WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Pemkot Cirebon Gelar Kirab Budaya Lokal

Pemerintah Kota Cirebon, Jawa Barat, menggelar kirab seni budaya dalam rangkaian peringatan hari jadi yang ke-646 kota tersebut dan diikuti oleh 25 peserta dari berbagai unsur elemen masyarakat.

"Acara kirab seni budaya merupakan rangkaian dari hari jadi kota Cirebon dan ini merupakan salah satu bentuk syukur masyarakat serta pemerintah kota," kata Wali Kota Cirebon Nasrudin Azis di Cirebon, Sabtu (31/10).

Kirab seni budaya merupakan salah satu rangkaian hari jadi kota tersebut yang sudah menginjak ke-646.

Nasrudin juga mengharapkan acara kirab seni budaya bisa menjadi salah satu destinasi wisata budaya, sebagaimana yang diharapkan oleh semua pihak.

Ia menuturkan acara kirab seni budaya kali ini bisa menjadi sebuah motivasi ke tahun-tahun berikutnya untuk lebih banyak kreasi, karena dengan kreasilah acara kirab seni budaya akan mendatangkan animo masyarakat dan wisatawan.

"Semoga acara ini bisa lebih dikreasikan lagi dan mudah-mudahan kegiatan kirab kesenian menjadi motivasi pada tahun tahun berikutnya," tuturnya.

Sementara itu Kepala Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata (Dispobudpar) Dana Kartiman menambahkan, acara yang diselenggarakan oleh pihaknya bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Kota Corebon dan Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung serta Panitia Hut Kota Cirebon.

Kirab seni budaya itu diikuti oleh 25 peserta dari beberapa elemen masyarakat baik itu dari kalangan umum maupun sekolah dan dalam acara itu juga ada 16 stand untuk pameran produk kreatif.

"Ada 25 peserta yang mengikuti kirab seni budaya dan kami juga membuka 16 stand untuk memamerkan produk kreatif," katanya.

Akan tetapi menurut Walikota Nasrudin Azis acara kirab seni budaya ini harus lebih greget dan lebih kreatif agar masyarakat lebih antusias mengikuti acara tersebut.

"Acara harus lebih greget agar bisa diminati masyarakat banyak," tambahnya.

Metode Kualitatif dalam Ilmu-ilmu Sosial

Oleh Selly Riawanti [1]
Jurusan Antropologi, FISIP, Universitas Padjadjaran

(Makalah pada Kegiatan Pembekalan Teknis Penelitian yang dilaksanakan pada hari Senin tanggal 23 Februari 2015 bertempat di aula Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bandung Jalan Cinambo No. 136 Ujungberung Bandung)

Pengantar
Metode penelitian kualitatif akhir-akhir ini meningkat popularitasnya. Metode ini memang lebih berkembang di bidang ilmu-ilmu sosial, walaupun sesungguhnya dalam segala bidang ilmu, bentuk pengetahuan ilmiah yang tertinggi tingkatnya, yakni teori, pada hakikatnya bersifat kualitatif. Bagian pertama tulisan ini berisi tinjauan sekilas tentang pengetahuan dan penelitian, pengembangan pengetahuan melalui kegiatan penelitian, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial, dan memaparkan kegunaan penelitian kualitatif. Bagian kedua membahas cara kerja dalam penelitian kualitatif, yang meliputi penentuan masalah penelitian, teknik-teknik pengumpulan data (instrumen, validitas, dan reliabilitas, sumber data, prosedur pencuplikan (sampling), teknik pengolahan data, teknis analisis data. Bagian terakhir membahas format usulan penelitian kualitatif yang positivistik maupun yang non-postivistik, serta format pelaporan hasil penelitian.

1. Pengetahuan dan Penelitian Ilmiah
Penelitian adalah kegiatan mengumpulkan dan menganalisis informasi demi perkembangan pengetahuan. Sedangkan pengetahuan adalah himpunan informasi atau keterangan mengenai sesuatu yang terdapat di alam semesta, yang diperoleh dari belajar atau pengalaman. Pengetahuan kerap muncul dan berkembang dari pertanyaan manusia mengenai alam semesta. Dalam penelitian, pengetahuan dicari untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar, yaitu, apa, bagaimana, dan mengapa. Setiap pertanyaan tersebut menuntut jawaban yang berbeda-beda tingkat kemampuannya dalam memberikan keterangan mengenai gejala yang ingin diketahui. Maka pengetahuan itu pun bertingkat-tingkat, dari sekedar pengetahuan akan keberadaan dan sifat-sifat suatu gejala saja, sampai ke pengetahuan mengenai hubungan antara gejala tersebut dengan gejala-gejala lain dalam lingkungan yang lebih luas. Pada umumnya pertanyaan muncul atau dimunculkan dalam upaya untuk memecahkan suatu persoalan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan, semakin besar kegunaannya untuk pertanyaan dan memecahkan persoalan.

[1] Aslinya adalah materi untuk Pendidikan dan Pelatihan Metodologi Penelitian Sosial bagi Auditor Inspektorat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, di Cipayung, Bogor, 26 Maret 2003. Naskah ini telah beberapa kali diubah di sana sini.

Bagan 1
Jenjang Pengetahuan
Penggunaan konsep dan teori bukanlah monopoli peneliti ilmiah. Semua orang menggunakan konsep dan teori dalam kehidupan sehari-hari untuk berbagai perkara, sejak urusan mengisi dan membuang isi perut sampai ke urusan mendekati pihak yang berkuasa seperti atau (calon) mertua (bd. Nagel 1967; Maxwell 1996:31). Menurut E. Nagel (1967:1-28), pengetahuan ilmiah dapat dibedakan dari pengetahuan awam dari sifatnya yang sistemik. Sistematika tersebut tersermin dari adanya: (a) penjelasan tentang asas klasifikasi bahan-bahan pengetahuan, sehingga penggolongannya menjadi signifikan; (b) penjelasan tentang kondisi-kondisi yang menjadi sebab atau akibat dari suatu gejala disertai penjelasan tentang pola hubungannya; dan yang amat penting adalah (c) keterangan tentang batas-batas kebenaran pernyataannya, sesuai dengan asumsi yang dipakai. Keterbatasan pengetahuan ilmiah ini mendorong timbulnya penjelasan lain yang berbeda atau bahkan bertentangan, mengenai gejala yang sama, yang ditinjau dengan asumsi yang lain pula. Ini berarti kebenaran pernyataan ilmiah berisiko tinggi untuk disanggah, dan umurnya relatif lebih singkat daripada pengetahuan alam, tetapi sekaligus mendorong pengembangan atau penyempurnaan pengetahuan tersebut (lihat juga Popper 1971: 115-122).

Selain itu, pengetahuan ilmiah selalu diupayakan untuk dinilai dan dikendalikan dengan beberapa pembakuan. Pembakuan pengetahuan ilmiah itu menyangkut dua segi, yakni (1) segi kesahihannya (validitas, validity) dan (2) segi keandalan cara perolehannya (reliabilitas, reliability). Kesahihan dan keandalan pengetahuan ilmiah dikendalikan melalui tata cara perolehannya, yakni metodologi penelitian ilmiah. Sebagai suatu prosedur pembentukan pengetahuan, metodologi pengetahuan ilmiah meliputi prosedur konseptual yang berisi analisis tentang asumsi-asumsi dasar dalam ilmu pengetahuan, prosedur logis yang terdiri atas proses pembentukan teori dan hubungan antara teori dan penelitian, dan prosedur penelitian empirik.

1.1. Persoalan dan Metode Penelitian
Melihat penelitian sebagai suatu cara untuk memecahkan persoalan, mengharuskan kita untuk membedakan jenis persoalan atau masalah. Persoalan atau masalah dapat didefinisikan sebagai adanya suatu kesenjangan di antara hal yang diharapkan (Das Sollen) dan keadaan yang nyata (Das Sein). Penulis seperti Booth dkk. (1995) memperhatikan segi akibat dari keadaan demikian, yaitu yang mereka sebut sebagai “struktur pokok persoalan” yang terdiri atas (1) suatu keadaan atau situasi tertentu, dan (2) akibat-akibatnya, khususnya yang merugikan atau yang tidak diinginkan.

Secara garis besar ada dua macam persoalan, yaitu masalah atau persoalan praktis, dan masalah atau persoalan penelitian (akademik). Persoalan praktis adalah persoalan yang sudah ada dalam kenyataan kehidupan, dan menimbulkan biaya materi, sosial, atau kejiwaan. Persoalan ini dipecahkan dengan melakukan suatu tindakan untuk mengubah situasi atau kondisi yang ada. Adapun persoalan akademik adalah persoalan yang muncul dalam benak peneliti, yang muncul dari ketidaktahuan atau ketidaklengkapan pengetahuannya mengenai suatu hal. Suatu masalah penelitian dapat diajukan untuk mengatasi masalah praktis, sedangkan masalah praktis itu tidak dapat di atasi semata-mata melalui penelitian. Masalah praktis dapat dipecahkan dengan menerapkan pengetahuan yang didapat dari penelitian, tetapi masalah penelitian akademik bukan dipecahkan dengan mengubah situasi dalam kenyataan, melainkan dengan menyempurnakan pengetahuan untuk mempelajari atau memahami masalah itu dengan lebih baik. Penyempurnaan pengetahuan dapat menghasilkan informasi baru, mengubah kepercayaan (konsep, teori) yang telah ada, atau bahkan mengubah tindakan (Booth dkk. 1995:48-63).

1.2 Metodologi Penelitian Sosial
Istilah metode dan metodologi kerap disamakan saja penggunaannya. Sesungguhnya metodologi lebih merujuk ke logika penelitian ilmiah, yang merangkai prosedur alias metode penelitian empirik. Dalam pengertian inilah metodologi adakalanya disebut sebagai “perspektif”, “pendekatan” atau “paradigma”. Pembedaan ini perlu dikemukakan mengingat bahwa ada penelitian-penelitian yang tidak berpendekatan kualitatif namun menggunakan beberapa metode atau teknik pengumpulan data kualitatif.

