WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Warisan Indonesia: Kelahiran Ritual di Tengah Perusakan Harta Karun Gunung Padang (Bagian I)


Riuh hujan turun dari langit. Seketika, cuaca berubah lebih sejuk dan menambah hawa dingin seolah mencumbu diri. Suara obrolan yang dikecilkan membuat suasana terasa lebih intim.

Jarum jam menunjukan pukul 12.30 WIB. Tampak beberapa orang kuncen Gunung Padang yang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, sedang bersiap mengemas kebutuhan yang diperlukan untuk ritual khusus (Ritus) Seka Banda.

Ritus ini kerap dilaksanakan saat bulan Maulud.

“Seka Banda adalah ritual mencuci benda pusaka yang biasa dilaksanakan setiap bulan Maulud. Lokasinya di puncak Gunung Padang,” kata kuncen Gunung Padang, Aki Asep Sudrajat.

Tak lama tetesan hujan dari langit mulai reda. Aktivitas masyarakat kembali berjalan seperti semula. Para wisatawan tampak hilir mudik masuk dan keluar gerbang pendakian.

Dalam setahun, Ritus Gunung Padang dilaksanakan sebanyak tiga kali, tepatnya pada bulan Maulud, Rajab, dan Suro.

Persiapan untuk melaksanakan Ritus pada malam hari sudah siap. Ki Asep kembali duduk dan mengambil tembakau yang kemudian ia linting. Tangan kanannya memegang korek untuk menyalakan batang rokok yang sudah siap di mulutnya.

Tanpa menunggu waktu lama, seorang tokoh masyarakat dan budayawan Kabupaten Cianjur, Abah Tatang Setiadi datang menyapa. Mereka duduk bercengkrama membahas mengenai ritus yang akan segera digelar.

Abah Tatang menjelaskan tujuan dari Ritus Seka Banda.

“Ritus ini dilakukan untuk menjaga situs peninggalan megalitikum yang ada di Gunung Padang, agar nilai kebudayaan yang tinggi di sini tidak dirusak,” kata Abah Tatang.

Abah bercerita, sebelum memasuki tahun 2000, batu yang ada di Gunung Padang menjadi korban eksploitasi dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Warga sekitar geram dengan nafsu bisnis yang bisa merusak salah satu warisan Indonesia dari nenek moyang yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu.

“Melihat kondisi batu di tambang yang sudah tidak dipedulikan, saya dan kawan-kawan lantas berpikir ini tidak bisa dibiarkan. Keamanan saat itu ada, tapi tidak 24 jam berjaga. Lalu kami punya ide efektif untuk mengamankannya.

“Jadi para pelaku seni harus ke Gunung Padang dulu. Dan itu cukup ampuh, sedikit melindungi situs Gunung Padang yang ada sekarang,” kata Abah.

Abah Tatang lalu memutar otak agar ritual yang dilakukan tidak jatuh pada jurang kemusrikan. Setelah melakukan diskusi dengan beberapa orang, maka lahirlah Ritus Seka Banda.

“Apa yang harus dibersihkan dalam Ritus ini? Hati kita, halaman rumah kita dan lingkungan kita. Kemudian apa yang diseka? Pertama pusaka yang mutlak dibuat manusia. Kedua, anugerah seperti panca indera. Lalu yang ketiga adalah Gunung Padangnya, karena itu merupakan karunia dari Tuhan,” kata Abah.

Dengan banyaknya perusakan, maka Ritus ini dilakukan agar benda sekecil apa pun yang ada di lingkungan Gunung Padang tidak dirusak dan disentuh tangan jahil.

Ketika melakukan ritus ini, air yang terletak di Gunung Padang harus diambil menggunakan tujuh kendi. Menurut Abah Tatang, kendi adalah unsur kehidupan manusia, sedangkan tanah dijabarkan sebagai awal lahir dan pulangnya manusia. Sementara air, adalah kehidupan makhluk hidup.

“Kita lahir dari tanah dan akan pulang ke tanah. Karena Abah yakin nanti Gunung Padang akan mengundang banyak orang hingga ada kehidupan di sekitarnya. Inilah harta karun sebenarnya, peninggalan budaya yang masih terjaga, dari yang awalnya tidak ada apa-apa jadi ada apa-apa,” kata dia.

Misi Abah Tatang melindungi situs megalitikum tersebut tak mudah. Perlu tenaga dan dukungan agar Gunung Padang tidak dirusak.

Ia pun mengaku sempat merancang sebuah setingan yang bisa membuat masyarakat sekitar jadi kapok untuk menambang batu di sekitar lokasi tersebut.

“Abah sempat tanya kepada teman, untuk membuat prasasti dengan aksara kuno. Lantas bagaimana? Kami pendam lagi, setelah itu besok lusanya kami bikin berita konferensi pers adanya penemuan. Begitu awalnya. Tapi teman Abah bilang sebaiknya jangan membodohi masyarakat, masih ada cara lainnya,” kata Abah.

Setelah mengurungkan niatnya, Abah kembali berpikir bersama seluruh tokoh masyarakat, hingga akhirnya disepakati situs Gunung Padang harus dilindungi dengan melakukan Ritus Seka Banda.

“Jadi waktu itu tahun 2003 kami lakukan festival budaya dimulai dari lokasi situs sejarah ini. Setelah itu kami adakan lagi Seka Banda khitanan massal, pengajian, dan kegiatan sosial lainnya. Itu berjalan sampai sekarang,” kata Abah, mengingat-ingat masa mudanya.

Situs ini pun menjadi perhatian Badan Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat. Kawasan Gunung Padang bukan hanya warisan Indonesia yang harus dijaga oleh anak cucu saat ini, tapi ada penghargaan tersendiri kepada nenek moyang dengan tidak merusak peninggalan yang memiliki nilai lebih tinggi dari sekadar materi.

