WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

5 Destinasi Wisata Lampung yang Memesona

Lampung merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki potensi wisata alam hingga budaya. Di samping itu, terdapat pula wisata buatan yang tak kalah mengasyikan untuk dijajal. Provinsi Lampung terbilang strategis bagi kunjungan wisata. Berbagai objek wisata, mulai dari pegunungan, hutan, sungai, air terjun, mudah dijangkau dari pusat Kota Lampung.Meneruskan jurnal "Potensi Wisata di Lampung dan Pengembangannya" oleh Ani Rostiyati, Bandar Lampung merupakan penyatuan dari dua kota, yakni Telukbetung dan Tanjung Karang. Pada 1984, Kota Teluk Betung dan Tanjung Karang digabung menjadi satu kesatuan wilayah kota di Bandar Lampung. Selanjutnya, Kota Tanjung Karang dan Teluk Betung berubah menjadi Kotamadya TK. II Tanjung Karang-Teluk Betung dan sekaligus menjadi Ibukota Provinsi Lampung.

Wisata Lampung
Di Lampung, terdapat tujuh wisata unggulan yang sering dikunjungi para wisatawan, yakni krakatau, Bandar Lampung, Laut Kiluan, Bukit Barisan Selatan, Tanjung Setra, Way Kambas, dan Menara Siger

Sementara itu, di pusat ibu kota Lampung terdapat potensi wisata unggulan seperti museum yang terletak di tengah kota, sentra kerajinan tapis, sentra penjualan kuliner keripik pisang, dan berbagai sanggar seni. Adapun pantai, laut, rumah tradisioal, danau, alam pegunungan, biasanya terletak jauh dari ibu kota Lampung dan merupakan wisata non unggulan.

Wisata Buatan di Lampung
Di samping jajaran wisata alamnya, Lampung menyuguhkan sejumlah wisata buatan yang layak untuk dikunjungi. Mengutip Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Pemerintah Provinsi Lampung, berikut 5 wisata buatan Lampung.

1. Penangkaran Rusa Tahura Wan Abdul Rachman
Penangkaran rusa ini berada di Desa Sumber Agung Kecamatan Kemiling. Dari arah Kemiling dapat dijangkau dengan jarak yang cukup dekat dengan kondisi jalan yang baik. Lokasi penangkaran berada sekitar 1 km sebelum Taman Kupu-Kupu.

Di penangkaran ini wisatawan diajak bercengkerama dan memberi pakan yang telah disediakan untuk rusa-rusa di tempat penangkaran. Lokasi penangkaran dilengkapi dengan taman, arena bermain anak, kantin, musala dan berbagai spot menarik untuk berswafoto.

Tempat wisata penangkaran rusa ini buka setiap hari dengan tarif tiket masuk yang cukup terjangkau, yakni Rp 3.000 dan Rp 2.000 untuk parkir kendaraan roda dua Rp 4.000 untuk kendaraan roda empat.

2. Taman Kupu Kupu Gita Persada
Taman Kupu-kupu Gita persada Bandar Lampung, terletak di kaki Gunung Betung Kemiling Bandar Lampung atau sekitar 30 menit dari pusat kota dan sekitar 1 km dari Bumi Kedaton arah Kemiling.

Hanya dengan Rp 10.000, pegunjung sudah bisa menikmati alam sejuk taman sekaligus menemukan berbagai jenis kupu- kupu dan mengamati perkembangan metamorfosis dari mulai telur, ulat, kepompong dan akhirnya menjadi kupu-kupu yang berwarna-warni.

Taman yang telah berdiri selama lebih dari 20 tahun ini kini telah memiliki lebih dari 140 jenis kupu-kupu Sumatra, termasuk Attacus atlas.

Terdapat beberapa fasilitas wisata yang tersedia di taman ini, yaitu sangkar kupu-kupu, rumah pohon, children's playground, museum, kafetaria, dan toilet. Taman Kupu-Kupu Gita Persada beroperasi pukul 8 pagi hingga 5 sore.

3. Lembah Hijau
Tempat wisata yang terletak di Bandar Lampung ini berdiri di atas kawasan lembah seluas 30 hektare. Taman ini memadukan antara wisata rekreasi dan edukasi.

Lembah Hijau menyediakan berbagai wahana rekreasi keluarga menarik, mulai dari yang bernuansa hiburan, ilmu pengetahuan alam hingga petualangan.

Saat ini, Lembah Hijau memiliki kebun binatang dengan pengelolaan yang terbaik di Sumatra. Di sini, Gajah Sumatra dari Way Kambas siap menyambut pengunjung dengan atraksinya. Selain itu, pengunjung bisa berkeliling taman wisata serta arena panggung hiburan yang menampilkan satwa-satwa pintar seperti orang utan, burung dan berang-berang.

Di sini, tersedia beberapa fasilitas wisata berupa cottages, restoran, meeting room, hiburan keluarga, waterboom, outdoor activity (Outbound Training Center, Outbound Kids & Children Playground, Camping Ground, Paint Ball & Air Soft Guns), Taman Satwa, Wahana Permainan (Mini Train, Carousel, Cinema 4 Dimensi, Boom-Boom Car, Rumah Hantu). Lembah Hijau buka setiap hari pukul 8 pagi – 6 sore.

4. Bumi Kedaton
Tempat wisata buatan di Lampung selanjutnya yakni Bumi Kedaton. Destinasi wisata yang satu ini merupakan taman satwa dan wisata yang menyediakan cottage dan aneka permainan rekreasi yang terletak di Kampung Batu Putuk, Telukbetung, Bandar Lampung atau sekitar 20 menit dari pusat kota. Bumi Kedaton dilengkapi dengan berbagai fasilitas wisata, di antaranya rumah khas Lampung, area kamping di bagian utara dari sungai yang mengalir dari lereng Gunung Betung, cottage, water park, jalur jogging. Di samping itu, terdapat koleksi tumbuhan dan hewan langka secara bertahap dengan tujuan memperkenalkan kekayaan fauna yang ada di penjuru Nusantara, khususnya Sumatra. Di tempat ini, tersedia Siger Cafe, yakni sebuah restoran yang terletak di daerah perbukitan dengan pemandangan yang indah di atas bukit berpadu suara gemericik air. Restoran ini menyediakan menu-menu yang akan membangkitkan selera, seperti ikan mas panggang, ayam panggang, dan makanan khas Lampung.