Dalam ilmu-ilmu sosial pada umumnya, metode penelitian kualitatif berkembang seiring dengan perkembangan paradigma fenomenologi yang merupakan reaksi terhadap paradigma yang dominan sebelumnya, yakni positivisme. Positivisme yang berkembang sejak awal abad ke 19 berjat gagasan Auguste Comte tentang “filsafat positif”, bertujuan untuk mencari fakta atau sebab-sebab gejala sosial , dengan melepaskan diri dari konteks-konteks individual dan melampaui kekhususan-kekhususan dalam beragam konteks demi mendapatkan perspektif yang lebih umum serta luas, dan menemukan kaidah-kaidah yang universal. Emile Durkheim yang kerap disebut sebagai pendukung pendekatan ini, menganjurkan ilmuwan sosial untuk melihat gejala sosial sebagai sesuatu “fakta sosial”, sebagai “hal” yang memiliki pengaruh eksternal dan memaksa terhadap tingkah laku manusia. Tugas ilmu-ilmu sosial adalah mencari “kaidah-kaidah universal” yang mengatur tingkah laku manusia, seperti cara ilmu-ilmu alam mencari dan menemukan kaidah-kaidah universal yang mengatur gerak alam semesta. Itulah sebabnya dahulu ilmu sosial disebut juga sebagai “fisika sosial”. Peristilahan yang digunakan pun amat banyak mengacu kepada model-model dalam ilmu pasti-alam, misalnya “struktur”, “sistem”, “fungsi”, dan sebagainya. Metode yang dianggap positif karena “lebih ilmiah” adalah yang dapat menghasilkan generalisasi tentang pola-pola agregat, melalui metode yang bersifat kuantitatif.

Perspektif positivistik menempatkan tingkah laku manusia di bawah kekuasaan “struktur” (masyarakat, kebudayaan), sehingga prakarsa dan kehendak individu tidak memiliki arti. Perspektif teoretik demikian dianggap tidak memuaskan, karena dalam kenyatan empirik terjadi banyak peristiwa dan perubahan yang justru disebabkan oleh kehendak dan prakarsa orang-orang yang tidak begitu saja “tunduk” kepada masyarakatnya. Sebenarnya sejak akhir abad ke 18, Immanuel Kant telah mengemukakan tentang pentingnya memperhatikan pikiran untuk memahami penciptaan makna. Pemikiran manusia merupakan proses-proses yang terjadi secara perorangan dan subyektif, karena dipengaruhi oleh pengalaman dan persepsi masing-masing individu. Mengacu kepada gagasan Kant tersebut, para pemikir sosial di Jerman, seperti Wilhelm Dilthey, Karl Husserl, dan Max Weber berpendapat bahwa pengetahuan individu tentang dunia itu dibentuk oleh penafsiran atau interpretasi individu pula. Menurut Dilthey, positivisme hanya cocok untuk ilmu-ilmu alam, tetapi tidak sesuai untuk mengkaji manusia dan kebudayaan. Berhubung masyarakat manusia itu selalu berubah dalam kurun waktu dan tidak pernah kembali ke keadaan semula, mustahillah menemukan kaidah-kaidah universal yang dapat menjelaskan dan meramalkan gejala sosial seperti di dalam ilmu-ilmu alam. Sebab itu, tugas ilmu sosial adalah mencari pemahaman melalui penafsiran atau interpretasi (Verstehen), dengan menghayati pengalaman orang lain ke dalam diri peneliti. Guna memahami pengalaman orang lain, peneliti perlu memahami konteks peristiwa atau tindakan pelaku yang diamati.

Menjelang akhir abad ke 19, Weber mengembangkan gagasan Dilthey, terutama tentang Verstehen. Menurutnya, peneliti tidak akan dapat memahami apapun bila tidak menafsirkan tindakan manusia yang diteliti menurut konteksnya. Sementara itu Husserl yang berpendirian bahwa metode keilmuan yang positivistik itu berguna tetapi kurang lengkap, mengembangkan filsafat fenomenologi yang mempelajari bagaimana manusia memaknai pengalamannya di dalam alam pikirannya sendiri. Untuk memahami penafsiran orang lain tentang dunia, peneliti harus menyisihkan dulu penafsiran mereka sendiri dan “memasuki” alam pikiran orang yang diteliti. Cara yang efektif untuk mencapai pemahaman akan tingkah laku manusia menurut sudut pandang para pelakunya, adalah melalui data yang deskriptif-kualitatif.

Bagan 2 Daur Penelitian Ilmiah

Tampak bahwa perspektif positivis dan fenomenologi merupakan dua pendekatan yang berbeda dan mencari jawaban yang berbeda-beda pula mengenai gejala sosial. Akan tetapi dalam daur pengembangan pengetahuan ilmiah, metode penelitian kualitatif maupun kuantitatif dengan kegunaannya masing-masing itu sesungguhnya saling melengkapi. Bahkan pendekatan yang positivistik sekalipun, mengakui adanya dua proses yang berbeda dalam pembentukan pengetahuan ilmiah (teori) yang saling melengkapi: yang pertama adalah untuk menciptakan hipotesis atau teori (dengan prosedur induktif), dan yang kedua adalah untuk menguji keberlakuan hipotesis atau teori (dengan prosedur deduktif). Sering dianggap bahwa fungsi dan prosedur deduksi lazim dalam kajian kuantitatif atau positivistik; sedangkan fungsi dan prosedur induksi digunakan dalam penelitian kualitatif. Namun ada juga penelitian kuantitatif yang menghasilkan pengetahuan dengan prosedur induktif, misalnya sensus. Sesungguhnya dalam penelitian empirik kedua prosedur tersebut dapat dipakai untuk saling melengkapi.

1.3 Metode Kualitatif dan Kegunaannya
Dalam kepustakaan ditemukan banyak definisi tentang metode penelitian kualitatif, baik yang bersifat formal dan langsung maupun yang tidak langsung (Potter 1996). Definisi yang formal misalnya terdapat dalam sebuah karya yang termasuk pertama memakai judul “kualitatif”, dari R. Bogdan dan S.J. Taylor (1975):
“… metodologi kualitatif merujuk ke prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif: kata-kata yang dituliskan atau diucapkan sendiri oleh orang yang diteliti serta tingkah laku mereka yang teramati. Metode ini ditujukan untuk meliput latar belakang serta orang-orang dalam latar itu secara holistik; artinya mereka (perkumpulan atau perorangan) sebagai subyek penelitian tidak direduksi menjadi suatu variabel yang terisolasi atau menjadi sebuah hipotesis saja, tetapi dipandang sebagai bagian dari sutu kesatuan” (1975:4)
Ada definisi formal yang diringkas seperti dari J.J. Pauly (1991): “Kajian kualitatif menyelidiki proses penciptaan makna” (dalam Potter 1996:16). Menurut W.J. Potter, definisi yang formal lebih berguna bagi pembaca karena mengemukakan dengan gamblang inti pengertian konsep kualitatif, fokus atau ruang lingkupnya, sekaligus batas-batasnya. Beberapa definisi lain yang lebih “informal” di antaranya adalah yang: (1) membandingkan dengan metode lain, biasanya dengan metode kuantitatif; (2) merinci unsur-unsurnya atau jenis-jenisnya, seperti “kajian interpretif”, “interaksi simbolik”, “etnografi”, “etnometodologi”, “telaah wacana”, “sejarah”, “teori grounded”, “fenomenologi”, “teori kritis”, “kajian budaya”, “penelitian pascapositivistik”, “studi kasus”, “naturalistik”, “hermeneutika”; (3) membeberkan cara melakukannya, misalnya “peneliti dilarang memanipulasi data”, dan langkah-langkah penelitiannya; (4) menyebutkan hasil atau produknya, umpamanya “data deskriptif”, “dokumen yang terinci tentang bentuk-bentuk dan jenis-jenis gejala sosial”, dan sebagainya (Potter 1996: 14-21).

Banyak tulisan mengenai metode penelitian kualitatif yang membandingkan dengan metode penelitian kuantitatif. J.W. Cresswell, misalnya, membedakan paradigma kualitatif dari paradigma kuantitatif berdasarkan asumsi-asumsi dasarnya, yakni ontologi (hakikat dari kenyatan), epistemologi (hubungan antara peneliti dengan yang diteliti), aksiologi (peranan nilai-nilai), retorik (bahasa penelitian), dan metodologi (proses penelitian). Untuk paradigma kualitatif, asumsi ontologinya adalah bahwa kenyataan itu subyektif dan beragam, sebagaimana pandangan para pelaku yang diteliti. Asumsi epistemologinya adalah bahwa peneliti itu terikat pada dan oleh karenanya berinteraksi dengan yang diteliti. Asumsi aksiologinya ialah bahwa peneliti maupun penelitian itu tidak bebas-nilai atau bebas dari bias. Asumsi retoriknya adalah bahwa bahasa penelitian bersifat informal, tidak baku, dan keputusan-keputusan penelitian berkembang dalam kurun waktu penelitian, tidak ditetapkan sebelumnya (seperti pada penelitian kuantitatif). Asumsi metodologinya adalah bahwa proses pembentukan pengetahuan berlangsung secara induktif; penjelasan tentang gejala sosial melibatkan banyak faktor yang mungkin bekerja sekaligus, bukan dalam hubungan kausal yang sederhana; desain penelitian dan kategori-ktegori dikembangkan berdasarkan keterangan informan dalam penelitian; terikat konteks; pola-pola serta teori dikembangkan untuk pemahaman; dan kecermatan serta keandalan pengetahuannya dijaga melalui verifikasi (Cresswell 1994: 4-7)

Tabel 1 Metodologi dan Metode Penelitian Konvensional

Perlu diingat bahwa pemilihan suatu metode tertentu sesungguhnya merupakan implikasi belaka dari masalah yang hendak dipecahkan atau tujuan yang ingin dicapai dari suatu penelitian. Ada penulis yang menganggap bahwa metode kuantitatif lebih ditujukan untuk menjawab pertanyaan apa dan bagaimana, sedangkan metode kualitatif lebih bertujuan untuk menjawab pertanyaan “mengapa” (a.l. Helman 2000:265). Di bawah ini dirujuk pendapat J.A. Maxwell (1996) tentang lima tujuan penelitian yang cocok untuk dicapai melalui penelitian kualitatif :
  1. Pemahaman mengenai makna (pengetahuan, gagasan, perasaan, tujuan, atau singkatnya, “perspektif”) yang dimiliki pelaku (Maxwell menggunakan istilah “partisipan”) mengenai peristiwa, situasi, atau tindakan yang melibatkan mereka pendek kata tentang kehidupan serta pengalaman mereka.
  2. Pemahaman mengenai konteks khusus tempat berlangsungnya tindakan atau kehidupan para pelaku, serta pengaruh konteks ini terhadap tingkah laku dan kehidupan mereka.
  3. Melakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi gejala atau pengaruh (variabel) yang tidak diduga sebelumnya, serta menghasilokan teori baru tentang gejala dan variabel tersebut.
  4. Memahami proses berlangsungnya gejala.
  5. Membangun penjelasan (teori) tentang gejala. Bila penelitian kuantitatif umumnya hendak mengetahui apakah atau sejauh mana suatu variabel berhubungan dengan variabel yang lain, dalam penelitian kualitatif yang hendak diketahui adalah bagaimana (proses) suatu variabel berperanan terhadap variabel yang lain.