Setelah obrolan panjang lebar, ritual khusus Seka Banda pun dimulai… (MSN)

Sumber: https://beritainspira.com/warisan-indonesia-cianjur-ritus-gunung-padang-bagian-1/

BPNB Jabar Gali Nilai Seni Budaya Tutunggulan Hingga Ritus Seka Banda Gunung Padang


Festival Kesenian 2021 dalam balutan program ‘Warisan Indonesia’ yang digelar oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Provinsi Jawa Barat dengan wilayah kerja meliputi, Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan Lampung melanjutkan perjalanan menyusuri jejak nilai budaya ke desa-desa Pemajuan Kebudayaan yang berada di Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Sukabumi.

Abdul Hakim Top adalah pembawa acara program Warisan Indonesia, yang akan menunjukan kepada publik jika kesenian dan kebudayaan di Jawa Barat begitu banyak dan beragam.

Adapun materi yang diangkat untuk dibahas dalam festival tahun ini ada 10 objek kemajuan kebudayaan dan warisan budaya tak benda yang ada di Desa Pemajuan Kebudayaan.

Tim sebelumnya sudah mengorek tentang kebudayaan dan kesenian yang berada di di Kabupaten Pangandaran, Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Garut.

Teruntuk di Kabupaten Purwakarta, para generasi yang masih hidup hingga kini masih memegang erat nilai budaya secara turun temurun. Menapaki kaki di Desa Mekarjaya, Kecamatan Kiarapedes beberapa warisan yang masih terjaga hingga kini adalah Pencak Silat, Terbang, Tutunggulan dan Kecapi Suling. Tutunggulan memiliki makna yang dalam bagi warga setempat budaya ini sudah turun temurun sejak ratusan tahun lalu. Awalnya tutunggulan ini adalah sinyal panggilan atau alat pemberitahuan kepada masyarakat pada saat akan ada hajat atau menyambut kedatangan tamu yang penting.

Kesenian Terbang sudah ada sekitar 3 abad yang lalu dan hingga kini masih dilestarikan oleh warga setempat. Alat musik yang masih asli pun masih tersimpan dan terjaga. Terbang dengan Tutunggulan masih saling berkaitan karena keduanya adalah satu kesatuan.

Bergeser ke Kabupaten Cianjur, BPNB Jabar mendatangi Situs Megalitikum Gunung Padang, yang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Cempaka.

Calung, Karinding, Pencak Silat, Mamaos adalah kesenian yang diangkat di lokasi ini. Seni Mamaos atau yang dikenal dengan Cianjuran adalah seni suara Sunda yang diiringi oleh seprangkat isntrumen musik yang terdiri atas Kacapi Indung, Kacapai Rincik, Suling dan atau Rebam. Tembang ini terbagi dalam 6 Wanda (karakter). Pertama Papantunan, Jejemplangan, Rarancagan, Dedegungan, Kakawen, dan Panambih. Musik pengiring di tengah-tengah suasana kebun teh dengan luas berhektar-hektar, membuat emosi berdamai dengan jiwa.

Abah Tatang Setiadi sebagai seorang budayawan dan sesepuh di Kabupaten Cianjur mengatakan kalau kesenian Mamaos ini memang terlahir di Kabupaten Cianjur yang kemudian tersebar ke berbagai daerah di Jawa Barat.

“Kesenian Mamaos ini adalah salah satu kesenian yang lahir di Cianjur yang kemudian berkembang dan menyebar ke seluruh daerah di Jawa Barat. Kesenian ini berawal dari papantunan yang sangat digemari oleh kalangan menak dan kerajaan pada zaman dulu,” kata Abah Tatang.

Menurut Abah Tatang seni budaya yang ada di Cianjur memiliki karakter yang halus dan lembut. Lirik yang terkandung dalam Mamaos penuh dengan rasa syukur kepada sang pencipta atas anugerah yang telah diberikan kepada manusia dan alam. Secara tegas Abah mengatakan, kesenian yang satu ini sangat penting untuk dilestarikan dan dijaga nilainya.

“Mamaos wajib untuk dilestarikan di Cianjur. Karena bangsa yang besar menghargai jasa para pahlawannya dan juga kebudayaannya dari hasil yang berbuat baik. Karena pengaruh kesenian ini bisa membuat sebauh karakter manusia dengan kebaikan yang terkandung di dalamnya,” ucapnya.

Yang menarik lagi adalah kegiatan Ritual Khusus (Ritus) Seka Banda. Ritual ini dilakukan setahun 3 kali, tepatnya pada bulan Maulud, Rajab, dan Suro. Ritus ini melakukan pembersihan terhadap benda-benda pusaka yang terletak di Teras Gunung Padang yang terbagi dalam 5 teras. Tak hanya itu, benda-benda pusaka milik warga yang menjadi warisan dari orang tuanya sejak zaman dulu pun turut dibersihkan.

Ritus ini terlahir untuk menjaga Gunung Padang dari kerusakan oleh pihak yang tak bertangung jawab. Banyaknya perusakan di situs megalitikum tersebut, membuat para Abah Tatang Setiadi bersama rekan-rekannya membuat sebuah kegiatan yang mampu membentengi situs ini agar tidak dirusak lagi demi kepentingan bisnis dan rasa keserakahan manusia.

Dengan melakukan ritus ini benda sekecil apapun yang ada di lingkungan Gunung Padang tidak akan dirusak oleh para pengunjung yang datang. Saat ini Gunung Padang sudah menjadi lokasi objek wisata yang menyedot para pengunjung dari luar kota bahkan luar negeri.

