WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

5 Destinasi Wisata Lampung yang Memesona

Lampung merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki potensi wisata alam hingga budaya. Di samping itu, terdapat pula wisata buatan yang tak kalah mengasyikan untuk dijajal. Provinsi Lampung terbilang strategis bagi kunjungan wisata. Berbagai objek wisata, mulai dari pegunungan, hutan, sungai, air terjun, mudah dijangkau dari pusat Kota Lampung.Meneruskan jurnal "Potensi Wisata di Lampung dan Pengembangannya" oleh Ani Rostiyati, Bandar Lampung merupakan penyatuan dari dua kota, yakni Telukbetung dan Tanjung Karang. Pada 1984, Kota Teluk Betung dan Tanjung Karang digabung menjadi satu kesatuan wilayah kota di Bandar Lampung. Selanjutnya, Kota Tanjung Karang dan Teluk Betung berubah menjadi Kotamadya TK. II Tanjung Karang-Teluk Betung dan sekaligus menjadi Ibukota Provinsi Lampung.

Wisata Lampung
Di Lampung, terdapat tujuh wisata unggulan yang sering dikunjungi para wisatawan, yakni krakatau, Bandar Lampung, Laut Kiluan, Bukit Barisan Selatan, Tanjung Setra, Way Kambas, dan Menara Siger

Sementara itu, di pusat ibu kota Lampung terdapat potensi wisata unggulan seperti museum yang terletak di tengah kota, sentra kerajinan tapis, sentra penjualan kuliner keripik pisang, dan berbagai sanggar seni. Adapun pantai, laut, rumah tradisioal, danau, alam pegunungan, biasanya terletak jauh dari ibu kota Lampung dan merupakan wisata non unggulan.

Wisata Buatan di Lampung
Di samping jajaran wisata alamnya, Lampung menyuguhkan sejumlah wisata buatan yang layak untuk dikunjungi. Mengutip Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Pemerintah Provinsi Lampung, berikut 5 wisata buatan Lampung.

1. Penangkaran Rusa Tahura Wan Abdul Rachman
Penangkaran rusa ini berada di Desa Sumber Agung Kecamatan Kemiling. Dari arah Kemiling dapat dijangkau dengan jarak yang cukup dekat dengan kondisi jalan yang baik. Lokasi penangkaran berada sekitar 1 km sebelum Taman Kupu-Kupu.

Di penangkaran ini wisatawan diajak bercengkerama dan memberi pakan yang telah disediakan untuk rusa-rusa di tempat penangkaran. Lokasi penangkaran dilengkapi dengan taman, arena bermain anak, kantin, musala dan berbagai spot menarik untuk berswafoto.

Tempat wisata penangkaran rusa ini buka setiap hari dengan tarif tiket masuk yang cukup terjangkau, yakni Rp 3.000 dan Rp 2.000 untuk parkir kendaraan roda dua Rp 4.000 untuk kendaraan roda empat.

2. Taman Kupu Kupu Gita Persada
Taman Kupu-kupu Gita persada Bandar Lampung, terletak di kaki Gunung Betung Kemiling Bandar Lampung atau sekitar 30 menit dari pusat kota dan sekitar 1 km dari Bumi Kedaton arah Kemiling.

Hanya dengan Rp 10.000, pegunjung sudah bisa menikmati alam sejuk taman sekaligus menemukan berbagai jenis kupu- kupu dan mengamati perkembangan metamorfosis dari mulai telur, ulat, kepompong dan akhirnya menjadi kupu-kupu yang berwarna-warni.

Taman yang telah berdiri selama lebih dari 20 tahun ini kini telah memiliki lebih dari 140 jenis kupu-kupu Sumatra, termasuk Attacus atlas.

Terdapat beberapa fasilitas wisata yang tersedia di taman ini, yaitu sangkar kupu-kupu, rumah pohon, children's playground, museum, kafetaria, dan toilet. Taman Kupu-Kupu Gita Persada beroperasi pukul 8 pagi hingga 5 sore.

3. Lembah Hijau
Tempat wisata yang terletak di Bandar Lampung ini berdiri di atas kawasan lembah seluas 30 hektare. Taman ini memadukan antara wisata rekreasi dan edukasi.

Lembah Hijau menyediakan berbagai wahana rekreasi keluarga menarik, mulai dari yang bernuansa hiburan, ilmu pengetahuan alam hingga petualangan.

