WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Tradisi Ruwat Laut pada Masyarakat Lampung

Sebuah tujuan atau upaya untuk memperoleh sesuatu membutuhkan usaha yang tentunya tidak selalu disertai dengan sebuah kesuksesan. Beberapa atau bahkan kerap terjadi sebuah upaya diiringi dengan kegagalan pencapaian. Hal ini tentunya mempengaruhi semangat untuk melakukan hal serupa di kemudian hari. Oleh karena itu, sebuah proses yang berujung pada tercapainya tujuan merupakan keinginan dari semua pihak. Dan tentunya, kesuksesan tujuan tersebut diharapkan akan terjadi pada waktu-waktu yang akan datang.

Upaya untuk mencapai sebuah kesuksesan selain diperlukan upaya maksimal, turut serta di dalamnya ada sebuah niat kuat yang didukung dengan adanya kepercayaan bahwa upaya tersebut akan berhasil dengan sukses. Kepercayaan dalam hal ini merujuk pada apa yang dinamakan religi sebagai pemberi arah manusia untuk tunduk dan patuh mengikuti perintah-Nya. Apa yang dimaksudkan dengan perintah? Perintah-Nya mengandung dua unsur yang berlawanan, yaitu perbuatan baik dan buruk. Sesuatu perbuatan yang mengandung unsur baik didefinisikan sebagai perintah yang memang harus dijalani, sedangkan perbuatan buruk adalah sebuah ide atau aktivitas yang sangat dilarang untuk dilakukan.

Manusia memandang bahwa sebelum melakukan aktivitas, secara umum dalam unsur religi yang ada di dunia adalah kewajiban untuk memohon doa restu agar apa yang nanti akan dilakukannya akan berjalan dengan lancar dan sesuai dengan harapan. Upaya yang berbau religi tersebut dilakukan umat manusia di dunia dengan cara yang sangat beragam. Dan, begitu juga halnya yang ada di Indonesia. Dalam kebudayaan Jawa, ada salah satu unsur religi dalam bentuk upacara tradisional yang dinamakan ruwat/ruwatan/ngeruwat. Koentjaraningrat (1995: 374) mendefinisikan Ruwatan sebagai sebuah upaya pembersihan untuk membebaskan seseorang dari suatu kemalangan yang bukan disebabkan oleh kesalahan diri sendiri.

Tradisi Ruwatan merupakan salah satu bentuk religi yang sudah umum dilaksanakan pada masyarakat di Pulau Jawa. Nama tradisi inipun bermacam-macam, di antaranya nadran dan hajat laut. Tradisi yang sudah mengakar di Pulau Jawa ini kemudian ditemukan pula di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Lampung. Beberapa wilayah pesisir (barat dan timur) yang mengadakan tradisi ini, di antaranya Kota Bandar Lampung, Lampung Selatan, dan Lampung Barat. Di Kabupaten Lampung Barat, tradisi ini sempat ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Namun, beberapa tahun belakangan ini, atas inisiatif Bupati Lampung Barat, dengan tujuan untuk promosi pariwisata, upacara ruwat laut kembali diadakan. Tujuan utama tidak lagi sebagai sebuah upacara sakral tapi lebih ditekankan kepada kedekatan hubungan antara manusia (nelayan) dengan laut yang menjadi sumber penghasilan mereka. Hal yang sama juga berlaku untuk wilayah Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan. Kini ruwat laut lebih ditekankan sebagai salah satu promosi bidang kepariwisataan.

Terlepas dari perubahan alur dari sakral ke unsur ekonomi, pada masa sebelum penyebaran agama Islam di Lampung, tradisi ruwat laut di Lampung sudah ada. Keterkaitan antara upacara ruwat laut di Lampung dengan di Jawa dapat dilihat dari penelitian Saputra (2011) berjudul “Tradisi Ruwat Laut (Ngumbai Lawok) di Kelurahan Kangkung Kecamatan Teluk Betung Selatan Kota Bandar Lampung dalam Perspektif Hukum Islam”. Dalam skripsinya, dijelaskan bahwa pelaksanaan upacara ruwat laut berawal dari nelayan Cirebon yang datang dan singgah di wilayah Bandar Lampung saat ini. Proses akulturasi membuat beberapa tradisi masyarakat Cirebon turut menjadi bagian dalam kehidupan ritual masyarakat di Kelurahan Kangkung yang menjadi wilayah hunian bagi masyarakat Cirebon, Lampung dan beberapa suku bangsa lainnya.