Ketika melakukan ritus ini, air yang terletak di Gunung Padang harus diambil menggunakan 7 kendi. Abah Tatang mengatakan kendi dan air adalah unsur kehidupan manusia, tanah dijabarkan sebagai awal lahirnya dan pulangnya manusia. Sementara air, adalah kehidupan makhluk hidup. Setiap orang yang turut ikut dalam ritus ini wajib untuk mensucikan diri sesuai dengan agama dan kepercayannya masing-masing.

“Kita lahir dari tanah dan akan pulang ke tanah, kalau air kebutuhan makhluk untuk hidup. Karena Abah yakin nanti Gunung Padang akan mengundang banyak orang hingga ada kehidupan disekitar Gunung Padang. Inilah harta karun emas sebenarnya, peninggalan budaya yang masih terjaga, dari yang awalnya tidak ada apa-apa jadi ada apa-apa,” katanya.

Kasubag Tata Usaha BPNB Jabar, Hendra Gunawan, mengatakan BPNB Jabar memiliki tugas pokok dan fungsi untuk melindungi, mengembangkan, dan menjaga kelestarian budaya. Tak hanya itu BPNB memiliki tekad untuk mengembangkan potensi budaya dan seni di desa-desa pemajuan kebudaya yang berada di bawah naungan wilayah kerja BPNB Jabar.

“Kami dari BPNB Jawa Barat memiliki Tupoksi untuk melindungi, mengembangkan, dan menjaga kelestarian budaya dan kami menggandeng untuk mengembangkan potensi di desa budayanya, apakah ada harta karun yang bisa menjadi Warisan Indonesia. Dan kita juga menggali potensi yang ada di desa-desa pemajuan kebudayaan di Jabar,” kata Hendra.

Setelah dari Kabupaten Cianjur, BPNB Jawa Barat akan kembali bergerak menuju Kabupaten Sukabumi. Kegiatan akan dilaksanakan di Desa Margalaksan, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi. Proses syuting akan dilaksanakan pada hari Kamis 23 Oktober 2021 mendatang.

Sumber: https://jabar.tribunnews.com/2021/09/21/bpnb-jabar-gali-nilai-seni-budaya-tutunggulan-hingga-ritus-seka-banda-gunung-padang?page=2

BPNB Jabar Lanjutkan Susuri Jejak Nilai Warisan Indonesia di 3 Kabupaten


Festival Kesenian 2021 dalam balutan program ‘Warisan Indonesia’ yang digelar oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Provinsi Jawa Barat dengan wilayah kerja meliputi, Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan Lampung melanjutkan perjalanan menyusuri jejak nilai budaya ke desa-desa Pemajuan Kebudayaan yang berada di Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Sukabumi.

Abdul Hakim Top adalah pembawa acara program Warisan Indonesia, yang akan menunjukan kepada publik jika kesenian dan kebudayaan di Jawa Barat begitu banyak dan beragam.

Adapun materi yang diangkat untuk dibahas dalam festival tahun ini ada 10 objek kemajuan kebudayaan dan warisan budaya tak benda yang ada di Desa Pemajuan Kebudayaan.

Tim sebelumnya sudah mengorek tentang kebudayaan dan kesenian yang berada di di Kabupaten Pangandaran, Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Garut.

Teruntuk di Kabupaten Purwakarta, para generasi yang masih hidup hingga kini masih memegang erat nilai budaya secara turun temurun. Menapaki kaki di Desa Mekarjaya, Kecamatan Kiarapedes beberapa warisan yang masih terjaga hingga kini adalah Pencak Silat, Terbang, Tutunggulan dan Kecapi Suling. Tutunggulan memiliki makna yang dalam bagi warga setempat budaya ini sudah turun temurun sejak ratusan tahun lalu. Awalnya tutunggulan ini adalah sinyal panggilan atau alat pemberitahuan kepada masyarakat pada saat akan ada hajat atau menyambut kedatangan tamu yang penting.

Kesenian Terbang sudah ada sekitar 3 abad yang lalu dan hingga kini masih dilestarikan oleh warga setempat. Alat musik yang masih asli pun masih tersimpan dan terjaga. Terbang dengan Tutunggulan masih saling berkaitan karena keduanya adalah satu kesatuan.

Bergeser ke Kabupaten Cianjur, BPNB Jabar mendatangi Situs Megalitikum Gunung Padang, yang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Cempaka.

Calung, Karinding, Pencak Silat, Mamaos adalah kesenian yang diangkat di lokasi ini. Seni Mamaos atau yang dikenal dengan Cianjuran adalah seni suara Sunda yang diiringi oleh seprangkat isntrumen musik yang terdiri atas Kacapi Indung, Kacapai Rincik, Suling dan atau Rebam. Tembang ini terbagi dalam 6 Wanda (karakter). Pertama Papantunan, Jejemplangan, Rarancagan, Dedegungan, Kakawen, dan Panambih. Musik pengiring di tengah-tengah suasana kebun teh dengan luas berhektar-hektar, membuat emosi berdamai dengan jiwa.

Abah Tatang Setiadi sebagai seorang budayawan dan sesepuh di Kabupaten Cianjur mengatakan kalau kesenian Mamaos ini memang terlahir di Kabupaten Cianjur yang kemudian tersebar ke berbagai daerah di Jawa Barat.

“Kesenian Mamaos ini adalah salah satu kesenian yang lahir di Cianjur yang kemudian berkembang dan menyebar ke seluruh daerah di Jawa Barat. Kesenian ini berawal dari papantunan yang sangat digemari oleh kalangan menak dan kerajaan pada zaman dulu,” kata Abah Tatang.

Menurut Abah Tatang seni budaya yang ada di Cianjur memiliki karakter yang halus dan lembut. Lirik yang terkandung dalam Mamaos penuh dengan rasa syukur kepada sang pencipta atas anugerah yang telah diberikan kepada manusia dan alam. Secara tegas Abah mengatakan, kesenian yang satu ini sangat penting untuk dilestarikan dan dijaga nilainya.