5. Gua Maria Padang Bulan Terletak di Pringsewu Lampung, arah barat kota Bandar Lampung atau sekitar 3 km dari Pringsewu arah Kabupaten Tanggamus, tempat ini sering dijuluki sebagai Lourdes van Lampung. Lourdes di Perancis adalah destinasi wisata ziarah umat katolik paling terkenal di dunia. Tempat ziarah Gua Maria Lourdes diyakini umat katolik merupakan petilasan penampakan bunda Maria. Berdasarkan sejarah yang ditulis oleh Uskup Tanjung Karang, Mgr Andreas Henrisoesanta, lokasi tempat Gua Maria didirikan dulunya adalah tempat para imam dan masyarakat sekitar bersembunyi pada masa penjajahan Jepang. Gua ini jadi lokasi para gerilyawan menyusun siasat untuk melawan penjajah. Lokasinya yang berada di lembah perbukitan, di tengah hutan kecil, dan di tepi sebuah sungai yang jauh dari suara bising perkotaan, ditambah suara hewan-hewan kecil dan gemericik air menjadikan Gua Maria sebagai tempat yang pas bagi peziarah yang berniat mencari ketenangan batin di dalam doa.

Sumber: https://katadata.co.id/safrezi/berita/6194d0778884a/5-destinasi-wisata-lampung-yang-memesona

Melestarikan Tradisi Karuhan di Kampung Naga Tasikmalaya, Dua Bukit Jadi Sumber Kehidupan

Para leluhur dari Kampung Naga di Tasikmalaya meninggalkan jejak tradisi baik kepada keturunan mereka agar tetap menjaga kelestarian alam di kampung berpenduduk 100 kepala keluarga itu. Pemukiman yang ada di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat memiliki nama unik yakni Kampung Naga. Dari pusat kota Tasikmalaya dapat ditempuh melalui jalur darat sekitar 30 kilometer menuju barat atau lebih dekat melalui Kota Garut, sekitar 26 km menuju timur.

Dari Bandung, ibu kota Provinsi Jawa Barat, Kampung Naga dapat dicapai setelah menempuh perjalanan sejauh 106 km selama 2,5 jam. Kampung berpenduduk 100 kepala keluarga ini berada di kilometer ke-30 dari jalan raya Tasikmalaya-Bandung lewat Garut. Sebuah jalan selebar dua meter sepanjang 500 meter menjadi penghubung jalan raya yang ramai dengan pintu masuk Kampung Naga.

Jangan harap bakal bertemu naga saat ke kampung yang berada pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut ini. Hewan dalam mitologi masyarakat Tiongkok itu justru tidak dikenal masyarakat di kawasan berudara sejuk bersuhu 20-23 derajat Celcius tersebut. Naga justru berasal dari penggalan kata dalam bahasa Sunda, nagawir, artinya kampung di bawah tebing terjal. Sesuai namanya, untuk menuju Kampung Naga kita harus menuruni 439 sangked atau anak tangga yang sudah disemen.

Kemiringan anak-anak tangga sekitar 45 derajat, sedikit berkelok mengikuti kontur lahan. Saat keluar dari sini pun, kita mesti melewati ratusan sangked tadi. Hitungan tiap orang akan anak tangga ini tidak pernah sama. Sebagian bilang 350, tetapi ada juga menyebut jumlahnya 400 anak tangga. Butuh waktu sekitar 15 menit untuk menapaki anak-anak tangga itu. Ujung anak tangga langsung tersambung jalan setapak bersemen setinggi 1,5 meter menyusuri tepian Sungai Ciwulan beraliran deras di sisi kanan kita. Sungai itu berhulu dari Gunung Cikuray (2.821 meter), gunung tertinggi keempat di Jawa Barat.

Di kiri jalan setapak yang lebarnya cukup untuk tiga orang berjalan bersisian ini, sebuah tanda kehidupan pun mulai tampak. Ada beberapa balong (kolam) dihuni aneka jenis ikan seperti mas, nila, gurame, mujair, dan lele. Di tepian balong terdapat saung serbaguna, bisa untuk mencuci pakaian atau tempat menumbuk padi (lisung) hasil panen. Masih di sisi kiri jalan setapak, kita akan menyaksikan suguhan alam, yaitu hamparan persawahan seluas 5 hektare bak permadani hijau kekuningan. Sebuah papan kayu berukuran besar bertuliskan "Selamat Datang di Kampung Naga" langsung menyita perhatian begitu kaki mulai menapaki langkah menuju permukiman warga.

Di lahan yang sedikit menanjak, berdiri kokoh rumah-rumah warga dengan rupa seragam: rumah panggung kayu berpondasi batu-batu, dinding anyaman bambu berlabur kapur putih. Serta berlantai papan kayu, atap segitiga dari ijuk hitam pekat membentuk julang ngapak atau sayap burung sedang mengepak. Jumlah bangunan Kampung Naga ada sekitar 110 unit, 108 di antaranya dihuni. Bangunan-bangunan tadi berdiri di atas lahan seluas total 1,5 ha dan tidak berubah jumlah serta bentuknya sejak kampung ini berdiri. Rumah-rumah di Kampung Naga tertata rapi dengan pola memanjang dari timur ke barat atau sebaliknya, dengan pekarangan yang selalu terjaga kebersihannya.

Peneliti budaya Sunda, Nandang Rusnandar mengatakan arah rumah seperti itu dipilih sejalan dengan alurnya matahari, terbit di timur dan terbenam di barat. Barisan rumah menghadap utara atau selatan dengan dua pintu masuk, sebelah selatan serta utara ditambah jendela-jendela. Para pemiliknya seolah tak ingin saling menonjolkan diri dan membiarkan aset mereka terbangun seragam. Sungguh bersahaja. Masih ada tiga bangunan lainnya di luar rumah-rumah warga, seperti masjid, Bumi Ageung, dan Bale Patemon dengan fungsi berbeda.

Masjid menjadi rumah ibadah satu-satunya di kampung berpenduduk Islam, agama yang sudah mereka anut sejak awal tempat ini berdiri. Bumi Agueng menjadi tempat sakral masyarakat setempat menyimpan benda-benda pusaka adat, dan Bale Patemon merupakan semacam balai pertemuan warga. Bangunan di kampung ini usianya belum mencapai ratusan tahun. Tetua adat Kampung Naga, Ucu Suherlan berkisah kalau daerah tempatnya tinggal ini pernah dibakar oleh organisasi DI/TII pimpinan Kartosuwiryo pada 1956 silam. Pembakaran terjadi karena seluruh warga kampung menentang kehadiran DI/TII. Peristiwa itu ikut mengubur arisp-arsip sejarah yang disimpan para leluhur atau karuhun Kampung Naga di dalam Bumi Ageung.

Hingga kemudian di antara mereka, kata Ucu, muncul istilah pareum obor atau obor mati. Musnahnya berkas-berkas sejarah kampung adat ini membuat kisah asal mula kampung menjadi pudar, tidak ada titik terang mirip padamnya obor. Tak ada kejelasan sejarah, kapan, dan siapa pendiri serta apa yang melatarbelakangi terbentuknya kampung dengan adat istiadat yang masih dipegang teguh hingga sekarang. Terlepas dari itu semua, Ucu mengatakan kalau ia dan seluruh warga masih tetap memegang teguh ajaran-ajaran para karuhun.

