WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Tutunggulan, ‘Sinyal Panggilan’ Kampung Ciseureuh Sejak Puluhan Tahun Lalu


Kulit wajah merah merona, bibir merah bergincu seirama dengan pakaian bermotif batik. Bawahnya mengenakan kain berwarna hitam emas. Butiran peluh keringat keluar dari sela pori-pori mereka, tak lepas akibat sengatan sang surya di atas ubun-ubun.

Bunyian bising (tok… tak… tok… tak) membuat kepala mendongak, ternyata 7 ‘Srikandi’ generasi ke-8 itu sedang memukul habis beras merah yang telah dipanen. Menumbuk beras merah adalah budaya yang sudah turun-temurun dari nenek moyang sejak berpuluh tahun lamanya.

Tutunggulan atau menumbuk padi yang ada di kampung ini, berbeda dengan yang lainnya. Kampung ini memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh wilayah lain yang ada di Jawa Barat. Mereka menumbuk padi sambil mengeluarkan sebuah irama.

Benturan Halu yang terbuat dari kayu kukun dengan berat 1,5 kilogram dan lisung yang sudah berusia satu abad terbuat dari kayu bungur dengan berat 60 kilogram ini bersenandung dengan alam di desa ini.


Instrumen Rereogan dan Kuprak terlahir dari ketukan yang menjadi warisan andalan di Kampung Ciseureuh, Desa Mekarjaya, Kecamatan Kiarapedes, Kabupaten Purwakarta.

Eseum (60) terlahir untuk meneruskan kesenian budaya Tutunggulan ini. Ia sudah belajar sejak duduk di bangku sekolah sekitar 50 tahun lalu. Pengalamannya selama mempelajari budaya turunan dari orang tuanya memang susah-susah gampang. Puluhan tahun budaya ini sudah ada dan hingga kini masih terpelihara. Tidak ada judul lagu ataupun lirik dalam Tutunggulan .

“Belajar Tutunggulan dari sekolah sama orang tua, jadi yah susah-susah gampang, karenja memang awalnya susah dan sekarang sudah terbiasa,” kata Eseum saat ditemui di rumah sesepuh Kampung Ciseureuh.

“Tidak ada judul lagu, jadi cuman ada hentakan yang menghasilkan nada yang dibagi ke dalam dua jenis ada Rereogan dan Kuprak. Dan Kuprak itu ada 2 lagi ada Kuprak Dangong dan Kuprak biasa,” lanjutnya.

Segenap energi mereka kerahkan agar bunyi benturan Halu dan Lisung terdengar hingga puluhan meter.

Ada alasan kuat kenapa mereka masih melestarikan budaya ini. Mereka ingin hasil beras merah yang telah dipanen bisa disantap dengan lahap dan nikmat. Hasil tumbukan itu akan mengubah rasa dan tekstur yang berbeda dari beras dibandingkan dengan hasil dari campur tangan mesin penggiling padi yang sudah banyak dipakai pada saat ini.

“Berasnya lebih enak dan lebih pulen. Nah kalau di mesin penggiling padi itu kan jadi bersih, kalau ditumbuk ini masih ada bungkusnya yang bisa jadi obat untuk Diabetes, jadi manfaatnya kan jadi obat dan itu sudah terbukti kok,” kata Eseum.

… terlihat cukup sederhana memang, tapi ada makna dan tujuan yang lebih penting bagi keberlangsungan manusia. Mereka ingin agar tali silahturahmi tetap tersambung hingga di kehidupan selanjutnya.”

Sementara itu, tokoh masyarakat yang sudah melestarikan budaya dan kesenian yang ada di Kampung Ciseureuh muncul dan memperkenalkan diri sebagai Abah Koko. Sejak tahun 1985, ia sudah bejibaku supaya warisan sesepuh tetap bisa bernafas dan berumur panjang.

Tradisi tutunggulan, kata Abah Koko, hanya dilaksanakan ketika warga kampung akan menggelar hajat yang mengundang banyak orang. Bukan ketukan semata yang keluar dari Lisung dan Halu, ada makna tersendiri dibalik itu.

Bunyian itu keluar sebagai sinyal pemberitahuan kepada masyarakat bahwa akan ada acara di kampung tersebut.

“Jadi Tutunggulan itu kalau dulu saat nutup padi (panen) dibarengi dengan tutunggulan setelah kesini akhirnya bisa dipakai oleh seni budaya untuk menyambut tamu pejabat, menyambut kalau ada besanan (pernikahan), sunatan anak dan acara hajatan lainnya. Jadi di kampung ini kalau besok ada hajatan nah sekarang Tutunggulan itu dipakai, jadi memberitahu ke orang lain karena kan dulu belum ada pengeras suara,” terang Abah Koko yang saat itu mengenakan baju pangsi berwarna hitam.

Ketika sinyal itu merebak, warga secara otomatis akan datang berbondong-bondong menuju pusat suara. Para wanita berbaur dan ikut dalam kegiatan tersebut dan menumbuk padi secara bergantian.

Menurut Abah Koko, Rereogan dimainkan oleh tiga atau empat orang sementara Kuprak dimainkan oleh 7 orang. Perlu diingat juga, budaya Tutunggulan tidak terpatok untuk wanita saja, pria pun bisa menyumbangkan tenaganya.

“Jadi dulu itu Tutunggulan disebut alat komunikasi. Jadi saya ingin anak muda di jaman sekarang bisa melestarikan budaya yang satu ini,” kata dia.

Dengan adanya program yang dicanangkan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Provinsi Jawa Barat, warisan budaya yang masih ada bisa terlestarikan di Provinsi Jawa Barat khususnya di Kabupaten Purwakarta. Tutunggulan ini sama dengan Gondang yang ada di Kabupaten Garut dan Tasikmalaya. Seiring perkembangan zaman budaya ini sudah dikolaborasikan dengan kesenin musik.

“Nah kalau untuk di kampung kita, budaya ini masih kita jaga agar tetap sama seperti aslinya, tidak akan pernah berubah,” kata Abah.

Orang tua dulu selalu memiliki kebiasaan agar tali silahturahmi dapat terjalin dan tak pernah terputus. Budaya ini memang terlihat cukup sederhana, tapi ada makna dan tujuan yang lebih penting bagi keberlangsungan manusia. Mereka ingin tali silahturahmi tetap tersambung hingga di kehidupan selanjutnya. (MSN)

Sumber: https://beritainspira.com/tutunggulan-sinyal-panggilan-kampung-ciseureuh-sejak-puluhan-tahun-lalu/

Popular Posts