“Mamaos wajib untuk dilestarikan di Cianjur. Karena bangsa yang besar menghargai jasa para pahlawannya dan juga kebudayaannya dari hasil yang berbuat baik. Karena pengaruh kesenian ini bisa membuat sebauh karakter manusia dengan kebaikan yang terkandung di dalamnya,” ucapnya.

Yang menarik lagi adalah kegiatan Ritual Khusus (Ritus) Seka Banda. Ritual ini dilakukan setahun 3 kali, tepatnya pada bulan Maulud, Rajab, dan Suro. Ritus ini melakukan pembersihan terhadap benda-benda pusaka yang terletak di Teras Gunung Padang yang terbagi dalam 5 teras. Tak hanya itu, benda-benda pusaka milik warga yang menjadi warisan dari orang tuanya sejak zaman dulu pun turut dibersihkan.

Ritus ini terlahir untuk menjaga Gunung Padang dari kerusakan oleh pihak yang tak bertangung jawab. Banyaknya perusakan di situs megalitikum tersebut, membuat para Abah Tatang Setiadi bersama rekan-rekannya membuat sebuah kegiatan yang mampu membentengi situs ini agar tidak dirusak lagi demi kepentingan bisnis dan rasa keserakahan manusia.

Dengan melakukan ritus ini benda sekecil apapun yang ada di lingkungan Gunung Padang tidak akan dirusak oleh para pengunjung yang datang. Saat ini Gunung Padang sudah menjadi lokasi objek wisata yang menyedot para pengunjung dari luar kota bahkan luar negeri.

Ketika melakukan ritus ini, air yang terletak di Gunung Padang harus diambil menggunakan 7 kendi. Abah Tatang mengatakan kendi dan air adalah unsur kehidupan manusia, tanah dijabarkan sebagai awal lahirnya dan pulangnya manusia. Sementara air, adalah kehidupan makhluk hidup. Setiap orang yang turut ikut dalam ritus ini wajib untuk mensucikan diri sesuai dengan agama dan kepercayannya masing-masing.

“Kita lahir dari tanah dan akan pulang ke tanah, kalau air kebutuhan makhluk untuk hidup. Karena Abah yakin nanti Gunung Padang akan mengundang banyak orang hingga ada kehidupan disekitar Gunung Padang. Inilah harta karun emas sebenarnya, peninggalan budaya yang masih terjaga, dari yang awalnya tidak ada apa-apa jadi ada apa-apa,” katanya.

Kasubag Tata Usaha BPNB Jabar, Hendra Gunawan, mengatakan BPNB Jabar memiliki tugas pokok dan fungsi untuk melindungi, mengembangkan, dan menjaga kelestarian budaya. Tak hanya itu BPNB memiliki tekad untuk mengembangkan potensi budaya dan seni di desa-desa pemajuan kebudaya yang berada di bawah naungan wilayah kerja BPNB Jabar. (MSN)

Sumber: https://beritainspira.com/bpnb-jabar-lanjutkan-susuri-jejak-nilai-warisan-indonesia-di-3-kabupaten/

Warisan Indonesia: Senandung Dalem Pancaniti, Pelipur Lara yang Merindukan Kejayaan Padjajaran


Duduknya begitu anggun. Lengan kanan dan kiri di taruh di atas paha dengan jari-jarinya yang lentik. Balutan kabaya coak karembong, kain batik, bros, dan kerudung, mendukung wajahnya yang ayu dan pipi yang merah merona serta kulit berwarna kuning langsat. Suaranya begitu syahdu dan lembut, melantunkan tembang Sunda dengan sedikit sentilan senyum dari raut wajahnya.

Sang pria pun tampak gagah dengan pakaian Parangwadana. Dibalut iket landung, tuksedo, kemeja putih berdasi kupu kupu, serta sinjang lamban-landung yang menambah kesan tampan dan elegan.

Mereka tampak saling menyahut menuntaskan lirik yang dinyanyikan.

Inilah Mamaos satu dari tiga pilar budaya yang dikenal di Cianjur.

Kesenian Mamaos adalah seni suara Sunda yang diiringi oleh seperangkat instrumen musik yang terdiri atas Kacapi Indung, Kacapai Rincik, Suling dan Rebam.

Tembang ini terbagi dalam enam Wanda (karakter), yaitu Papantunan, Jejemplangan, Rarancagan, Dedegungan, Kakawen, dan Panambih. Musik pengiring di tengah-tengah suasana kebun teh yang luasnya berhektar-hektar, membuat emosiberdamai dengan jiwa.

Seolah tak mau kalah, siliran angin turut mendukung mendamaikan jiwa, menyumbang hembusan penghilang peluh yang keluar dari dahi.

Abah Tatang Setiadi, begitulah panggilannya. Memakai ikat kepala khas Sunda, pakaian putih sambil menggantung kaneron di pundaknya, ia sibuk mengarahkan anak didiknya yang sedang bernyanyi.

“Kesenian Mamaos lahir di Cianjur, kemudian berkembang dan menyebar ke seluruh daerah di Jawa Barat. Kesenian ini berawal dari papantunan yang sangat digemari oleh kalangan menak dan kerajaan pada zaman dulu,” kata Abah Tatang yang tengah duduk di bawah pohon rindang.

Dulu, lanjutnya, para abdi kerajaan begitu senang dengan kesenian pantun. Maka dibawalah ke dalam lingkungan kerajaan agar ruh pantun itu tetap terjaga dan tidak hilang termakan waktu.

“Maka dibuatlah para ahli yang ada di dalam pendopo. Sebuah jenis tembang papantunan yang seiring perkembangan zamannya menjadi kesenian Mamaos, yang berarti mamaca (membaca) atau bercerita dengan kalimat halus,” kata Abah Tatang.