Saat ini, Lembah Hijau memiliki kebun binatang dengan pengelolaan yang terbaik di Sumatra. Di sini, Gajah Sumatra dari Way Kambas siap menyambut pengunjung dengan atraksinya. Selain itu, pengunjung bisa berkeliling taman wisata serta arena panggung hiburan yang menampilkan satwa-satwa pintar seperti orang utan, burung dan berang-berang.

Di sini, tersedia beberapa fasilitas wisata berupa cottages, restoran, meeting room, hiburan keluarga, waterboom, outdoor activity (Outbound Training Center, Outbound Kids & Children Playground, Camping Ground, Paint Ball & Air Soft Guns), Taman Satwa, Wahana Permainan (Mini Train, Carousel, Cinema 4 Dimensi, Boom-Boom Car, Rumah Hantu). Lembah Hijau buka setiap hari pukul 8 pagi – 6 sore.

4. Bumi Kedaton
Tempat wisata buatan di Lampung selanjutnya yakni Bumi Kedaton. Destinasi wisata yang satu ini merupakan taman satwa dan wisata yang menyediakan cottage dan aneka permainan rekreasi yang terletak di Kampung Batu Putuk, Telukbetung, Bandar Lampung atau sekitar 20 menit dari pusat kota. Bumi Kedaton dilengkapi dengan berbagai fasilitas wisata, di antaranya rumah khas Lampung, area kamping di bagian utara dari sungai yang mengalir dari lereng Gunung Betung, cottage, water park, jalur jogging. Di samping itu, terdapat koleksi tumbuhan dan hewan langka secara bertahap dengan tujuan memperkenalkan kekayaan fauna yang ada di penjuru Nusantara, khususnya Sumatra. Di tempat ini, tersedia Siger Cafe, yakni sebuah restoran yang terletak di daerah perbukitan dengan pemandangan yang indah di atas bukit berpadu suara gemericik air. Restoran ini menyediakan menu-menu yang akan membangkitkan selera, seperti ikan mas panggang, ayam panggang, dan makanan khas Lampung.

5. Gua Maria Padang Bulan Terletak di Pringsewu Lampung, arah barat kota Bandar Lampung atau sekitar 3 km dari Pringsewu arah Kabupaten Tanggamus, tempat ini sering dijuluki sebagai Lourdes van Lampung. Lourdes di Perancis adalah destinasi wisata ziarah umat katolik paling terkenal di dunia. Tempat ziarah Gua Maria Lourdes diyakini umat katolik merupakan petilasan penampakan bunda Maria. Berdasarkan sejarah yang ditulis oleh Uskup Tanjung Karang, Mgr Andreas Henrisoesanta, lokasi tempat Gua Maria didirikan dulunya adalah tempat para imam dan masyarakat sekitar bersembunyi pada masa penjajahan Jepang. Gua ini jadi lokasi para gerilyawan menyusun siasat untuk melawan penjajah. Lokasinya yang berada di lembah perbukitan, di tengah hutan kecil, dan di tepi sebuah sungai yang jauh dari suara bising perkotaan, ditambah suara hewan-hewan kecil dan gemericik air menjadikan Gua Maria sebagai tempat yang pas bagi peziarah yang berniat mencari ketenangan batin di dalam doa.

Sumber: https://katadata.co.id/safrezi/berita/6194d0778884a/5-destinasi-wisata-lampung-yang-memesona

Melestarikan Tradisi Karuhan di Kampung Naga Tasikmalaya, Dua Bukit Jadi Sumber Kehidupan

Para leluhur dari Kampung Naga di Tasikmalaya meninggalkan jejak tradisi baik kepada keturunan mereka agar tetap menjaga kelestarian alam di kampung berpenduduk 100 kepala keluarga itu. Pemukiman yang ada di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat memiliki nama unik yakni Kampung Naga. Dari pusat kota Tasikmalaya dapat ditempuh melalui jalur darat sekitar 30 kilometer menuju barat atau lebih dekat melalui Kota Garut, sekitar 26 km menuju timur.

Dari Bandung, ibu kota Provinsi Jawa Barat, Kampung Naga dapat dicapai setelah menempuh perjalanan sejauh 106 km selama 2,5 jam. Kampung berpenduduk 100 kepala keluarga ini berada di kilometer ke-30 dari jalan raya Tasikmalaya-Bandung lewat Garut. Sebuah jalan selebar dua meter sepanjang 500 meter menjadi penghubung jalan raya yang ramai dengan pintu masuk Kampung Naga.