Misalnya saja, sejak awal para penduduk sepakat untuk hidup tanpa listrik. Ucu beralasan keberadaan listrik dapat berdampak tidak baik bagi kehidupan mereka. Alhasil, kendati tanpa listrik, mereka tetap bisa menikmati tontonan televisi atau siaran radio berbekal aki yang disambungkan dengan kabel. Kala malam, kampung ini lumayan temaram. Demikian pula dengan hasil panen padi di Kampung Naga. Kendati berlimpah, mereka jarang menjual hasil panen kepada pihak lain dan diprioritaskan untuk memenuhi pangan warga selama setahun.

Di kampung tersebut musim tanam berlangsung dua kali dalam setahun. Hasil panen akan mereka simpan di leuit atau lumbung, tepat di belakang rumah warga. Demikian juga dengan pengelolaan lahan hutan di Bukit Naga dan Bukit Biuk, dua bukit hijau lestari yang memeluk hangat kampung berkontur cekungan mangkuk ini. Kedua bukit atau leweung dalam bahasa setempat dikeramatkan oleh warga sejak era kolot baheula (nenek moyang) karena dianggap sebagai sumber kehidupan. Bukit-bukit ini merupakan penampung air alami serta menjadi sumber pengairan selain aliran Sungai Ciwulan.

APemandangan barisan air menetes dari sela-sela akar pepohonan rindang di lereng bukit merupakan hal biasa untuk penduduk kampung. Air-air dari mata air perbukitan itu kemudian mengalir pelan menuju balong warga. Warga juga tidak boleh sembarangan menebang atau memetik tanaman di sekitar kampung serta leweung. Para karuhun Kampung Naga memiliki pepatah, lojor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung). Artinya dengan menjaga dan melestarikan alam, maka hidup akan berlangsung lebih alami.

Sumber: https://regional.kompas.com/read/2021/09/26/060700578/melestarikan-tradisi-karuhan-di-kampung-naga-tasikmalaya-dua-bukit-jadi?page=all

Mempertahankan Tradisi Karuhun di Kampung Naga

Daerah satu ini punya nama cukup unik, Kampung Naga. Letaknya di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Dari pusat kota Tasikmalaya dapat ditempuh melalui jalur darat sekitar 30 kilometer menuju barat atau lebih dekat melalui Kota Garut, sekitar 26 km menuju timur. Lamanya perjalanan sekitar satu jam. Dari Bandung, ibu kota Provinsi Jawa Barat, Kampung Naga dapat dicapai setelah menempuh perjalanan sejauh 106 km selama 2,5 jam.

Kampung berpenduduk 100 kepala keluarga ini berada di kilometer ke-30 dari jalan raya Tasikmalaya-Bandung lewat Garut. Sebuah jalan selebar dua meter sepanjang 500 meter menjadi penghubung jalan raya yang ramai dengan pintu masuk Kampung Naga. Jangan harap bakal bertemu naga saat ke kampung yang berada pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut ini.

Hewan dalam mitologi masyarakat Tiongkok itu justru tidak dikenal masyarakat di kawasan berudara sejuk bersuhu 20-23 derajat Celcius tersebut. Naga justru berasal dari penggalan kata dalam bahasa Sunda, nagawir, artinya kampung di bawah tebing terjal. Sesuai namanya, untuk menuju Kampung Naga kita harus menuruni 439 sangked atau anak tangga yang sudah disemen. Kemiringan anak-anak tangga sekitar 45 derajat, sedikit berkelok mengikuti kontur lahan. Saat keluar dari sini pun, kita mesti melewati ratusan sangked tadi.

Hitungan tiap orang akan anak tangga ini tidak pernah sama, sebagian bilang 350, tetapi ada juga menyebut jumlahnya 400 anak tangga. Tetapi hanya satu yang pasti soal anak tangga ini. Karena kaki kita bakal lumayan pegal dan napas pun tersengal-sengal usai 15 menit menapaki anak-anak tangga itu. Ujung anak tangga langsung tersambung jalan setapak bersemen setinggi 1,5 meter menyusuri tepian Sungai Ciwulan beraliran deras di sisi kanan kita. Sungai itu berhulu dari Gunung Cikuray (2.821 meter), gunung tertinggi keempat di Jawa Barat.

Di kiri jalan setapak yang lebarnya cukup untuk tiga orang berjalan bersisian ini, sebuah tanda kehidupan pun mulai tampak. Ada beberapa balong (kolam) dihuni aneka jenis ikan seperti mas, nila, gurame, mujair, dan lele. Di tepian balong terdapat saung serbaguna, bisa untuk mencuci pakaian atau tempat menumbuk padi (lisung) hasil panen. Masih di sisi kiri jalan setapak, kita akan menyaksikan suguhan alam, yaitu hamparan persawahan seluas 5 hektare bak permadani hijau kekuningan. Sebuah papan kayu berukuran besar bertuliskan "Selamat Datang di Kampung Naga" langsung menyita perhatian begitu kaki mulai menapaki langkah menuju permukiman warga.

Di lahan yang sedikit menanjak, berdiri kokoh rumah-rumah warga dengan rupa seragam: rumah panggung kayu berpondasi batu-batu, dinding anyaman bambu berlabur kapur putih, berlantai papan kayu, atap segitiga dari ijuk hitam pekat membentuk julang ngapak atau sayap burung sedang mengepak. Jumlah bangunan Kampung Naga ada sekitar 110 unit, 108 di antaranya dihuni. Bangunan-bangunan tadi berdiri di atas lahan seluas total 1,5 ha dan tidak berubah jumlah serta bentuknya, selalu seperti itu sejak kampung ini berdiri.

Rumah-rumah tadi tertata rapi dengan pola memanjang dari timur ke barat atau sebaliknya, dengan pekarangan yang selalu terjaga kebersihannya. Arah rumah seperti itu dipilih sejalan dengan alurnya matahari, terbit di timur dan terbenam di barat, kata peneliti budaya Sunda, Nandang Rusnandar. Barisan rumah menghadap utara atau selatan dengan dua pintu masuk, sebelah selatan serta utara ditambah jendela-jendela. Para pemiliknya seolah tak ingin saling menonjolkan diri dan membiarkan aset mereka terbangun seragam, sungguh bersahaja.

Masih ada tiga bangunan lainnya di luar rumah-rumah warga, seperti masjid, Bumi Ageung, dan Bale Patemon dengan fungsi berbeda. Masjid menjadi rumah ibadah satu-satunya di kampung berpenduduk Islam, agama yang sudah mereka anut sejak awal tempat ini berdiri. Bumi Agueng menjadi tempat sakral masyarakat setempat menyimpan benda-benda pusaka adat, dan Bale Patemon merupakan semacam balai pertemuan warga.

