WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Staf BPNB Jawa Barat (13)

Staf BPNB Jawa Barat (12)

Lampu Gentur Cianjur

Oleh:Irvan Setiawan

Lampu Gentur merupakan salah satu warisan budaya takbenda yang berasal dari Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Nama Lampu Gentur berasal dari dua kata yaitu “Lampu” dan “Gentur”. Lampu diartikan secara umum yaitu sebagai alat penerang, sedangkan Gentur adalah nama lokasi awal mula diperkenalkannya karya budaya tersebut, yaitu di wilayah Desa Jambudipa, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur. Di wilayah tersebut berdiam seorang alim ulama bernama asli Ahmad Syathibi. Gelar beliau adalah KH. Ahmad Syathibi Al-Qonturi. Masyarakat lebih mengenal beliau dengan sebutan Mama Gentur (Hasan, 2018). Ketenaran Mama Gentur (alm) sebagai sosok alim ulama membuat banyak masyarakat dari berbagai daerah yang datang untuk berziarah.

Awal mula pembuatan Lampu Gentur memiliki beberapa versi. Salah satu Versi menyebutkan bahwa inspirasi awal dari pembuatan Lampu Gentur berasal dari Mus’in pada tahun 1820 yang membuat lentera minyak tanah dengan memanfaatkan kaleng bekas (Gumulya, 2017: 40). Ada sumber lisan yang mengatakan bahwa kaleng yang digunakan adalah bekas kaleng susu.

Versi lainnya, menurut salah seorang informan, proses pembuatan atau penciptaan Lampu Gentur berawal dari seseorang seorang guru ngaji bernama Usin. Menurut Gumulya, guru ngaji tersebut bernama Mus’ín (2017: 40). Guru ngaji tersebut biasa mengajar anak-anak pada malam hari di tempat pengajian. Saat itu, sekitar tahun 1965, kondisi penerangan pada waktu itu sangatlah minim karena belum ada sarana penerangan listrik. Proses belajar mengaji dilakukan hanya diterangi oleh lampu centir, yaitu lampu yang menggunakan bahan bakar berupa minyak tanah yang diberi sumbu. Suasana malam hari yang berangin membuat lampu centir sangat mudah padam karena angin yang cukup kencang. Berawal dari kondisi tersebut, Usin (atau Mus’in) kemudian terinspirasi untuk membuat lampu yang tahan terhadap angin. Inspirasi awal adalah dengan memodifikasi lampu cempor atau lampu centring yang diberi selubung agar tahan terhadap angin (Hasil wawancara). Enang, dapat dikatakan sebagai generasi ketiga, mengembangkan dan mendesain ulang selubung lampu cempor yang telah dibuat Mus’in sebelumnya. Model kerangka atau selubung lampu yang dipakai untuk mendesain ulang diambil dari model lampu “Maroko”, yaitu sejenis lampu hias yang banyak dipakai di negara timur tengah. Masyarakat menyebutnya dengan istilah Lampu Maroko (Radar Cianjur, 2017).

Lampu Gentur model “baru” yang diperkenalkan oleh Enang lama kelamaan diminati oleh warga setempat. Wilayah Kampung Gentur yang banyak dihuni oleh para santri dari berbagai wilayah (bahkan dari luar Kabupaten Cianjur) secara tidak langsung menunjukan ketertarikannya dan mengabarkan keunikan atau bahkan membeli serta membawa Lampu Gentur tersebut ke daerahnya. Di samping itu, Lampu Gentur juga banyak menarik perhatian dari banyak masyarakat yang datang dari berbagai wilayah untuk berziarah ke makam Mama Gentur. Unsur ekonomi kemudian bermain dalam hal ini. Melihat prospek keuntungan dari segi ekonomi tersebut, warga yang tertarik kemudian berupaya untuk membuat Lampu Gentur. Model Lampu Gentur, yaitu Model Lampu Maroko menjadi model awal dan untuk selanjutnya dimodifikasi baik bentuk maupun pernik-pernik dan motif Lampu Gentur. Sementara untuk bahan masih tetap tidak mengalami perubahan. Begitu juga halnya dengan cara pembuatan yang masih menggunakan teknik manual. Saat ini model Lampu Gentur sudah sangat banyak, bahkan tidak terhitung jumlahnya (Radar Cianjur, 2017).

Proses dan bahan pembuatan Lampu Gentur dapat dikatakan cukup mudah namun memerlukan ketelitian dan ketekunan. Lampu Gentur terdiri dari beberapa bagian, yaitu, kerangka, wadah lampu, selubung lampu, dan pengait (apabila digantung) atau dudukan (apabila dipasang pada tiang). Pada awalnya sumber penerang pada Lampu Gentur masih menggunakan bahan minyak tanah. Saat ini, sumber penerang Lampu Gentur sudah menggunakan listrik. Dengan demikian wadah lampu pada Lampu Gentur telah disesuaikan agar dapat menggunakan bohlam berikut dudukannya.