Jangan harap bakal bertemu naga saat ke kampung yang berada pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut ini. Hewan dalam mitologi masyarakat Tiongkok itu justru tidak dikenal masyarakat di kawasan berudara sejuk bersuhu 20-23 derajat Celcius tersebut. Naga justru berasal dari penggalan kata dalam bahasa Sunda, nagawir, artinya kampung di bawah tebing terjal. Sesuai namanya, untuk menuju Kampung Naga kita harus menuruni 439 sangked atau anak tangga yang sudah disemen.

Kemiringan anak-anak tangga sekitar 45 derajat, sedikit berkelok mengikuti kontur lahan. Saat keluar dari sini pun, kita mesti melewati ratusan sangked tadi. Hitungan tiap orang akan anak tangga ini tidak pernah sama. Sebagian bilang 350, tetapi ada juga menyebut jumlahnya 400 anak tangga. Butuh waktu sekitar 15 menit untuk menapaki anak-anak tangga itu. Ujung anak tangga langsung tersambung jalan setapak bersemen setinggi 1,5 meter menyusuri tepian Sungai Ciwulan beraliran deras di sisi kanan kita. Sungai itu berhulu dari Gunung Cikuray (2.821 meter), gunung tertinggi keempat di Jawa Barat.

Di kiri jalan setapak yang lebarnya cukup untuk tiga orang berjalan bersisian ini, sebuah tanda kehidupan pun mulai tampak. Ada beberapa balong (kolam) dihuni aneka jenis ikan seperti mas, nila, gurame, mujair, dan lele. Di tepian balong terdapat saung serbaguna, bisa untuk mencuci pakaian atau tempat menumbuk padi (lisung) hasil panen. Masih di sisi kiri jalan setapak, kita akan menyaksikan suguhan alam, yaitu hamparan persawahan seluas 5 hektare bak permadani hijau kekuningan. Sebuah papan kayu berukuran besar bertuliskan "Selamat Datang di Kampung Naga" langsung menyita perhatian begitu kaki mulai menapaki langkah menuju permukiman warga.

Di lahan yang sedikit menanjak, berdiri kokoh rumah-rumah warga dengan rupa seragam: rumah panggung kayu berpondasi batu-batu, dinding anyaman bambu berlabur kapur putih. Serta berlantai papan kayu, atap segitiga dari ijuk hitam pekat membentuk julang ngapak atau sayap burung sedang mengepak. Jumlah bangunan Kampung Naga ada sekitar 110 unit, 108 di antaranya dihuni. Bangunan-bangunan tadi berdiri di atas lahan seluas total 1,5 ha dan tidak berubah jumlah serta bentuknya sejak kampung ini berdiri. Rumah-rumah di Kampung Naga tertata rapi dengan pola memanjang dari timur ke barat atau sebaliknya, dengan pekarangan yang selalu terjaga kebersihannya.

Peneliti budaya Sunda, Nandang Rusnandar mengatakan arah rumah seperti itu dipilih sejalan dengan alurnya matahari, terbit di timur dan terbenam di barat. Barisan rumah menghadap utara atau selatan dengan dua pintu masuk, sebelah selatan serta utara ditambah jendela-jendela. Para pemiliknya seolah tak ingin saling menonjolkan diri dan membiarkan aset mereka terbangun seragam. Sungguh bersahaja. Masih ada tiga bangunan lainnya di luar rumah-rumah warga, seperti masjid, Bumi Ageung, dan Bale Patemon dengan fungsi berbeda.

Masjid menjadi rumah ibadah satu-satunya di kampung berpenduduk Islam, agama yang sudah mereka anut sejak awal tempat ini berdiri. Bumi Agueng menjadi tempat sakral masyarakat setempat menyimpan benda-benda pusaka adat, dan Bale Patemon merupakan semacam balai pertemuan warga. Bangunan di kampung ini usianya belum mencapai ratusan tahun. Tetua adat Kampung Naga, Ucu Suherlan berkisah kalau daerah tempatnya tinggal ini pernah dibakar oleh organisasi DI/TII pimpinan Kartosuwiryo pada 1956 silam. Pembakaran terjadi karena seluruh warga kampung menentang kehadiran DI/TII. Peristiwa itu ikut mengubur arisp-arsip sejarah yang disimpan para leluhur atau karuhun Kampung Naga di dalam Bumi Ageung.