Lirik yang terkandung dalam Mamaos dipenuhi dengan rasa syukur kepada sang Pencipta atas anugerah yang telah diberikan kepada manusia dan alam.

Abah bersikeras bahwa kesenian satu ini sangat penting untuk dijaga dan dilestarikan.

“Mamaos wajib dilestarikan di Cianjur. Karena bangsa yang besar harus menghargai jasa para pahlawan dan juga kebudayaannya. Pengaruh kesenian ini bisa melahirkan sebuah karakter manusia dengan segala kebaikan yang terkandung,” katanya.

Kesenian merupakan bingkai dari karakteristik masyarakat, baik secara kelompok maupun individu, dan Kabupaten Cianjur jadi salah satu wilayah agraris yang halus.

“Kesenian di Cianjur tidak ada yang kasar. Mulai dari Cianjur hingga ayam pelung besar tidak pernah diadukan secara fisik, hanya suaranya saja. Itulah bentuk kehalusan dari Cianjur,” kata Abah Tatang, tersenyum.
Rindu Kejayaan Padjajaran

Posisi badan Abah menjadi tegak dengan posisi bersila. Ia kemudian menceritakan seni Mamaos sesuai literatur yang ia baca.

Dikisahkan, Bupati Cianjur ketika itu, RAA Kusumaningrat atau dikenal dengan sebutan Dalem Pancaniti, memprakarsai kesenian ini pada tahun 1834-1862. Di tahun itulah mulai terbentuk embrio Mamaos.

Abah memandang langit, menceritakan sebuah kisah dibalik lahirnya seni Mamaos, ketika terik matahari menyinari Paldua.

“Banyak kisah mengenai Kerajaan Padjajaran yang tercipta dalam lakon carita pantun,” katanya.

Abah memutar waktu ke masa RAA Kusuma. Saat itu dirinya memilih satu fragmen dari dasar kesenian ini tentang Mundinglaya Dikusuma yang naik ke langit untuk mengambil pusaka Layang Jamus Kalimusada, sebelum kemudian ia kembali ke Bumi.

Pancaniti menciptakan Wanda Papantunan dalam bayangan kerinduan terhadap megahnya Kerajaan Padjajaran di masa kejayaan.

“Ia sedih dan prihatin melihat situasi Cianjur yang ketika itu menjadi ibu kota Karesidenan dalam situasi kacau. Masyarakatnya dalam keadaan malas, acuh dan tak memiliki kemauan untuk bekerja dan belajar,” kata Abah Tatang.

Situasi tersebut tak ayal membuat hati RAA Kusumaningrat gundah gulana. Hatinya menarik dan mengajak masuk ke dalam ruangan yang disebut Pancaniti untuk menyendiri.

“Ia berintropeksi diri sambil membuat sebuah karyayang bisa menghiburnya dikala sedih. Saat itulah Cianjuran terlahir sebagai obat pelipur lara,” kata Abah.

Perlahan waktu berganti, keturunan RAA Kusuma memperkenalkan Mamaos kepada masyarakat luas tanpa ada pantangan apa pun. Ia pun berharap, kesenian ini bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat,” katanya.

Waktu pun kembali berputar ke Paldua. Kulit keriput tampak jelas di wajah Abah Tatang. Kini ia tak lagi muda, namun memorinya tentang kesenian dan budaya masih kuat, seolah waktu tak mampu mengalahkan ingatan yang ia pelajari sejak muda.

Bukan perkara mudah untuk menjabarkan seni Mamaos. Ada tiga faktor penting dalam menyuguhkannya. Pertama, bagaimana menyuguhkan seni ini secara visual. Kedua, menyajikan lantunan suara yang begitu nikmat di telinga. Lalu yang ketiga, bagaimana ia dikonsumsi hingga menyentuh rasa dan pikiran.

“Secara visual, bentuk kecapinya memiliki makna khusus. Contoh kecapi indung yang berbeda dari yang lain; ada gelungnya, ada kawat kuningannya. Itu masing-masing memiliki arti berbeda. Orang Cianjur terlahir dari budayawan dan ulama, maka Tuhan tidak akan memaafkan manusia tanpa ada kata maaf dari Ibu,” kata Abah.

Lebih jauh ia menjelaskan, petikan kecapi dalam seni Mamaos memiliki kekuatan untuk membentuk karakter individu, terutama bagi yang memainkannya. Secara harfiah, sifat dari alat musik dalam kesenian ini menggambarkan orang yang ramah, jujur, lembut dan menghormati Ibu.

“Cara bermain kecapi Cianjuran, meski sederhana, namun ia sarat akan makna. Menggunakan dua jari kiri dan kanan yang berarti ada rasa dan logika, kiri batiniah, dan kanan lahiriah. Tekniknya menyentil, mencolek dan mendorong,” kata Abah.

“Jika anak nakal maka disentil, jika anak lupa maka dicolek untuk diingatkan, jika anaknya memiliki keinginan yang baik maka harus didorong.”

Dan itu, menurut Abah Tatang, adalah nilai luhur yang terkandung dalam kesenian Mamaos.

Bara Mamaos di Kabupaten Cianjur tak akan pernah padam, selama generasi masih terlahir dengan tekad melestarikan warisan Indonesia dari sekian banyak harta karun yang masih terkubur.

Perjalanan Badan Pelestarian Niali Budaya (BPNB) Provinsi Jawa Barat untuk memasang perisai dari serangan budaya asing masih terus dibangun. (MSN)

Sumber: https://beritainspira.com/warisan-indonesia-cianjur-mamaos/

Teka-Teki Mbah Tisna dan Jurus Andalan Pendekar Satria Kencana


Tangan kekar menerjang dengan cepat, kanan dan kiri silih berganti seolah menangkis serangan lawan di depannya. Di bawah lembayung senja dan angin yang berhembus dari barat ke timur, para pendekar tampak sedang berlatih.

