WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Curug Dago, Penyimpan Jejak Raja Thailand

Bandung - Curug Dago di Kecamatan Coblong, Bandung, Jawa Barat, sebenarnya tak sulit ditemukan. Melewati Punclut lalu masuk Jalan Dago Pojok akan menemukan pertigaan, berbeloklah ke kiri. “Terus entar jalan bentar, ada belokan ke kiri. Dari situ tinggal nyusurin (mengikuti) jalan aja,” kalau kata Tyas, salah seorang teman saya.

Memasuki gerbang Curug Dago setelah melewati jalan kecil sejauh 200 meter yang hanya bisa dilalui motor, pengunjung bisa menyaksikan potongan aliran Sungai Cikapundung yang mengalir dari Maribaya ini.

Turun dari kendaraan sambil menghirup udara dataran tinggi membuat lelah saya di perjalanan dari perkotaan pun menguap. Setelah membayar tiket seharga sekitar Rp15.000, saya turun menyusuri tangga menuju tempat lebih rendah. Taman bermain kecil-kecilan menyambut mata saya. Saat saya lewati, seorang balita tengah duduk di ayunan sedang ibunya ada di dekatnya.

Hati-hati adalah kunci utama saat wisata di alam. Tangga agak curam dan licin—mungkin akibat jejak hujan semalam.

Curug dalam Bahasa Sunda yang artinya air terjun akhirnya di depan mata. Air terjun yang lumayan besar—setinggi 800 meter, itu sayangnya tak bisa diselami. Saya membuang jauh-jauh harapan merasakan air segar pegunungan. Selain dalam, air pada hari itu, Sabtu (21/4), agak kecoklatan. Meski begitu, tak menyurutkan semangat melihat lukisan alam ini. Suasana yang tenang dan matahari pagi yang malu-malu dari balik tebing menambah kilau Curug Dago.

Pada tahun 2000-an, Curug Dago akhirnya resmi menjadi cagar budaya. Namun, pengelolaan dibagi menjadi dua: bagian atas oleh pengelola Tahura dan bagian bawah sampai ke sungai oleh BPCB (yang sekarang menjad BPNB atau Balai Pelestarian Nilai Budaya) Bandung.

Tak jauh dari air terjun, terdapat sebuah pos berbentuk rumah warna merah. Dari luar, pos ini tampak kosong dan usang. Ujung atapnya memiliki ornamen dan runcing di ujungnya yang mengingatkan saya dengan etnis Tionghoa. Rupanya terdapat jejak sejarah dari kerajaan Thailand di dalamnya.

Tapak Raja Thailand di Curug Dago
Ada dua buah batu tulis bekas peninggalan Kerajaan Thailand pada tahun 1818 M. Dalam pos berbentuk rumah berwarna merah, terdapat sebuah batu tulis yang kedua—yang ditulis oleh Raja Thailand ke-V. Sedangkan agak jauh lagi adalah batu tulis satunya, yang pertama—yang ditulis oleh Raja Thailand ke-VII.

Itulah yang dijelaskan Teguh, salah satu penjaga cagar budaya ini. Menurut tafsiran ahli, dua prasasti merupakan peninggalan dari Raja Rama V atau Raja Chulalonkorn dan Raja Rama VII atau Pradjathipok Pharaminthara yang berasal dari dinasti Chakri dan pernah berkunjung ke Curug Dago.

Meski begitu sedikit pengunjung yang tahu sentuhan Negeri Gajah Putih ini. Pengunjung kebanyakan berfokus pada air terjunnya saja. “Baru tahu kalau ada ini (prasasti Thailand) juga setelah ngobrol sama penjaganya,” kata Resya, salah satu pengunjung hari itu.

Bagai surga yang tak dirindukan
Beberapa orang yang saya tanya perihal Curug Dago mengaku tidak menahu soal adanya air terjun di Dago, Bandung. Padahal mereka ini yang sudah lama tinggal di Kora Kembang. Letaknya pun terhitung tak terlalu jauh dari jantung kota Bandung. Pun turis-turis sering melewati kawasan ini untuk wisata alam.

Seperti yang tertulis dalam ragamwisata.com, lokasinya yang dapat dikatakan tersembunyi karena berada di daerah Bukit Dago yang termasuk dalam kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda, Bandung, dan kurangnya promosi wisata membuat air terjun ini semakin sedikit pengunjungnya.

“Biasa aja sih soalnya airnya enggak bening dan pendek curugnya,” ungkap Zaki, salah satu warga Bandung yang pernah mengunjungi tempat wisata ini.

Air yang keruh ini disinyalir merupakan dampak dari pencemaran. Permukiman serta pabrik-pabrik pengolahan dituding pula sebagai isu penyebab hutan di Curug Dago tergerus. Pun kesan yang ditinggalkan selain airnya adalah fasilitas yang dibilang tak sebanding dengan ‘hiburan’ yang didapat. “Sekitar lima belas ribu kemahalan, sih. Kalau biaya tiket segitu, masih kurang fasilitasnya,” kata Resya.

Banyak pula dari pengunjung yang tidak tahu kalau terdapat unsur sejarah di Curug Dago. Prasasti yang jadi bukti luput begitu saja. Pos merah yang letaknya tak jauh dari air terjun terbilang tak terawat sehingga pengunjung pun malas masuk untuk tahu ada apa di dalamnya. “Pos bangunan yang merah itu juga enggak tahu buat apa. Terlihat enggak terawat. Tangga menuju ke sana pun banyak yang harus diperbaiki,” cerita Resya.

Kekayaan alam yang letaknya dekat dengan perkotaan berpotensi sebagai wisata ‘pelarian’ dari penatnya hingar bingar kota justru kurang meninggalkan kesan ‘ingin datang lagi’ ke pengunjung-pengunjungnya. Baik masyarakat atau pemerintah kurang bersinergi membuat cagar budaya ini lestari dan kaya edukasi. “Kalau pengembangannya serius mah bisa jadi bagus dan strategis, dekat kota,” kata Zaki. (ded/ded)

Sumber:

Ada Buku-Buku Langka di Pekan Literasi Asia Afrika

Bandung - Beragam koleksi buku langka dari Perpustakaan Ali Alatas yang pengadaannya berasal dari berbagai negara sahabat, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan IKAPI Jabar dipamerkan di Pekan Literasi Asia Afrika Keempat. Kegiatan tersebut digelar pada 17-19 Maret 2017 di Gedung Merdeka Bandung.

Salah satu bukunya adalah Ensiklopedia Sastra Indonesia yang dipamerkan IKAPI Jabar. Selain itu, dipamerkan pula koleksi film dokumenter dan naskah sejarah milik Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Stan lainnya yang turut meramaikan pekan literasi tersebut yakni Pusat Bahasa Mandarin Universitas Kristen Maranatha, Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat,
Balai Penerbitan Braille Indonesia Abiyoso, dan Pusat Kebudayaan Korea Indonesia.

"Pekan Literasi Asia Afrika adalah kegiatan besar dalam rangka memperingati 62 tahun KAA. Ada misi di dalamnya yakni bagaimana agar masyarakat dapat sadar akan pentingnya membaca. Tidak hanya baca dan tulis saja, tapi diharapkan bisa mengeksplor apa yang ada di dalam buku dan koleksi lainnya," ujar Project Officer Pekan Literasi Asia Afrika keempat Deddy Mulyana, kepada Tribun, Jumat (17/3/2017).

Keberadaan pekan literasi tersebut, kata Deddy, diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk tidak hanya mengandalkan buku dan bahan pustaka. Tapi juga bagaimana buku dan bahan pustaka tersebut dapat dimanfaatkan dan digali kembali.

Di Pekan Literasi Asia Afrika Keempat, pengunjung pun bisa belajar mengenal huruf-huruf braille.

"Di perpustakaan museum KAA, mungkin hanya perpustakaan kami yang menyediakan sarana dan tempat untuk para difabel," ucapnya. (ee)

Sumber: http://jabar.tribunnews.com

Hasanuddin-Anton: Dari Kontroversi Laskar Hizbullah Sampai GMBI

Penulis: Irfan Teguh

Tubagus Hasanuddin dan Anton Charliyan menjadi satu-satunya pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur (cagub dan cawagub) yang diusung satu partai yakni PDI Perjuangan.

Tubagus Hasanuddin lahir di Majalengka pada 8 September 1952. Ia anggota DPR dari Fraksi PDIP Dapil Jawa Barat IX yang terpilih sejak tahun 2009, dan duduk di Komisi I bidang pertahanan, intelejen, luar negeri, komunikasi dan informatika. Sebelum aktif di legislatif, ia seorang anggota TNI dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal.

Sementara pasangannya, Anton Charliyan, lahir di Tasikmalaya pada 29 November 1960. Anton adalah mantan perwira tinggi Polri dengan jabatan terakhir sebagai Wakil Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri. Mantan Kapolda Jabar ini adalah lulusan Akademi Kepolisian tahun 1984.

Nama Hasanuddin sempat disebut kasus dugaan suap pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat. Nofel Hasan, terdakwa kasus tersebut, dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibacakan oleh Jaksa KPK, mengungkapkan peran Tb Hasanuddin dan koleganya di Komisi I DPR Fayakhun.

“Kepala Bakamla (Arie Soedewo) menyampaikan bahwa habis bertemu Tb Hasanuddin dan membicarakan tentang Fayakhun yang tidak sejalan dengan Tb Hasanuddin. Dalam mengusulkan kegiatan satmon (proyek satelite monitoring) ini menggunakan kekuatan dua orang, orang legislatif tersebut yaitu Tb Hasanuddin dan Fayakhun,” kata Jaksa Kiki saat membacakan BAP Nofel Hasan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.

Menanggapi fakta sidang tersebut Hasanuddin bersikap santai. Menurut Calon Gubernur Jabar dari PDIP itu, seperti diberitakan Tribun, pertemuan tersebut merupakan pertemuan biasa dan bersifat terbuka ketika rombongan Komisi I yang dipimpinnya melakukan kunjungan ke kantor Bakamla, yang saat itu lembaga tersebut baru masuk menjadi mitra Komisi I DPR.

Tb Hasanuddin Keponakan Komandan Hizbullah?

Jelang Pilgub Jabar 2018, Tb Hasanuddin berhasil menemukan makam uaknya di Taman Makam Karoeng, Kota Tasikmalaya, yang telah lama ia cari. Saat itu ia tak bisa menahan air mata saat menemukan makam Haeruman, uaknya yang gugur dalam pertempuran di Indihiang, Kota Tasikmalaya, pada tahun 1954 saat menjadi Komandan Batalion Hizbullah.

“Saya sengaja berziarah setelah sekian lama mencari tempat pemakamannya. Beliau kakak ibu saya yang gugur sebagai Komandan Batalion Hizbullah pada tahun 1954, waktu saya masih berumur 2 tahun. Dan setelah saya dewasa dapat amanah dari ibu saya untuk mencarinya,” ujarnya.