Hingga kemudian di antara mereka, kata Ucu, muncul istilah pareum obor atau obor mati. Musnahnya berkas-berkas sejarah kampung adat ini membuat kisah asal mula kampung menjadi pudar, tidak ada titik terang mirip padamnya obor. Tak ada kejelasan sejarah, kapan, dan siapa pendiri serta apa yang melatarbelakangi terbentuknya kampung dengan adat istiadat yang masih dipegang teguh hingga sekarang. Terlepas dari itu semua, Ucu mengatakan kalau ia dan seluruh warga masih tetap memegang teguh ajaran-ajaran para karuhun.

Misalnya saja, sejak awal para penduduk sepakat untuk hidup tanpa listrik. Ucu beralasan keberadaan listrik dapat berdampak tidak baik bagi kehidupan mereka. Alhasil, kendati tanpa listrik, mereka tetap bisa menikmati tontonan televisi atau siaran radio berbekal aki yang disambungkan dengan kabel. Kala malam, kampung ini lumayan temaram. Demikian pula dengan hasil panen padi di Kampung Naga. Kendati berlimpah, mereka jarang menjual hasil panen kepada pihak lain dan diprioritaskan untuk memenuhi pangan warga selama setahun.

Di kampung tersebut musim tanam berlangsung dua kali dalam setahun. Hasil panen akan mereka simpan di leuit atau lumbung, tepat di belakang rumah warga. Demikian juga dengan pengelolaan lahan hutan di Bukit Naga dan Bukit Biuk, dua bukit hijau lestari yang memeluk hangat kampung berkontur cekungan mangkuk ini. Kedua bukit atau leweung dalam bahasa setempat dikeramatkan oleh warga sejak era kolot baheula (nenek moyang) karena dianggap sebagai sumber kehidupan. Bukit-bukit ini merupakan penampung air alami serta menjadi sumber pengairan selain aliran Sungai Ciwulan.

APemandangan barisan air menetes dari sela-sela akar pepohonan rindang di lereng bukit merupakan hal biasa untuk penduduk kampung. Air-air dari mata air perbukitan itu kemudian mengalir pelan menuju balong warga. Warga juga tidak boleh sembarangan menebang atau memetik tanaman di sekitar kampung serta leweung. Para karuhun Kampung Naga memiliki pepatah, lojor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung). Artinya dengan menjaga dan melestarikan alam, maka hidup akan berlangsung lebih alami.

Sumber: https://regional.kompas.com/read/2021/09/26/060700578/melestarikan-tradisi-karuhan-di-kampung-naga-tasikmalaya-dua-bukit-jadi?page=all

Mempertahankan Tradisi Karuhun di Kampung Naga

Daerah satu ini punya nama cukup unik, Kampung Naga. Letaknya di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Dari pusat kota Tasikmalaya dapat ditempuh melalui jalur darat sekitar 30 kilometer menuju barat atau lebih dekat melalui Kota Garut, sekitar 26 km menuju timur. Lamanya perjalanan sekitar satu jam. Dari Bandung, ibu kota Provinsi Jawa Barat, Kampung Naga dapat dicapai setelah menempuh perjalanan sejauh 106 km selama 2,5 jam.

Kampung berpenduduk 100 kepala keluarga ini berada di kilometer ke-30 dari jalan raya Tasikmalaya-Bandung lewat Garut. Sebuah jalan selebar dua meter sepanjang 500 meter menjadi penghubung jalan raya yang ramai dengan pintu masuk Kampung Naga. Jangan harap bakal bertemu naga saat ke kampung yang berada pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut ini.

Hewan dalam mitologi masyarakat Tiongkok itu justru tidak dikenal masyarakat di kawasan berudara sejuk bersuhu 20-23 derajat Celcius tersebut. Naga justru berasal dari penggalan kata dalam bahasa Sunda, nagawir, artinya kampung di bawah tebing terjal. Sesuai namanya, untuk menuju Kampung Naga kita harus menuruni 439 sangked atau anak tangga yang sudah disemen. Kemiringan anak-anak tangga sekitar 45 derajat, sedikit berkelok mengikuti kontur lahan. Saat keluar dari sini pun, kita mesti melewati ratusan sangked tadi.