Bangunan di kampung ini usianya belum mencapai ratusan tahun. Tetua adat Kampung Naga, Ucu Suherlan berkisah kalau daerah tempatnya tinggal ini pernah dibakar oleh organisasi DI/TII pimpinan Kartosuwiryo pada 1956 silam. Ini karena seluruh warga kampung menentang kehadiran DI/TII. Peristiwa itu ikut mengubur arisp-arsip sejarah yang disimpan para leluhur atau karuhun Kampung Naga di dalam Bumi Ageung.

Tradisi Karuhun
Hingga kemudian di antara mereka, kata Ucu, muncul istilah pareum obor atau obor mati. Musnahnya berkas-berkas sejarah kampung adat ini membuat kisah asal mula kampung menjadi pudar, tidak ada titik terang mirip padamnya obor. Tak ada kejelasan sejarah, kapan, dan siapa pendiri serta apa yang melatarbelakangi terbentuknya kampung dengan adat istiadat yang masih dipegang teguh hingga sekarang.

Terlepas dari itu semua, Ucu mengatakan kalau ia dan seluruh warga masih tetap memegang teguh ajaran-ajaran para karuhun. Misalnya saja, sejak awal para penduduk sepakat untuk hidup tanpa listrik. Ucu beralasan keberadaan listrik dapat berdampak tidak baik bagi kehidupan mereka. Alhasil, kendati tanpa listrik, mereka tetap bisa menikmati tontonan televisi atau siaran radio berbekal aki yang disambungkan dengan kabel. Kala malam, kampung ini lumayan temaram.

Demikian pula dengan hasil panen padi di Kampung Naga. Kendati berlimpah, mereka jarang menjual hasil panen kepada pihak lain dan diprioritaskan untuk memenuhi pangan warga selama setahun. Asal tahu saja, di sini musim tanam berlangsung dua kali dalam setahun. Hasil panen akan mereka simpan di leuit atau lumbung, tepat di belakang rumah warga.

Demikian juga dengan pengelolaan lahan hutan di Bukit Naga dan Bukit Biuk, dua bukit hijau lestari yang memeluk hangat kampung berkontur cekungan mangkuk ini. Kedua bukit atau leweung dalam bahasa setempat dikeramatkan oleh warga sejak era kolot baheula (nenek moyang) karena dianggap sebagai sumber kehidupan. Bukit-bukit ini merupakan penampung air alami serta menjadi sumber pengairan selain aliran Sungai Ciwulan.

Pemandangan barisan air menetes dari sela-sela akar pepohonan rindang di lereng bukit merupakan hal biasa untuk penduduk kampung. Air-air dari mata air perbukitan itu kemudian mengalir pelan menuju balong warga. Warga juga tidak boleh sembarangan menebang atau memetik tanaman di sekitar kampung serta leweung.

Lojor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung), begitu petuah para karuhun Kampung Naga. Artinya dengan menjaga dan melestarikan alam, maka hidup akan berlangsung lebih alami. Keren ya. (Anton Setiawan)

Sumber: https://indonesia.go.id/kategori/budaya/3242/mempertahankan-tradisi-karuhun-di-kampung-naga

Kesenian Ronggeng di Pangandaran, Berjuang "Ngigelan Jaman"

Secara kebahasaan, Ronggeng berasal dari kata renggana yang berarti perempuan pujaan dalam bahasa Sansekerta. Tak diketahui pasti bagaimana asal mula kesenian Ronggeng di Pangandaran hingga dapat bertahan seperti saat ini.

Namun menurut Gilang Campaka lewat skripsinya berjudul Lagu Kudup Turi dalam Kesenian Ronggeng Gunung di Ciamis Selatan, diperkirakan kesenian ini sudah ada sejak abad VII pada masa Kerajaan Galuh. Tariannya berperan sebagai penghibur tamu kerajaan yang berkunjung.

Dikisahkan pula dalam legenda Dewi Siti Samboja dari Kerajaan Pananjung yang menyamar sebagai penari ronggeng. Karena tewasnya sang suami, Raden Anggelarang, dalam penyamarannya di pegunungan Pangandaran ia mengungkapkan kesedihannya lewat lagu Manangis.

Senandung itu kemudian menjadi bagian dalam pertunjukkan ronggeng dan dianggap sebagai salah satu asal-usulnya.

Tetapi versi lainnya, menurut Ria Andayani lewat bukunya, Ronggeng Gunung: Menggali Seni Tradisi bagi Pengembangan Pariwisata dan Seni Modern di Kabupaten Ciamis, bahwa tarian ini diciptakan oleh Raden Sawung Galing. Raden Sawung Galing sendiri merupakan bala bantuan dari Galuh untuk menyelamatkan Pananjung yang kemudian menjadi raja.

Ketika berkuasa, ia membuat tarian sebagai sarana hiburan resmi bernama Ronggeng Gunung. Seleksi penarinya pun cukup ketat dengan syarat cantik, mampu menari dan menyanyi, serta terpandang.

Kesenian ini juga tercatat di masa penjajahan oleh bangsa Eropa, termasuk Gubernur Jenderal Stamford Thomas Raffles dalam bukunya The History of Java. Ia menulis, Ronggeng merupakan pertunjukkan keliling yang dilakukan oleh perempuan yang berasal dari gunung. Pertunjukannya biasa dilakukan di ruang publik, bahkan di tempat tinggal para bangsawan dan penguasa kolonial.

Pada pementasan Ronggeng Gunung, perempuan memiliki banyak peran, seperti sebagai penari sekaligus penyanyi. Seorang Ronggeng juga berperan sebagai pemimpin sejumlah ritual acara yang melibatkan pementasan ini.

Euis Thresnawaty dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat dalam Raspi, Sang Maestro Ronggeng Gunung (jurnal Panjalu Vol.8 No 2 2016) menulis bahwa untuk menjadi seorang ronggeng tidak memiliki batasan umur.

Tidak mudah bagi setiap perempuan untuk menjadi ronggeng karena memiliki seleksi ketat. Tetapi syarat berparas cantik tak lagi menjadi syarat penting untuk menjadi ronggeng seperti di masa lalu.

Ronggeng identik dengan kepiawaian penari dalam menggoda lawan jenisnya. Syarat itulah yang membuat profesi ronggeng hingga kini jadi langka. Kesulitan utama, menurut Euis, ialah kemampuan berolah vokal yang unik.

“Perempuan muda di Ciulu misalnya, lebih memilih menjadi penyanyi dangdut atau penaynyi organ tunggal daripada menjadi ronggeng,” tulisnya. “Mereka tidak memiliki kesabaran lebih untuk mendapatkan kemampuan menyanyi seperti itu.”
Perkembangan Kesenian Ronggeng Gunung

Ronggeng Gunung yang sebelumnya menjadi ritual untuk kesuburan pertanian, kemudian berkembang seiring waktu. Nina Herlina Lubis dan Undang Ahmad Darsa dari Universitas Padjadjaran menulis, bahwa perkembangan kemudian diadakan

Jika sebelumnya Ronggeng Gunung digunakan dalam ritual khususnya kesuburan pertanian, dalam perkembangannya menjadi seni pertunjukkan sebagai hiburan pasca bertani. Ketika panen usai, Ronggeng Gunung diadakan di malam hari sebagai rasa syukur.