Bahan dasar untuk membuat Lampu Gentur adalah lempengan kuningan dan kaca. Peralatan yang digunakan di antaranya jangka, penggaris, pena, Jarum ukuran besar (mirip peralatan sol sepatu), gunting seng, alat potong kaca, besi bulat kecil sepanjang kurang lebih 1 meter, dan alat patri.

Proses pembuatan tahap awal adalah membuat pola dengan menggunakan jangka, penggaris, dan jarum besar (untuk menggores pola pada lempengan kuningan). Setelah pola terbentuk kemudian digunting atau dipotong. Kerangka dibuat dengan cara membulatkan lempengan seukuran diameter paku 15 cm. Lempengan yang telah dibulatkan tersebut merupakan kerangka yang menutupi setiap kaca yang telah dipotong dengan berbagai ukuran. Setelah seluruh kaca disematkan lempengan kuningan kemudian masing-masing saling direkatkan dengan menggunakan alat patri. Begitu juga halnya dengan wadah lampu dan alat gantung atau duduk Lampu Gentur yang juga disatukan dengan menggunakan alat patri.

Setelah selesai, Lampu Gentur kemudian dipajang dengan cara digantung atau didudukan. Dari sekian banyak Lampu Gentur yang dibuat dan terjual di pasaran, ada satu keunikan tersendiri, yaitu tidak ada satupun merk yang tersemat dalam setiap produk Lampu Gentur.

Proses jual beli dilakukan dengan cara memajang Lampu Gentur di ruko atau kios-kios di sepanjang jalan Cianjur. Biasanya, pihak penjual memesan terdahulu kepada produsen kemudian menjualnya di berbagai wilayah hingga keluar Provinsi Jawa Barat. Ada juga pihak produsen yang juga berperan sebagai penjual. Salah seorang produsen Lampu Gentur ada yang memiliki kios di Provinsi Bali. Menurutnya, prospek penjualan di Bali lebih bagus daripada di wilayah Jawa Barat. Selain penjualan langsung, saat ini proses penjualan telah menggunakan sosial media, atau toko online.

Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur dalam upaya pelestarian Lampu Gentur diantaranya dengan melakukan pembinaan dan pelatihan mengenai cara membuat Lampu Gentur. Unsur promosi juga telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur. Beberapa di antaranya adalah memasang Lampu Gentur di banyak titik / lokasi strategis di wilayah pusat Kota Kabupaten Cianjur. Selain itu, yang monumental adalah pembuatan tugu Lampu Gentur di simpang empat wilayah Kota Cianjur.

Sumber Tulisan
Gumulya, Devanny; Liony Amanda Lee. 2018. “Pencarian Identitas Desain Lampu Gentur Cianjur dengan Pendekatan Teori Semiotik”, dalam MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 33, Nomor 1, Februari 2018 halaman 35 – 47.

Radar Cianjur, 2017. “Ternyata Seperti Ini Awal Mula Lentera Gentur di Cianjur”, dalam https://cianjur.pojoksatu.id/ tanggal 11 Agustus 2017.

Hasan, H. Abdul Hadi, 2018. “Biografi Mama Gentur”, dalam https://ltnnujabar.or.id/ tanggal 22 Juni 2018

Gong Si Bolong

Oleh: Irvan Setiawan

Gong Si Bolong adalah seni gamelan khas Kota Depok yang digunakan untuk mengiringi beberapa pertunjukan kesenian tradisional, di antaranya: jaipong, wayang kulit Betawi, dan tari tayub. Jenis iringan musik gamelan Gong Si Bolong mengacu pada seni gamelan ajeng. Namun demikian, ada kekhasan antara musik gamelan Gong Si Bolong dengan seni gamelan ajeng. Iit Septyaningsih (2014) menyebutkan bahwa seni gamelan Gong Si Bolong merupakan perpaduan antara musik Gamelan Betawi, perpaduan dari Gamelan Sunda, Melayu dan Cina.

Nama Gong Si Bolong sering diidentikkan dengan unsur mistis yang mengarah pada sosok astral yang dianggap mampu mengabulkan permohonan atau permintaan seseorang. Sepertihalnya dengan benda yang dianggap “sakti” lainnya, Gong Si Bolong merupakan salah satu instrumen alat musik berbentuk Gong namun di bagian tengah tidak ada pencon atau benjolan, alias berlubang atau dalam bahasa Betawi disebut “bolong”. Maka dari itu, benda tersebut dinamakan Gong Si Bolong.