Namun benarkah pada tahun 1954 Laskar Hizbullah masih eksis di Priangan dan terlibat dalam sejumlah pertempuran?

Galun Eka Gemini dan Kunto Sofianto dalam Peranan Laskar Hizbullah di Priangan 1945-1948 (Jurnal Patanjala Vol. 7 No. 3, September 2015)—Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya yang diterbitkan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat, menerangkan bahwa pada 3 Juni 1947 secara resmi Tentara Republik Indonesia (TRI) dan badan-badan perjuangan bergabung ke dalam TNI pimpinan Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid III (1947) yang disusun oleh Pramoedya Ananta Toer, dkk., hal ini diperkuat dalam penetapan Berita Negara No. 24 tahun 1947, yang salah satu poinnya berbunyi, “Segenap anggota angkatan perang dan segenap Lasykar-Lasykar bersenjata mulai saat ini dimasukkan ke dalam Tentara Nasional Indonesia.” (2001: 181)

Laskar Hizbullah Priangan terbagi dua dalam menanggapi keputusan ini, ada yang setuju bergabung dengan TNI, ada pula yang tidak sepakat. Perbedaan ini semakin meruncing ketika hasil Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 mengharuskan TNI meninggalkan Jawa Barat. Laskar Hizbullah yang kontra pemerintah menolak keputusan tersebut dan menggelar konferensi pada 10-11 Februari 1948 di Pangwedusan, Cisayong, Tasikmalaya, yang dihadiri juga oleh beberapa perwakilan organisasi Islam di Jawa Barat.

Keputusan terpenting dari konferensi tersebut adalah terbentuknya Tentara Islam Indonesia (TII) dari unsur Hizbullah dan organisasi Islam lainnya.

“Sejak dibentuknya Tentara Islam Indonesia (TII) berdasarkan hasil Konferensi Cisayong pada 10-11 Februari 1948, maka berakhirlah eksistensi Laskar Hizbullah di Priangan,” tulis Galun Eka.

Jika Laskar Hizbullah di Priangan berakhir pada tahun 1948, mungkinkah badan perjuangan tersebut masih terlibat pertempuran pada tahun 1954 seperti yang dikatakan Tb Hasanuddin?

“Tak Sesuai Fakta Sejarah”, demikian judul surat pembaca yang ditulis H. Usep Romli HM—mantan wartawan Harian Pikiran Rakyat dan pengasuh Pesantren Budaya Raksa Sarakan, Garut. Usep Romli menanggapi kabar serupa yang diwartakan oleh Harian Tribun Jabar, Jumat (1/2/2018, hlm. 10).

Diawali dengan memaparkan fakta-fakta tentang Laskar Hizbullah dari beberapa buku, dan menyebutkan bahwa laskar tersebut sudah tidak ada lagi sejak terjadi peleburan pada tanggal 3 Juni 1947, Usep Romli memperkirakan bahwa Haeruman adalah tentara Siliwangi yang gugur dalam kontak senjata dengan pasukan DI/TII.

“Mungkin saja Letda Haeruman pernah menjadi komandan Hizbullah sekitar tahun 1945. Tapi waktu gugur tahun 1954 sudah bukan komandan Hizbullah. Mungkin komandan salah satu Batalyon/Kompi TNI. Gugur dalam kontak senjata dengan DI/TII yang pada tahun 1949-1962 kuat menguasai beberapa daerah di Jawa Barat, terutama Priangan Timur (Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, dan Garut),” tulisnya.

Anton Charliyan, GMBI, dan Kasus yang Pernah Ditanganinya

Sementara Anton Charliyan, namanya sempat ramai diperbincangkan saat ormas Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) terlibat dalam beberapa bentrokan dengan ormas lain. Anton yang waktu itu tercatat sebagai Ketua Dewan Pembina GMBI, sempat diadukan oleh Front Pembela Islam (FPI) ke DPR RI, terkait kericuhan yang terjadi antara kedua ormas tersebut usai pemeriksaan saksi terlapor Rizieq Shihab di Bandung pada Kamis, (12/1/2017).

17 Januari 2017, Desmond Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI menerima perwakilan FPI di Ruang Rapat Komisi III DPR. Ia menyampaikan bahwa laporan masyarakat termasuk FPI akan diterima Komisi III DPR. Dalam kasus ini, Desmond menambahkan tinggal mengklarifikasi kejadian sebenarnya.

Setelah peristiwa tersebut, Anton Charliyan kemudian dicopot dari posisi Kapolda Jabar dan menempati pos penugasan berikutnya sebagai Wakil Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri sampai Januari 2018.

Sepanjang karirnya di kepolisian, pada tahun 2000 Anton pernah menjadi penyidik dalam kasus pembunuhan Marsinah, buruh pabrik di Sidoarjo, Jawa Timur. Ia juga sempat terlibat dalam penanganan kasus aktivis HAM, Munir.

Pasangan Banteng dalam Pilgub Jabar

Terlepas dari rekam jejaknya, dalam upaya meraih simpati masyarakat Jawa Barat, pasangan ini menawarkan beberapa program kerja unggulan jika mereka berhasil memenangkan kontestasi Pilgub Jabar 2018.

Program unggulan tersebut yaitu: Jabar Seubeh (program di bidang pangan), Sakola Gratis (program di bidang pendidikan), Imah Rempeg (program ketersediaan dan kelayakan tempat tinggal), Jabar Cageur (program kesehatan), Turkamling (infrastruktur, keamanan dan lingkungan), serta Molotot.com (akses pengawasan terhadap transparansi dan kinerja pemerintah)

Dalam sejarah pemilihan langsung Gubernur dan Wakil Gubernur di Jawa Barat yang dimulai pada tahun 2008, pasangan yang diusung oleh PDIP selalu gagal memenangkan kompetisi. Tahun 2008, pasangan yang mereka usung yakni Agum Gumelar (PDIP) dan Nu’man Abdul Hakim (PPP) kalah oleh pasangan Ahmad Heryawan (PKS) dan Dede Yusuf (PAN).
Sementara lima tahun berikutnya, pasangan yang mereka usung (Rieke Dyah Pitaloka dan Teten Masduki) kalah oleh petahana Ahmad Heryawan yang berpasangan dengan Deddy Mizwar.

Pada Pilgub Jabar Jilid 3 kali ini, apakah pasangan yang diusung PDIP mampu mengungguli pasangan lainnya? Kita hitung mundur saja menuju hari pencoblosan pada tanggal 27 Juni 2018 mendatang.

Baca juga artikel terkait PILGUB JABAR 2018 atau tulisan menarik lainnya Irfan Teguh
(tirto.id - Politik)

Reporter: Irfan Teguh & Muhammad Akbar Wijaya

Sumber: https://tirto.id

Temu Tokoh, Soreang 2012












Seni Tutunggulan Padasari Sambut Tim BPNB Jawa Barat

Cimalaka, Pentas Seni Tutunggulan di gelar di Desa Padasari dalam rangka penyambutan tim Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Kementrian Kebudayaan Jawa Barat Pada Selasa (30/1).

Pertunjukan pelestarian budaya sunda yang digelar oleh lingkung seni Sripusakawargi di bawah Pimpinan Odah Jubaedah ini dalam pembuatan Dokumentasi Seni Banggreng Buhun Padasari.

Kepala Desa Padasari Kosasih dalam sambutannya mengatakan kegiatan ini dalam rangka pelestarian budaya sunda yang ada dilingkungan Desa Padasari, "Seni budaya di Padasari yang paling buhun adalah terebang, kemudian ningkat ke bangreng, tutunggulan yang mempjnyai nilai budaya paling tua sejak kerajaan mataram, dan sesuai dengan kemajuan jaman tutunggulan juga menjasi sebagai media komunikasi seperti ketika ada gerhana, pernikahan dan lain-lain". katanya.

Di tempat yang sama Ketua Rombongan BPNB H. Yudi mengatakan, BPNB adalah UPT langsung dari Dirjen Kebudayaan, yang keberadaan di Sumedang dalam Penelitian Gong renteng di cisarua dan Pembuatan Dokumentasi Seni Bangreng di Padasari, dalam rangka melestarikan seni tradisional dan membangun karakter budaya Indonesia dalam nilai seni tradisional untuk pembelajaran generasi penerus.**(macko)

Dodol Garut

Pengusaha yang pertama kali membuka usaha dodol adalah H. Sirad. Ia merintis usaha dodol Kursinah sejak tahun 1920-an. Pada perkembangan selanjutnya bermunculan pengusaha lain yang turut mengembangkan makanan khas Garut ini tahun 1950-an. Salah satu, diantaranya, yang terbesar adalah Dodol Picnic yang mampu membawa kuliner bercita rasa kekotaan, bahkan orang-orang asing pun menyukainya.

Dodol Garut merupakan makanan khas dari Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Dodol Garut memiliki varian, antara lain dodol wijen, dodol nanas, dan dodol tomat. Sebagai makanan camilan, dodol rasanya manis. Banyak masyarakat menyukai dodol Garut karena kekhasan rasanya. Hal itulah yang membedakannya dengan dodol-dodol yang berasal dari daerah lainnya di Indonesia.

Dodol Garut merupakan komoditas yang mampu mengangkat citra Kabupaten Garut sebagai penghasil dodol yang berkualitas tinggi. Pemasarannya dilakukan melalui pameran-pameran, perbaikan kualitas produk maupun perbaikan desain kemasan melalui pelatihan-pelatihan. Dalam hal ini peran dekranasda cukup menonjol. Produksi per tahunnya dapat mencapai 4.500 ton. Pemasarannya sudah merambah ke seluruh Nusantara, diantaranya Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan Bali. Dodol Garut sudah dipasarkan ke beberapa negara, seperti Brunei, Malaysia, Jepang, Arab Saudi, Singapura, dan Inggris.

Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar

Simping

Hingga saat ini belum dapat diketahui secara pasti tentang asal mula keberadaan simping di Purwakarta. Utamanya di daerah kaum, kemungkinan disebabkan dekat dengan mesjid raya Purwakata dahulunya dapat disebut sebagai pusat keramaian sehingga banyak usaha simping berada di daerah tersebut.

Adapun proses pembuatan simping dapat dikatakan cukup mudah, dan bahan yang dibutuhkan juga mudah diperoleh. Bahan utama pembuatan simping terdiri dari campuran tepung terigu dan tapioka yang diberi berbagai macam rasa. Dahulu hanya ada satu rasa saja, yaitu rasa kencur, namun sekarang sudah ada banyak rasa di antaranya rasa pandan, nangka, cabai, bawang, udang, keju, kencur, pisang dan susu.

