah satu contoh tentang kesadaran masyarakat dapat mencegah konflik sosial ditemukan di Kasepuhan Cicarucub. Kondisi ini muncul sebagai upaya pemimpin formal dan informal yang berhasil memadukan hukum formal dengan hukum adat. Perpaduan ini terbukti dapat menciptakan suatu situasi masyarakat yang harmonis dengan tetap menjunjung kedua hukum tersebut dalam kehidupan bermasyarakat.

Diterbitkan dalam Patanjala, Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Vol. 1 No.2 Juni 2009

Pengobatan Tradisional Pada Masyarakat Garut

Oleh Suwardi Alamsyah P.

Abstrak
Warisan budaya pada hakekatnya merupakan pengetahuan yang berfungsi dalam menghadapi tantangan kehidupan. Pada masyarakat tradisional ilmu pengetahuan lebih banyak diperoleh dengan cara turun temurun. Sebagai masyarakat yang mengalami proses sosialisasi dan interaksi dalam arena pergaulan sehari-hari. Salah satu unsur dalam daerah yang bersifat universal yang diwarisi secara turun temurun dan merupakan pengetahuan adalah pengetahuan dan sistem yang berkenaan dengan pegobatan tradisional. Sistem pengobatan tradisional di Kecamatan Tarogong Kabupaten Garut masih mempertahankan nilai-nilai budaya yang di dukung oleh leluhurnya sebagai pedoman dan pegangan hidup.

Pengetahuan sistem pengobatan tradisional sering dipengaruhi oleh unsur-unsur kepercayaan yang sulit diterima akal bahkan tidak diimbangi dengan pengetahuan pengobatan modern. Karena jenis penyakit tidak dapat diketahui secara pasti maksudnya tidak lain adalah untuk menghindari kesalahpahaman dalam penafsiran pengobatan yang membawa akibat buruk, karena telah ada aturan khusus yang berkaitan dengan cara penggunaannya. Penggunaan ramuan obat tradisional perlu mendapat pehatian agar dalam penggunaannya efektif dan terhindar dari terjadinya kesalahan pada saat pengobatan. Pada prakteknya ahli pengobatan tradisonal memiliki peranan yang cukup besar dalam kehidupan masyarakat selalu taat pada anjuran. Pengobatan tradisional merupakan bagian budaya masyarakat yang sudah ada sejak dahulu yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Seminar Sejarah, Cirebon 2010

A. Latar Belakang
Sejarah mengungkapkan bahwa di Indonesia pernah berdiri beberapa kerajaan yang berjaya, salah satunya adalah di Cirebon. Bahkan hingga kini kharisma keraton masih berkibar, terlebih pada masyarakat di daerah Cirebon.

Berdirinya keraton di Cirebon banyak menyimpan kisah yang panjang, melintasi kurun waktu beberapa abad lamanya. Sebagai sebuah pemerintahan tradisional yang besar dengan wilayah kekuasaan yang luas, kerajaan Cirebon berawal dari abad ke- 14. Berdasarkan manuskrip Purwaka Caruban Nagari, pada abad ke- 14 datanglah seorang ulama dari Campa bernama Syekh Hasanudin di Karawang. Di daerah ini Syekh Hasanuddin mendirikan sebuah pondok pesantren Quro.

Setelah berdirinya pesantren ini, perkembangan agama Islam menjadi pesat dan dikenal sampai keluar wilayah Karawang. Salah seorang muridnya yaitu Nyai Subanglarang, anak saudagar kaya di Pelabuhan Muara Jati Cirebon.

Ketenaran pesantren Syekh Hasanudin mendorong Sri Baduga untuk memeriksa pesantren ini. Pada saat melakukan inspeksi tersebut, Sri Baduga tertarik pada salah seorang santri yaitu Nyai Subanglarang. Atas persetujuan Syekh Hasanuddin, Sri Baduga mempersunting Nyi Subanglarang menjadi permaisurinya.

Hasil perkawinan Sri Baduga dan Subanglarang dikarunia 3 orang putra yaitu Pangeran Walangsungsang, Ratu Larasantang, dan Kian Santang. Setelah ibunya wafat, Pangeran Walangsungsang dan Ratu Larasantang memutuskan untuk memperdalam Agama Islam. Setelah selesai memperdalam Agama Islam, Pangeran Walangsungsang mendirikan pedukuhan di daerah Lemah Wungkuk di sebelah selatan Bukit Amparanjati. Pedukuhan ini berkembang dan semakin ramai, kemudian diberi nama Tegal Alang-alang. Pangeran Walangsungsangpun diangkat menjadi kuwu atau kepala desa dengan gelar Ki Samadullah. Sumber lain mengatakan Pedukuhan ini diberi nama Witana, berasal dari kata Awit ana, yang berart pertama ada.