2. Merancang dan Melaksanakan Penelitian Kualitatif
Bagian ini akan membahas bagaimana melakukan penelitian kualitatif. Dalam kenyataan terdapat beragam cara untuk melaksanakannya, sesuai dengan keragaman jenis penelitian kualitatif sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Pada hakikatnya ada bagian-bagian yang umum dalam semua jenis penelitian kualitatif. Bagian-bagian itu tidak selalu tersusun sebagai langkah-langkah atau tahap-tahap pekerjaan yang berurutan dari awal sampai akhir (perencanaan-pelaksanaan-analisis-pelaporan) sebagaimana yang lazim dijumpai pada penelitian yang kuantitatif-deduktif. Penahapan yang jelas dalam penelitian kualitatif tampaknya hanya tiga, yakni perencanaan, pelaksanaan, dan penulisan pelaporan.

Rancangan penelitian kualitatif yang disusun dalam tahap perencanaan pun biasanya bersifat longgar dan luwes, dan dapat senantiasa ditinjau kembali untuk dipertajam selama masih berlangsung. Adapun prosedur pelaksanaannya lebih bersifat sirkuler (kadang-kadang disebut recyclic, reiterative). Seorang peneliti kualitatif dapat saja melangkah kembali ke tahap yang sudah pernah dijalaninya. Adakalanya masalah atau pertanyaan penelitian dirumuskan ulang setelah peneliti menyusun kerangka pemikirannya, atau bahkan baru difokuskan setelah ia mendapatkan pengetahuan di lapangan penelitian (Marshall dan Rossman 1989; Cresswell 1994, 2009; Maxwell 1996; Potter 1996).

2.1 Masalah Penelitian
Masalah penelitian dapat diciptakan atau ditemukan bila peneliti mengalami pengetahuan ilmiah yang memadai seputar gejala atau topik yang hendak ditelitinya. Hal ini antara lain dikemukakan oleh Maxwell (1996), yang memberikan suatu kerangka perancangan penelitian kualitatif yang terdiri atas lima unsur, yakni (1) tujuan, (2) konteks konseptual, (3) pertanyaan penelitian, (4) metode penelitian, dan (5) validitas. Tujuan penelitian perlu disadari oleh peneliti: persoalan apa yang hendak diliput? Apakah penelitian tentang persoalan itu akan mempengaruhi praktek? Apa gunanya penelitian? Konteks konseptual adalah semacam peta pengetahuan ilmiah yang telah ada mengenai atau di seputar gejala yang akan diteliti. Dalam hal ini, teori, konsep, dan temuan-temuan terdahulu akan sangat berguna untuk menemukan masalah penelitian. Adapun sumber-sumber pengetahuan teoritik demikian bisa dari pengalaman sendiri, dari teori dan kajian yang telah ada, hasil kajian pendahuluan yang pernah kita lakukan sendiri, dan eksperimen gagasan-gagasan kita sendiri (1996:25-48). Teranglah kajian pustaka memegang peranan penting dalam hal ini. Namun, berbeda dari penggunaan teori dalam perumusan masalah penelitian kualitatif, di sini teori lebih berperan sebagai sumber inspirasi, bukan untuk dideduksikan menjadi hipotesis yang kemudian akan diuji secara empirik.

Booth dkk. mengingatkan bahwa penelitian praktis dalam kehidupan manusia sehari-hari lebih sering didorong oleh adanya masalah yang dihadapi, bukan karena orang mencari-cari topik penelitian (1996:49). Dari masalah praktis ini timbul pertanyaan-pertanyaan “apa”, atau “bagaimana” dan “mengapa”. Pertanyaan yang tak terjawab akan menimbulkan “kerugian” atau “kesulitan”, artinya memunculkan masalah yang memerlukan penelitian agar dapat menjawabnya. Pada bagian 1.1. di atas telah dikemukakan bahwa masalah mempunyai dua komponen, yakni (1) kondisi tertentu yang (2) menimbulkan akibat yang merugikan (“biaya”). Dalam masalah penelitian, “kondisi” itu didefinisikan oleh serangkaian konsep yang agak khusus atau sempit. Intinya adalah pernyataan tentang suatu hal yang tidak kita ketahui atau pahami, namun perlu kita ketahui atau pahami.

Pertanyaan untuk penelitian kualitatif biasanya bersifat umum dan terbuka, tidak terinci dan terstruktur seperti di dalam penelitian kuantitatif. Tidak terstruktur juga berarti bahwa pertanyaan tidak mengandung pertanyaan-pertanyaan tentang arah hubungan antarkonsep (seperti: sejauh mana, pengaruh, akibat, dampak, menentukan, menyebabkan, dan sebangsanya). Sifat pertanyaan yang umum dan terbuka ini mencerminkan tujuan penelitian kualitatif untuk mendapatkan informasi mengenai pengetahuan dari perspektif para pelaku yang diteliti, yang bermuatan pandangan-pandangan subyektif para pelaku. Dalam penelitian kuantitatif hal ini seringkali justru dibatasi karena dianggap sebagai bias dari informasi yang diberikan sendiri oleh pelaku (self-report). Dengan kata lain, dalam penelitian kualitatif yang bertujuan memhami pemaknaan, informasi yang subyektif itu menjadi obyektif. Memberi ruang bagi subyektivitas berarti juga membuka peluang untuk menangkap keragaman perspektif dan tindakan pelaku. Oleh karenanya, dalam penelitian kualitatif sang tineliti ditempatkan sebagai subyek alih-alih obyek penelitian belaka.

2.2 Kerangka Penelitian
Sejalan dengan perumusan masalah penelitian, tugas peneliti adalah membangun kerangka penelitian –kerangka konsep atau teori- yang berfungsi sebagai pedoman umum tentang bagaimana ia akan mencari jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukannya sendiri. Maxwell menyebut bagian ini sebagai “konteks konseptual” (1996:25-48), yang sesungguhnya telah berperan sejak peneliti merumuskan masalah dan pertanyaan-pertanyaan penelitiannya. Miles dan Huberman (1994) menyatakan bahwa kerangka konseptual “menjelaskan … hal-hal pokok yang akan diteliti, yakni konsep-konsep atau variabel-variabel yang terpenting, serta saling hubungannya satu sama lain” (dikutip oleh Maxwell 1996:25). Kerangka ini harus mengungkapkan pemikiran peneliti mengenai apa yang terjadi dengan gejala yang ditelitinya dan/atau apa sebabnya. Maka sebutan “kerangka pemikiran” dengan tepat menggambarkan fungsi bagian ini sebagai hipotesis yang umum atau teori sementara sang peneliti. Sekali lagi perlu dicatat bahwa hipotesis dalam penelitian kualitatif berperan sebagai pedoman penelitian, bukan untuk diuji kebenarannya. Artinya hipotesis ini dapat dikembangkan selama kurun penelitian, sampai dianggap sebagai penjelasan yang memuaskan tentang gejala yang dipelajari.

2.3 Metode Pengumpulan Data Kualitatif
Penelitian kualitatif lazimnya berusaha untuk memahami suatu gejala sosial tertentu secara holistik, dan karenanya berusaha mendapatkan data dari berbagai dimensi. Ada empat tingkatan data yang perlu diperhatikan, yaitu:
  1. Perkataan orang tentang kepercayaan, pikiran, dan pendapat mereka;
  2. Tingkah laku orang dalam kenyataan;
  3. Apa yang sesungguhnya dipikirkan, dipercayai, atau diyakini orang; dan
  4. Konteks dari ketiga data di atas.

Metode penelitian yang pokok adalah penelitian lapangan untuk mendapatkan data primer, langsung dari tangan pertama. Dalam penelitian lapangan pada dasarnya hanya ada dua metode pengumpulan data, yakni pengamatan dan wawancara.[1] Dari kedua metode pokok itu terdapat bermacam-macam teknik dan alat yang telah dikembangkan hingga kini. Pengetahuan yang didapat dengan teknik tertentu dari satu tingkat data mungkin mungkin berbeda dari pengetahuan dari data di tingkat yang lain. Apa yang dikatakan oleh pelaku (datanya didapat melalui wawancara, dengan pedoman wawancara atau daftar pertanyaan yang lebih terstruktur seperti kuesioner atau angket) mungkin tidak sesuai dengan kenyataan tingkah laku mereka (datanya didapat dari pengamatan, dengan bantuan pedoman pengamatan dan alat-alat perekam informasi).

Penelitian antropologi kerap menemukan bahwa antara perkataan dan perbuatan orang terdapat jarak yang bisa besar. Kesenjangan ini tentu ada alasannya, padahal alasan ini kerap tidak disadari oleh orang-orang yang bersangkutan, sehingga perlu digali melalui wawancara, khususnya tentang hal yang telah teramati oleh peneliti. Data pada tingkat ini amat penting, sebab seringkali kegagalan program-program intervensi dalam berbagai bidang kehidupan, disebabkan oleh kelemahan pengetahuan mengenai jenis gejala ini. Jadi, setiap jenis pertanyaan akan memerlukan suatu metode tertentu untuk menemukan jawabnya, dan jawaban akan menghasilkan pengetahuan tertentu pula.