Ada beberapa versi yang mengarah pada unsur mistis mengenai kemunculan Gong Si Bolong. Salah satu versi seperti dinyatakan oleh Ramdhani (2016: 34) bahwa Gong Si Bolong ditemukan oleh Jimin pada sekitar tahun 1750 M (sumber lain menyebut angka tahun 1648) saat mencari sumber suara gamelan yang terdengar di malam hari. Sumber suara tersebut ternyata berasal dari seperangkat alat gamelan lengkap dengan gendang dan Gong yang berlubang (diameter 10 cm) pada bagian tengahnya. Tiga buah instrumen yang dibawa oleh Jimin, yaitu Gong, Gendang, dan Bende. Gendang dan Bende tidak memiliki keanehan dari segi bentuk. Penerus/pemegang/pewaris Gong Si Bolong setelah Jimin adalah : Sanim; Galuh/Jerah; Saning; Nyai Asem; H. Bahrudin (Bagol); Kamsa S. Atmaja; Buang Jayadi. Pewaris terakhir, Buang Jayadi merawat Gong Si Bolong sejak tahun 2011 hingga sekarang (Ramdhani, 2016: 39-40).

Adapun unsur seni yang mulai dimainkan dengan menggunakan waditra Gong Si Bolong dilakukan sejak kepewarisan Galuh/Jerah, yaitu dengan memainkan musik gamelan ajeng. Saning yang merupakan anak dari Galuh/Jerah kemudian mengembangkan musik Gong Si Bolong sebagai pengiring Tari Tayub dan Tari Jaipong. Rating pertunjukan Gong Si Bolong mencapai puncak saat kepewarisan Nyai Asem. Masyarakat kala itu sangat menyukai alunan musik yang dimainkan oleh seperangkat instrumen Gong Si Bolong. Yang menarik, suara yang dihasilkan tiga waditra temuan tersebut sangat nyaring sehingga mampu terdengar hingga ke kampung sebelah. Keunikan waditra tersebut membuat masyarakat menyebutnya dengan istilah “si gledek”.

Sepeninggalnya Nyai Asem, musik Golong Si Bolong mulai meredup. Pewaris selanjutnya, yaitu H. Bahrudin, berupaya berinovasi dengan memadukan musik Gong Si Bolong untuk mengiringi Wayang Kulit Betawi dan Jaipong. Namun hal tersebut tidak cukup untuk menaikkan rating musik Gong Si Bolong. Setelah vakum beberapa lama, Kamsa S. Atmaja mencoba mengangkat lagi pamor musik Gong Si Bolong. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan cara bergabung dengan Dewan Kesenian Depok pada tanggal 18 April 2000. Alhasil, pamor musik Gong Si Bolong mulai naik. Banyak warga atau instansi yang memesan pertunjukkan Gong Si Bolong. Saat ini, pewaris musik Gong Si Bolong adalah Buang Jayadi setelah Kamsa S. Atmaja menyerahkannya pada tahun 2011 (Ramdhani, 2016: 41-42).

Regenerasi
Proses perekrutan anggota musik Gong Si Bolong dilakukan dilakukan secara kekeluargaan. Anggota baru akan diterima apabila memiliki solidaritas tinggi dan mampu memainkan lebih dari satu waditra. Musik Gong Si Bolong terdiri dari beberapa waditra, yaitu: satu set gendang; dua set saron; satu set keromong; satu set kedemung; satu set kenong; satu terompet; satu set gong; rebab; dan gambang.

Anggota Gong Si Bolong terbagi dalam dua kelompok berdasarkan gender, yaitu laki-laki dan perempuan. Laki-laki. Berperan sebagai pemain instrumen atau nayaga, sedangkan perempuan mengambil peran sebagai penari nayuban dan sinden (Ramdhani, 2016: 44). Selain regenerasi, kebertahanan musik Gong Si Bolong juga ditunjang oleh kemampuan untuk melakukan inovasi yang menjadi kunci keberhasilan musik Gong Si Bolong hingga dapat bertahan sampai saat ini. Selain itu, Pemerintah Kota Depok melalui dinas terkait juga turut membantu untuk mengangkat kembali salah satu aset warisan budaya takbenda ini Kota Depok. Tugu Gong Si Bolong adalah salah satu bukti dari upaya Pemerintah Kota Depok tersebut.

Sumber Tulisan:
Ramdhani, Wahyu, 2016. “Strategi Survival Komunitas Seni Tradisional di Era Modernisasi (Studi Kasus Komunitas Gong Si Bolong di Kota Depok)”, Skripsi, Program Sosiologi, Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Iit Septyaningsih, 2014. “Warga Depok Tampilkan Kesenian Gong Si Bolong”, dalam www.republika.co.id selasa 19 Agustus 2014

Arny Christika Putri, 2017. “STORY Pudarnya Kesenian Gong Si Bolong Asal Depok”, dalam www.liputan6.com 4 Februari 2017

Peringatan 1 Suro 1953 Jawa di Taman Budaya Lampung

Popular Posts