Kemasannya sangat sederhana saja yaitu plastik transparan. Sebelum dimasukkan ke dalam plastik, pinggiran simping tersebut diratakan dengan menggunakan mesin khusus. Setelah itu, baru dimasukkan per sepuluhan dengan jumlah tumpukan sebanyak lima tumpuk. Pada tahun 2010, simping di dijual dengan harga rata-rata Rp. 3.000 – 3.500 per bungkus. Saat ini harga simping mengalami kenaikan akibat dampak dari kenaikan harga bahan pokok pembuatan simping.

Simping dapat disajikan pada sebuah piring datar ataupun dalam toples bening ditambah dengan segelas teh manis atau kopi. Sajian ini dapat dihidangkan dalam segala suasana baik formal ataupun informal.

Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar

Maduaro

Maduaro merupakan jenis kain sulam dari Provinsi Lampung berupa selendang penutup kepala masyarakat Menggala. Pengaruh kain Maduaro di Lampung pada mulanya dibawa oleh nenek moyang masyarakat Menggala yang menunaikan ibadah haji di Mekkah pada abad ke-18. Selain itu para pedangang Gujarat India juga menjual kain sejenis kepada masyarakat Menggala, sehingga moti-motif yang berkembang di Menggala dipengaruhi motif dari Hindustan.

Selanjutnya masyarakat Menggala mengembangkan kain Maduaro. Selain sebagai tutup kepala dikembangkan juga sebagai Kawai Rajo (Pakaian kebesaran para Penyimbang) pada upacara adat. Pada tahun 1830, Muslimah Nahdatul Ulama di daerah Menggala mendirikan organisasi khusus untuk wanita bernama Fatimi’ah yang bergerak dibidang pembuatan kain khas Lampung seperti Tapis, Songket, Mantok (tenun) termasuk Tuguk Maduaro, Baju Sadariyah dan Tarkidah serta Ngerenda dan Sulam Bubut yang berpusat di Al Hidayah Strat III kampung Menggala.

Para wanita Menggala membuat kain sebagai Sesan untuk dibawa pada saat pernikahan mereka, salah satunya berupa Maduaro yang dibuat dari Benang Selingkang yang didatangkan dari India. Pada periode berikutnya kegiatan menyulam kain Maduaro menjadi kebiasaan para gadis di daerah Menggala untuk mempersiapkan sebagai Sesan.

Dalam perkembangannya kain Maduaro mulai dibawa keluar oleh orang Menggala untuk membina para gadis dalam mengembangkan kerajinan menylam di Way Lima dan Talang Padang. Saat ini daerah persebaran kain sulam maduaro berada selain di Way Lima (KAbupaten Pesawaran), juga sudah ada di Menggala (Kabupaten Tulang Bawang}, dan Talang Padang (Kabupaten Tanggamus).

Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar

Sejarah Singkat Penyimbang Marga di Way Kanan

Adat kebiasaan suatu daerah kesukuan memiliki ciri khas masing-masing, demikian juga di wilayah Kabupaten Way Kanan yang terdiri atas lima kebuwayan. Kepala marga adalah pasirah yang dipilih dari penyimbang marga wilayah tersebut. Keberadaan marga-marga ini tidak ada kaitannya dengan sistem adat istiadat kebuwayan Way Kanan. Sistem tata cara proses pelaksanaan adat istiadat pada dasarnya memiliki varian secara praktik, antara lain pakaian, payung dan aksesori adat. Payung agung yang digunakan oleh kebuwayan pada umumnya menggunakan payung agung berwarna putih dan menggunakan payung agung berwarna kuning, akan tetapi di Buway Pemuka Bangsa hanya memakai payung agung berwarna putih.
Di Marga Buway Pemuka Pengiran Tua, Marga Buway Bahuga, Marga Buway Barasakti, dan Marga Buway Pemuka Pengiran Ilir ada strata pangkat adat Injak 18 dan Injak Selang, sedangkan di marga-marga lain tidak ada. Masih banyak lagi perbedaan-perbedaan tetapi tidak mengganggu kesatuan adat di lima kebuwayan, terutama pada saat pelaksanaan proses upacara begawi.

Hukum adat dipakai oleh penyimbang marga dalam menentukan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan adat. Pada awalnya penyimbang marga dalam satu kebuwayan atau marga hanya memiliki satu penyimbang marga. Karena pada saat itu penyimbang marga dianggap sebagai raja dalam marga lebuh atau kampungnya. Apalagi tata hubungan antarkeluarga, tata pergaulan, peraturan-peraturan dalam upacara di masyarakat seperti perkawinan, begawi diatur dan ditetapkan oleh penyimbang marga.(Irvan)

Dikutip dari T. Dibyo Harsono dkk, “Potensi Budaya di Kabupaten Way Kanan”, Laporan Pendataan, Bandung: BPNB Jawa Barat, 2017.

Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar

Ubrug

Dalam Kamus Bahasa Sunda, kata ubrug berarti sebagai bangunan darurat, tempat bekerja sementara untuk beberapa hari saja, misalnya untuk kepentingan hajatan atau pesta. Kemudian kata tersebut digunakan sebagai nama kesenian, mungkin karena pada masa lalu pemain Ubrug suka berpindah-pindah tempat dan membuat bangunan sementara manakala mereka mengadakan suatu pertunjukan. Orang-orang kemudian menyebutnya sebagai pemain Ubrug, pemain yang tinggal di tempat darurat.

Lain halnya dengan pendapat Mutia Kasim (dalam Walidat, 1997), yang menyebutkan bahwa ubrug diambil dari kata ngagebrug. Dalam pertunjukan Ubrug, semua pemain, baik laki-laki maupun perempuan, tua muda, beserta para penonton sama-sama menempati satu tempat pertunjukan atau sagebrug (bahasa Sunda).

Dalam buku acara Pekan Teater Tradisional terbitan Pembinaan Kesenian Depdikbud bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta (27 September s.d. 1 Oktober 1977), istilah “ubrug” senada dengan kata-kata saubrug-ubrug, sagebrugan, dan sagebrugna dalam bahasa Sunda, yang berarti bertumpuk-tumpuk dan tidak teratur. Penamaan demikian karena isi cerita atau lawakan dalam kesenian tersebut diungkapkan secara spontan, tanpa sutradara. Pemain hanya diarahkan masalah tema dan garis besar isi cerita oleh pimpinan Ubrug. Adapun rinciannya diserahkan kepada kreativitas masing-masing pemain. Kesenian Ubrug pun dapat dipertunjukkan pada sembarang waktu dan tempat, tidak teratur.

Pada awal pertumbuhannya, Seni Ubrug diadakan sebagai kompensasi dari beban berat bekerja di sawah-sawah dan ladang-ladang. Pertunjukannya pun diadakan di sawah-sawah atau ladang-ladang perkebunan sehabis panen. Perkembangan selanjutnya hingga kini, Seni Ubrug dimaksudkan untuk menghibur.

Hingga kini riwayat asal-usul Kesenian Ubrug belum terungkap secara lengkap. Penjelasan dari beberapa tokoh kesenian tradisional ini, bahwa Kesenian Ubrug tumbuh dan hidup dari kalangan masyarakat. Kesenian ini sangat dikuasai rakyat Banten dan dipentaskan sebagai hiburan pada waktu senggang, manakala musim panen datang. Pementasannya dilakukan di atas tanah, menggunakan gubuk yang terbuat dari anyaman daun rumbia. Awalnya waditra yang digunakan adalah sebuah kendang besar, 2 buah kendang kecil (kulanter), sebuah gong kempul, dan sebuah ububan. Ububan adalah 2 potong bambu, yang besar dan kecil. Bambu kecil terletak di tengah, dan jika akan dimainkan ditiup dan diangkat sedikit agar berbunyi. Namun sekarang waditranya berubah, diganti dengan goong angkeb, kecrek, rebab, dan 3 buah kenong.

Perkembangan selanjutnya, Kesenian Ubrug berangsur-angsur digunakan untuk hiburan pada acara hajatan, yakni selamatan pernikahan, khitanan, peresmian gedung baru, dan sebagainya. Sebagai alat penerangnya pada masa lalu adalah obor atau lampu blancong, yang disimpan di tengah-tengah arena pentas dan para pemainnya berada di sekeliling obor atau blancong tersebut. Blancong adalah lampu minyak tanah yang bersumbu dua buah dan cukup besar, yang diletakkan di tengah arena. Lampu blencong ini sama dengan oncor dalam ketuk tilu, sama dengan gembrong atau lampu petromak.

Pendapat Y. Ganda SW dalam Diskusi Pekan Teater Tradisional yang diselenggarakan Direktorat Pembinaan Kesenian Depdikbud di Jakarta tahun 1977. Melalui kertas kerja yang telah dipersiapkan, Ganda mengungkapkan bahwa: Di wilayah Banten terdapat sejenis kesenian yang hingga kini telah lenyap, namanya Kesenian Doblang. Ketika Ketuk Tilu Doger/Ronggeng sampai di Banten, Doblang pun mendapat pengaruh. Selanjutnya Topeng Betawi dan Topeng Banjet datang pula mempengaruhnya, terjadilah akulturasi secara berangsur-angsur, maka lahirlah Kesenian Ubrug.

Kesenian ubrug sering diistilahkan dengan topeng. Ada dua pendapat tentang kesenian ubrug apabila dikaitkan dengan kesenian topeng. Pendapat pertama, kesenian ubrug tidak sama dengan kesenian topeng. Pendapat kedua, kesenian ubrug konon sama saja dengan topeng. Hanya saja, istilah ubrug digunakan di wilayah-wilayah yang menggunakan bahasa Jawa Banten, sedangkan istilah topeng digunakan di wilayah-wilayah budaya Sunda.

Adapun menurut Ensiklopedi Sunda (2000: 672) yang dimaksud dengan ubrug adalah semacam teater tradisional di daerah Banten, dipentaskan di lapangan atau di halaman bangunan umum seperti stasiun, diiringi gamelan.

Ubrug termasuk jenis teater tradisional yang konon memiliki keserupaan dengan lenong (Betawi), longser (Jawa Barat), ketoprak (Jawa Tengah), dan ludruk (Jawa Timur). Keserupaan tersebut terletak pada sifatnya yang anonim (tidak diketahui siapa penciptanya), dilakukan di arena terbuka, dan mengandalkan improvisasi.

Persebaran kesenian ubrug dimulai dari Leuwi Damar – Cikeusal – Pagelaran Pandeglang – Panimbang. Adapun di Serang, menurut Mahdiduri dan Yadi Ahyadi dalam “Ubrug Tontonan dan Tuntunan”, ubrug berkembang dari Kampung Prisen, Desa Kiara, Kecamatan Walantaka, dengan nama grupnya adalah Cantel.