Akhirnya data pada tingkat keempat, yakni mengenai konteks, tidak kurang pentingnya. Data pada tingkat pertama, kedua, dan ketiga dapat sangat dipengaruhi oleh konteks penelitian, yaitu keadaan yang melingkupi satuan sosial (individu, kelompok, komuniti) pada ruang dan waktu ketika penelitian berlangsung. Keadaan ini dapat berupa lingkungan fisik maupun sosial, baik yang ada di sekitar latar penelitian maupun dalam skala yang lebih luas. Keunggulan penelitian kualitatif justru terletak pada perhatiannya terhadap konteks dari gejala yang ditelitinya. Data tentang konteks ini selain diperoleh dari penelitian lapangan juga didapat dari sumber-sumber sekunder.

Berkaitan dengan konteks ini, kehadiran peneliti serta kegiatannya pun merupakan unsur yang perlu diperhatikan. Telah sering dikemukakan dalam penelitian-penelitian antropologi, bahwa kehadiran peneliti menimbulkan perubahan tingkah laku pada sasaran penelitian. Kehadiran peneliti dengan segala perlengkapan pengumpulan datanya (kamera, tape recorder, buku catatan, dan sebagainya) dan pertanyaan-pertanyaannya dapat membuat orang menghindar, atau sebaliknya, melebih-lebihkan tingkah lakunya. Dengan kesadaran akan kemungkinan pengaruh peneliti (halo effect atau researcher’s effect) ini, amat dianjurkan untuk mengulang-ulang pengumpulan data pada berbagai tahap penelitian. Setidaknya, perlu dibandingkan informasi yang didapat pada awal penelitian dan pada akhir penelitian.

Tampaklah bahwa untuk mendapatkan data yang memadai hanya dimungkinkan bila penelitian menggunakan berbagai macam metode. Penggunaan berbagai macam metode dalam satu penelitian –termasuk mempekerjakan lebih dari seorang peneliti—juga lebih menjamin valisitas penegetahuan yang dihasilkannya. Dalam terminologi metode penelitian, penggunaan bermcam-maca cara ini disebut triangulasi. Istilah ini diperkenalkan oleh Norman Denzin, yang meminjamnya dari teknik navigasi yang menggunakan trigonometri untuk menemukan suatu posisi atau lokasi, dari hubungannya dengan dua titik yang telah diketahui jaraknya, sehingga informasi posisi itu akurat.

2.3.1 Pelaku Sebagai Sumber Informasi
Orang yang menjadi “sasaran” penelitian kualitatif dilihat sebagai sumber informasi, dan karenanya disebut sebagai informan. Peranan informan amat penting dalam mengarahkan penelitian kualitatif. Informanlah yang menunjukkan kepada peneliti hal-hal penting apa yang perlu dicermatinya lebih lanjut. Kepada informan pula peneliti harus memerikasakan kembali temuan-temuannya (hasil penafsiran dan penyimpulan datanya). Peranan ini amat berbeda dari peranan sasaran penelitian kuantitatif yang disebut responden. Ia dinamai responden (harfiah: orang yang menanggapi), karena ia hanya memberikan tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan dan bahkan pilihan-pilihan jawaban yang telah distrukturkan oleh kepentingan-kepentingan atau pengetahuan peneliti yang mungkin terbatas. Penelitian kualitatif idealnya membiarkan sang tineliti mengemukakan apa pun pendapat, pandangan, pikirannya; karena memang sudut pandangnyalah –bukan sudut pandang peneliti- yang hendak diketahui. Informasi atau pengetahuan apa adanya dari informan itu disebut pengetahuan “emik”, yang dibedakan dari pengetahuan peneliti yang disebut “etik”.[2]

Para informan dapat dipilih berdasarkan berbagai kriteria. Kriteria pertama ialah keluasan atau kedalaman pengetahuannya tentang kelompok atau komuniti tempat hidupnya. Kedua, informan hendaknya juga orang yang cukup fasih bicara. Kualitas-kualitas ini tentu tidak dapat ditemukan begitu saja, melainkan harus ditanyakan oleh peneliti kepada para informan pangkalnya, yakni orang-orang yang pertama dijumpai dan bisa menunjukkan ke arah mana atau kepada siapa peneliti dapat meminta keterangan. Selain informan “ahli” seperti itu, peneliti perlu mendapatkan gambaran menyeluruh tentang warga satuan sosial yang ditelitinya. Konsep gambaran menyeluruh ini berbeda dari konsep “gambaran rata-rata” yang lazim dalam penelitian kuantitatif. Tujuan penelitian kualitatif adalah untuk menemukan keragaman, sehingga setiap varian atau ragaman, penting untuk diperhatikan. Oleh sebab itu bila dalam penelitian kualitatif ditarik sample atau cuplikan dari populasi yang diteliti, maka kriterianya tidaklah acak, melainkan harus dapat meliput sebanyak mungkin ragaman yang ada (bukan jumlah, melainkan jenis). Bila pun hendak dikenakan kriteria “keterwakilan”, maka yang harus diwakili bukanlah jumlah, melainkan kategori. Misalnya ada 10 kategori yang penting bagi populasi setempat (secara emik), dari tiap-tiap kategori itu diambil satu.

Berhubung penelitian kualitatif bertujuan mendapatkan pemahaman tentang perspektif informan, maka peneliti juga harus membina hubungan sosial yang baik dengan warga masyarakat yang ditelitinya untuk mendapat kepercayaan mereka, sehingga mereka bersedia memberikan informasi yang valid (lihat a.l. Riawanti 1998). Membina hubungan sosial baik tidak selalu berarti harus pandai bergaul, karena pergaulan yang baik mungkin meningkatkan kegiatan sosial peneliti dan dapat mengurangi jatah waktu untuk bekerja; terutama untuk melakukan analisis harian. Hal yang penting adalah menjaga etika penelitian, yang pada intinya adalah tidak menimbulkan ancaman bagi mereka yang diteliti, menghargai hak-hak mereka (termasuk privacy mereka), dan memeriksakan kesimpulan-kesimpulan peneliti keada tineliti (sebagai salah satu cara triangulasi)

2.3.2 Penelitian Praktis dan Metode Kualitatif
Menurut Maxwell, tujuan-tujuan penelitian kualitatif, dikombinasi dengan sifat penelitian yang induktif dan strategi penelitian yang terbuka, memberinya keunggulan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan praktis seperti:
  1. Menghasilkan teori yang dapat dipahami dan dapat dipercaya bagi mereka yang diteliti maupun bagi orang lain.
  2. Dapat digunakan untuk evaluasi formatif yang bertujuan untuk membantu meningkatkan praktek yang ada, alih-alih hanya sekedar meneliti manfaat suatu program atau produk yang dievaluasi. Dalam evaluasi formatif, yang lebih penting adalah memahami proses dari peristiwa atau gejala yang berlangsung dalam situasi-situasi khusus, daripada sekedar melakukan perbandingan dengan situasi yang lain.
  3. Melakukan penelitian kolaboratif atau penelitian-tindak (action research) dengan para praktisi serta partisipan (1996:17-20)

Akan tetapi salah satu syarat yang berat untuk keberhasilan suatu penelitian yang menggunakan metode kualitatif adalah waktu yang relatif panjang. Telah kita lihat bagaimana untuk menjaga validitas informasi, diperlukan mengulang pertanyaan atau pengamatan yang sama pada sekurang-kurangnya dua titik waktu penelitian. Hal ini akan sukar dipenuhi oleh penelitian yang merupakan bagian dari program-program intervensi yang biasanya terbatas kurun waktunya. Di sisi lain, dewasa ini semakin kerap orang memerlukan informasi yang kualitatif untuk perencanaan maupun pelaksanaan program intervensi. Perkembangan program-program intervensi berikut segala uji coba pendekatannya, telah memberikan hasil sampingan berupa metode-metode pengumpulan data kualitatif yang dapat dilakukan dalam waktu relatif singkat (Mikkelsen, 1999; Helman, 2000:264-271).

[1] Sesungguhnya ada jenis penelitian kualitatif yang tidak perlu dilakukan dengan metode penelitian lapangan berikut teknik-teknik pengumpulan datanya, tetapi tetap bertujuan memperoleh data primer dan menggunakan teknik-teknik penafsiran untuk mmenganalisis datanya. Yang tergolong dalam jenis ini adalah kajian-kajian tentang wacana (discourse analysis) seperti yang berkembang dalam ilmu-ilmu sastra dan komunikasi. Studi sejarah, hukum, dan hubungan internasional, misalnya, banyak menggunakan dokumen alih-alih data dari sumber primer. Bahan atau data utama kajian-kajian serupa itu adalah teks (termasuk gambar dan artefak) yang telah dikumpulkan dan disusun oleh orang lain.

[2] Ini adalah istilah yang diperkenalkan oleh Kenneth Pike, meminjam dari ilmu linguistik tentang pembunyian kata (fonologi, phonology). “Emik” (emic) mengkaji gejala bahasa atau tingkah laku berdasarkan struktur internalnya atau sistemnya, ‘sebagaimana adanya’; sedangkan “etik” (etic) menelaah gejala bahasa atau tingkah laku berdasarkan konsep-konsep umum dan baku, yang terlepas dari sistemnya.

Tabel 2 Penelitian Sosial: Implikasi Tujuan terhadap Metode
Pendapat yang mendukung maupun yang menolak perkembangan ini tidak akan kita bahas sekarang. Namun demikian, belakangan ini tampak beberapa teknik atau metode kualitatif yang cepat, khususnya diskusi kelompok terfokus (focus group discussion, FGD) dicantumkan dalam laporan-laporan penelitian akademik. Hal ini merupakan perkembangan yang wajar, apalagi bila dikaitkan dengan keterbatasan dana serta waktu yang dimiliki oleh peneliti dewasa ini. Akan tetapi penggunaan metode kualitatif kilat semacam itu lebih cocok untuk keperluan pengenalan lapangan secara cepat (reconnaissance research) dan untuk keperluan verifikasi teman-temuan peneliti kepada para informannya. Demikianlah, misalnya FGD dapat dilakukan di awal penelitian, sebagai pendahuluan untuk melakukan survey (kuantitatif), yakni agar kuesioner menggunakan bahasa atau konsep yang cocok dengan kebudayaan setempat. FGD juga dilakukan di akhir penelitian untuk menguji temuan peneliti.