Masyarakat di Lampung Selatan juga menggelar Upacara Ruwat Laut. Tradisi ini dilakukan setahun sekali dan sudah dimasukan dalam agenda pariwisata Kabupaten Lampung Selatan. Kedekatan wilayah antara Bandar Lampung dengan Kabupaten Lampung Selatan dapat menjadi bahan pertimbangan adanya keterkaitan antara tradisi Ruwat Laut di Bandar Lampung dan Ruwat Laut yang ada di Lampung Selatan baik dalam hal proses asal usul maupun tahapan dalam tradisi Ruwat Laut. Yang pasti bahwa tradisi tersebut kini sudah diterima oleh masyarakat Lampung di kedua daerah tersebut setelah unsur pariwisata dimasukan dalam tujuan upacara Ruwat Laut.

Proses menuju diterimanya tradisi Ruwat Laut oleh Masyarakat Lampung tentunya membutuhkan waktu dan kesepakatan di antara dua belah pihak, yaitu Masyarakat Lampung dengan masyarakat yang membawa “ide” tradisi Ruwat Laut. Peranan pemerintah terutama dari sektor pariwisata kemudian memegang peranan penting dalam proses kesepakatan tersebut sehingga tradisi Ruwat Laut dapat dilaksanakan kembali. Meskipun demikian, masih tetap diperlukan proses adaptasi seluruh masyarakat di wilayah pelaksanaan ruwat laut agar ke depannya tidak timbul perbedaan persepsi kembali.

Daftar Pustaka
A. Buku/Jurnal/Laporan Penelitian
Koentjaraningrat, 1995. Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka.
Mulyono, Sri, 1985. Simbolisme dan Miskisme dalam Wayang, Jakarta: PT. Gunung Agung.
Raco, J.R., 2010. Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, karakteristik, dan Keunggulannya, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana.
Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Saputra, Riki Dian, 2011. “Tradisi Ruwat Laut (Ngumbai Lawok) di Kelurahan Kangkung Kecamatan Teluk Betung Selatan Kota Bandar Lampung dalam Perspektif Hukum Islam”, Skripsi, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Syarif Hidayatullah.

B. Sumber Elektronik
Aan Kridolaksono, 2018. “Gelar Ritual Laut, Nelayan Ketapang Minta Pemerintah Bangun Infrastruktur”, dalam http://www.lampost.co/berita-gelar-ritual-laut-nelayan-ketapang-minta-pemerintah-bangun-infrastruktur.html tanggal 13 Oktober 2018
Christian Heru, 2011. “Ngumbai Lawok – Mencuci Laut di Lampung”, dalam http://apolo7-net.blogspot.com/2011/12/ngumbai-lawok-mencuci-laut-di-lampung.html, tanggal 10 Desember 2011.
Hendricus Widiantoro, 2015. “Ruwat Laut Tradisi dan Keceriaan Masyarakat Nelayan Lampung Selatan”, dalam https://hendricuswidiantoro.wordpress.com/2015/11/22/ruwat-laut-tradisi-dan-keceriaan-masyarakat-nelayan-lampung-selatan/ tanggal 22 November 2015
Hendricus Widiantoro, 2015. “Yuk Ikutan Ruwat Laut Nelayan Di Selat Sunda”, dalam https://hendricuswidiantoro.wordpress.com/2015/ 01/21/yuk-ikutan-ruwat-laut-nelayan-di-selat-sunda/ tanggal 21 Januari 2015.
Firman Seponada, 2010. “Cara Nelayan Menghormati Laut”, dalam https://www.kompasiana.com/firman_seponada/54ff5642a33311c24f50f919/cara-nelayan-menghormati-laut, tanggal 19 Januari 2010.
Sayuti, tt. “Menonton ‘Ngumbai Lawok’ Teluk Semaka”, dalam https://batubalai.wordpress.com/menonton-ngumbai-lawok-teluk-semaka/

Sumber:
Irvan Setiawan, dkk., 2019. “Tradisi Ruwat Laut pada Masyarakat Nelayan
di Kalianda Lampung Selatan”, Proposal Pengkajian Nilai Budaya T.A. 2019,
Bandung: Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat.