Nina dan Undang lewat Perkembangan Ronggeng Sebagai Seni Tradisi di Kabupaten Pangandaran, mengungkapkan Ronggeng Gunung berkembang menjadi Ronggeng Amen (disebut juga dengan Ronggeng Kidul). Kehadiran Ronggeng Amen lebih populer di kalangan masyarakat Pangandaran kini.

Kepopuleran ini disebabkan karena penonton dapat ikut menari bersama ronggeng dan memberi saweran. Pementasannya pun dapat dicermati lebih meriah karena diiringi dengan gamelan kliningan dan berbagai tembang yang lebih modern.

Ronggeng Amen biasanya terdiri dari lima hingga tujuh ronggeng, dan belasan pemain musik. Penari Ronggeng Amen juga tidak berperan ganda sebagai pesinden.

Dalam hal gerakan, Ronggeng Amen juga tampak lebih bebas berekspresi dan inklusif kepada penonton. Para penonton berikutnya bisa ikut serta dalam tarian jika dikalungi sampur (selendang) dari ronggeng, dan bebas bergerak menari tanpa patokan gerakan.

Mengingat Ronggeng Gunung dan Ronggeng Amen merupakan kebudayaan khas Pangandaran. Pemerintah setempat berupaya untuk melakukan pembinaan terhadap berbagai kelompok seni Ronggeng agar lebih diterima di masa kini.
Pementasa Ronggeng di Saat Pandemi

Di masa pagebluk, Kang Heri dari Balai Pelestarian Cagar Budaya [BPCB] berujar bahwa kegiatan Ronggeng terhenti sementara. Pementasan Ronggeng yang biasanya dipentaskan dalam bentuk wisata kebudayaan di Pondok Seni Kebudayaan dan Pariwisata Pangandaran.

“Kalau tidak pandemi, kegiatannya dilaksanakan di gedung kesenian (merujuk pada Pondok Seni), di jalan Pantai Barat. Biasa diadakan setiap malam minggu dan ramai pengunjung–baik dari dalam maupun luar [Pangandaran].” ujar Heri.

“Tapi bukan berarti mereka mati saat pandemi. Komunitas mereka banyak dan enggak selalu di gedung kesenian [untuk latihan], seperti di Sukaresik dan Babakan.”

Sumber: https://seputarpangandaran.com/kesenian-ronggeng-di-pangandaran-berjuang-ngigelan-jaman/

Lomba

Lawatan

Workshop dan Festival

Bimbingan

Sosialisasi

Koleksi

Publikasi

Dedi Taufik, Angklung Bisa Harus Terus Lakukan Ekspansi ke Seluruh Penjuru Nusantara


Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat Dedi Taufik mengharapkan kesenian Angklung dapat diekspansi ke seluruh penjuru Nusantara. Hal tersebut sesuai dengan Undang-undang Pemajuan Kebudayaan dan komitmen Gubernur Jawa Barat dalam mengembangkan budaya di Jawa Barat.

“Kita perlu lakukan ekspansi karena komitmen Bapak Gubernur terutama dengan pengembangan pusat budaya dan lain sebagainya. Kemudian menjadi concern Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk mengenalkan Angklung ini kalau bisa suaranya itu terdengar dari Sabang sampai Merauke. Kemarin kita coba di Sorong dan Jayapura, anak-anak Papua memainkan angklung di sana,” kata Dedi Taufik dalam sambutannya saat mewakili Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil di acara Angklung Nation ‘Angklung Bihari, Kamari, Kiwari’ yang digelar di Teater Tertutup Dago Tea House, Gedung Taman Budaya Jawa Barat, Selasa 16 November 2021.

Angklung Nation ‘Angklung Bihari, Kamari, Kiwari’ yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI melalui Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat dalam rangka memperingati Hari Angklung Dunia (Angklung Day) setiap tanggal 16 November 2021.

“Sejak angklung diakui UNESCO November 2010 lalu, masyarakat Jawa Barat tidak pernah mengendur dalam menjaga, melestarikan, memanfaatkan dan mengembangkan kesenian Angklung,” ujar Dedi Taufik.

Dikatakan Dedi Taufik, sebagai bentuk tanggungjawab Pemerintah Jawa Barat melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat membentuk Sub-Unit Rumah Angklung. “Sebagai Ruang Publik, Rumah Angklung mewadahi segala bentuk terkait kegiatan kesenian angklung,” ujar Dedi Taufik.

Diharapkan Dedi Taufik, peringatan Hari Angklung Sedunia dijadikan momentum menjadikan Jawa Barat Juara Lahir Bathin dengan kolaborasi dan inovasi dalam membangun Jawa Barat. “Saya menghimbau agar kegiatan seni angklung dapat terus ditingkatkan disemua lapisan masyarakat,” pungkas Dedi Taufik.

Acara diselenggarakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI melalui Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat dalam rangka memperingati Hari Angklung Dunia (Angklung Day) setiap tanggal 16 November 2021.

Acara berupa pertunjukan musik Angklung yang menampilkan maestro dan sanggar-sanggar dari komunitas angklung terpilih sebagai bentuk kepedulian dalam pelestarian dan pengembangan angklung yang ada di wilayah Jawa Barat.

Kegiatan ini turut dimeriahkan oleh Angklung Buhun Awisada, Sanggar Angklung Star Management, Angklung Orchestra Iwung, Angklung SORA, Angklung DJ, Rita Tilla, Ida Rosida Mang Koko, Manshur Angklung, Yadi Mulyadi, Whayan Christiana, Abun Somawijaya, Ferdinan Manasye, dan Snep. (heriyanto)

Sumber: https://portalbandungtimur.pikiran-rakyat.com/budaya/pr-943036875/dedi-taufik-angklung-bisa-harus-terus-lakukan-ekspansi-ke-seluruh-penjuru-nusantara?page=2

Lewat Angklung Nation, BPNB Peringati Hari Angklung se Dunia


Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia melalui Balai Pelestarian Nilai Budaya Provinsi Jawa Barat (BPNB Provinsi Jawa Barat) peringati Hari Angklung Sedunia. Rangkaian acara Angklung Nation bertajuk Bihari, Kamari, Kiwari di gelar di gedung Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat, Selasa 16 November 2021 malam.

”Sudah 11 tahun Angklung dikukuhkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda asli dari Indonesia. Setelah tanggal 16 November 2010, angklung ditetapkan sebagai salah satu ‘Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity’ atau budaya tak benda dari UNESCO,” ujar Kepala BPNB Provinsi Jawa Barat Jumhari.