Layaknya seorang Magalah yang setia menjaga istana dengan senjata tombak, mereka memasang kuda-kudanya untuk melancarkan jurus andalan yang sudah diturunkan dari gurunya terdahulu.

Padepokan Pencak Silat Satria Kencana berada dalam naungan Paguyuban Tali Wargi.

Amang Warno, begitulah dirinya akrab dipanggil. Sambil duduk bersila, ia menjelaskan apa itu Tali Wargi Satria Kencana.


“Perguruan Satria Kencana berdiri sejak tahun 2011 dan sampai sekarang anak didik kami sudah melewati tiga periode,” kata Amang Warno, mengenakan pakaian pangsi.

Amang Warno sibuk dengan kesehariannya menjadi guru bagi 25 orang anak yang ingin belajar kesenian Pencak Silat. Ia menjalani takdirnya sebagai penerus salah satu warisan Indonesia yang sudah ada sejak zaman dulu, dan kini telah diakui oleh dunia.

Di belakangnya para pendekar cilik sedang melakukan latihan dari beberapa jurus yang telah dipelajari selama di padepokan ini. Kang Warnotak segan mengutarakan apa jurus andalan yang dimiliki oleh perguruannya.

“Jurus andalan kita yang sudah turun temurun dari guru kita itu ‘Cilalawi Pleredan’. Dasarnya, setiap perguruan Tali Wargi punya ciri khas masing-masing yang dikembangkan,” kata Amang Warno, menengadah sambil mengisap sebatang tembakau.

Kendang Pencak yang dimiliki oleh Satira Kencana tampak jelas dari ciri khas ibingan yang lebih kreatif dan bergerak tidak pada satu jalur.

Nama dari Tali Wargi Satria Kencana, menurut Amang Warno, memang sudah melalangbuana dalam dunia persilatan. Mereka bahkan telah melahirkan para pendekar silat yang handal dan menjunjung tinggi tata krama dan kehormatan.

“Tata krama itu sebagai modal dasar yang harus ditanam dalam setiap anak didik yang belajar pencak silat di kami, karena itu akan menjadi modal utama untuk hidup mereka,” kata dia.

Kebanyakan para anak didiknya masih duduk di bangku SD dan SMP. Lekukan badan dan gerakan mereka begitu elok dan sangat lincah.

Perjuangan Amang Warno melestrikan warisan gurunya sudah terbukti hingga sekarang. Apa yang sudah ia dapat, lantas diberikan kepada muridnya sebagai bentuk pertahanan diri.

“Dulu ada yang namanya Mbah Tisna. Dia hijrah ke Plered (Purwakarta) pada tahun 1892 dan mendirikan perguruan Pencak Silat yang sampaise karang diteruskan oleh anak cucunya dan juga kita,” kata Amang Warno.

Sejauh ini Paguyuban Tali Wargi memiliki 13 padepokan silat yang tersebar di berbagai titik dan beberapa wilayah di Jawa Barat.

“Sudah ada 13 yang terdata dan bisa lebih lagi, karena sudah tersebar di beberapa wilayah Jawa Barat,” kata dia.

Seolah mengingat asal muasal tempatnya berlatih, Amang Warno memejamkan mata untuk memutar memori dan mengingat awalnya terbentuk Tali Wargi.

Seorang bernama Abah Duyeh yang tak lain keturunan dari Mbah Tisna mengembangkan perguruannya sehingga lahir dengan nama Tali Wargi Muda. Perguruan ini lalu diisi oleh Abah Hasan, Abah Komay, Abah Wowong, dan Abah Adam. Seiring waktu, Tali Wargi Muda semakin berkembang pesat dan hidup hingga kini.

“Mbah Tisna itu setahu saya hijrah ke Plered. Mengenai asal-usulnya kami belum tahu. Orang-orang dulu kan dikenal punya nama lebih dari satu. Kebetulan kami sudah pernah cari tahu tentang Mbah Tisna,” kata dia sambil tersenyum bangga atas jasa guru-gurunya.

“Saya punya amanah dari orang tua saya untuk menjaga danmelestarikan Pencak Silat ini,” kata Amang Warno melanjutkan.

Warisan Indonesia melalui Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat selalu membuka lebar untuk menjaga nilai-nilai yang sudah semestinya dijaga dan diteruskan oleh anak cucu di masa depan. (MSN)

Sumber: https://beritainspira.com/teka-teki-mbah-tisna-dan-jurus-andalan-pendekar-satria-kencana/

Warisan Indonesia: Wasiat 3 Abad ‘Terbang’ di Sudut Kenangan Ciseureuh


Matanya tampak memandang langit sambil mengingat cerita yang dijejalkan kepada dirinya sejak kecil. Dengan baju pangsi dan ikat di kepalanya, Abah Koko (52) memejamkan mata dan bercerita tentang sebuah prasasti yang diwasiatkan kepada warga Kampung Ciseureuh, Desa Mekarjaya, Kecamatan Kiarapedes, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.

Sebuah wasiat prasasti ‘Terbang’ tersimpan di sudut ruangan berukuran 3×4 meter. Jaring laba-laba membalut benda yang memiliki nilai budaya bagi warga Ciseureuh. Tampilannya memberi kesan bahwa ia memang sudah berumur dan entah sudah berapa lama alat musik ini mendekam dalam ruangan kenangan tersebut.

Kesenian Terbang adalah salah satu yang masih dilestarikan oleh warga Kampung Ciseureuh.

Napas Abah sesaat terasa berat. Ia menarik dalam-dalam sebelum memulai cerita perjalanan warisan nenek moyang hingga dikenal oleh masyarakat.