Pedukuhan ini semakin ramai, sehingga kemudian diberi nama Caruban atau Carubanlarang. Masyarakat pun mengangkat Ki Gedeng Alang-alang sebagai Kuwu Caruban pertama, sedangkan Pangeran Walangsungsang diangkat menjadi Pangraksabumi dengan gelar Ki Cakrabumi.

Pangeran Walangsungsang mempersunting seorang gadis bernama Nyai Indang Geulis, anak dari Ki Gedeng Alang-alang Setelah menunaikan ibadah Haji, Pangeran Walangsungsang membangun sebuah pesanggrahan dekat sungai Kriyan, pesanggrahan tersebut diberi nama Pesanggrahan Pakungwati.

Pada Tahun 1470 M, Pangeran Walangsungsang menyerahkan kendali pemerintahan kepada Syekh Syarif atau Syarif Hidayatullah putera dari adiknya Nyai Lara Santang yang menikah dengan Syarif Abdulah dari Mesir.

Pada tahun 1479, Pesanggarahan ini diperluas menjadi sebuah keraton, dengan nama Keraton Pakungwati. Sejak berdirinya Keraton Pakungwati dengan Rajanya Syarif Hidayatullah yang memperistri Ratu Ayu Pakungwati putri Pangeran Walangsungsang, daerah Cirebon berkembang dengan sangat pesat. Pelabuhan Cirebon menjadi salah satu persinggahan kapal dagang baik dari kerajaan yang ada di walayah nusantara seperti Banten, Aceh, Maluku, maupun dari luar negeri seperti Cina dan Eropa.

Melihat aneka-ragam barang-barang komoditi eskpor dan impor dari dan ke Cirebon dengan kuantitas yang cukup besar dan frekwensi yang cukup tinggi, memberikan indikasi bahwa Cirebon merupakan kota Pelabuhan yang besar dan ramai. Kondisi semacam ini dapat terbentuk bila ditopang oleh adanya sistem pemerintahan yang teratur, kuat, dan stabil. Selain itu, kondisi semacam ini didukung oleh infrastruktur yakni penduduk yang relatif banyak dengan tingkat keahlian yang heterogen.

Menurut sumber tradisi, pada waktu itu wilayah Cirebon meliputi daerah Singapura dan Amparan Jati di sebelah utara Cirebon, dimana terdapat pelabuhan Muhara Jati, Japura dan Losari di pesisir timur Cirebon. Susuhunan Jati (1470) dengan dukungan kaum muslimin setempat dan Sultan Demak, membangun kekuasaan sendiri di Cirebon dan melepaskan diri dari Kerajaan Sunda (Edi S. Ekadjati, 1990:12). Saat itu, wilayah kekuasaan Kerajaan Cirebon meliputi daerah selatan menguasai Luragung, Kuningan, Talaga, dan Galuh. Ke arah barat daya, menguasai Sindang Kasih (Majalengka sekarang), Sumedang Larang, dan Tatar Ukur (Bandung dan sekitarnya). Ke arah barat menguasai daerah Dermayu, Krawang, Banten, Kalapa, Sagalaherang, dan Cibalagung (Atja, 1986:152 dan 189). Adanya pengaruh Cirebon ke daerah Tatar Ukur, terbukti adanya beberapa piagam yang ditandatangai oleh Sultan Cirebon yang ditujukan kepada kepala-kepala di daerah ini, misalnya piagam yang ditujukan kepada Wedana Banjaran (Edi S. Eksdjati, 1982:395-397).

Kejayaan keraton Pakungwati berlangsung sampai pertengahan abad ke-17, yaitu sampai masa pemerintahan Panembahan Pakungwati II (1649-1662) raja ke- lima setelah Sultan Syarif Hidayatullah. Setelah Panembahan Pakungwati II meningal dunia terjadi perpecahan diantara ketiga anaknya. Anak tertua dari Panembahan yaitu Pangeran Muhammad Badarudin pada tahun 1688 membangun keraton tersendiri dengan nama Keraton Kanoman dengan Pangeran Muhammad Badarudin sebagai rajanya, sedangkan Keraton Pakungwati berubah menjadi Keraton Kasepuhan dengan Pangeran Samsudin sebagai Sultan Sepuh pertama.