Tahun ini BNPB Provinsi Jawa Barat menurut Jumhari, mengangkat tema Hari Angklug Seduania, ‘Bihari, Kamari, Kiwari’. Artinya, Angklung Bihari, angklung untuk masa lalu atau silam atau angklung buhun, Angklung Kamari atau angklung kemarin, angklung masa Pa Daeng, dan Angklung Kiwari atau angklung masa sekarang yang merupakan angklung pengembangan atau angklung kreasi.

Pertunjukan Angklung Nation menurut Jumhari, merupakan pertunjukan angklung dengan berbagai genre musik angklung berdasarkan perkembangan sejarah, mulai dari angklung buhun, angklung Pa Daeng, angklung toel, hingga tiba pada angklung kreasi yang terus dinamis mengikuti perkembangan zaman. Pertunjukan ini dikemas semenarik mungkin dengan menghadirkan para musisi profesional dalam musik angklung.

Pertunjukan Angklung Nation diakui Jumhari sebagai ‘pelopor" pertunjukan angklung yang memiliki makna nilai, sejarah, edukatif, entertainment, dan industri. “Hingga dapat dijadikan barometer pertunjukan angklung UNESCO setiap tanggal 16 November setiap tahunnya di Indonesia maupun di Dunia,” ujar Jumhari.

BPNB Provinsi Jawa Barat menurut Jumhari, memiliki tugas dan fungsi untuk melakukan perlindungan, pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan nilai budaya. “Sudah selayaknya terdepan dan berperan penting dalam mewujudkan berbagai bentuk aktivitas pelestarian nilai budaya,” tegas Jumhari.

Pada rangkaian peringatan Hari Angklung Se Dunia 2021 Balai Pelestarian Nilai Budaya Provinsi Jawa Barat mempersembahkan Angklung Nation, ‘Bihari, Kamari, Kiwari’ dengan menampilkan Angklung BPNB Provinsi Jawa Barat, Angklung Buhun Awisada, Sanggar Angklung Star Management, Angklung Orchestra Iwung, Angklung SORA (Sound of Heritrage) dan DJ Angklung. Juga turut tampil, penyanyi Ida Rosida dan Rita Tila serta Manshur Angklung. (heriyanto)

Sumber: https://portalbandungtimur.pikiran-rakyat.com/budaya/pr-943032123/lewat-angklung-nation-bpnb-peringati-hari-angklung-se-dunia

Golok hingga Asinan Betawi Resmi jadi Warisan Budaya Tak Benda

Kementerlan Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menetapkan 6 Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) asal Provinsi DKI Jakarta pada Kamis, 28 Oktober 2021. Penetapan WBTB DKI Jakarta ini hasil kolaborasi Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), dan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat.

Mengutip laman resmi LKB, kebudayaanbetawi.com, Ahad, 7 November 2021, enam warisan budaya tak benda asal DKI Jakarta ini adalah: Tamat Quran Betawi (adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan), Silat Gerak Saka (tradisi lisan dan ekspresi), Panggal Betawi, Sayur Sambal Godok Betawi, Asinan Betawi, dan Golok Betawi (keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional).

WBTB merupakan berbagai praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan berikut instrumen, obyek, artefak dan ruang-ruang budaya yang terkait, yang menunjukkan bahwa masyarakat, kelompok, dan dalam beberapa kasus perorangan merupakan bagian dari warisan budaya tersebut.

WBTB diwariskan dari generasi ke generasi yang secara terus-menerus dihidupkan kembali oleh masyarakat dan kelompok dalam merespons lingkungan di sekitarnya. Di dalamnya ada interaksi mereka dengan alam dan sejarah, dan memberikan rasa identitas yang berkelanjutan, dalam menghargai perbedaan budaya dan kreativitas manusia.

Kemendikbudristek menyebut warisan budaya tak benda bersifat tak dapat dipegang (intangib/e/abstrak), seperti konsep dan teknologi; dan sifatnya dapat berlalu dan hilang seiring waktu dan perkembangan zaman, seperti misalnya bahasa, musik, tari, upacara, serta berbagai perilaku terstruktur lain.

Sumber: https://metro.tempo.co/read/1525838/golok-hingga-asinan-betawi-resmi-jadi-warisan-budaya-tak-benda/full&view=ok

BPNB Jabar Gelar Festival Kesenian Warisan Indonesia, Tampilkan 46 Kesenian dari 6 Daerah di Jabar

Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jabar menggelar festival kesenian 2021. Festival kali ini dikemas dengan konsep dalam jaringan bertema 'Warisan Indonesia'. Ada ratusan seniman dari enam kabupaten di Jabar yang terlibat di festival kesenian ini.

Festival kesenian di tengah pandemi ini jadi upaya BPNB Jabar dalam melestarikan nilai-nilai budaya. BPNB Jabar menggandeng aktor sekaligus traveller, Adhin Abdul Hakim. Tayangan festival ini juga bisa dilihat melalui platform youtube @BPNBJabar.

Kepala BPNB Jabar, Jumhari menerangkan festival yang masuk dalam kegiatan tahunan ini biasa dilaksanakan di satu lokasi dengan menghadirkan seni budaya dari berbagai daerah.

Tetapi, di masa pandemi ini, pihaknya lakukan terobosan baru dengan menggelar pertunjukan di tempat asal seniman dan pekerja budaya.

"Kami tetap ingin tampilkan beragam ekspresi budaya dari seniman dan pekerja budaya dengan konsep yang berbeda sebagai bukti bahwa di masa pandemi, kebudayaan masih tetap berjalan," katanya, di Bandung, Senin (6/9/2021).

Jumhari juga menambahkan program desa pemajuan kebudayaan bekerjasama dengan beberapa pihak. Seperti Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, hingga seniman dan pekerja budaya. Tujuannya, kata dia, membangun desa mandiri lewat peningkatan ketahanan dan kontribusi budaya desa.

"Desa itu akar atau asal identitas budaya Indonesia dan paradigma pembangunan kebudayaan harus dimulai dari unit kebudayaan terkecil, yakni desa," ujarnya.

Kepala Sub Bagian Tata Usaha, BPNB Jabar, Hendra Gunawan mengatakan bahwa program ini dilakukan maraton selama sebulan.

Hendra menyebut perekaman pertunjukan sebanyak 46 kesenian dari enam kabupaten di Jabar. Seperti Kabupaten Pangandaran, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Sukabumi.

"Konsep baru pada gelaran festival kesenian 2021 ini dikemas menarik menjadi tayangan televisi dan youtube. Kami berharapnya dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat," ucapnya.

Hendra juga menilai festival ini tak hanya tampilkan kreasi panggung seniman dan pekerja budaya. Namun mereka memuat 10 objek pemajuan kebudayaan, seperti tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, hingga olahraga tradisional.