2.4 Pengolahan Data, Analisis Kualitatif dan Kualitas Peneliti
Perbedaan mendasar penelitian kualitatif dari penelitian kuantitatif adalah bahwa analisis dilakukan bukan setelah data ‘semua’ terkumpul, melainkan sesegera mungkin. Analisis dimulai sejak awal pengumpulan data dan berlanjut terus sampai selesai menuliskan penelitian (ongoing analysis). Ada beberapa cara analisis yang dapat dilakukan:
  • Memo, yaitu catatan peneliti di samping catatan berupa data, yang berisi pikiran-pikiran peneliti dari membaca data yang terkumpul dari hari ke hari selama ia berada di lapangan. Pikiran peneliti bisa berupa konsep atau teori yang telah diketahuinya dari khasanah pustaka ilmiah yang relevan dengan penelitiannya, atau yang dapat dibuatnya dari membaca data. Memo akan membantu peneliti menafsirkan datanya.
  • Kategorisasi, yaitu pemilahan data ke dalam bagian-bagian yang relevan. Kategorisasi ini dapat dilandasi oleh kerangka konsep atau teori peneliti (etik), dapat pula bertolak dari kerangka konsep atau teori orang yang diteliti (emik), yang cukup lazim dalam kajian antropologi. Data yang telah digolong-golongkan dapat diperbandingkan dan dihubung-hubungkan dalam rangka pengembangan proposisi atau hipotesis.
  • Visualisasi, yaitu pembuatan bagan, tabel, dan teknik-teknik visual lain yang pada hakikatnya mereduksi data namun akan membantu peneliti melihat model hubungan di antara kategori-kategori datanya.
  • Interpretasi, yakni penafsiran data menurut perspektif atau kerangka konsep dan teori, atau berdasarkan konteks yang ditemukan selama penelitian dilakukan (kontekstualisasi).

Cara-cara analisis di atas bukanlah untuk langsung diterapkan dalam setiap penelitian, melainkan harus dipilih oleh peneliti sesuai dengan keperluannya, ialah pertanyaan penelitiannya. Pertanyaan mengenai hubungan di antara berbagai peristiwa atau gejala dalam sebuah konteks tertentu, tidak dapat dijawab dengan analisis yang hanya mengandalkan kategorisasi. Sebaliknya, pertanyaan mengenai kesamaan atau perbedaan di antara berbagai konteks, tidak dapat dijawab hanya dengan melakukan kontekstualisasi.

Setiap langkah analisis akan menghasilkan semacam hipotesis bagi peneliti, yang harus “diuji”nya kembali pada langkah pengumpulan data berikutnya. Salah satu cara terpenting untuk ini adalah dengan mencari kasus-kasus kontras, berbeda, senjang, kekecualian, negative case, dari apa yang telah ditemukan sebelumnya. Prinsip “mencari kontras” ini sekaligus membuka peluang untuk menemukan keragaman dalam kesatuan sosial (kelompok, komuniti) yang diteliti.

Tujuan akhir dari analisis tentulah untuk menghasilkan hipotesis atau teori. Hipotesis atau teori yang dihasilkan oleh penelitian kualitatif, disebut juga teori substantif karena dibangun secara induktif dari substansi (data) yang ada. Lingkupnya lokal. Teori yang khusus seperti ini disebut teori idiografik, yang karena menonjolkan keunikan konteks maka menjadi kurang umum, sehingga sering dinilai sebagai “tidak ilmiah”. Betulkah demikian? Mari kita perhatikan kembali bagan tentang daur pembentukan pengetahuan ilmiah di awal tulisan ini. Akan tampak bahwa fungsi penelitian kualitatif memang lebih menonjol untuk menghasilkan hipotesis atau teori; sedangkan keuniversalan atau generalitas teori seperti itu perlu diuji melalui penelitian kuantitatif.

Dari pemaparan mengenai langkah analisis di atas, tersirat satu hal penting dalam penelitian kualitatif, ialah kemampuan sang peneliti, baik secara akademik maupun secara sosial. Peneliti mutlak perlu menguasai konsep dan teori, yang akan membantunya mengarahkan proses pengumpulan data selanjutnya selama berada di lapangan. Tanpa bekal pengetahuan konseptual maupun teoretik yang memadai, akan sulit baginya mengidentifikasi variabel-variabel yang penting bagi pemahaman atau penjelasannya, sekalipun gejalanya mungkin bersimpang-siur di depannya. Pengetahuan ilmiah demikian dapat digali dari bacaan yang relevan, atau didapat melalui diskusi dengan sejawat. Cara yang kedua mungkin dilakukan bila peneliti memiliki pembimbing atau sejawat atau asisten yang mendampinginya, dan bila lokasi penelitiannya mudah dijangkau atau memiliki prasarana dan sarana telekomunikasi. Yang sulit adalah bila tempat penelitiannya berada di daerah yang relatif terpencil dan sukar dijangkau. Dalam hal ini tidak ada cara lain yang efektif kecuali membekali diri dengan bacaan yang relevan.

2.5 Validitas dan Reliabilitas Penelitian Kualitatif
Memperhatikan proses pengumpulan proses pengumpulan, analisis, dan pengujian data yang dilakukan terus menerus selama penelitian lapangan, wajarlah jika dikatakan bahwa penelitian kualitatif bisa unggul dalam hal validitas datanya. Yang amat terjaga adalah validitas internalnya, yakni kesahihan data dan temuan dalam konteks penelitian yang bersangkutan. Namun hal ini sekaligus merupakan kelemahan pada validitas eksternalnya, karena penjelasan yang dihasilkan terikat kepada konteks khusus tempat penelitiannya. Selain itu, keandalan penelitian kualitatif ditentukan oleh mutu penelitinya sendiri, khususnya dalam hubungan pribadinya dengan orang-orang yang ditelitinya. Peneliti lain dengan kecenderungan pribadi yang berbeda pula, sulit mereplikasi temuan-temuan yang dihasilkannya. Artinya, metode ini rendah reliabilitasnya (Kirk dan Miller 1986).

Maxwell mengemukakan beberapa ancaman terhadap validitas penelitian kualitatif. Ada tiga macam “pemahaman” yang dituju oleh penelitian ini, yakni deskripsi, interpretasi, dan teori. Ancaman terhadap validitas deskripsi adalah ketidaklengkapan atau ketidakcermatan pencatatan data. Ancaman ini dapat dihindarkan dengan mengupayakan teknik perekaman dan pencatatan seteliti mungkin. Adapun yang mengancam validitas interpretasi adalah bila peneliti memaksakan perspektifnya sendiri (kurang menyimak, mengajukan pertanyaan yang mengarahkan jawaban) bukannya menghargai pemaknaan yang diberikan para pelaku terhadap perkataan dan perbuatan mereka. Hal ini dapat dihindarkan bila peneliti rajin memeriksakan kesimpulan-kesimpulannya kepada informan (member-checks; informants’ validation). Adapun validitas teori terancam bila peneliti lalai memperhatikan data atau penjelasan yang berbeda dari yang sudah ditemukannya.

Salah satu sumber ancaman terhadap validitas itu adalah bias atau kecondongan si peneliti, yang memilih data yang sesuai dengan kerangka penelitian atau yang paling menarik perhatian peneliti. Namun bias begini sukar dihindarkan. Lagipula penelitian kualitatif sesungguhnya memang terbuka bagi pengaruh peneliti terhadap pelaksanaan dan hasil kajiannya. Yang penting adalah menyadari serta menyatakan dengan gamblang bias-bias pribadi ini (dan kalau mungkin, bagaimana hendak mengatasinya), sehingga dapat menjadi pertimbangan para pembaca untuk menilai laporan penelitian yang bersangkutan.

Sumber ancaman lainnya adalah reaktivitas, yaitu pengaruh dari keberadaan peneliti terhadap latar atau orang-orang yang diteliti. Ihwal ini telah disinggung dengan istilah researcher’s effect atau halo effect di atas. Pada umumnya reaktivitas ini menonjol pada wawancara, karena bagaimanapun jawaban informan atas pertanyaan peneliti turut dipengaruhi oleh cara peneliti mengajukan pertanyaannya. Pierre Bourdieu menegaskan bahwa hubungan antara peneliti-tineliti dalam setiap wawancara merupakan suatu hubungan atau pertukaran sosial. Hubungan ini dapat mempengaruhi hasi yang dicapai (1966:19 dst.). Reaktivitas umumnya diatasi dengan metode pengamatan terlibat. Dengan melibatkan diri dalam kehidupan sehari-hari para informannya, peneliti lambat laun akan diterima sebagai bagian yang wajar dalam dunia sosial mereka, dan mereka bertindak atau berbicara seperti lumrahnya situasi sehari-hari bila tidak ada peneliti.

Pada umumnya validitas dapat diupayakan dengan melakukan triangulasi (menggunakan sumber, latar, dan metode yang berbeda-beda, validasi oleh tineliti, perbandingan, dan mencari umpan balik dari seberagam mungkin orang lain (termasuk sejawat).

3 Penyajian Penelitian Kualitatif
Meski telah tersirat dalam paparan pada bagian 2 di atas, berikut ini dikemukakan garis-garis besar penyajian usulan dan hasil penelitian kualitatif.