Hitungan tiap orang akan anak tangga ini tidak pernah sama, sebagian bilang 350, tetapi ada juga menyebut jumlahnya 400 anak tangga. Tetapi hanya satu yang pasti soal anak tangga ini. Karena kaki kita bakal lumayan pegal dan napas pun tersengal-sengal usai 15 menit menapaki anak-anak tangga itu. Ujung anak tangga langsung tersambung jalan setapak bersemen setinggi 1,5 meter menyusuri tepian Sungai Ciwulan beraliran deras di sisi kanan kita. Sungai itu berhulu dari Gunung Cikuray (2.821 meter), gunung tertinggi keempat di Jawa Barat.

Di kiri jalan setapak yang lebarnya cukup untuk tiga orang berjalan bersisian ini, sebuah tanda kehidupan pun mulai tampak. Ada beberapa balong (kolam) dihuni aneka jenis ikan seperti mas, nila, gurame, mujair, dan lele. Di tepian balong terdapat saung serbaguna, bisa untuk mencuci pakaian atau tempat menumbuk padi (lisung) hasil panen. Masih di sisi kiri jalan setapak, kita akan menyaksikan suguhan alam, yaitu hamparan persawahan seluas 5 hektare bak permadani hijau kekuningan. Sebuah papan kayu berukuran besar bertuliskan "Selamat Datang di Kampung Naga" langsung menyita perhatian begitu kaki mulai menapaki langkah menuju permukiman warga.

Di lahan yang sedikit menanjak, berdiri kokoh rumah-rumah warga dengan rupa seragam: rumah panggung kayu berpondasi batu-batu, dinding anyaman bambu berlabur kapur putih, berlantai papan kayu, atap segitiga dari ijuk hitam pekat membentuk julang ngapak atau sayap burung sedang mengepak. Jumlah bangunan Kampung Naga ada sekitar 110 unit, 108 di antaranya dihuni. Bangunan-bangunan tadi berdiri di atas lahan seluas total 1,5 ha dan tidak berubah jumlah serta bentuknya, selalu seperti itu sejak kampung ini berdiri.

Rumah-rumah tadi tertata rapi dengan pola memanjang dari timur ke barat atau sebaliknya, dengan pekarangan yang selalu terjaga kebersihannya. Arah rumah seperti itu dipilih sejalan dengan alurnya matahari, terbit di timur dan terbenam di barat, kata peneliti budaya Sunda, Nandang Rusnandar. Barisan rumah menghadap utara atau selatan dengan dua pintu masuk, sebelah selatan serta utara ditambah jendela-jendela. Para pemiliknya seolah tak ingin saling menonjolkan diri dan membiarkan aset mereka terbangun seragam, sungguh bersahaja.

Masih ada tiga bangunan lainnya di luar rumah-rumah warga, seperti masjid, Bumi Ageung, dan Bale Patemon dengan fungsi berbeda. Masjid menjadi rumah ibadah satu-satunya di kampung berpenduduk Islam, agama yang sudah mereka anut sejak awal tempat ini berdiri. Bumi Agueng menjadi tempat sakral masyarakat setempat menyimpan benda-benda pusaka adat, dan Bale Patemon merupakan semacam balai pertemuan warga.

Bangunan di kampung ini usianya belum mencapai ratusan tahun. Tetua adat Kampung Naga, Ucu Suherlan berkisah kalau daerah tempatnya tinggal ini pernah dibakar oleh organisasi DI/TII pimpinan Kartosuwiryo pada 1956 silam. Ini karena seluruh warga kampung menentang kehadiran DI/TII. Peristiwa itu ikut mengubur arisp-arsip sejarah yang disimpan para leluhur atau karuhun Kampung Naga di dalam Bumi Ageung.

Tradisi Karuhun
Hingga kemudian di antara mereka, kata Ucu, muncul istilah pareum obor atau obor mati. Musnahnya berkas-berkas sejarah kampung adat ini membuat kisah asal mula kampung menjadi pudar, tidak ada titik terang mirip padamnya obor. Tak ada kejelasan sejarah, kapan, dan siapa pendiri serta apa yang melatarbelakangi terbentuknya kampung dengan adat istiadat yang masih dipegang teguh hingga sekarang.