"Lewat tayangan kami bisa tampilkan 10 objek pemajuan kebudayaan sekaligus. Misalnya di Desa Sukamulya, Kecamatan Langkaplancar, Kabupaten Pangandaran menampilkan seni Ronggeng Gunung, akulturasi budaya Ebeg, tradisi lisan Kidung, dan pengetahuan tradisional Pindang Gunung," katanya.

Sumber: https://jabar.tribunnews.com/2021/09/06/bpnb-jabar-gelar-festival-kesenian-warisan-indonesia-tampilkan-46-kesenian-dari-6-daerah-di-jabar

Goa Cilalay, Wisata Alam Dari Desa Sukamulya, Pangandaran, Jawa Barat, Indahnya Stalaktit jadi Nilai Tambah

Pangandaran dikenal sebagai tempat wisata yang memiliki pantai eksotis. Namun, di samping keindahan pantainya, ternyata pangandaran juga memiliki surga-surga tersembunyi, salah satunya Goa Cilalay.

Goa alam yang masih perawan ini, terletak di perbatasan Desa Sukamulya dan Desa Cigugur, Langkaplancar Pangandaran, Jawa Barat. Saat pertama datang ke Goa Cilalay, pengunjung akan disuguhi dengan indahnya stalaktit yang berdiri kokoh di atas goa.

Keperawanan desa ini masih terjaga, terbukti dengan airnya yang masih jernih dan biota-biota yang hidup di ekosistem tersebut. Saking jernihnya, ikan-ikan kecil di sana dapat terlihat dari atas permukaan air yang ada di Goa Cilalay.

Aktivitas yang bisa dilakukan di destinasi ini adalah melakukan hiking yang menyenangkan. Karena untuk menuju lokasi kita harus melewati jalan setapak dengan medan berlumpur.

Namun tenang saja, karena di sepanjang perjalanan kita juga akan disuguhkan dengan pemandangan yang eksotis.

Tak hanya itu, di Goa Cilalay juga kamu bisa melakukan body rafting. Pengunjung bisa menelusuri ke dalam goa sepanjang 500 meter dengan body rafting. Harganya pun masih bersahabat, sekitar sepuluh ribu per orang sudah termasuk dipandu oleh penduduk lokal.

Selain bermain air dan menikmati keindahan alam. Traveler juga bisa menikmati jajanan di warung kecil yang di sana.

Selain itu, untuk menjaga kelestarian goa, pengelola telah menyediakan berbagai fasilitas untuk pengunjung seperti mushola, kamar ganti, toilet dan parkiran kendaraan.

Saat ini, wisata Goa Cilalay dikelola oleh masyarakat Penggerak Pariwisata lokal, Karangtaruna Desa Cigugur, dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Sari Alam bekerjasama dengan Perum Perhutani. Goa Cilalay sendiri baru dibuka untuk umum pada 6 Juni 2019.

Sebagai tempat wisata baru, diharapkan pengunjung dapat menjaga kebersihan dan mengikuti peraturan yang berlaku di Goa Cilalay.***

Sumber: https://cianjurpedia.pikiran-rakyat.com/wisata-budaya/pr-1032629214/goa-cilalay-wisata-alam-dari-desa-sukamulya-pangandaran-jawa-barat-indahnya-stalaktit-jadi-nilai-tambah?page=2

BPNB Jabar Gelar Festival Kesenian 2021, Tampilkan Ragam Ekspresi Budaya dari Seniman

Sebagai salahsatu upaya melesterakan nilai-nilai budaya di tengah pandemi Covid-19, Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat, menggelar festival kesenian 2021.

Festifal yang bertajuk 'Warisan Indonesia' dikemas dengan konsep dalam jaringan ini, menampilkan ratusan seniman dari enam kabupaten di Jawa Barat, dimana dalam program ini juga bertujuan untuk mendukung program desa pemajuan kebudayaan.

Selain itu, festival di tengah pandemi ini, tentunya berbeda dengan tahun sebelumnya, dimana, kali ini BNPB Jabar, juga telah menggandeng traveler Adhin Abdul Hakim, sebagai akator dalam kegiatan tersebut, yang mana festival ini juga bisa dilihat melalui platform youtube @BPNBJabar.

Kepala BPNB Jabar, Jumhari menerangkan festival yang masuk dalam kegiatan tahunan ini biasa dilaksanakan di satu lokasi dengan menghadirkan seni budaya dari berbagai daerah.

Tetapi, menurut Jumhari, di masa pandemi ini, pihaknya melakukan terobosan baru dengan menggelar pertunjukan di tempat asal seniman dan pekerja budaya.

"Kami tetap ingin tampilkan beragam ekspresi budaya dari seniman dan pekerja budaya dengan konsep yang berbeda sebagai bukti bahwa di masa pandemi, kebudayaan masih tetap berjalan," katanya, di Bandung, Senin (6/9/2021).

Jumhari juga menambahkan program desa pemajuan kebudayaan bekerjasama dengan beberapa pihak, seperti Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, hingga seniman dan pekerja budaya. Tujuannya, kata dia, membangun desa mandiri lewat peningkatan ketahanan dan kontribusi budaya desa.

"Desa itu akar atau asal identitas budaya Indonesia dan paradigma pembangunan kebudayaan harus dimulai dari unit kebudayaan terkecil, yakni desa," ujarnya.

Kepala Sub Bagian Tata Usaha, BPNB Jabar, Hendra Gunawan mengatakan bahwa program ini dilakukan maraton selama sebulan, dengan melakukan pengambilan perekaman pertunjukan sebanyak 46 kesenian dari enam kabupaten di Jabar.

"Konsep baru pada gelaran festival kesenian 2021 ini dikemas menarik menjadi tayangan televisi dan youtube. Kami berharapnya dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat," ucapnya.

Adapun, enam kabupaten tersebut diantanya seperti Kabupaten Pangandaran, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Sukabumi.

Ia menilai, festival ini tak hanya tampilkan kreasi panggung seniman dan pekerja budaya, tetapi mereka memuat 10 objek pemajuan kebudayaan, seperti tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, hingga olahraga tradisional.

"Lewat tayangan kami bisa tampilkan 10 objek pemajuan kebudayaan sekaligus, misalnya di Desa Sukamulya, Kecamatan Langkaplancar, Kabupaten Pangandaran menampilkan seni Ronggeng Gunung, akulturasi budaya Ebeg, tradisi lisan Kidung, dan pengetahuan tradisional Pindang Gunung," katanya.

Adhin Abdul Hakim yang didaulat menjadi duta budaya dalam program 'Warisan Indonesia' mengaku senang bisa mempelajari, memahami, menyaksikan, dan menelusuri jejak serta nilai-nilai budaya yang ada di setiap lokasi yang dikunjungi.

Dia berharap festival kesenian dengan konsep baru ini bisa menggugah masyarakat khususnya generasi muda senantiasa melestarikan seni dan budaya di tengah gempuran budaya luar dari jejaring digital.