“Sudah ada sekitar 300 tahun lalu,” kata Abah singkat.

Kedua telapak tangannya sesekali saling mengusap. Tak jarang jari telunjuknya mendarat di bibir memberitahu orang sekitar agar diam, agar bisa menjelaskan kebudayaan Terbang secara jelas dan runut.

Terbang bukan kesenian yang bisa membuat seseorang melayang di udara, kata Abah, melainkan kesenian musik yang kerap dilakukan ketika warga mengadakan acara atau kegiatan untuk memperingati sebuah momentum agenda penting.

“Kesenian Terbang ini merupakan ritual adat buhun yang sekarang dipakai acara adat sesuai dengan kebiasaan warga Kampung Ciseureuh. Ketika ada Hajat Maulud yang dilaksanakan di bulan Maulud Nabi, paginya ada acara dulu buat ritual budaya di sini,” katanya.

Kening Abah tampak menyatu. Ia kembali memejamkan matanya, mengungkapkan betapa pentingnya kesenian ini di mata mereka.

“Generasi terakhir yang masih melestarikan kesenian ini sudah berumur 80 tahun lebih, itu pun tinggal tersisa dua orang,” kata Abah.

Ia kembali menatap langit, seolah sedang menerka bagaimana perasaan sesepuhnya terdahulu jika mengetahui warisan seni yang dititipkan kepada anak cucunya ternyata masih terpelihara dan terjaga sangat baik hingga sekarang.

Tangan kirinya lalu menepuk paha sebelah kiri; lanjutlah ia bercerita.

Setelah melaksanakan ritual, warga setempat akan menggelar acara makan-makan dengan alas daun pisang. Abah Koko sendiri mengaku tidak tahu secara pasti apa arti dan makna dari lirik lagu yang dinyanyikan dalam kesenian itu.

“Meski warisan dari nenek moyang kami, sampai sekarang kami tidak tahu apa arti dari liriknya, entah pakai bahasa apa. Tapi secara prediksi, nyanyian ini mengajak kita kepada kebaikan dan mencegah dari kejelekan,” kata Abah sambil tersenyum.

Ia tidak yakin apakah kata-kata tersebut menggunakan bahasa Sunda atau bukan.

“Ketika saya tanya ke orang tua dulu, mereka bilang tidak ada catatan yang tertulis (mengenai lirik nyanyian Terbang), hanya diingat dalam memori kepala,” kata dia.

Menurutnya, tidak semua orang tahu dan hafal dengan lirik lagu dalam kesenian ini. Ia hanya terbatas untuk keturunan dari orang yang sudah melestarikan kebudayaan secara turun temurun.

“Jadi khusus orang keturunan dulu saja yang melestarikan budaya ini. Orang dulu kan tidak bisa menulis, makanya disimpan dalam kepala saja,” kata Abah, sambil menambahkan bahwa kesenian Terbang tidak bisa terpisahkan dengan kegiatan lain yang ada di kampung ini, lantaran sejarahnya yang saling berkaitan.

Dalam praktiknya, terdapat 12 lagu dalam kesenian Terbang, seusai aturan adat yang ada sejak dulu kala.

Kesenian ini dimainkan oleh tiga orang yang memegang alat musik khusus dan satu orang memegang alat musik kendang. Tak berselang, Terbang keluar setelah lama berisitirahat di sudut ruangan. Seolah dipapah oleh beberapa orang warga sekitar, Abah langsung menunjukan itu di depan mata.

“Bahan dari kesenian Terbang ini dulu terbuat dari kayu dan menggunakan kulit sapi, hampir sama yang dibuat baru oleh kami sekarang. Hanya saja, karena ini asli warisan dari sesepuh, makanya kami perbaharui lagi supaya keasliannya tetap terjaga dan tidak sampai rusak,” ujarnya.

Meskipun beberapa kota dan kabupaten di Jabar memiliki kesenian serupa, namun perbedaannya cukup mencolok. Jika kebanyakan daerah lain membawakan lagu salawat, Kabupaten Purwakarta tetap menggunakan lagu aslinya.

“Jadi kalau mau menabuh Terbang ada 12 lagu khusus yang wajib diselesaikan dulu. Setelah itu baru boleh membawakan lagu-lagu lain seperti shalawatan. Jadi Terbang itu sejenis gambus atau kasidahan,” kata Abah.

Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Provinsi Jawa Barat turut melestarikan harta karun yang menjadi identitas kebudayaan dan kesenian masyarakat, termasuk tradisi Terbang di kampong Ciseureuh.

Sebab mereka yakin, dengan menjaga warisan, tali silaturahmi dengan nenek moyang tidak akan pernah terputus. (MSN)

Sumber: https://beritainspira.com/warisan-indonesia-purwakarta-terbang/

Tutunggulan, ‘Sinyal Panggilan’ Kampung Ciseureuh Sejak Puluhan Tahun Lalu


Kulit wajah merah merona, bibir merah bergincu seirama dengan pakaian bermotif batik. Bawahnya mengenakan kain berwarna hitam emas. Butiran peluh keringat keluar dari sela pori-pori mereka, tak lepas akibat sengatan sang surya di atas ubun-ubun.

Bunyian bising (tok… tak… tok… tak) membuat kepala mendongak, ternyata 7 ‘Srikandi’ generasi ke-8 itu sedang memukul habis beras merah yang telah dipanen. Menumbuk beras merah adalah budaya yang sudah turun-temurun dari nenek moyang sejak berpuluh tahun lamanya.

Tutunggulan atau menumbuk padi yang ada di kampung ini, berbeda dengan yang lainnya. Kampung ini memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh wilayah lain yang ada di Jawa Barat. Mereka menumbuk padi sambil mengeluarkan sebuah irama.