Terlepas dari itu semua, Ucu mengatakan kalau ia dan seluruh warga masih tetap memegang teguh ajaran-ajaran para karuhun. Misalnya saja, sejak awal para penduduk sepakat untuk hidup tanpa listrik. Ucu beralasan keberadaan listrik dapat berdampak tidak baik bagi kehidupan mereka. Alhasil, kendati tanpa listrik, mereka tetap bisa menikmati tontonan televisi atau siaran radio berbekal aki yang disambungkan dengan kabel. Kala malam, kampung ini lumayan temaram.

Demikian pula dengan hasil panen padi di Kampung Naga. Kendati berlimpah, mereka jarang menjual hasil panen kepada pihak lain dan diprioritaskan untuk memenuhi pangan warga selama setahun. Asal tahu saja, di sini musim tanam berlangsung dua kali dalam setahun. Hasil panen akan mereka simpan di leuit atau lumbung, tepat di belakang rumah warga.

Demikian juga dengan pengelolaan lahan hutan di Bukit Naga dan Bukit Biuk, dua bukit hijau lestari yang memeluk hangat kampung berkontur cekungan mangkuk ini. Kedua bukit atau leweung dalam bahasa setempat dikeramatkan oleh warga sejak era kolot baheula (nenek moyang) karena dianggap sebagai sumber kehidupan. Bukit-bukit ini merupakan penampung air alami serta menjadi sumber pengairan selain aliran Sungai Ciwulan.

Pemandangan barisan air menetes dari sela-sela akar pepohonan rindang di lereng bukit merupakan hal biasa untuk penduduk kampung. Air-air dari mata air perbukitan itu kemudian mengalir pelan menuju balong warga. Warga juga tidak boleh sembarangan menebang atau memetik tanaman di sekitar kampung serta leweung.

Lojor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung), begitu petuah para karuhun Kampung Naga. Artinya dengan menjaga dan melestarikan alam, maka hidup akan berlangsung lebih alami. Keren ya. (Anton Setiawan)

Sumber: https://indonesia.go.id/kategori/budaya/3242/mempertahankan-tradisi-karuhun-di-kampung-naga

Kesenian Ronggeng di Pangandaran, Berjuang "Ngigelan Jaman"

Secara kebahasaan, Ronggeng berasal dari kata renggana yang berarti perempuan pujaan dalam bahasa Sansekerta. Tak diketahui pasti bagaimana asal mula kesenian Ronggeng di Pangandaran hingga dapat bertahan seperti saat ini.

Namun menurut Gilang Campaka lewat skripsinya berjudul Lagu Kudup Turi dalam Kesenian Ronggeng Gunung di Ciamis Selatan, diperkirakan kesenian ini sudah ada sejak abad VII pada masa Kerajaan Galuh. Tariannya berperan sebagai penghibur tamu kerajaan yang berkunjung.

Dikisahkan pula dalam legenda Dewi Siti Samboja dari Kerajaan Pananjung yang menyamar sebagai penari ronggeng. Karena tewasnya sang suami, Raden Anggelarang, dalam penyamarannya di pegunungan Pangandaran ia mengungkapkan kesedihannya lewat lagu Manangis.

Senandung itu kemudian menjadi bagian dalam pertunjukkan ronggeng dan dianggap sebagai salah satu asal-usulnya.

Tetapi versi lainnya, menurut Ria Andayani lewat bukunya, Ronggeng Gunung: Menggali Seni Tradisi bagi Pengembangan Pariwisata dan Seni Modern di Kabupaten Ciamis, bahwa tarian ini diciptakan oleh Raden Sawung Galing. Raden Sawung Galing sendiri merupakan bala bantuan dari Galuh untuk menyelamatkan Pananjung yang kemudian menjadi raja.

Ketika berkuasa, ia membuat tarian sebagai sarana hiburan resmi bernama Ronggeng Gunung. Seleksi penarinya pun cukup ketat dengan syarat cantik, mampu menari dan menyanyi, serta terpandang.

Kesenian ini juga tercatat di masa penjajahan oleh bangsa Eropa, termasuk Gubernur Jenderal Stamford Thomas Raffles dalam bukunya The History of Java. Ia menulis, Ronggeng merupakan pertunjukkan keliling yang dilakukan oleh perempuan yang berasal dari gunung. Pertunjukannya biasa dilakukan di ruang publik, bahkan di tempat tinggal para bangsawan dan penguasa kolonial.