Kesenian ubrug memadukan unsur komedi, gerak/tari, musik, sastra (lakon), dengan pola permainan longgar. Pada dasarnya kesenian ubrug terbagi atas empat bagian/babak yang istilahnya bisa jadi agak berbeda untuk beberapa wilayah di Banten. Salah satunya adalah pembagian babak dengan istilah tatalu, nandung, bodoran, dan lalakon. Dalam perkembangannya, pementasan ubrug saat ini sering tidak sesuai pakem. Artinya, pementasan ubrug bisa diselipi musik modern untuk lebih menyesuaikan pada keinginan penonton. Hal ini merupakan salah satu cara agar kesenian ubrug tetap diminati.

Berikut adalah profil grup Cantel yang merupakan grup ubrug tertua dan tersohor di Kota Serang. Grup Cantel sering dipanggil untuk pentas dari kampung ke kampung dalam rangka hajat pernikahan atau sunatan. Pada saat pementasan di kampung, struktur pementasannya terdiri atas lima babak. Babak pertama diisi dengan tatalu, babak kedua jaipongan, babak ketiga musik modern (organ tunggal), babak keempat bodoran, dan babak kelima lalakon.

Tatalu adalah berasal dari kata talu yang artinya tabeuh, yaitu permainan instrumentalia sebelum pertunjukan dimulai, biasanya untuk mengumpulkan penonton. Gending-gending tatalu suasananya semarak dengan tempo tandak dan cepat.

Jaipongan merupakan tari pergaulan yang berdasarkan pada tarian rakyat ketuk tilu yang memasukkan unsur-unsur penca dengan mengurangi unsur erotiknya yang dipopulerkan oleh Gugum Gumbira, Tati Saleh, dan Euis Komariah menjelang ahir 1970-an. (Ensiklopedi Sunda, 2000: 296-297).

Bobodoran ‘lawakan’ yakni menampilkan tokoh “pelawak”. Tokoh ini menjadi ikon grup yang bersangkutan dan karenanya nama panggung alias julukan tokoh pelawak yang bersangkutan sekaligus menjadi nama grup. Sebut saja Cantel yang merupakan nama panggung atau julukan dari Sukardi, menjadi nama grup, yakni grup Cantel. Mang Cantel, demikian orang akrab menyapa, merupakan pemain ubrug terpopular di Kota Serang. Lawakannya menitikberatkan pada gesture tubuh.

Lalakon, merupakan inti pementasan, yakni membawakan cerita sesuai judul. Judul yang dibawakan terlebih dahulu dimusyawarahkan oleh para aktornya sesaat sebelum pentas. Tujuan atau target lalakon tidak lain penonton bisa terhibur dan memahami jalan cerita yang dibawakan.

Ubrug sebagai bagian dari ritual (pernikahan atau sunatan), dipentaskan di luar bulan sapar dan puasa karena pada bulan-bulan itu tidak pernah dilakukan hajatan. Lamanya pementasan untuk keperluan hajatan minimal berkisar dua jam dan maksimal tiga jam, dimulai dari pukul 24.00 hingga 03.00 dinihari.

Selain di kampung-kampung, sesekali grup Cantel juga dipanggil untuk pentas di kantor-kantor sebagai hiburan. Struktur pementasan di kantor berbeda dengan di kampung. Pementasan pada babak pertama diisi dengan tatalu, babak kedua samyong, babak ketiga tatalu, babak keempat nandung, dan babak kelima lalakon. Pementasan di kantor biasanya dilakukan dalam rangka perpisahan pejabat, penyambutan tamu, atau peresmian gedung baru. Adapun lamanya pertunjukan berkisar tiga puluh menit.

Sebagaimana tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun, pementasan ubrug dalam suatu hajatan selalu diawali dengan menyediakan parawanten ‘sesajen’ dan melakukan ritual nyuguh/ngukus ‘baca-baca doa/mantera’ oleh tukang ngukus. Ritual nyuguh dilakukan di depan peralatan musik pengiring (waditra), tepatnya di antara dua gong. Tujuan dari ritual tersebut tidak lain untuk memohonkan keselamatan, baik untuk grup ubrug itu sendiri, untuk yang berhajat, maupun penonton. Isi dari sesajen di antaranya adalah: beras sepitrah (lebih kurang tiga liter), kembang tujuh rupa, lawe (benang kanteh), kemenyan, kopi pahit kopi manis, jawadah warna tujuh rupa, bakakak hayam, dan uang sepuluh ribu. Semua jenis yang termasuk dalam sesajen tersebut pada dasarnya merupakan kebutuhan makhluk di alam gaib yang diperkirakan memiliki kesukaan yang sama dengan makhluk yang hidup di alam nyata.

Cerita yang dibawakan grup ubrug pada saat pentas di kampung-kampung berbeda dengan di kantor. Cerita yang dibawakan di kampung-kampung cenderung bebas, terkecuali kalau ada permintaan dari yang punya hajat. Tema cerita bisa tentang keluarga, rukun warga, kejadian sehari-hari, atau hal-hal yang sifatnya aktual dan lain-lain. Yang pasti, apa pun ceritanya, di setiap cerita selalu diselipi dengan pesan-pesan moral. Peran pencerita dilakukan oleh dalang.

Cerita yang akan dibawakan dalam suatu pementasan disampaikan oleh sutradara kepada anggota grupnya, sesaat menjelang pentas. Meskipun demikian tidak semua anggota grup akan mendapat peran. Sebaliknya, bisa juga grup itu kekurangan pemain karena banyaknya peran yang harus dibawakan. Usai disampaikan ceritanya, selanjutnya sang sutradara membagi peran pada anggota grup. Apabila kemudian diketahui jumlah pemainnya kurang maka ceritanya akan diganti dengan cerita lain yang sekiranya cukup diperankan oleh anggota grup yang ada pada saat itu.

Pemain ubrug terdiri atas pemain (pembawa lakon), panjak (nayaga), penari, dan sinden. Pemain ubrug didominasi oleh kalangan tua dan orang dewasa. Sangat sulit untuk mendapatkan pemain ubrug dari kalangan remaja.

Jumlah pemain dalam setiap pementasan ubrug tidak selalu sama, bergantung kebutuhan cerita. Untuk tema keluarga, biasanya ada yang berperan sebagai ayah, ibu, anak, pembantu, tokoh masyarakat, dan sebagainya.

Busana/kostum yang dikenakan oleh pemain (pembawa lakon) bergantung dari peran yang dibawakan. Apabila seorang pemain berperan sebagai seorang ayah maka pakaian yang dikenakan adalah pakaian layaknya seorang ayah. Khusus untuk pakaian dan tata rias wajah yang dikenakan oleh bodor merupakan pakaian dan tata rias wajah yang mengandung kelucuan. Tujuan penggunaan dan tata rias wajah seperti ini agar penonton tertawa dan senang untuk menonton ubrug.

Kesenian ubrug menggunakan seperangkat instrumen karawitan atau yang disebut dengan istilah waditra. Waditra dalam kesenian ubrug terdiri atas: Satu set gendang yang meliputi kentung, tepak, dan kendang gede; Kecrek; Saron I dan saron II; Penerus; Gambang; Gong; Kromong; dan Rebab.

Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar

Gambang Keromong

Gambang Keromong adalah salah satu jenis kesenian Betawi. Kesenian ini lahir dari kalangan masyarakat Betawi pada masa penjajahan Belanda. Ketika itu para jawara yang dijadikan mandor oleh orang-orang Belanda menghimpun para guru tari dan para penyanyi yang bekerja di rumah-rumah orang Belanda dan pekerja pada tuan tanah untuk membuat hiburan sebagai pengisi waktu luang. Dari situ maka lahirlah kesenian gambang kromong yang hinga kini menjadi icon masyarakat Betawi.

Gambang Keromong merupakan salah satu jenis kesenian yang hidup dan berkembang di kalangan masyarakat Betawi di daerah pinggiran Jakarta dan Bekasi. Kesenian ini termasuk ke dalam jenis seni musik pertunjukan untuk mengiringi seorang penyanyi. Alat musik utamanya adalah “gambang” dan kromong, serta kendang. Kesenian ini hingga kini masih sering dipergelarkan di kalangan masyarakat Betawi, baik di daerah DKI pinggiran maupun di wilayah Bekasi Jawa barat.

Hingga kini kesenian ini masih hidup di daerah Bekasi. Di Kecamatan Tambun ada beberapa padepokan yang menekuni kesenian Gambang Keromong ini.

Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar

Kolenjer

Hingga saat ini belum ada catatan sejarah khusus mengenai kapan awal mula kolenjer dikenal oleh masyarakat Kanekes, namun hal yang pasti bahwa Kolenjer sudah digunakan sejak lama oleh masyarakat kanekes. Hal ini sangat masuk akal karena kolenjer telah menjadi alat atau ilmu pengetahuan yang bersentuhan dengan kehidupan keseharian masyarakat Kanekes. Pengetahuan akan kolenjer menjadi penting bagi masyarakat Kanekes, sama halnya dengan kalender Gregorian di masyarakat kita pada umumnya. Dalam beberapa artikel yang ditulis mengenai masyarakat Kanekes atau Baduy, sering kali mengaitkan kolenjer dengan pengetahuan bahasa sunda kuno.

Adapun dalam Peraturan Desa Kanekes nomor 1 tahun 2007 yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Lebak Banten, menyebutkan dalam Bab 1, pasal 1 (mengenai peristilahan), bahwa Kolenjer adalah kalender atau sistem penanggalan yang digunakan masyarakat adat Kanekes dan berlaku secara turun-temurun.

Kolenjer adalah alat penanggalan. Fungsinya menentukan naptu tanggal, naptu poe, dan wanci. Naptu tanggal adalah menghitung bulan. Naptu poe untuk menghitung poe. Sedangkan naptu wanci dipakai untuk meramal nasib baik, perjidohan dan lain-lain (Pikiran Rakyat, 29 November 2008). Hingga kini kolenjer masih digunakan oleh orang Kanekes atau Baduy.

Kolenjer terbuat dari kayu, berbentuk lempangan papan. Ukurannya kurang lebih 6 x 25 cm. Permukaannya ditandai garis-garis dan titik-titik. Orang yang menggunakannya adalah Puun. Tapi dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, bujangga-lah orang yang terbiasa mengguankannya.

Ada tiga fungsi kolenjer dalam hal meramal yang mengacu pada aneka jenis kolenjer itu sendiri. Pertama, Kolenjer indit-inditan adalah kolenjer yang digunakan untuk menentukkan hari dan arah mana bila hendak berpergian. Kedua, kolenjer durujana. Kolenjer ini digunakan oleh orang yang mengalami pencurian, dalam arti mencari siapa pelaku yang telah melakukan pencurian. Ketiga, kolenjer bajo. Arti kata bajo sendiri adalah bajak laut, maka kegunaan kolenjer bajo adalah untuk menyerang atau membinaskan orang lain. Penggunaan kolenjer ini dirahasiakan oleh masyarakat kanekes.

Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar

Bir Pletok

Bir Pletok adalah minuman tradisional masyarakat Betawi. Minuman tersebut kaya akan rempah-rempah sehingga aromanya cukup tajam menyengat hidung, Sejarahnya berawal dari kebiasaan para bapak-bapak atau kaum pria yang senang berkumpul bersama, entah di pos hansip, di rumah atau hajatan. Mereka menghabiskan waktu malam hari dengan minum Bir Pletok agar tubuh mereka menjadi hangat. Kebiasaan tersebut lama-lama menjadi tradisi dan Bir Pletok makin di kenal oleh masyarakat sebagai minuman trsdisional khas Betawi.

Bir Pletok adalah minuman tradisional Betawi yang sudah dikenal lama. Cara pembuatannya cukup sederhana yakni 2 liter air dicampur dengan ½ liter gula pasir dan diberi bumbu jenis rempah-rempah diantaranya kayu manis, jahe, serai, cengkeh, babakan secang, bunga pala, lada, cabe, jeruk purut, daun pandan, dan garam. Proses pembuatannya sederhana semua bumbu, air dan gula direbus jadi satu. Jika sudah mendidih dan harum diangkat dan disaring agar ampasnya tertinggal. Bila sudah dingin ditempatkan di botol tapi bisa juga dihidangkan hangat-hangat. Saat ini bir pletok bisa ditemukan di toko-toko atau warung dengan kemasan botol. Bir pletok sebagai salah satu minuman tradisional yang sering dicari pembeli sebagai bahan oleh-oleh khas Betawi.

Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar

Lukis Kaca Cirebon

Lukisan Kaca telah dikenal di Cirebon sejak abad ke-17 Masehi. Keberadaannya bersamaan dengan berkembangnya Agama Islam di Pulau Jawa. Lukisan Kaca berperan sebagai media dakwah Islam pada masa pemerintahan Panembahan Ratu di Cirebon. Lukisannya berupa Kaligrafi dan Wayang. Pengaruh Islam menjadi ciri khas dari lukisan kaca Cirebon, seperti gambar kabah, masjid dan kaligrafi berisi ayat-ayat Alquran atau Hadis.

Cerita wayang berpengaruh pada pilihan tema lukisan kaca. Para pengrajin lukisan kaca selalu menampilkan tokoh seperti Kresna, Arjuna, Rama, Lesmana, dan lain-lain. Masa kejayaan lukisan kaca diperkirakan dimulai pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Sekurang-kurangnya hingga tahun 1950-an. Ketika itu hampir semua rumah di Cirebon terpasang lukisan kaca. Lukisan kaca itu bukan sekedar hiasan, namun dipercaya sebagai penolak bala. Pda tahun 1960-an merupakan masa-masa suram bagi seniman lukis kaca. Sejak awal tahun 1980-an, aktivitas lukisan kaca mulai bangkit dan terus berkembang.

Lukisan Kaca Cirebonan merupakan seni lukis dengan mempergunakan media kaca. Teknik melukisnya dilakukan dengan cara terbalik atau melukis dibagian belakang. Hasil lukisannya biasa dilihat dari bagian depan. Lukisan Kaca Cirebonan memiliki keunikan dalam penggarapannya. Melukis di bagian belakang sangat membutuhkan ketelitian, keterampilan dan kesabaran. Seorang Pelukis Kaca harus mampu menghindarkan diri dari kesalahan ketika melakukan pengecatan. Pewarnaannya menganut Gelap ke Terang dan Terang ke Gelap. Demikian pula, ketelitian dalam menggoreskan kwas perlu dimiliki, agar tidak menabrak kontour (garis gambar), ketelitian dalam mencampur/mengoplos warna dan ketelitian dalam menentukan ragam hias.

Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar

Upacara Adat Ngalaksa di Kabupaten Sumedang

oleh : Rusyana, S.Pd

Makalah dalam kegiatan Penayangan Film dan Diskusi Kebudayaan yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bandung pada hari Selasa, tanggal 28 April 2015 di Aula Srimanganti, Kabupaten Sumedang

A. SEJARAH SINGKAT UPACARA ADAT NGALAKSA
Mangsa anu ngendat panjang tibihari kakiwari ngalalangsean kaahengan nu kungsi kasorang ku sakumna rahayat Sumedang dina abad ka 17,Nalika nu jadi nalendra harita Eyang Suradiwangsa.
Mataram keur meujeuhna kumawasa di beulahan tanah jawa, anu boga tekad rek ngajorag VOC, kalayan ngamukim jeung masangrahan di wewengkon Cirebon, antukna daerah nu deukeut ka Cirebon saperti Indramayu,kuningan,Sindang kasih, jeung Sumedang dijadikeun sumber pikeun nyiar bekel enggoning bajoang ngajorag VOC. Diantara 5 kabupaten Sumedang ngarupakeun kabupaten anu pangsuburna ku tatanen kayaning pare, rumbah jeung palawija sejena, dumasar kana patekadan nu sarua rek ngajorag VOC eyang Suradiwangsa serah bongkokan ka Mataram pikeun ngahijikeun kakuatan seja merangan Walanda, nu antukna kabeh tatanen nu aya di Sumedang khususna di Rancakalong dikerid nepi kasisipna, malah teu disesakeun keur binih-binih acan, balukarna dirancakalong bener-bener euweuh nu bisa dipelak pikeun minuhan kabutuh hirup, iwal hanjeli nu bisa tumuwuh subur tur jadi bahan pangan gaganti pare.
Mungguh kudrot jeung irodat Gusti tumiba ka mahlukna mangrupa cocoba ujian hirup harita aya kajadian anu matak peurih jeung tugenah sabada datangna musibah nu tumiba kasalah saurang anggota masyarakat nyaeta inkang putra kuwu diwewengkon eta, akibat katinggang tumpukan hanjeli.
Musibah nu tumiba mangsa harita lain wungkul karandapan ku kulawarga kuwu, tapi sumebar walatra kusakumna rahayat,
hiji insan anu linuhung jaman harita nu katelah Eyang Jatikusumah, mantena kacida prihatina ku kaayaan alam mangsa harita, gilig tekad seja narekahan musibah anu kasorang, sangkan binih pare bisa tumuwuh deui di Rancakalong.
Eyang Jatikusumah anjeuna neuleuman kana kapeurih hamba rahayat sakumna, anjeuna seja jengkar tandang ka Cirebon bumela kalemah cai kairing wadia balad nu jumlahna aya 12 urang kaasup salah saurang wawakil sesepuh istri pikeun mapag pare tea lamun usahana hasil, hal eta dilakonan lantaran jaman harita boga kayakinan yen pare teh mangrupa jelmaan Dewi Sri, anu maksudna pikeun ngahormatna, kulantaran bakal mang taun-taun lilana Eyang Jatikusuma dibarengan ku wawakil sesepuh lain istri lain pameget.
Rombongan Eyang Jatikusumah langlus lumampah ngajugjug Dayeuh Cirebon wireh ceuk pikeun neang binih pare.Badaratna eyang jati kusumah teu bisa kebat kahalang cocoba jeung dodoja meunang panghalang rajia jaga baya prajurit nagri Mataram nepi ka Eyang Jati Kusumah jeung wadia balad kateter,tug dugi kadungsang-dungsang.
Geusan tinekanan ikhtiar, Eyang Jatikusumah teu leungiteun akal anjeuna geuwat ngirim utusan pikeun ngadatangkeun dua urang tukang tarawangsa nyaeta Wiraguna jeung Wiguna, kalayan numutkeun kayakinan Eyang Jatikusumah tabeuhan tarawangsa bakal mampu meruhkeun jeung mapalerkeun pangjaga para Prajurit Mataram dina enggoning mancen gawena, nepi ka Cirebon rombongan Wiraguna jeung wiguna teu reureuh nabeuh tarawangsa , para Prajurit Mataram oge, jarongjon ngilu ngibing kabawa ku wirahma tarawangsa, kasempetan eta dimangfaatkeun ko rombongan pikeun nyusup mawa binih pare dibawa kucara disamunikeun dina jero tarawangsa.
dumasar kana hal eta mangka hiji hijina tarawangsa tepi kakiwari dipasiep ku juru tari ti sesepuh pameget jeung istri.
Abringan Wiraguna jeung Wiguna kairing wadia balad sajajalan saruka bungah sukan-sukan sabada hasil pamaksudan mawa binih pare pikeun sumber kahirupan hamba rahayat sadaya.. Nu antukna beja ngeunaan tumuwuhna deui pare di Rancakalong nepi ka Mataram, Sultan Mataram ngutus prajuritna pikeun nalungtik kaayaan Rancakalong danget harita, kalayan hasilna terus dilaporkeun ka Sultan Mataram, mung ku wijaksana Sultan Mataram harita anjeuna ngirim deui utusan pikeun nyanggakeun 5 jambangan keur nyieun laksa mangrupa dahareun bekel peperangan.
Cag urang teunden dihandeuleum sieum geusan sampeureun urang tunda dihanjuang siam geusa alaaeun ngenaan sajarah nu lawas kasorang. Kiwari tiap taun di Rancakalong dilaksanakeun upacara ngalaksa mangrupa hiji upaya masyarakat Rancakalong enggoning nagamumule ajen budaya tradisi anu lumangsung ti bihari kakiwari .seja ngalap mangfaat pikeun kamaslahatan umat ku cara rempug jukung sauyunan sareundeuk saigel sabobot sapihanean gawe nu rancage ciri.hirup kumbuh sauyunan. Mugia rancakalong nanjung apanjang apunjung waluya jatnika salalawasna, seja sapuk satujuan geusan nanjeurkeun ajen inajen jati diri kamanusaan, nu gilig napak dina budaya ngapak tina budaya.

B. PROSES PELAKSANAAN UPACARA ADAT NGALAKSA

Ngalaksa merupakan upacara adat yang dilaksnakan masyarakat adat Rancakalong, Kecamatan Rancakalong.Awalnya Ngalaksa dilaksanakan oleh orang per orang/ keluarga ditempat tempat yang sunyi, dan jadwal pelaksanaannya dikaitkan dengan jadwal bersawah sebagaimana halnya budaya masyarakat agraris.Pada masa sekarang ini pelaksanaan Ngalaksa dilaksanakan setiap tahun satu kali biasanya diawal Bulan Juli, dan apabila pada Bulan Juli bertepatan dengan Bulan Puasa pelaksanaannya diundur ke bulan berikutnya, sesuai dengan hasil musawarah adat setempat. Upacara adat ngalaksa dilaksanakan secara bergiliran oleh lima Rurukan yaitu : Rurukan Rancakalong, Rurukan Nagarawangi, Rurukan Pamekaran, Rurukan Pasir Biru, dan Rurukan Cibunar, kemudian tempat pelaksanaanya dipusatkan di Desa Wisata yang berada di Desa Rancakalong.