3.1 Penyajian Usulan Penelitian Kualitatif
Dalam kenyataannya tedapat beragam format usulan penelitian kualitatif. Namun format yang berikut ini cukup lazim ditemukan dalam berbagai jenis penelitian kualitatif.
  • Pendahuluan, yang mengemukakan apa yang hendak diteliti dan alasannya.
  • Ulasan ringkas tentang situasi pengetahuan yang ada yang relevan dengan gejala yang hendak dikaji, sebagai titik tolak peneliti untuk menyatakan signifikansi penelitiannya bagi perkembangan pengetahuan ilmiah. Bagian ini kerap dijuduli “tinjauan pustaka. Maxwell menyebutnya “konteks penelitian”, karena tujuannya bukan semata-mata meninjau khasanah pustaka tertentu, melainkan untuk memperlihatkan bagaimana sangkut paut penelitian yang diusulkan dengan pengetahuan yang sudah ada (1996:106). Pengetahuan yang sudah ada ini mungkin belum atau tidak diterbitkan, dan mungkin berasal dari penelitian yang pernah dilakukan sendiri oleh pengusul penelitian.
  • Masalah dan pertanyaan penelitian. Bagian ini kerap diletakkan setelah bagian pendahuluan, namun seringkali lebih jelas bila dicantumkan setelah diskusi tentang konteks penelitian. Dalam bagian ini kerap juga dikemukakan batas-batas atau ruang lingkup pebelitian.
  • Metode penelitian, yang mendiskusikan bagaimana peneliti hendak mengumpulkan informasi dan menganalisisnya untuk menjawab masalah penelitian. Dalam bagian ini juga dikemukakan siasat untuk menjaga validitas penelitian.
  • Rangkuman tentang hal-hal yang terpenting dalam usulan penelitian, terutama untuk menegaskan kembali kegunaan penelitian yang diusulkan.
  • Daftar bacaan
  • Lampiran yang dapat berisi jadwal penelitian, instrumen pengumpulan data (pedoman pertanyaan dan pengamatan), daftar informan, bagan alur kerangka pemikiran, dan lain-lain.

3.2 Penyajian Hasil Penelitian Kualitatif
Kerangka penyajian hasil akhir penelitian, sesuai dengan keperluan peneliti, dapat disiapkan sejak awal sebagai salah satu pesoman pengumpulan data. Hal-hal yang perlu diperhatikan peneliti untuk melaporkan hasil kajiannya adalah :
  • Tentukan pembaca
  • Tentukan kerangka (cerita, tesis)
  • Buat daftar topik dan garis-garis besar susunan tulisan
  • Buat draft kasar untuk setiap bagian: menulis seperti berbicara
  • Revisi terus menerus
  • Tulis pendahuluan dan kesimpulan
  • Baca teliti (libatkan pembaca lain)
  • Tulis ulang seluruh laporan

Struktur dan isi laporan hasil penelitian kualitatif pada dasarnya sama dengan penelitian akademik pada umumnya. Memang dewasa ini terdapat berbagai cara penyajiannya, terutama bila penelitian itu berorientasi praktis dan menggunakan pendekatan partisipatorik. Dalam hal yang terakhir ini, hasil penelitian harus disajikan dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh warga masyarakat yang berkepentingan, yang telah turut menentukan jalan dan arah penelitian. Salah satu prinsipnya adalah menghindari penggunaan jargon-jargon teknis yang berasal dari khasanah pengetahuan pihak peneliti (etik). Secara umum, struktur laporan penelitian adalah sebagai berikut ini:

Pendahuluan, berisi pernyataan tentang signifikansi penelitian bagi pengembangan pengetahuan, tentang masalah penelitian, dan tentang metodologi penelitian. Syarat dalam penelitian kualitatif adalah mengemukakan konteks penelitian, berhubung keunggulan penelitian ini adalah dalam menjelaskan gejala yang diteliti berdasarkan konteks yang ada.
Deskripsi, berisi informasi tentang :
populasi dan lokasi yang diteliti, yang merupakan latar (setting) penelitian
Menerjemahkan (mengungkapkan pola dan makna) satuan sosial budaya yang telah diteliti untuk pembaca (perhatikan kepentingan pembaca yang dituju).
Prinsip: menyampaikan hal-hal yang partikular untuk pemahaman ke generalisasi dan komparasi. Struktur argumentasi : pernyataan (claim) selalu ditunjang oleh bukti-bukti empirik (evidence).
Tingkat-tingkat pernyataan dalam penulisan laporan :
Pernyataan-pernyataan universal
Pernyataan-pernyataan deskriptif lintas-budaya
Pernyataan umum tentang masyarakat atau kebudayaan tertentu
Pernyataan umum tentang suasana dan keadaan dalam suatu masyarakat tertentu
Pernyataan khusus tentang suatu bidang atau aspek budaya tertentu
Pernyataan khusus tentang kejadian atau peristiwa tertentu
Penutup
Rangkuman temuan
Kesimpulan
Rekomendasi:akademik, praktis
Dalam kerangka tersebut di atas tidak disebutkan suatu bagian yang lazim terdapat dalam format laporan penelitian yang positivistik, yaitu “tinjauan pustaka”. Sesungguhnya sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian tentang penyusunan rencana penelitian di atas, semua penelitian ilmiah yang berpretensi menyempurnakan pengetahuan konseptual maupun teoretik, pasti bertolak dari kegiatan menelusuri kepustakaan yang relevan. Dalam khasanah kajian kualitatif dijumpai berbagai cara penyajian hasil membaca ini. Ada yang mengikuti format penelitian yang kurang lebih positivistik-deduktif, dengan mencantumkan tinjauan pustaka di bagian depan (dalam format baku hasil penelitian skripsi, tesis, dan disertasi di Indonesia, dicantumkan dalam suatu bab tersendiri setelah bagian bagian Pendahuluan). Ada yang mencantumkan kajian pustakanya hanya secara garis besar di bagian Pendahuluan, kemudian rujukan-rujukan yang lebih terinci tersebar di seluruh batang tubuh hasil penelitian. Versi yang lain adalah yang mencantumkan kajian pustaka dalam bagian penutup, sebagai dikusi yang membandingkan hasil penelitian yang khusus dengan kajian-kajian lain yang relevan, sebagai upaya menarik generalisasi. Versi terakhir ini menaati asas penalaran induktif yang menjadi ciri pokok penelitian kualitatif.

Daftar Bacaan
Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor. 1975. Introduction to Qualitative Research Methods: A Phenomenological Approach to the Social Science. New York:John Wiley and Sons.

Booth, Wayne, Gregory G. Colomb & Joseph M. Williams. 1995. The Craft of Research. Chicago & London: University of Chicago Press.

Bourdieu, Pierre. 1996. Understanding. Theory, Culture & Society, Vol. 13(2):17-37.

Cresswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches. Thousand Oaks, Ca., dll.: SAGE Publications, Inc.

_______. 2009. Research Design. Qualitative, Quantitative and Mixed Method Approaches. Los Angeles dll.: SAGE Publications, Inc.

Helman, Cecil B. 2000. Culture, Health and Illness. Edisi keempat. Oxford, dll.: Butterworth and Heinemann. Hlm. 265-271

Kirk, Jerome, dan Marc L. Miller. 1986. Reliability and Validity in Qualitative Research. Newbury Park, dll.: Sage Publications.

Little, Daniel. 1991. Varieties of Social Explanation. Boulder, dll.: Westview Press.

Marshall, Catherine, dan Gretchen B. Rossman. 1989. Designing Qualitative Research. Newbury Park, California: Sage Publications.

Mikkelsen, Britha. 1999. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Nagel, Ernst. 1967. The Structure of Science: Problems in the Logics of Scientific Explanations. New York: Harcourt, Brace and World, Inc. Hlm. 1-28.

Popper, Karl R. 1971. Objective Knowledge: An Evolutionary Approach. Revised Edition. Oxford: Clarendon Press.

Potter, W. James. 1996. An Analysis of Thinking and Research about Qualitative Methods. Mahwah, New Jersey:Lawrenve Erlbraum Associates, Publishers.

Riawanti, Selly. 1998. Sisi Manusia dalam Penelitian Kualitatif. Makalah ditulis untuk keperluan penerbitan jurnal mahasiswa Jurusan Antropologi, FISIP, Universitas Padjadjaran. Belum diterbitkan.