Penayangan Film dan Diskusi Nilai Budaya, Bandarlampung 2017












Penayangan Film dan Diskusi Nilai Budaya, Bandarlampung 2017 (2)












Lampung Ikuti Jejak Tradisi Daerah di Jawa Barat

Sebagai upaya memperkenalkan dan memahami kekayaan budaya bangsa kepada generasi muda tentang keanekaragaman budaya bangsa, Provinsi Lampung turut berpartisipasi dalam kegiatan “Jejak Tradisi Daerah 2019”, yang berlangsung di Indramayu dan Cirebon, Jawa Barat.

Pada kegiatan yang diselenggarakan Badan Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat Selasa-Kamis (12-14/3) itu, perwakilan dari Lampung, melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Lampung menunjuk guru dan siswa dari SMA YP Unila dan SMKN 1 Kalianda bertandang.

Kepala Disdikbud Lampung Sulpakar megatakan, kegiatan itu merupakan kegiatan rutin tahunan BPNB Jawa Barat sebagai wadah mengenal tradisi dan ekspresi budaya di sana.

Biasaya kegiatannya berupa paparan tentang kekayaan budaya, mengenalan tentang penguatan karakter kebangsaan, kunjungan ke sentra kerajinan tradisional dan sanggar seni tradisional, pembuatan deskripsi kerajinan, dan kuliner.

“Selain itu ada kegiatan penggalian data berupa wawancara dengan informan, pentas kreativitas siswa, dan praktik pembuatan kerajinan tradisional,” katanya kepada Radar Lampung, Minggu (10/3).

Dirinya berharap kepada perwakilan dari Lampung yang telah ditunjuk dapat membuat laporan kepada Disdikbud dan melaksanakan tugas dengan baik. “Kegiatan ini didanai oleh APBN BPNB Jawa Barat Kementerian RI. Jadi, sebuah kesempatan luar biasa,” ungkapnya.

Ada pun peserta yang ditunjuk mewakili Lampung dari SMA YP Unila yaitu Siti Nursiah, M.Pd (guru sejarah), Mega Taris Anggraini (siswa), dan Rafi Naufal (siswa). Sedangkan, dari SMKN 1 Kalianda yaitu Anggun Suli Levina, S.Pd. (guru), Aisya Fadhilla (siswa) dan Yusnita Afriana (siswa).

Selaku Kepala SMA YP Unila Berchah Pitoeas juga menyambut baik atas kesempatan yang telah diberikan kepada siswa dan guru. Dirinya berharap apa yang telah diamanahkan dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Selain itu, katanya, dengan mengikuti kegiatan jejak tradisi, diyakini dapat menambah wawasan pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan budaya daerah lain.

“Wawasan diharapkan semakin bertambah dan anak-anak akan lebih mencintai budaya daerah. Dan membuka mata mereka bahwa Indonesia ini kaya akan tradisi dan budaya, sehingga kecintaaan terhadap Indonesia semakin kuat,” pungkasnya kepada Radar Lampung. (apr/sur)

Mengail Di Air Keruh: Gerakan PKI Di Sulawesi Selatan 1950-1965

Taufik Ahmad

Abstrak
Artikel ini dimaksudkan untuk menjelaskan gerakan PKI di Sulawesi Selatan tahun 1950 sampai 1965. Pokok persoalan dalam penelitian ini adalah bagaimana dinamika gerakan PKI di tengah buruknya situasi politik dan keamanan regional? Apakah terdapat interelasi hubungan yang dinamis dan saling memberi pengaruh antara PKI dengan kelompok politik lainnya? Bagaimana PKI mengimbangi kekuatan-kekuatan lokal sehingga mampu bertahan sebelum kehancurannya tahun 1965? Penelitian ini penting untuk melihat perubahan dan hubungan kekuasaan di tengah dinamika politik di daerah Sulawesi Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah kritis dengan melakukan analisis sumber dokumentasi dan wawancara mendalam. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa munculnya pemberontakan DT/II Kahar Muzakkar dan Permesta memengaruhi ritme gerakan PKI. PKI tidak dapat mengembangkan organisasinya di daerah pedalaman karena penetrasi DI/TII di daerah pedalaman menyebarkan agitasi bahwa PKI anti agama. Sementara di daerah kota, PKI mendapat tantangan dari militer dan elit birokrat yang umumnya dikuasai oleh bangsawan. Akibatnya, PKI gagal mendapatkan dukungan di Sulawesi Selatan pada pemilu 1955. Setelah DI/TII dan Permesta ditumpas gerakan PKI berkembang pesat dan mendapat dukungan luas dari para petani. Terdapat interelasi hubungan yang dinamis, berfluktiatif, saling memberi pengaruh antara PKI dengan kelompok politik lain dari satu periode ke periode lainnya.