1. Persiapan Upacara Adat Ngalaksa
Rangkaian kegiatan Upacara Adat Ngalaksa diawali dari persiapan sampai selesainya terdiri dari beberapa tahap kegiatan, adapun tahapannya adalah sebagai berikut :
a. Bewara
Setelah diadakan musyawarah para sesepuh untuk penentuan tanggal pelaksanaan Ngalaksa, maka hasilnya disampaikan kepada seluruh warga masyarakat adat. Atau dengan kata lain Bewara adalah menginformasikan waktu pelaksanaan Ngalaksa kepada seluruh warga masyarakat, Rurukan pendukung termasuk unsur pemerintah. Sebagai media untuk penyampaian informasi tersebut pada awalnya adalah melalui penyampaian berita dari mulut ke mulut namun pada era sekarang untuk penyebarluasan informasi bisa melalui alat pengeras di media umum sepeti mesjid, surat menyurat dan telephon.
b. Ngahayu
Adalah suatu proses mengajak warga masyarakat adat untuk mengajak berpartisipasi dalam mempersiapkan kebutuhan baik bahan maupun alat yag digunakan untuk kelancaran kegiatan. Dalam bahas Sunda Ngahayu identik dengan kata ulang ngahayu-hayu, yaitun ungkapan ajakan, sehingga setelah dihayu-hayu oleh ketua Rurukan warga masyarakat menyumbangkan bahan upacara misalnya buah-buahan, umbi-umbian, beras, kelapa, padi, gula merah dan lain sebagainya, kemudian diantarkan ke rumah ketua Rurukan sebagai pusat kesiapan upacara.
c. Mera/ Ngagunuk bahan
Mera biasanya dilaksanakan satu minggu setelah pelaksanaan Bewara, pada tahapan Mera ini ketua Rurukan membagi-bagikan bahan dan tugas kepada setiap warga Rurukan.Misalnya siapa yang bertugas untuk mencari kayu bakar, mengambil daun congkok ke hutan, dan tugas-tugas lain dalam memperlancar kegiatan upacara adat Ngalaksa.

2. Pelaksanaan Upacara Adat Ngalaksa
Mengawali kegiatan pelaksanaan Upacara Adat Ngalaksa setelah mendapat sentuhan kemasan untuk promosi wisata budaya, maka sebelum dilaksanakan upacara, maka diadakan dulu seremonial pembukaan.Pada acara ini biasanya dihadiri berbagai tamu undangan, birokrat pemerintah daerah Kabupaten Sumedang, undangan tokoh masyarakat, putra daerah, seniman budayawan.Kemudian seluruh masyarakat ikut berperan aktif untuk mempertontonkan potensi seni budaya yang kemudian disusun dalam suatu atraksi seni pertunjukan Helaran.
Pada acara prosesi pembukaan ini substansi kegiatannya adalah pembukaan secara simbolis oleh Bupati Sumedang selaku pemangku Budaya, yang ditandai dengan penyerahan Babon dari Rurukan penyelenggara Ngalaksa tahun sebelumnya kepada Bupati Sumedang, kemudian Bupati Sumedang menyerahkan kepada ketua Rurukan yang akan melaksanakan upacara, dan kemudian Babon diarak bersama-sama menuju Desa Wisata tempat dilaksanakannya upacara. Setibanya di Desa Wisata sudah disajikan suguhan seni Tarawangsa yang akan mengiringi prosesi upacara dari awal sampai akhir pelaksanaan upacara.
Diawali oleh ketua Rurukan yang bertindak sebagai Saehu Pameget
yang didampingi Saehu istri, maka mulailah pentas seni Tarawangsa. Setelah Saehu pameget dan Saehu istri menari, dilanjutkan oleh para tamu undangan dan tokoh masyarakat lainya untuk bersama-sama sampai acara selesai.

Pelaksanaan proses membuat laksa bisa berhari-hari dan setiap harinya selalu diiringi dengan alunan seni Tarawangsa. Setelah selesai prosesi pembukaan esok paginya baru dilanjutkan dengan tahap upacara selanjutnya yaitu :
a. Meuseul Bakal
Mesel bakal adalah proses penumbukan padi secara tradisional hingga menjadi beras. Petugas penumbuk padi biasanya ibu-ibu mereka bergantian menumbuk padi dengan menggunakan alat lesung sebagai alasnya dan penumbuknya menggunakan alu, sedangkan untuk memisahkan dedaknya Ditapi (Sunda) dengan nyiru.Kegiatan ini biasanya dilaksanakan dari pagi sampai siang hari tergantung banyaknya gabah yang ditumbuk.
b. Ngibakan/ ngageulisan
Ngibakan adalah proses mencuci beras, beras dimasukan ke dalam wadah biasanya menggunakan boboko kalau berasnya sedikit, apabila berasnya banyak mengunakan said (boboko ukuran besar) atau mengunakan totolono/dingkul, kemudian dibawa ke tempat pemandian kalau dulu ada yang disebut tampian dengan air pancuran yang bersumber dari mata air, kalau sekarang mengunakan air sumur atau air ledeng.
c. Nginebkeun
Beras yang sudah bersih di cuci, kemudian disimpan di tempat pangineban (bale-bale) selama tiga hari tiga malam.Selama diinebkeun beras disirami dengan air daun combrang, maksudnya supaya beras baunya harum.
d. Mesel beas/ Nipung
Adalah proses membuat tepung beras, beras yang sudah diinebkeun kemudian dibawa ke saung lisung untuk ditumbuk sampai lembut
e. Membuat adonan
Tepung beras yang sudah lembut kemudian dicampur dengan bumbu seperti garam dan kelapa tua yang sudah diparut dibuatkan adonan.
f. Membuat orok-orokan
Setelah adonan jadi sebelum dibungkus, terlebih dulu membuat orok- orokan sebanyak 3 buah. Tahap berikutnya adalah membungkus adonan dengan daun congkok yang kemudian digodog dengan kancah sampai matang.
Proses membuat Laksa ini biasanya menghabiskan waktu sampai enam hari. Laksa yang sudah matang dibagikan kepada masyarakat. Dulunya Laksa merupakan makanan untuk bekal diperjalanan/peperangan.

C. PENUTUP
Dalam era globalisasi sekarang ini, pengaruh budaya luar yang negatif, berhembus secara kencang serta menggerus-nilai-nilai yang ada dalam tatanan kehidupan bangsa kita. Apalagi andai benteng-benteng pertahanan mentalitas bangsa sudah rapuh dan atau hilangnya filterisasi terhadap pengaruh negatif asing tersebut, tentu akan dengan mudahnya menyelinap kedalam lorong atau ruang kehidupan, terutama di kalangan generasi muda.
Upacara adat Ngalaksa merupakan suatu kebanggaan bagi masyarakat Sumedang, karena keragaman budaya adalah merupakan bagian dari kebudayaan, yang sarat dengan kandungan kearifan lokal. Nilai tradisi ini adalah merupakan salah satu media yang sangat efektif dalam kerangka pembangunan sebuah bangsa. Mengapa demikian? Karena apabila kita perhatikan, makna dari upacara adat Ngalaksa ini didalamnya terkandung: wujud gotong royong, silaturahmi, persaudaraan, kesatuan dan persatuan, kerja sama, perwujudan rasa syukur kepada yang maha pencipta, sebagai penghormatan kepada para leluhur, serta sebagai ajang untuk saling mengenal satu sama lain.
Upacara adat yang didalamnya mengandung nilai-nilai adi luhung tersebut, tentunya akan sangat memberi warna terhadap berbagai sektor kehidupan, diantaranya akan berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian bangsa, akan berpengaruh terhadap persatuan dan kesatuan bangsa, akan berpengaruh terhadap pembentukan jati diri serta harga diri bangsa, dan akan berpengaruh pula terhadap kualitas kehidupan termasuk perilaku manusia.

Sisingaan: Kesenian Tradisional Kabupaten Subang

Oleh: Drs. Suwardi Alamsyah P. (BPNB BANDUNG)

Makalah dalam kegiatan Penayangan Film dan Diskusi Kebudayaan yang diselenggarakan oleh BPNB Bandung pada tanggal 23 Mei 2015 di Aula SMA Negeri 11 Garut

PENDAHULUAN

Seni tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, seni tidak selalu diwujudkan dalam bentuk seni musik, seni rupa, seni vocal ataupun bentuk-bentuk pengekspresian lainnya, melainkan lebih bersentuhan dengan aspek rasa. Dalam seni terkandung rasa keindahan, yang terkait langsung dengan kebutuhan batiniah. Unsur seni inilah yang jelas membedakan manusia dengan mahluk-mahluk lainnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Rosyadi (2010: 1), bahwa salah satu kelebihan manusia dari jenis-jenis mahluk lainnya di muka bumi ini ialah di samping manusia dikaruniai akal fikiran, manusia juga dikaruniai rasa keindahan.

Dalam konteks kebudayaan, kesenian merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dari kebudayaan manusia. Bakan, dalam pandangan sempit, tidak jarang orang mengartikan dan mengidentikkan kebudayaan sebagai kesenian. Kesenian dalam konteks kebudayaan merupakan ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri. Ia menciptakan, memberi peluang untuk bergerak, memelihara, menularkan, mengembangkan untuk kemudian menciptakan kebudayaan baru lagi (Koentjaraningrat, 1981/1982). Berkesenian adalah salah satu kebutuhan hidup manusia dalam bentuk pemenuhan kebutuhan akan rasa keindahan.

Dalam konteks kemasyarakatan, jenis-jenis kesenian tertentu memiliki kelompok-kelompok pendukung tertentu. Demikian pula kesenian bisa mempunyai fungsi yang berbeda di dalam kelompok-kelompok manusia yang berbeda. Perubahan fungsi dan perubahan bentuk pada hasil-hasil karya seni, dengan demikian dapat pula disebabkan oleh dinamika masyarakat. Di sisi lain, tata masyarakat dan perubahannya turut pula menentukan arah perkembangan kesenian.

Era modernisasi dan globalisasi membawa dua sisi dampak bagi keberadaan kesenian-kesenian tradisional. Di satu sisi, modernisasi dan kemajuan iptek membawa dampak negatif bagi keberadaan kesenian tradisional. Berbagai jenis kesenian tradisional yang pada masanya dulu sempat “berjaya”, seiring dengan semakin derasnya arus kebudayaan dan kesenian asing, eksistensi kesenian tradisional pun terancam. Ia mulai terpinggirkan dan tersisihkan oleh kesenian-kesenian baru yang belum tentu sesuai dengan nafas budaya bangsa kita. Tidak jarang pula terjadi proses “pendangkalan” terhadap kesenian-kesenian tradisional. Padahal sesungguhnya ekspresi kesenian yang merupakan bagian integral dari kesenian itu sendiri telah sering kali membanggakan kita ketika bangsa lain di dunia mengaguminya.