B. Masalah
Penulisan sejarah keraton Cirebon baik berupa buku, artikel-artikel yang dimuat di koran maupun majalah telah banyak. Namun uraian cerita dari masing-masing tulisan tersebut hampir sama, tidak ada tulisan baru yang dapat memberi nuansa baru sebagai bahan informasi tambahan bagi penulisan sejarah Cirebon.

Lebih jauh ditegaskan oleh Azyumardi Azra bahwa dalam kasus-kasus tertentu, indentitas kerajaan di masa silam sebagian besar tumpang tindih dengan etnisitas dan batas-batas wilayah propinsi. Tentu menjadi menarik untuk diperhatikan atas upaya indentifikasi itu. Di atas telah disinggung bahwa faktor entitas politik, indentitas etnisitas dan daerah di masa lalu, serta alternatif kepemimpinan di masa kini dan masa mendatang, menjadi pendorong munculnya kerinduan dan romantisme pada kerajaan.

Dengan demikian, menjadi suatu keharusan faktor-faktor di atas dijadikan permasalahan utama yang akan digali secara mendalam di dalam seminar ini. Penggalian itu tentu saja harus memakai pendekatan sejarah agar gagasan-gagasan tentang entitas politik, indetitas kedaerahan, dan pola kepemimpinan diletakan dalam kerangka ke-Indonesian. Alhasil, setiap upaya penggalian sejarah dimaksudkan untuk meneguhkan proses menjadi Indonesia

C. Tujuan
Dengan adanya permasalahan di atas kami mencoba untuk menggali, mengungkap lebih jauh peristiwa sejarah Cirebon dengan mengundang berbagai nara sumber yang mengetahui tentang adanya peristiwa sejarah Cirebon yang belum terungkap dalam sebuah seminar.

Di samping itu, seminar ini mengajak generasi muda dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesadaran akan perlunya pemahaman dan pengetahuan kesejarahan guna mempertebal jati diri sebagai putera bangsa Indonesia melalui penggalian sejarah lokal. Dan mengaktuali-sasikan nilai kesejarahan bagi persatuan dan kesatuan melalui pemahaman fungsi, makna, dan manfaat sejarah atas dasar kesadaran sejarah yang tinggi.

D. Tema
Tema yang akan diangkat dalam seminar ini adalah “Dinamika Sosial Politik Cirebon Abad ke-17-18”

E. Pembicara
Dari tema di atas, pembicara dan materi yang akan disampaikan dalam seminar ini adalah:
  1. Prof. Dr. Susanto Zuhdi (Guru Besar Universitas Indonesia) - Strategi Keraton Cirebon Dalam Menjaga Stabilitas Sebagai Kerajaan Pesisir
  2. Prof. Dr. Hj. Nina Herlina Lubis (Guru Besar Universitas Padjadjaran) - Situasi Politik Tradisional di Cirebon Abad ke-17-18
  3. Prof. Dr. Dadan Wildan (Staf Ahli Kementrian Sekretariat Negara) - Warisan Kepemimpinan Tradisional Sunan Gunung Jati terhadap Kesultanana Cirebon Abad ke-17-18
  4. Kartani (Budayawan Cirebon) - Gegelan Tanda Kaprabon (kulun-kulun): Pelantikan Adat Kepala Desa
  5. Drs. Raffan Hasyim, M.Hum. - Peristiwa Penting sekitar Abad ke 17-18 Berdasarkan Catatan Lisan dan Tertlis
  6. Drs. Djuanda Syahbudin (Kepala Kantor Pertanahan Kota Cirebon) - Sistem Penguasaan Tanah di Cirebon Dulu dan Sekarang
F. Peserta
Peserta yang akan diundang dalam seminar ini, sebanyak 100 orang yang berasal dari berbagai kalangan seperti generasi muda, tokoh masyarakat, para pengajar di berbagai tingkat, LSM, peneliti dan pemerhati sejarah, kalangan instansi, dan sebagainya. Sedangkan pelaksaan seminar akan dilaksanakan di Cirebon.

G. Panitia Pelaksana
Kegiatan ini dilaksanakan oleh panitia yang merupakan gabungan kepanitian antara BPSNT Bandung Disporabudpar Kota Cirebon.