Abstract
This article is intended to explain PKI movement in South Sulawesi in 1950 – 1965. The main subject in this research is to know how the dynamics of the movement of the PKI in the middle of the bad political situation and regional security. Is there any dynamic interrelation relationship and mutual influence between the PKI with other political group? How does PKI offset local forces so that they can withstand before its destruction in 1965? This reasearch is important to overview the changes and the power relations in the middle of dynamics politics of South Sulawesi. The research method that is used in this rearch is critical history method with doing documentation source analysis and in depth interview. The result found that the rebellion of DT/II of Kahar Muzzakars and Permesta affected the rhytm of PKI movement. PKI could not evolve the organization in rural areas because of the penetration of DI / TII in the countryside that was spreading anti-religious agitation of PKI. Meanwhile in the city, PKI got challenged from the military and elite bureaucrats who were generally dominated by nobles. As a result, PKI failed to gain support in the South Sulawesi in 1955 elections. After DI / TII and Permesta exterminated, the PKI movement was growing rapidly and had a wide support from the peasants. There is a dynamic relationship interrelation, fluctuating, mutual influence between PKI with other political groups from one period to another period.

Keywords: Gerakan PKI, Keamanan Regional, Sulawesi Sealatan, PKI movement, Regional security, South Sulawesi.

Diterbitkan dalam Patanjala Vol. 6, No 2, Juni 2014

Bioskop Keliling Peranannya dalam Memasyarakatkan Film Nasional Dari Masa Ke Masa

Heru Erwantoro

Abstrak
Film masuk ke Hindia Belanda untuk pertama kalinya pada tanggal 5 Desember 1900 dalam format bioskop keliling. Bioskop keliling ternyata mampu eksis dari masa ke masa karena ada faktor yang mendukung keberadaannya. Melalui pendekatan historis, penelitian ini mencoba untuk menelusuri perjalanan bioskop keliling dari masa ke masa dan peranannya dalam perfilman nasional. Penelitian ini memiliki arti yang signifikan bagi perkembangan perfilman nasional. Dari penelitian ini terungkap bahwa: (1) eksistensi bioskop keliling ditentukan oleh motif ekonomi dan motif politik. Secara ekonomis, bioskop keliling menjual jasa pemutaran film langsung ke konsumennya secara massal dan murah, namun tetap menjanjikan keuntungan secara finansial. Motif politik menjadikan film sebagai instrumen politik, namun demikian motif politik ini membuat eksistensi bioskop keliling semakin kokoh; (2) bioskop keliling merupakan mesin peredaran film nasional yang sangat efektif di dalam memasyarakatkan film nasional ke tengah-tengah masyarakat. Melalui bioskop keliling mimpi film nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri secara realistik dapat terwujud. Anggapan yang selama ini dipahami oleh kalangan perfilman bahwa menjadi tuan rumah di negeri sendiri hanya dapat dicapai dengan cara menguasai bioskop yang permanen, mewah dan yang berada di kota-kota berakibat mengubur potensi besar yang dimiliki bioskop keliling.

Abstract
The first time of movie come to the Dutch East Indie in December 5th 1990 on cinema circumference. Cinema circumference exists from time to time since there are factors that support the existence. Through historical approach, the research tries to browse the cinema trip around from time to time and its role in national film. The research has a significant means in the developing of national film. From the result, it can be seen that (1) the existences of cinema circumference decided by the economic motif and political motif. Economically, cinema circumference sells the screening services directly to consumers in bulk and cheap, but still promising benefit financially. Political motives make the film as a political instrument; however it makes the existence of a political motive theater sturdy. (2) Cinema circumference is the main power of national film which is very effective in promoting national film to society. Through national movie theaters, the dream to be a host on their own country can realistically be realized. The assumption, that hosts in their own country can only be achieved by means of holding a permanent cinema master, luxurious, and located in cities is burying large potential of circumference cinema.

Keywords: bioskop keliling, film nasional, mobile cinema, national movie

Diterbitkan dalam Patanjala Vol. 6, No 2, Juni 2014

Penayangan Film dan Diskusi Nilai Budaya, Bandarlampung 2017 (3)












Popular Posts