Sosialisasi Satuan Karya Widya Budaya Bakti

Oleh:
Dr. B. Lena Nuryanti Sastradinata, M.Pd
(Kwartir Nasional Gerakan Pramuka)
Gerakan Pramuka
Gerakan Pramuka sebagai wadah pembinaan kaum muda menjadi kader pembangunan yang bermoral Pancasila dan berperanserta dalam membangun masyarakat, bangsa, dan negara perlu membekali anggotanya dengan pengetahuan dan keterampilan praktis di bidang pendidikan dan kebudayaan sebagai salah satu bagian terpenting dalam pembangunan nasional;
Mandat Inti
“Mendidik dan Melatih Anak Muda”
Satuan Karya ( SAKA)
adalah organisasi pendukung GerakanPramuka sebagai wadah pendidikan dan pembinaan guna menyalurkan minat, mengembangkan bakat dan menambah pengalaman para pramuka penegak dan pramuka pandega dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta keterampilan. Saka juga memotivasi mereka untuk melaksanakan kegiatan nyata dan produktif sehingga dapat memberi bekal bagi kehidupannya dalam melaksanakan pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara sesuai denganaspirasi pemuda Indonesia dan tuntutan perkembangan pembangunan sertapeningkatan ketahanan nasional.
Saka Widya Budaya Bakti
  1. Munas Gerakan Pramuka Tahun 2013 telah menetapkan
  2. pembentukan Satuan Karya Pramuka (Saka) Widya Budaya Bakti
  3. sebagai wadah pembinaan kaum muda dalam memberikan
  4. keterampilan khusus di bidang pendidikan dan kebudayaan;
Arti Satuan Karya Pramuka Widya Budaya Bakti 
Satuan Karya Pramuka (Saka)
Widya Budaya Bakti yang merupakan sarana dan wahana guna memupuk,mengembangkan, membina dan mengarahkan minat dan bakat generasi muda
terhadap peran pendidikan masyarakat dan pelestari budaya bangsa khususnya anak usia dini, nonformal dan informal, seni dan film, tradisi, sejarah, nilai budaya, cagar budaya dan museum.
Fungsi
Satuan Karya Pramuka (Saka) adalah wadah pendidikan guna menyalurkan minat, mengembangkan bakat dan pengalaman para Pramuka dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bentuk:
  1. Wadah pembinaan, pengendalian dan pengembangan pengetahuan dan teknologi
  2. serta keterampilan di bidang Pendidikan dan Kebudayaan.
  3. Sarana untuk melaksanakan kegiatan nyata dan produktif.
  4. Sarana untuk melaksanakan bakti kepada masyarakat, bangsa, dan negara.
  5. Sarana untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembinaan Gerakan Pramuka.
Tujuan
untuk memberi wadah pendidikan bagi para Pramuka Penegak dan Pramuka Pandega serta pemuda Indonesia, diantaranya:
  • mengembangkan bakat, minat, pengetahuan, kemampuan, keterampilan dan pengalaman dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
  • meningkatkan motivasi melaksanakan kegiatan nyata dan produktif
  • memberi bekal bagi kehidupan dan penghidupannya
  • memberi bekal bagi pengabdiannya pada masyarakat, bangsa dan negara guna menunjang pembangunan nasional sehingga dapat meningkatkan mutu dan taraf kehidupan serta dinamika Gerakan Pramuka, serta peranannya dalam pembangunan nasional.
Selain itu, Saka Widya Budaya Bakti adalah wadah kegiatan untuk meningkatkanpengetahuan dan keterampilan praktis di bidang Pendidikan dan Kebudayaan khususnya pendidikan anak usia dini, nonformal dan informal, seni dan film, tradisi,sejarah, nilai budaya, cagar budaya dan museum yang dapat diterapkan pada diri,keluarga, lingkungan dalam menciptakan lapangan pekerjaan.
Satuan Karya Pramuka (Saka) Widya Budaya Bakti yang merupakan sarana dan wahana guna memupuk,mengembangkan, membina dan mengarahkan minat dan bakat generasi muda terhadap peran pendidikan masyarakat dan pelestari budaya bangsa khususnya anak usia dini, nonformal dan informal, seni dan film, tradisi, sejarah, nilai budaya, cagar budaya dan museum.
Keanggotaan:
1.     Pramuka Penegak /Pandega dari GUDEP
2.     Pramuka Penggalang Terap.
3.     Pemuda berusia 14-25 tahun, dengan syarat khusus
Syarat untuk menjadi anggota:
  1. Mendapat izin dari orang tua/wali, Kepala Sekolah dan Pembina Gugusdepan
  2. Berusia antara 14-25 tahun
  3. Memenuhi syarat-syarat khusus yang ditentukan oleh masing-masing Saka (misalnya persyaratan mengenai kesehatan jasmani dan rohani, kemampuan dan kepantasan dsb).
  4. Bersedia untuk berperan aktif dalam segala kegiatan Saka
  5. Bersedia dengan sukarela mendarmabaktikan dirinya kepada masyarakat, dimanapun, serta setiap saat bila diperlukan.
  6. Seorang Pramuka dapat pindah dari satu bidang ke Saka lainnya bila telah mendapatkan sedikitnya 3 (tiga) buah TKK dan sedikitnya telah berlatih selama 6 (enam) bulan pada Saka tersebut
Gerakan Pramuka 
Gerakan Pramuka sebagai wadah pembinaan kaum muda menjadi kader pembangunan yang bermoral Pancasila dan berperanserta dalam membangun masyarakat, bangsa, dan negaraperlu membekali anggotanya dengan pengetahuan dan keterampilan praktis di bidang pendidikan dan kebudayaan sebagai salah satubagian terpenting dalam pembangunan nasional;
7 Krida dalam saka widya budaya bhakti
  1. Krida Pendidikan Masyarakat, berisi materi pokok berupa keterampilan dalamteknik keaksaraan.
  2. Krida Anak Usia Dini, berisi materi pokok berupa keterampilan dalam menyiagakan dan menggalang kelompok sasaran program pendidikan anak usiadini.
  3. Krida Pendidikan Kecakapan Hidup, berisi materi pokok berupa keterampilan fungsional sebagai bekal hidup mandiri.
  4. Krida Bina Sejarah, berisi materi pokok berupa keterampilan menjadi narasumber teknis, pengaman, pemelihara, dan jasa wisata sejarah.
  5. Krida Bina Seni dan Film, berisi materi pokok berupa keterampilan menjadipegiat, pekerja, dan pengabdi seni dan film sesuai bidang masing-masing.
  6. Krida Bina Nilai Budaya, berisi materi pokok berupa keterampilan dalam bidang permainan tradisional, cerita rakyat, makanan tradisional, tradisi musyawarah.
  7. Krida Bina Cagar Budaya dan Museum, berisi materi pokok dalam bidang pelestari cagar budaya dan museum.
Tatakelola Pengembangan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI)
  1. KKNI adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan,  menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor.
  2. KKNI merupakan perwujudan mutu dan jati diri Bangsa Indonesia terkait dengan sistem pendidikan dan pelatihan nasional yang dimiliki Indonesia.
  3. KKNI terdiri dari 9 (sembilan) jenjang kualifikasi, dimulai dari Kualifikasi 1 sebagai kualifikasi terendah dan Kualifikasi – 9 sebagai kualifikasi tertinggi.
  4. Jenjang kualifikasi adalah tingkat capaian pembelajaran yang disepakati secara nasional, disusun berdasarkan ukuran hasil pendidikan dan/atau pelatihan yang diperoleh melalui pendidikan formal, nonformal, informal, atau pengalaman kerja.
Peran SAKA  dalam Peningkatan Mutu SDM Nasional Berbasis KKNI
Bila setiap level kualifikasi  KRIDA DI DALAM SAKA dapat diraih dengan melalui jalur lain di luar selain alur pendidikan formal maka pendidikan non formal dalam hal ini gerakan pramuka dengan sakanya  maka saka harus lebih menunjukkan akuntabilitasnya dalam menghasilkan peserta didik sesuai dengan minat dan bakat  yang diinginkan dan saka  yang memprogramkan
Sasaran Saka Widya Budaya Bakti
  1. Mampu berperanserta secara aktif dalam mendukung kegiatan Pendidikan danKebudayaan di lingkungannya.
  2. Mampu dan mau menyebarluaskan kepada masyarakat tentang informasi danpengetahuan mengenai Pendidikan dan Kebudayaan.
  3. Memberikan latihan dan peranserta dalam mendukung kegiatan Pendidikan danKebudayaan kepada para pramuka di gugus depan.
  4. Menumbuh-kembangkan minat terhadap Saka Widya Budaya Bakti di setiap gugus depan dan pembentukan Saka Widya Budaya Bakti di setiap kwartir ranting/kwartir cabang di seluruh wilayah Republik Indonesia agar semakin majudan mandiri.
Harapan untuk gerakan pramuka
  • PRAMUKA SEMOGA SEBAGAI CERMINAN PENDIDIKAN SEBAGAI  ORGANISASI YANG BERTUJUAN UNTUK MEMBANGUN KARAKTER
  • GERAKAN PRAMUKA  BEKERJASAMA DENGAN SAKA –SAKA  DAPAT MENGHASILKAN SDM – SDM YANG UNGGUL
  • GERAKAN PRAMUKA DAN SAKA – SAKA MEMBUKA DIRI TERHADAR PERUBAHAN DAN BERORIENTASI MASA DEPAN
  • GERAKAN PRAMUKA DAN SAKA  MAU DAN MAMPU MEMBUAT PROGRAM  YANG SESUAI  DENGAN TUJUANNYA SEHINGGA MENGHASILKAN SDM YANG TANGGUH, KREATIF DAN MENULAR KEBAIKAN UNTUK MENCAPAI KEMULIAAN  GENERASI MASA DEPAN
  • GERAKAN PRAMUKA MENJADI WADAH SOLUSI KEGIATAN KAUM  MUDA
  • Sistim Penjaminan MUTU
Krida Saka Widya Budaya Bakti
  • Pendidikan  Masyarakat
  • Anak Usia Dini
  • Pendidikan Kursus
  • Bina Sejarah
  • Bina Kesenian
  • Bina Nilai Budaya
Kesimpulan
Saatnya berubah pola pikir dari apa yang akan diajarkan kepada kemampuan apa yang akan dimiliki peserta didik. Dalam mengikuti kegiatan di SAKA Kurikulum fleksibel dan otonomi  SAKA  namun harus tetap mengacu pada prinsip dasar  serta metodik kepramukaan sehingga dalam kegiatannya bisa disesuaikan dengan standar nasional sehingga bisa menjadi referensi dalam melamar pekerjaan.
Sumber:
Disampaikan dalam kegiatan Sosialisasi Saka Widya Budaya Bakti yang diselenggarakan oleh BPNB Bandung tanggal 28 – 29 Oktober 2014 di hotel Puri Khatulistiwa Jatinangor – Sumedang

Sekilas Tentang Karakteristik Media Audiovisual dan Bahasa Visual

Oleh Hadi Purnama

Memahami Komunikasi Visual
Menurut Stephen W. Littlejohn ”komunikasi merupakan sebuah terminologi yang sulit untuk didefinisikan, mengingat kompleksitas dan karakteristiknya yang multidisiplin” (Littlejohn, 1978:23). Namun upaya untuk mendefinisikan komunikasi – meski pun tidak mungkin dibangun melalui definisi tunggal, menyeluruh, dan final – merupakan sebuah langkah awal untuk memahami objek formalnya agar lebih mudah mudah menjelaskan ruang lingkup kajian komunikasi.

Littlejohn memandang komunikasi bukan sebuah peristiwa tunggal (singular event), melainkan suatu proses yang kompleks yang terdiri atas serangkaian peristiwa psikologis dan sosial yang melibatkan interaksi simbolik. Peristiwa psikologis dan sosial ini terjadi didalam dan diantara individu dalam konteks antarpribadi, kelompok, organisasi dan massa. Selain itu peristiwa komunikasi berlangsung dalam suatu rangkaian proses pengodean (coding), pemaknaan (meaning), berpikir (thinking), informasi (information), dan persuasi (persuasion) (Littlejohn,1978:376).

Selain mengacu pada penjelasan Stephen W.Littlejohn, Richard West dan Lynn H. Turner dalam buku Introducing Communication Theory: Analysys and Application, berupaya mendefinisikan komunikasi sebagai, ”Proses sosial dimana individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk men-ciptakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka (West dan Turner, 2010:5).

Menurut West dan Turner terdapat lima istilah kunci yang membangun definisi komunikasi yaitu: social (social), proses (process), symbol (symbol), makna (meaning) dan lingkungan (environment), sebagaimana terlihat pada gambar berikut ini.