H. Waktu dan Tempat
Pelaksanaan Seminar Sejarah di Cirebon sesuai dengan program kerja Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung dan bekerja sama dengan Dinas Pemuda, Olah Raga, Kebudayaan, dan Pariwisata, Kota Cirebon. Akan dilaksanakan pada tanggal 28-29 September 2010, di Cirebon

Pola Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Kampung Situ, Kecamatan Tarogong, Kabupaten Garut

Oleh Drs. Yudi Putu Satriadi, dkk.

Abtrak
Penelitian ini selain mengungkapkan gambaran umum dan kebudayaan Kampung Situ, yakni meliputi penduduk dan mata pencahariannya, sistem kemasyarakatan, bahasa, sistem teknologi, stratifikasi sosial, religi dan sistem pengetahuan, serta pola perkampungan, letak administratif, sarana komunikasi dan transportasi serta keadaan alam, juga mengungkap prospek dari terjadinya kontak-kontak antarbudaya masyarakat asal dan masyarakat pendatang serta akibat dibangunnya beberapa sarana rekreasi.

Diterbitkan dalam Laporan Penelitian Edisi 14, Juli 1998

Paraji, Sosok Pesalin Tradisional pada Masayarakat Desa Ciranjang, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur

Oleh Drs. Suwardi Alamsyah P., dkk.

Abstrak
Penelitian ini mengungkapkan peran paraji dalam kegiatan menolong bagi yang ingin mendapatkan keturunan/memeriksa saat ibu hamil, menolong dalam proses persalinan, merawat ibu yang baru melahirkan, serta merawat bayi yang baru lahir. Selain itu diungkapkan pula pandangan masyarakat terhadap peranan peraji dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam dua pesalin tradisional di Kabupaten Cianjur.

Diterbitkan dalam Laporan Penelitian Edisi 14, Juli 1998

Kajian Isi Naskah Wawacan Rawi Mulud

Oleh Dra. Yanti Nisfiyanti, dkk.

Abtrak
Naskah Wawacan Rawi Mulud yang isinya dikaji oleh penulis, ternyata di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur yang sangat relevan dengan tujuan pembangunan nasional, khususnya pembangunan sumber daya manusia (SDM). Isi naskah Wawacan Rawi Mulud mengungkapkan hubungan manusia dengan Penciptanya, manusia dengan lingkungan sosialnya, serta nilai-nilai keteladanan wanita.

Diterbitkan dalam Laporan Penelitian Edisi 13, Juni 1997

Pemukiman Sebagai Ekosistem, Studi Tentang Lingkungan Budaya Pedesaan di Kabupaten Subang

Oleh Drs. Toto Sucipto

Abstrak
Pada paparan hasil penelitiannya, penulis mengungkapkan dan mengkaji tingkat kemantapan ekosistem sebuah desa swasembada dalam tahap perkembangan yang telah dicapainya.

Diterbitkan dalam Laporan Penelitian Edisi 8, Desember 1995

Pengkajian Kekuatan Tenaga Dalam pada Pencak Silat

Oleh Drs. Agus Heryana

Abstrak
Penulis dalam kesempatan ini mengadakan pengkajian masalah tenaga dalam pada pencak silat, yang khusus menggarap masalah aspek mental spiritual. Pembahasannya lebih menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat internal, pengolahan rasa atau pengolahan diri, sehingga seseorang dapat menguasai suatu ilmu tenaga dalam.

Diterbitkan dalam Laporan Penelitian Edisi 13, Juni 1997

Pola Kehidupan Buruh Pelabuhan di Pelabuhan Cirebon

Oleh Drs. Hermana

Abstrak
Penelitian ini memaparkan bagaimana pola kehidupan buruh pelabuhan di Pelabuhan Cirebon, dengan menyoroti hubungan mereka dengan pengusaha, baik dilihat dari tata kerja, masalah upah, serta hubungan buruh dengan pemerintah/negara.

Diterbitkan dalam Laporan Penelitian Edisi 12, Maret 1997

Sistem Ekonomi Perajin Rangginang di Desa Cikoneng Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung

Oleh Dra. Ani Rostiati

Abstrak
Penulis mengungkapkan sistem ekonomi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok hidupnya yang meliputi pola produksi dan pola distribusi. Kemudian, dikaji pengaruh perubahan kebudayaan terhadap sistem ekonomi masyarakat tersebut.

Diterbitkan dalam Laporan Penelitian Edisi 8, Desember 1995

Popular Posts