Kondisi ini banyak dialami oleh kesenian-kesenian tradisional, sehingga tidak jarang kesenian-kesenian tradisional, khususnya yang ada di daerah-daerah kini tengah mengalami krisis, bahkan ada beberapa di antaranya yang sudah mulai punah. Yang berkembang dan banyak diminati oleh masyareakat adalah justru kesenian-kesenian yang telah mengalami “proses pendangkalan”, dan mengikuti selera pasar.

Kondisi semacam ini dialami juga oleh beberapa jenis kesenian tradisional Sunda yang ada di Kabupaten Subang. Beberapa jenis kesenian tradisional Sunda kini tengah ada dalam kondisi kritis, sementara tidak sedikit pula yang bahkan telah punah. Namun ada juga beberapa jenis kesenian tradisional Sunda yang hingga kini tetap bertahan. Keberadaan kesenian-kesenian tradisional Sunda di Kabupaten Subang ini, tidak lepas dari peranserta para senimannya yang menaruh perhatian penuh terhadap keberadaan kesenian tradisional.

DESKRIPSI KESENIAN SISINGAAN

Penamaan

Sisingaan adalah nama sebuah jenis kesenian tradisional yang lahir dan berkembang di daerah Kabupaten Subang. Kesenian Sisingaan ini pun telah menjadi icon Kabupaten Subang, serta telah mengangkat dan mengharumkan nama Kabupaten Subang, bukan hanya di dalam negeri, melainkan juga telah dikenal di dunia internasional.

Penamaan kesenian Sisingaan diambil dari alat utama kesenian ini, yaitu “sisingaan”, suatu benda yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai wujud seekor singa. Kata “sisingaan” itu sendiri adalah kata jadian dalam bahasa Sunda yang kata dasarnya adalah “singa”, kemudian diberi imbuhan berupa awalan “si” dan akhiran “an”. Dalam bahasa Sunda, kata jadian yang dibentuk oleh pengulangan suku kata awal dari suatu kata dasar dan diberi akhiran ”an” mempunyai arti menyerupai. Contohnya: “me-meja-an”, “bu-buku-an”, “a-anjing-an”, “ma-manuk-an”, “ku-kuda-an”, “si-singa-an”, yang artinya tiruan dari kata dasarnya atau bukan yang sebenarnya. Jadi dalam kesenian Sisingaan, alat utamanya bukan singa yang sesungguhnya, melainkan singa tiruan yang terbuat dari kayu.

Banyak penamaan atau sebutan yang diberikan pada kesenian ini; ada yang menyebutnya kesenian Gotong Singa, Kuda Ungkleuk, atau Singa Ungkleuk, Odong-odong, Singa Depok, Pergosi, dan Sisingaan. Nama-nama tersebut memang merujuk pada unsur-unsur yang menonjol dari penampilan kesenian tersebut. Karena penamaan atau istilah yang ditujukan pada kesenian ini masih simpang siur, Bupati Subang yang pada masa itu dijabat oleh Ir.Sukanda Kartasasmita (1978-1988), menginstruksikan agar diadakan seminar yang salah satu tujuannya adalah untuk mencari kesepakatan dan pembakuan nama kesenian ini. Berdasarkan hasil seminar yang diselenggarakan pada tahun 1989 di kota Subang, maka ditetapkanlah nama seni pertunjukan ini adalah Kesenian Sisingaan.

Asal-usul Kesenian Sisingaan

Perihal asal-usul Kesenian Sisingaan, ada beberapa pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa lahirnya kesenian Sisingaan terkait erat dengan situasi sosial politik pada masa kolonial, yaitu ketika wilayah Subang dijajah dan diduduki oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan selanjutnya ketika wilayah Subang menjadi daerah perkebunan yang dikuasai secara bergantian oleh para penguasa tuan tanah berbangsa Belanda dan Inggris.

Edih AS – seorang pakar kesenian Sisingaan – sampai pada kesimpulan bahwa kesenian sisingaan ini mulai berdiri pada tahun 1857 dan pendirinya adalah Demang Mas Tanudireja. Pendapatnya ini didasarkan pada penelaahan berdirinya Kademangan Ciherang (kira-kira 5 Km dari Kota Subang), di mana Ciherang oleh beberapa ahli kesenian ini dianggap sebagai asal daerah kesenian Sisingaan.

Sebelum tahun 1860 Ciherang telah berdiri sebagai sebuah kademangan. Demangnya adalah Mas Tanudireja yang diangkat dengan besluit tahun 1857. Bahan lainnya yang dijadikan dasar pengambilan kesimpulan oleh pakar ini adalah hasil penelitian yang telah dilakukannya dari tahun 1981 sampai dengan tahun 1985. Dari hasil penelitian itu diperoleh keterangan mengenai orang-orang atau para pejabat setempat yang pernah menggelarkan kesenian ini, serta keterangan mengenai waktunya sebagai berikut:

Pada tahun 1910 Lurah Sayung yang terpilih sebagai lurah yang ketiga di Desa Cigadung, diarak keliling desa menunggang sisingaan dengan perangkat keseniannya sebagai luapan rasa kegembiraan masyarakat dan dirinya sendiri atas terpilihnya sebagai lurah.
Tahun 1920, Patih Oman, pensiunan Pemda Kabupaten Subang mengakui bahwa pada masa kanak-kanaknya ia dikhitan dan diarak keliling kampung dengan menunggang sisingan.
Tahun 1927, O.Suparno Pensiunan Kantor Veteran Kabupaten Subang mengakui pula bahwa pada waktu dikhitan ia diarak keliling kampung dengan kesenian sisingaan.
Dari sumber-sumber itulah pakar tersebut sampai pada kesimpulan bahwa kesenian Sisingaan sudah ada sebelum tahun 1910; dan dari telaahan sejarahnya mengenai Kademangan Ciherang dan diangkatnya Demang Mas Tanudireja (1857), ia menyatakan bahwa kesenian ini mulai ada pada tahun 1857, dan penciptanya adalah Demang Mas Tanudireja.

Pendapat kedua, mencoba menelusuri asal-usul lahirnya kesenian Sisingaan melalui rekonstruksi sejarah penguasaan daerah Subang oleh pihak swasta asing (Inggris dan Belanda) dengan menggambarkan situasi-situasi yang berlangsung pada setiap periode. Armin Asdi dalam sebuah makalahnya yang berjudul “Seni Sisingaan dan Perkembangannya”, mengelompokkan masa perkebunan itu menjadi 3 periode, yaitu:

Tahun 1812 – 1839 daerah Subang (P and T Land) dikuasai oleh orang Inggris.
Tahun 1840 – 1911 daerah Subang dikuasai oleh orang Belanda.
Tahun 1911 – 1954 daerah ini dikuasai lagi oleh orang Inggris.
Pada periode pertama, daerah Subang dikuasai oleh orang-orang Inggris yaitu J.Sharpnell dan Muntinghe yang kemudian Mutinghe menjual tanahnya kepada J.Sharpnell dan Skelton. Ketika itu perkebunan P and T Land belum begitu berarti. Daerah pantainya berawa-rawa, datarannya dipenuhi semak-semak dan daerah gunungnya merupakan hutan belantara. Daerah ini ketika itu tidak dikelola secara sungguh-sungguh. Penghasilan tuan tanah hanyalah dari pajak bumi penduduk yang masih sangat jarang. Dengan kondisi yang seperti itu kecil sekali kemungkinannya untuk dapat melahirkan suatu karya seni yang besar dan penuh makna seperti kesenian Sisingaan.

Periode kedua yaitu masa penguasaan pihak swasta Belanda atas perkebunan P and T Land. Semenjak tahun 1840 ketika keluarga Hoffland menjadi pemilik P and T Land, mulailah daerah ini secara ekonomis mempunyai arti. Perkebunan mulai dikelola secara sungguh-sungguh dan menghasilkan komoditi tanaman yang laku keras di pasaran dunia, seperti teh, coklat, karet, kina, dan merica. Suasana kehidupan mulai ramai dan mulai berdatangan orang-orang secara besar-besaran, khususnya dari daerah Kuningan dan Majalengka yang kemudian menetap di daerah Subang. Pada waktu itu kehidupan di daerah ini sudah jauh lebih baik dibanding masa sebelumnya. Keluarga Hoffland menjadi sangat terkenal sebagai orang yang mampu memajukan P and T Land dan sekaligus memperbaiki kehidupan rakyat.

Dalam suasana masyarakat yang demikian mungkin sekali lahir suatu karya seni yang besar. Tetapi kalau dihubungkan dengan zaman pertuanan pada masa itu, kemungkinan besar kreasi seni yang lahir cenderung bersifat kegembiraan, pemujaan, sanjungan bahkan mungkin pengkultusan. Kalaulah kesenian sisingaan lahir pada zaman ini tentunya kesenian ini termasuk seni pujaan, sanjungan terhadap penguasa P and T Land yang dianggap membawa kemakmuran pada waktu itu. Tentunya nuansa kegembiraan yang menonjol sebagai ungkapan terimakasih kepada penguasa. Namun pada kenyataannya kesenian sisingaan ini dipersepsikan oleh banyak kalangan sebagai suatu bentuk kesenian yang mengekspresikan perlawanan dan pemberontakan, serta rasa ketidakpuasan terhadap penguasa (tuan tanah dan pemerintah Hindia Belanda).

Selanjutnya pada periode ketiga, yaitu tahun 1911 – 1954, P and T Land kembali dikuasai oleh orang Inggris. Situasi masyarakat pada waktu itu tengah dibakar oleh semangat perjuangan yang membara yang disalurkan melalui organisasi-organisasi badan perjuangan. Tahun 1911 tumbuh Sarekat Islam, sebuah organisasi perjuangan yang mudah dan dapat diterima di kalangan rakyat jelata yang pada umumnya mempunyai latar belakang Agama Islam dan persamaan nasib dalam penderitaan akibat tekanan penjajah.

Di daerah Subang sendiri yang waktu itu dikuasai oleh pemilik perkebunan P and T Land menjadi daerah yang aman untuk pelarian tokoh-tokoh politik dari daerah lain, karena pihak P and T Land sendiri kurang memperdulikan masalah-masalah politik selama tidak merugikan perusahaan. Pada waktu itu di daerah Subang banyak timbul pergerakan-pergerakan politik bernafaskan nasionalisme yang pada mulanya bergerak secara terselubung dalam bentuk kegiatan-kegiatan ekonomi, sosial dan pendidikan.

Melihat pada sifat kesenian sisingaan yang sarat dengan pesan-pesan perjuangan, maka mungkin saja kesenian ini berkembang pada periode ini. Namun demikian belum juga dapat dipastikan kapan tepatnya kesenian ini lahir. Kemungkinan besar di antara ketiga periode seperti yang diuraikan di atas, pada periode ketiga inilah lahirnya kesenian sisingaan.

Kedua pendapat ini selama ini menjadi pengetahuan umum dari masyarakat luas, yaitu bahwa Kesenian Sisingaan merupakan simbol perlawanan masyarakat Subang terhadap penjajah yang diekspresikan melalui bentuk aktivitas berkesenian.