Istilah Kunci dalam Komunikasi

Sumber: West dan Turner (2010:5)

Pertama, komunikasi dipandang sebagai suatu peristiwa sosial karena melibatkan manusia dan interaksi sosial, dimana di dalamnya terlibat berbagai perhatian, motivasi dan kemampuan. Kedua, komunikasi sebagai suatu proses karena berlangsung terus menerus dan tidak berujung. Komunikasi dipandang sebagai sesuatu yang dinamis, kompleks, dan terus-menerus berubah, termasuk perubahan dalam pemaknaan.

Ketiga, komunikasi kerap diasosiasikan dengan simbol sebagai suatu label atau penanda yang arbitrer (manasuka) atau representasi fenomena. Simbol-simbol yang digunakan dalam komunikasi dapat berupa lambang verbal maupun non-verbal, atau adanya pelibatan simbol konkret (concrete symbols) yang merepresentaasikan suatu objek, dan simbol abstrak (abstract symbols) yang merepresentasikan suatu pikiran atau gagasan.

Keempat, terkait dengan proses dan simbol, maka makna dipandang sebagai pusat dari definisi komunikasi. Makna, menurut West dan Turner, ”adalah apa yang dipahami individu dari suatu pesan” (what people extract from a message). Padahal, dalam suatu persitiwa komunikasi, pesan dapat memiliki lebih dari satu makna, bahkan memiliki makna yang bertingkat atau berlapis (multiple layers of meaning). Kata kuncinya, dalam komunikasi disyaratkan adanya kesamaan dalam memaknai pesan, bila tidak akan menemui kesulitan dalam memahami pesan meskipun ada kesamaan bahasa, atau dalam menafsirkan peristiwa yang sama. Makna tidak hadir begitu saja dari suatu teks, melainkan dapat dipengaruhi oleh suatu konteks budaya dan sosial tertentu. Bahkan, menurut Stewart dan Kowaltzke, suatu teks dapat dimaknai berbeda oleh mereka yang berasal dari budaya. Lebih jauh Stewart dan Kowaltzke menjelaskan bahwa suatu teks memiliki serang-kaian informasi yang kaya yang lebih mirip sebuah sekumpulan bangunan. Sehing-ga kebanyakan orang akan menggunakan serangkaian blok bangunan tadi untuk memahaminya sebagai sesuatu yang mirip, padahal setiap orang memiliki gagasan yang tidak persis sama. Perbedaan dalam mengontruksi makna dari suatu teks dapat dipengaruhi berbagai faktor diantaranya berasal dari perbedaan pengalaman hidup (life experiences), jender, etnik atau ras, hingga kelas sosial (Stewart dan Kowaltzke, 2008:6).

Kelima, elemen lain dalam komunikasi adalah lingkungan (environment), yang dikenal juga sebagai situasi atau konteks dimana komunikasi berlangsung. Ada beberapa unsur konteks komunikasi, diantaranya adalah waktu, tempat atau lokasi, periode sejarah (historical period), hubungan (relationship), dan latar belakang budaya partisipan komunikasi (speaker’s and lisener’s cultural background). Lingkungan komunikasi juga dapat berlangsung melalui media (termasuk pelibatan media massa dan nirmassa), atau dengan bantuan teknologi komunikasi seperti surat elektronik (e-mail), chat rooms, maupun media jejaring sosial. Tentu saja dalam lingkungan komunikasi bermedia ini akan mempengaruhi komunikasi diantara individu, mengingat dalam interaksi secara elektronik para partisipan tidak dapat memantau komunikasi nonverbal (West dan Turner, 2010:8).

Mengapa Komunikasi Visual?
Selain komunikasi verbal (lisan dan tertulis/tercetak) dan nonverbal, juga dikenal komunikasi visual. Komunikasi visual merupakan sebah terminologi yang digunakan sebagai “payung” dari berbagai kegiatan komunikasi yang menggunakan unsur rupa (visual) pada berbagai media, seperti percetakan (grafika), media luar ruang (markagrafis, papan reklame), televisi, film /video, internet dan lain-lain, yang bersifat dua dimensi maupun tiga dimensi, baik yang statis maupun bergerak (time based).

Menjadi penting untuk memahami pesan komunikasi yang bersifat visual (dan audio visual), mengingat fungsi dan kekuatan besar (greatest power)dalam menyampaikan informasi (to inform), mendidik, dan mempersuasi suatu individu maupun budaya (Lester, 2006:vii). Dalam mengkaji komunikasi visual, peran pesan dalam bentuk kata-kata (verbal) juga mejadi tidak kalah penting dibanding pesan dalam unsur rupa (visual). Karena, seperti ditegaskan oleh Lester, “the most powerful, meaningful, and culturally important messages are those that combine words and pictures equally and respectfully” (Lester, 2006:vii).

Menjadi penting ketika memahami komunikasi visual bahwa terdapat banyak cara menyampaikan pesan secara audiovisual di era masyarakat yang sarat media (media-rich society) tidak semata hanya melalui pendekatan teknis, semisal dari aspek tipografis, grafis, infografis, gambar diam maupun bergerak (still and moving images). Lebih dari itu, diperlukan pemahaman dari perspektif personal, historis, teknik, etis, cultural dan kritis, agar bisa memahami pesan visual secara lebih komprehensif.

Menggunakan Media Audiovisual
Media audiovisual (AV atau A/V) biasanya merujuk pada perangkat komunikasi yang disampaikan untuk indera penglihatan dan pendengaran, dan biasanya ditujukan untuk khala-yak banyak. (sumber: http://www.eionet.europa.eu/gemet/concept?ns=1&cp=658, 3/2/2014). Televisi dan film merupakan dua contoh media audiovisual yang memiliki kesamaan sekaligus perbedaan sifat. Mengutip Marshall McLuhan dalam buku Understanding Media: The Extension of Man (1964), media dapat dibedakan berdasarkan sifatnya, yakni hot media dan cool media. Hot media merujuk pada media yang membutuhkan keterlibatan penggunanya secara penuh, khususnya menekankan pada salah satu indera (misalnya penglihatan atau pendengaran). Dalam kategori ini diataranya radio, film, dan fotografi. Sebaliknya cold media, yang tidak terlalu membutuhkan keterlibatan penggunanya, sehingga tidak bertumpu pada salah satu indera saja, dan televisi merupaka salah satu contoh cold media.

Mengingat kesamaan sekaligus perbedaan yang dimiliki setiap media, maka sudah selayaknya dalam pembuatan materi siaran televisi dan film harus memerhatikan bukan saja karakteristik media-nya, melainkan juga khalayaknya.

Bahasa Visual
Menurut McLuhan, media juga sebuah (sistem) bahasa yang memiliki sistem dan struktur gramatikanya sendiri. Karenanya, media sebagai sebuah bahasa bukn saja dapat dipelajari melainkan memiliki efek yang secara berkelanjutan membentuk dan membentuk kebali cara individu, masyarakat, kebudayaan mempersepsi dan memahami dunia.

Proses visual, menurut Aldous Huxley, melibatkan bukan hanya indera penglihatan (mata) melainkan juga unsur eksternal berupa cahaya, dan proses berpikir (otak). Sehingga Huxley merumuskannya menjadi “Sensing plus selecting plus perceiving equals seeing.” Apa yang dipersepsi meliputi unsur warna, bentuk, kedalaman (depth) dan gerakan.

Warna sebagai bahasa visual memiliki sistem dan gramatikanya tersendiri. Bahasa melalui warna memiliki makna yang tidak sederhana, karena memiliki fungsi: (1) Menarik Perhatian; (2) Menimbulkan; (3) Efek-efek Psikologis; (4) Mengembangkan Asosiasi; (5) Membangun Ketahanan Minat; dan (6) Men-ciptakan Suasana Menyenangkan. Pendek kata, pemilihan warna yang tepat akan sangat berperan pada

keberhasilan komunikasi visual. Sehingga memahami warna sama artinya mampu mengendalikan efektifitas penyampaian pesan komunikasi.

Unsur bentuk dibangun melalui unsur-unsurnya, seperti titik (dots), garis (lines), bentuk (shapes), lingkaran, segitiga dan parallelogram.

Unsur kedalaman dalam bahasa visual merupakan hasil dari kombinasi ruang (space), warna (color), cahaya (lighting), gradasi tekstur (textural gradient), antarposisi (interposition), waktu (time), dan perspektif (perspective).

Sedangkan unsur gerak meliputi gerak sebenarnya (real movement), gerak ilusi (apparent movement), gerak grafis (graphic movement), dan gerak tersirat (implied movement).

Selain unsur bahasa visual seperti telah dipaparkan di atas, masih ada beberapa unsur visual yang juga penting dalam komunikasi visual, salah satunya adalah tipografi. Pemilihan dan penyusunan huruf akan sangat membantu tersampaikannya pesan komunikasi kepada khalayak.

Bahasa Film Dokumenter
Bahasa yang digunakan dalam film dokumenter merupakan perpaduan bahasa audiovisul deng-an jeis film dokumenter. Setidaknya terdapat enam jenis film documenter, yaitu: (1) Fully Narrated; (2) Fly on the Wall; (3) Mixed Documentary; (4) Self-Reflective; (5) Docudrama; dan (6) Docusoap.

Kemampuan menyelaraskan bahasa visual yang bersifat simbolis, dengan unsur bahasa audio yang menguatkan pesan gambar akan sangat menentukan keberhasilan penyampaian komunikasi melalui film dokumenter.

Referensi:
Littlejohn, Stephen W. 1978. Theories of Human Communication. Bell & Howell Company: Columbus.

Lester, Paul Martin. 2006. Visual Communication: Images with Messages. 4th Edition. Thomson Wadsworth: Belmont.

Stewart, Colin dan Adam Kowaltzke. 2008. Media: New Ways and Meaning. John Wiley & Sons Australia:Queensland.

West, Richard & Lynn H. Turner. 2010. Introduction Communication Theory: Analysis ad Aplication. McGraw-Hill: New York.

http://www.eionet.europa.eu/gemet/concept?ns=1&cp=658 (diakses, 3/2/2014)

Sumber:
Makalah pada Kegiatan Pembekalan Teknis Perekaman yang dilaksanakan BPNB Bandung pada tanggal 6 – 7 Februari 2014

Popular Posts