Pada pementasan Ronggeng Gunung, perempuan memiliki banyak peran, seperti sebagai penari sekaligus penyanyi. Seorang Ronggeng juga berperan sebagai pemimpin sejumlah ritual acara yang melibatkan pementasan ini.

Euis Thresnawaty dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat dalam Raspi, Sang Maestro Ronggeng Gunung (jurnal Panjalu Vol.8 No 2 2016) menulis bahwa untuk menjadi seorang ronggeng tidak memiliki batasan umur.

Tidak mudah bagi setiap perempuan untuk menjadi ronggeng karena memiliki seleksi ketat. Tetapi syarat berparas cantik tak lagi menjadi syarat penting untuk menjadi ronggeng seperti di masa lalu.

Ronggeng identik dengan kepiawaian penari dalam menggoda lawan jenisnya. Syarat itulah yang membuat profesi ronggeng hingga kini jadi langka. Kesulitan utama, menurut Euis, ialah kemampuan berolah vokal yang unik.

“Perempuan muda di Ciulu misalnya, lebih memilih menjadi penyanyi dangdut atau penaynyi organ tunggal daripada menjadi ronggeng,” tulisnya. “Mereka tidak memiliki kesabaran lebih untuk mendapatkan kemampuan menyanyi seperti itu.”
Perkembangan Kesenian Ronggeng Gunung

Ronggeng Gunung yang sebelumnya menjadi ritual untuk kesuburan pertanian, kemudian berkembang seiring waktu. Nina Herlina Lubis dan Undang Ahmad Darsa dari Universitas Padjadjaran menulis, bahwa perkembangan kemudian diadakan

Jika sebelumnya Ronggeng Gunung digunakan dalam ritual khususnya kesuburan pertanian, dalam perkembangannya menjadi seni pertunjukkan sebagai hiburan pasca bertani. Ketika panen usai, Ronggeng Gunung diadakan di malam hari sebagai rasa syukur.

Nina dan Undang lewat Perkembangan Ronggeng Sebagai Seni Tradisi di Kabupaten Pangandaran, mengungkapkan Ronggeng Gunung berkembang menjadi Ronggeng Amen (disebut juga dengan Ronggeng Kidul). Kehadiran Ronggeng Amen lebih populer di kalangan masyarakat Pangandaran kini.

Kepopuleran ini disebabkan karena penonton dapat ikut menari bersama ronggeng dan memberi saweran. Pementasannya pun dapat dicermati lebih meriah karena diiringi dengan gamelan kliningan dan berbagai tembang yang lebih modern.

Ronggeng Amen biasanya terdiri dari lima hingga tujuh ronggeng, dan belasan pemain musik. Penari Ronggeng Amen juga tidak berperan ganda sebagai pesinden.

Dalam hal gerakan, Ronggeng Amen juga tampak lebih bebas berekspresi dan inklusif kepada penonton. Para penonton berikutnya bisa ikut serta dalam tarian jika dikalungi sampur (selendang) dari ronggeng, dan bebas bergerak menari tanpa patokan gerakan.

Mengingat Ronggeng Gunung dan Ronggeng Amen merupakan kebudayaan khas Pangandaran. Pemerintah setempat berupaya untuk melakukan pembinaan terhadap berbagai kelompok seni Ronggeng agar lebih diterima di masa kini.
Pementasa Ronggeng di Saat Pandemi

Di masa pagebluk, Kang Heri dari Balai Pelestarian Cagar Budaya [BPCB] berujar bahwa kegiatan Ronggeng terhenti sementara. Pementasan Ronggeng yang biasanya dipentaskan dalam bentuk wisata kebudayaan di Pondok Seni Kebudayaan dan Pariwisata Pangandaran.

“Kalau tidak pandemi, kegiatannya dilaksanakan di gedung kesenian (merujuk pada Pondok Seni), di jalan Pantai Barat. Biasa diadakan setiap malam minggu dan ramai pengunjung–baik dari dalam maupun luar [Pangandaran].” ujar Heri.

“Tapi bukan berarti mereka mati saat pandemi. Komunitas mereka banyak dan enggak selalu di gedung kesenian [untuk latihan], seperti di Sukaresik dan Babakan.”

Sumber: https://seputarpangandaran.com/kesenian-ronggeng-di-pangandaran-berjuang-ngigelan-jaman/

Popular Posts