Pendapat lain mengenai asal-usul kesenian Sisingaan, dipelopori oleh Mas Nanu Munajar, seorang seniman akademisi yang berasal dari daerah Subang. Ia berpendapat bahwa kesenian Sisingaan berawal dari kesenian Odong-odong yang memiliki fungsi dan makna ritual. Lebih jauh Mas Nanu Munajar mengatakan, bahwa jauh sebelum agama-agama besar masuk, masyarakat di daerah Subang telah memiliki tradisi yang berkaitan dengan aktivitas pertanian, yaitu tradisi “Odong-odong”.Tradisi yang dimaksud adalah kepercayaan yang memuja dan mengagungkan padi dan para leluhur serta kekuatan-kekuatan supranatural. Tradisi Odong-odong ini dilangsungkan dengan cara mengarak sesuatu benda yang dibentuk menyerupai binatang tertentu dan diiringi dengan bunyi “surak” (tepuk tangan berirama). Peniruan bentuk binatang ini adalah ekspresi dari kepercayaan totemisme (kepercayaan dan pemuliaan terhadap hewan tertentu). Odong-odong ini biasa dipertunjukan pada konteks ritual, seperti ritual pertanian, dan upacara Ngaruwat Bumi.

Seiring dengan perkembangan zaman, kesenian Odong-odong ini mengalami perkembangan yang kemudian melahirkan bentuk-bentuk seni pertunjukan dan helaran, seperti Kesenian Mamanukan, Kukudaan atau Kuda Semprani (kukudaan yang diberi sayap), dan Sisingaan. Pendapat yang kedua ini mengatakan bahwa penamaan Kesenian Sisingaan itu sendiri batu muncul pada tahun 1989. Ketika itu, Kabupaten Subang diminta untuk mengirimkan misi keseniannya ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII), sementara para seniman Subang belum memiliki nama yang pas untuk menyebut kesenian Odong-odong. Akhirnya, dalam sebuah forum seminar yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Subang pada tahun 1989, ditetapkanlah nama Kesenian Sisingaan sebagai delegasi kesenian dari Kabupaten Subang untuk dipergelarkan di TMII. Semenjak itu, maka lahirlah Kesenian Sisingaan.

Jalannya Pertunjukan

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa kesenian sisingaan dewasa ini tidak hanya dipergelarkan dalam kaitannya dengan upacara khitanan, melainkan juga kaitannya dengan peristiwa-peristiwa upacara resmi yang bersikap lokal maupun nasional. Namun demikian, oleh karena memang pertunjukkan kesenian ini lebih sering dipergelarkan untuk menghibur anak yang akan dikhitan, maka dalam deskripsi ini pun lebih ditekankan pada jalannya pertunjukkan kesenian ini ketika ditampilkan dalam kesempatan upacara khitanan.

Sehari sebelum anak itu diusung di atas sisingaan untuk diarak keliling kampung/desa, ia dilulur dan dimandikan dengan air kembang oleh dukun rias, yaitu perias pengantin sunat. Keesokan harinya barulah anak itu dirias di tempat khusus, yaitu di sebuah bilik yang khusus dibuat untuk itu secara tidak permanen.

Sebelum mulai dirias, anak yang akan dikhitan itu dimandikan terlebih dahulu. Selesai mandi barulah didandani. Pertama-tama adalah merias muka dengan bedak lulur. Kemudian matanya dipoles dengan eye shadow dan bibirnya dipoles dengan lipstik. Untuk memberi kesan “kejantanan”, di atas bibir anak itu diberi kumis dengan pensil alis (menggambarkan tokoh Gatotkaca). Selanjutnya anak itu didandani dengan seperangkat pakaian khusus yang telah disediakan yang meniru pakaian Gatotkaca. Selesai anak yang akan dikhitan didandani, kemudian dukun rias mendandani anak yang akan mendampingi pengantin sunat. Anak itu didandani mengidentifikasi tokoh Arjuna.

Sementara itu rombongan penggotong sisingaan dan penabuh gamelannya sudah siap di halaman rumah atau di pinggir jalan. Setelah pengantin sunat dan pendampingnya selesai didandani, kedua anak itu dinaikkan ke atas sisingaan. Kemudian alat-alat tabuhan mulai dibunyikan membawakan lagu-lagu yang berirama dinamis. Bersamaan dengan bunyi alat tabuhan, para penggotong sisingaan mulai melakukan gerakan-gerakan tarian masal yang dinamis selaras dengan iringan musiknya. Setiap gerakan mereka lakukan secara bersama-sama, kompak, dan serempak. Dalam gerak-gerak tarian banyak terselip gerakan-gerakan pencak silat.

Pembentukan formasi para penari penggotong sisingaan diatur dan dikomando oleh seorang pemimpin. Melalui aba-aba pemimpin, para penggotong sisingaan mulai membuat formasi untuk menggotong sisingaan. Mereka membagi diri dalam 2 kelompok, masing-masing kelompok terdiri atas 4 orang. Sambil tetap melakukan gerak-gerak tarian, masing-masing kelompok mendekati sisingaan yang akan diusungnya. Mereka pun mulai membuat gerakan-gerakan atraktif dan akrobatis sambil mulai mengangkat sisingaan dan meletakkannya di atas pundak. Masing-masing kelompok mengusung sebuah sisingaan yang ditunggangi oleh masing-masing satu orang anak.

Komposisi gerak tarian yang dibawakan agak berbeda bila kesenian ini dipergelarkan dalam suatu pawai (arak-arakan) dalam kaitannya dengan upacara khitanan, dibanding dengan pergelaran di atas panggung. Susunan gerak tari sisingaan yang dipertunjukkan pada waktu mengarak anak sunat adalah: Ketuk Tilu yang terdiri atas gerakan-gerakan kuda-kuda, jurus, ngayun, jurus, minced, dan gurudugan. Gerakan-gerakan ini diiringi tiupan terompet dalam overtur Arang-arang dan gurudugan, lengkap dengan iringan karawitan. Gerakan selanjutnya adalah ancang-ancang dan najong dalam posisi badan berputar. Gerakan ini diiringi irama lagu Gurudugan. Kemudian disusul dengan gerakan-gerakan eway, minced, solor, minced yang diiringi lagu Kangsreng. Babak selanjutnya adalah atraksi akrobatik yang dilakukan di sepanjang jalan dengan iringan musik dalam irama yang dinamis.

Adapun komposisi gerak tari dan lagu kesenian sisingaan yang dipergelarkan di atas panggung adalah Overture Arang-arang yang dialunkan melalui tiupan terompet dan Gurudugan. Selanjutnya adalah lagu Kidung mengiringi gerakan-gerakan: kuda-kuda masang, ngayun, jeblagan. Kemudian lagu Kangsreng mengiringi gerakan-gerakan: eway, minced, solor, minced. Disusul dengan lagu Gondang mengiringi gerakan: bankaret, gebrig, bajing luncat, masang/ancang-ancang, depok. Kemudian lagu Kesenian Sisingaan mengiringi gerak tari Jaipongan. Atraksi selanjutnya adalah atraksi akrobatik dalam gerakan-gerakan putar katak, gendong singa, kait suku, melak cau, dan nincak acak.

PENUTUP

Simpulan

Kabupaten Subang merupakan salah satu daerah lumbung seni di wilayah Tatar Sunda. Hampir semua jenis kesenian Sunda hidup dan berkembang di daerah Subang. Salah satu jenis kesenian Sunda yang sangat melekat dengan daerah Subang adalah kesenian Sisingaan. Kesenian Sisingaan ini telah menjadi icon Kabupaten Subang, serta telah mengangkat dan mengharumkan nama Kabupaten Subang, bukan hanya di dalam negeri, melainkan juga telah dikenal di dunia internasional.
Perihal asal usul kesenian sisingaan terdapat perbedaan pendapat di antara para akhli. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa kesenian sisingaan lahir sebagai simbol perlawanan masyarakat Subang terhadap penguasa perkebunan (P & T Lands), yang secara bergantian dikuasai oleh orang Belanda dan Inggris. Dalam hal ini, sisingaan merupakan simbol penguasa Belanda dan Inggris, sedangkan anak sunat adalah simbol masyarakat Subang yang sedang menundukkan penguasa asing. Pendapat kedua mengatakan bahwa kesenian Sisingaan pada awalnya berkaitan dengan tujuan suci, yaitu untuk upacara bersih desa, kesuburan, dan keselamatan atau tolak bala. Kesenian ini disajikan sebagai bentuk wujud ungkapan syukur masyarakat pada para leluhur, terhindar dari segala macam bahaya, dan syukuran telah dilimpahkan kemakmuran serta kesuburan. Pada setiap upacara, kesenian ini hadir dengan bentuk yang berbeda-beda. Pada awalnya sisingaan bentuknya tidak seperti sekarang ini, wujudnya seperti singa, akan tetapi bentuknya pun berbeda-beda yang menyerupai binatang atau hewan, yaitu berbentuk burung-burungan, seperti burung garuda, elang, gagak, maupun angsa, macan, kuda, dan sebagainya. Kesenian-kesenian yang berbentuk hewan/binatang tersebut oleh masyarakat Kabupaten Subang disebutnya “Odong-odong”. Namun pada perkembangan selanjutnya, bentuk sisingaan yang menjadi berkembang dan hidup di kalangan masyarakat Subang, disajikan untuk upacara hajatan khitanan anak.
Saran-saran

Eksistensi kesenian sisingaan di kalangan masyarakat Subang tidaklah terlalu mengkhawatirkan, karena kesenian ini hingga kini masih tetap hidup dan berkembang serta diminati oleh masyarakat luas. Namun ini tidak berarti bahwa kesenian ini lepas dari perhatian pemerintah ataupun para stakeholder. Upaya-upaya pembinaan, sosialisasi, dan regenerasi tetap harus dilakukan, karena bila tidak, niscaya kesenian ini akan mengalami nasib yang sama dengan beberapa jenis kesenian tradisional yang kini kondisinya sangat mengkhawatirkan.
Adanya perbedaan pendapat mengenai asal-usul kesenian sisingaan perlu disikapi dengan arif. Apa pun pendapat masyarakat atau seniman mengenai asal usul kesenian ini adalah syah-syah saja, karena memang hingga kini belum ada bukti-bukti otentik dan empiris mengenai asal-usul kesenian ini. Adanya perbedaan pendapat ini perlu ditindaklanjuti dengan kegiatan kajian yang mendalam mengenai sejarah asal usul kesenian sisingaan yang didukung dengan data-data yang sahih dan otentik.
Perlu upaya-upaya untuk lebih mengangkat lagi popularitas kesenian sisingaan ke tingkat nasional, bahkan didaftarkan ke UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda milik bangsa Indonesia.

Popular Posts