WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

‘Tasikardi’ Danau Peristirahatan Sultan Banten

“Tasik itu artinya danau, sedangkan ardi artinya buatan,” ujar Mulangkara, staf Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten pada para peserta Lawatan Sejarah dari beberapa SMA/SMK di Bandung, Sumedang, Tasikmalaya, Cirebon, Lampung, dan Banten. Danau buatan seluas lima hektare ini bernama Tasikardi, tepatnya berada di Desa Margasana, Kecamatan Kramatwatu, Serang, Banten. Di sekeliling danau terdapat beberapa saung-saung, dan permainan anak.

Di pinggir danau terdapat satu jalan terbuat dari papan kayu sepanjang 10 meter. Beberapa peserta lawatan sejarah Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bandung, berfoto-foto di sana. Di tengah danau, terdapat pulau berukuran 40 meter x 40 meter.

“Nah, pulau yang di tengah itu, sengaja dibuat Sultan Maulana Yusuf sebagai tempat peristirahatannya bersama keluarga. Di pulau tersebut juga biasanya dijadikan tempat penerimaan tamu oleh sultan,” tutur Mulangkara sembari menunjuk pulau tersebut.

Di pulau itu, terdapat beberapa pohon dan bangunan dari bata yang sudah tak utuh. Mulangkara menuturkan, Tasikardi ini berada di tengah-tengah areal persawahan. Memang, saat menuju ke Tasikardi, pengunjung akan melewati hamparan luas persawahan.

Selain untuk tempat peristirahatan, Tasikardi juga berfungsi sebagai irigasi sawah-sawah di sekitar sini. Airnya berasal dari Sungai Ciujung dan Cibanten

Dikatakan Mulangkara, selain digunakan untuk perairan irigasi, air dari Tasikardi ini juga mengalir di bawah Keraton Surosowan yang disalurkan melalui pipa tanah liat. Gunanya, untuk difungsikan sebagai sistem pendingin ruangan. “Wah, zaman dulu berarti sudah mengenal AC ya, Pak,” ujar salah satu peserta pada Mulangkara diiringi gelak tawa para siswa.

Ternyata, daerah ini, dulunya sangat dekat dengan pantai. Pengunjung bisa melihatnya dari tanah yang terdapat di daerah ini. Tanahnya berpasir, sama dengan di pesisir pantai.

Mulangkara mengatakan, dulunya jarak pantai dengan wilayah sekitar Tasikardi hanya sekitar 700 meter. “Namun, karena adanya perubahan geografis, seperti sedimentasi, membuat garis pantai lebih jauh dibandingkan dulu,” ucapnya.

Menurut Mulagkara, bila dulunya Banten merupakan pelabuhan terbesar se-Asia Tenggara. Pada abad ke-16 dan ke-17, Banten bisa mengekspor lada 1.000 bahar per hari. “Satu bahar itu beratnya 60 kg. Sebenarnya lada tidak hanya didatangkan dari Banten, tapi pulau-pulau lain juga, hanya dikirimkannya lewat jalur Banten,” ujar dia.

Karena besarnya perekonomian di Banten, membuat beberapa kerajaan ingin menguasai daerah tersebut. Hingga muncullah perang saudara untuk memperebutkan kekuasaan dan masalah rempah-rempah. “Sebenarnya, semua kerajaan itu, satu rumpu keluarga besar dan saling berkaitan dari garis Kerajaan Banten, Pajajaran, Cirebon. Tapi, terjadi peperangan karena perebutan kekuasaan dan masalah rempah,” ujarnya.

Polemik peristirahatan Sultan
Mendung menggelayut di langit Serang. Rerintikan hujan pun mulai turun membasahi bumi, menyebarkan aroma tanah. Cuaca hujan tak menjadi penghalang para siswa untuk mengenal lebih dalam tentang Tasikardi. Ada yang berlindung dengan satu payung bertiga, dengan jaket, buku, bahkan hanya dengan telapak tangannya sendiri.

Mulangkara kembali menjelaskan cerita tentang Tasikardi. Ternyata, danau buatan ini hampir dijadikan daratan oleh pemerintah karena tidak ada yang mengelola dan mengurus peninggalan tersebut. Oleh karena itu, datanglah seorang pengusaha bernama Suhada di era Soeharto.

“Ia mengeluarkan dana yang sangat banyak untuk mengeruk Danau Tasikardi, sehingga masih tetap menjadi danau,” ucap Mulangkara yang sudah mengurus cagar budaya di Banten sejak 1991.

Kata Mulangkara, dulu karena situasional, pemerintah yang tidak memiliki dana untuk melakukan pengerukan, sehingga hanya pengusaha yang mampu melakukan hal tersebut. Akibatnya, Tasikardi ini pernah mengalami polemik perebutan kekuasan lahan saat pemerintah kembali meminta agar Tasikardi berada di bawah pengelolaannya.“Sampai sekarang juga masih banyak cagar budaya yang terbelit sengketa lahan.,” ujarnya.

Mulangkara mengatakan, banyak pihak yang merasa lahan punya pribadi. Padahal, sekarang sudah ada aturannya, salah satunya Perda Provinsi Banten No.2 tahun 2011 tentang rencana tata ruang wilayah Provinsi Banten tahun 2010-2030.

Sebenarnya, dikatakan Mulangkara, pihak swasta boleh melakukan pembenahan terhadap cagar budaya yang ada. Namun, tetap harus berkoordinasi dengan balai kepurbakalaan yang ada, sekalipun itu hanya untuk memasang listrik di tempat tersebut. “Mungkin kalau lihat di Tasikardi ini, lumayan bersih dibandingkan di daerah keraton, benteng, dan Masjid Agung,” ucapnya.

Mulangkara menuturkan, masyarakat belum melihat potensi cagar budaya ini secara benar, sehingga pengelolaannya pun kumuh. Padahal, masyarakat yang tinggal di dekat situs tersebut kehidupannya sudah tertopang dengan keuntungan wisata.

“Tempat cagar budaya yang kumuh saja, mereka sudah bisa kredit motor. Harusnya masyarakat berpikir panjang karena ujung tombak itu ya masyarakat, bukan pegawai,” tuturnya. Sebab, bila hanya mengandalkan petugas, tidak mungkin bisa berjalan kondusif.

Popular Posts