Benturan Halu yang terbuat dari kayu kukun dengan berat 1,5 kilogram dan lisung yang sudah berusia satu abad terbuat dari kayu bungur dengan berat 60 kilogram ini bersenandung dengan alam di desa ini.


Instrumen Rereogan dan Kuprak terlahir dari ketukan yang menjadi warisan andalan di Kampung Ciseureuh, Desa Mekarjaya, Kecamatan Kiarapedes, Kabupaten Purwakarta.

Eseum (60) terlahir untuk meneruskan kesenian budaya Tutunggulan ini. Ia sudah belajar sejak duduk di bangku sekolah sekitar 50 tahun lalu. Pengalamannya selama mempelajari budaya turunan dari orang tuanya memang susah-susah gampang. Puluhan tahun budaya ini sudah ada dan hingga kini masih terpelihara. Tidak ada judul lagu ataupun lirik dalam Tutunggulan .

“Belajar Tutunggulan dari sekolah sama orang tua, jadi yah susah-susah gampang, karenja memang awalnya susah dan sekarang sudah terbiasa,” kata Eseum saat ditemui di rumah sesepuh Kampung Ciseureuh.

“Tidak ada judul lagu, jadi cuman ada hentakan yang menghasilkan nada yang dibagi ke dalam dua jenis ada Rereogan dan Kuprak. Dan Kuprak itu ada 2 lagi ada Kuprak Dangong dan Kuprak biasa,” lanjutnya.

Segenap energi mereka kerahkan agar bunyi benturan Halu dan Lisung terdengar hingga puluhan meter.

Ada alasan kuat kenapa mereka masih melestarikan budaya ini. Mereka ingin hasil beras merah yang telah dipanen bisa disantap dengan lahap dan nikmat. Hasil tumbukan itu akan mengubah rasa dan tekstur yang berbeda dari beras dibandingkan dengan hasil dari campur tangan mesin penggiling padi yang sudah banyak dipakai pada saat ini.

“Berasnya lebih enak dan lebih pulen. Nah kalau di mesin penggiling padi itu kan jadi bersih, kalau ditumbuk ini masih ada bungkusnya yang bisa jadi obat untuk Diabetes, jadi manfaatnya kan jadi obat dan itu sudah terbukti kok,” kata Eseum.

… terlihat cukup sederhana memang, tapi ada makna dan tujuan yang lebih penting bagi keberlangsungan manusia. Mereka ingin agar tali silahturahmi tetap tersambung hingga di kehidupan selanjutnya.”

Sementara itu, tokoh masyarakat yang sudah melestarikan budaya dan kesenian yang ada di Kampung Ciseureuh muncul dan memperkenalkan diri sebagai Abah Koko. Sejak tahun 1985, ia sudah bejibaku supaya warisan sesepuh tetap bisa bernafas dan berumur panjang.

Tradisi tutunggulan, kata Abah Koko, hanya dilaksanakan ketika warga kampung akan menggelar hajat yang mengundang banyak orang. Bukan ketukan semata yang keluar dari Lisung dan Halu, ada makna tersendiri dibalik itu.

Bunyian itu keluar sebagai sinyal pemberitahuan kepada masyarakat bahwa akan ada acara di kampung tersebut.

“Jadi Tutunggulan itu kalau dulu saat nutup padi (panen) dibarengi dengan tutunggulan setelah kesini akhirnya bisa dipakai oleh seni budaya untuk menyambut tamu pejabat, menyambut kalau ada besanan (pernikahan), sunatan anak dan acara hajatan lainnya. Jadi di kampung ini kalau besok ada hajatan nah sekarang Tutunggulan itu dipakai, jadi memberitahu ke orang lain karena kan dulu belum ada pengeras suara,” terang Abah Koko yang saat itu mengenakan baju pangsi berwarna hitam.

Ketika sinyal itu merebak, warga secara otomatis akan datang berbondong-bondong menuju pusat suara. Para wanita berbaur dan ikut dalam kegiatan tersebut dan menumbuk padi secara bergantian.

Menurut Abah Koko, Rereogan dimainkan oleh tiga atau empat orang sementara Kuprak dimainkan oleh 7 orang. Perlu diingat juga, budaya Tutunggulan tidak terpatok untuk wanita saja, pria pun bisa menyumbangkan tenaganya.

“Jadi dulu itu Tutunggulan disebut alat komunikasi. Jadi saya ingin anak muda di jaman sekarang bisa melestarikan budaya yang satu ini,” kata dia.

Dengan adanya program yang dicanangkan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Provinsi Jawa Barat, warisan budaya yang masih ada bisa terlestarikan di Provinsi Jawa Barat khususnya di Kabupaten Purwakarta. Tutunggulan ini sama dengan Gondang yang ada di Kabupaten Garut dan Tasikmalaya. Seiring perkembangan zaman budaya ini sudah dikolaborasikan dengan kesenin musik.

“Nah kalau untuk di kampung kita, budaya ini masih kita jaga agar tetap sama seperti aslinya, tidak akan pernah berubah,” kata Abah.

Orang tua dulu selalu memiliki kebiasaan agar tali silahturahmi dapat terjalin dan tak pernah terputus. Budaya ini memang terlihat cukup sederhana, tapi ada makna dan tujuan yang lebih penting bagi keberlangsungan manusia. Mereka ingin tali silahturahmi tetap tersambung hingga di kehidupan selanjutnya. (MSN)

Sumber: https://beritainspira.com/tutunggulan-sinyal-panggilan-kampung-ciseureuh-sejak-puluhan-tahun-lalu/

Sarasehan Penghayat, Jakarta 2019 (4)

 

Sarasehan Penghayat, Jakarta 2019 (5)

 

Penayangan Film dan Diskusi Nilai Budaya, Sukabumi 2019

Popular Posts