"Mari jaga dan lestarikan nilai budaya. Sebab ini kewajiban bersama. Jangan baru ribut dan ramai ketika sudah diklaim negara lain," katanya. (Yan)

Sumber: https://www.jabarnews.com/daerah/pr-1731247506/bpnb-jabar-gelar-festival-kesenian-2021-tampilkan-ragam-ekspresi-budaya-dari-seniman

22 Karya Budaya Jawa Barat Diusulkan jadi WBTB

Sebanyak 22 karya budaya asal Jawa Barat diusulkan untuk ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) 2021. Usulan tersebut disampaikan Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat pada Sidang WBTB bersama Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi di Hotel Papandayan, Jln. Gatot Subroto, Bandung, Jumat, 29 Oktober 2021.

Pengusulan ini dilakukan setiap tahun secara berjenjang dari kabupaten kota ke provinsi dan terakhir ke nasional.

"Kami sudah melakukan itu sejak dua tahun ini, dengan melakukan penetapan di tingkat provinsi kemudian ke nasional," ungkap Kepala Bidang Kebudayaan, Febyani kepada wartawan, Jumat.

Yang masuk ke provinsi tahun ini lanjut dia sekitar 32 usulan karya budaya. Sedangkan yang diusulkan ke kementerian sebanyak 18 karya budaya.

"Namun tahun lalu ada lima karya budaya yang ditangguhkan, sehingga yang diusulkan 22 dan satu lagi kurang memenuhi syarat seperti yang ditetapkan kementerian," tambahnya.

Menurut Feby, karya budaya yang diusulkan ini sudah melalui kajian tim ahli (WBTB) Jawa Barat. Pasalnya, setiap karya budaya yang diusulkan harus disertai kajian akademis selain kajian lainnya termasuk deskripsi, foto dan video.

"Tahun ini jumlah yang diusulkan sebanyak 22 karya budaya atau naik 100 persen dibanding tahun lalu yang hanya 13 karya budaya," paparnya.

Menurutnya perlu ada kerjasama antara pemerintah daerah, BPNB, tim ahli, dan akademisi. "Pemerintah daerah harus mengalokasikan anggaran untuk WBTB ini karena prosesnya yang panjang," tanbahnya.

Dikatakannya semua karya budaya yang diusulkan memiliki urgensi terancam punah serta memiliki kekhasan dari setiap daerah dan berbeda dengan daerah lainnya.

Selain itu, usulan ini merupakan upaya pemerintah dalm melindungi karya budaya. "Yang paling berat adalah pemanfaatan dan pengembangan. Karena jika tidak dimanfaatkan dan dikembangkan, bukan tidak mungkin 65 karya budaya asal Jawa Barat yang sudah ditetapkan akan dicabut," katanya.

"Ini mengacu pada Unesco yang setiap tahun melakukan evaluasi karya budaya yang sudah ditetapÄ·an sebagai WBTB dunia akan dicabut apabila tidak dimanfaatkan dan dikembangkan," tambahnya.

Dalam sidang usulan penetaoan WBTB itu, sejumlah tim ahli WBTB nasional mengajukan sejumlah pertanyaan, terkait karya budaya yang diusulkan, seperti soal dogdog lojor, angklung gubrag, Pantun Carita Nyai Sumur Bandung dan sebagainya.

Namun secara umum tim ahli dan tim penilai WBTB nasional mengapresiasi tim kajian dan bidang kebudayaan yang mengusulkan 22 karya budaya yang dilengkapi dengan visual, suara dan kajian akademis.

Berikut 22 karya budaya asal Jawa Barat yang diusulkan ke tingkat nasional
- Angklung Bungko (Kab. Cirebon)
- Gong Sibolong /gamelan tradisional (Kota Depok)
- Bangkong Reang, (Kp Cijawura, Lebak Muncang, Ciwidey, Kab Bandung) terancam punah
- Gantangan sosial ekonomi ekpresi (Kab. Subang) kondisi masih bertahan.
- Toleat aat musik tradiai khas Subang (Kab. Subang) suara mirip saxophone.
- Rengkong Kasepuhan Banten Kidul ( Kab. Sukabumi)
- Badeng instrumen angklung (Kec. Malamgbong Kab. Garut)
- Angklung Dogdog Lojor (Kab. Sukabumi)
- Batik Paoman/Dermayonan dikenal juga batik pesisir (Kab. Indramayu)
- Payung Geulis (Kab. Tasikmalaya) awal untuk pergi keladang atau pemakaman.. kini lebih meluas
- Arsitektur Kamoung Pulo (Kampung Adat Cangkuang) Kabupaten Garut
- Tari Cepet (Kab. Sukabumi) upacara ngabungbang di Ciracas Sukabumi
- Merlawu adat istiadat Kampung Adat Kuta, Kab Ciamis. Merlawu asal kata dari Lalawuh
- Upacara Adat Nyuguh (ritus menyiapkan makanan rasa syukur panen hasil bumi) asal Kampung Adat Kuta, Kab. Ciamis
- Jipeng kesenian tradisiomal khas Kasepuhan Ciptagelar sejak 1923. Asal kata dari seni tanji topeng
- Rasi alias beras singkong asal Kampung Coreundeu Kota Cimahi (pengganti beras)
- Palakiah Palean Raga sebuah ritus yang dilakukan Paguran Naga Paksi Kampung Dukuh Citapen KBB sejak 1920, oleh KH Zaenudin.
- Upacara Hajat Arwah sebuah upacara penghormatan leluluhur di Kampung Cibarengkok KBB
- Angklung Gubrag asal Cigudeg Kab. Bogor
- Karinding sebuah waditra bambu yang banyak dimainkan oleh warga Jawa Barat (kondisi banyak digunakan masayarakat luar negeri)
- Carita Pantun Nyai Sumur Bandung (Kota Bandung) sebuah carita Sunda tentang syukuran persalinan, sakit dan menempati rumah baru berkembang di Desa Cimenyan (Kab. Bandung) dan Desa Ujungberung (Kota Bandung)
- Bordik Tasikmalaya, (Kota Tasikmalaya).***

Sumber: https://galamedia.pikiran-rakyat.com/humaniora/pr-352902401/22-karya-budaya-jawa-barat-diusulkan-jadi-wbtb?page=2

Tarling, Musik Khas Indramayu Tentang Ketabahan dalam Penderitaan

Oleh Galih Pranata

"Mang Sakim mulai memainkan gitar dan menguji kesamaan nada dengan musik gamelan Cirebon," tulis Ivan Setiawan. Ia mengisahkan sosok Sakim yang berupaya mewujudkan seni musik anyar di wilayah Indramayu.

Ivan menuliskan kisah Sakim pada Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat, dalam artikelnya berjudul Tarling, Seni Tradisional Pantura, yang dipublikasikan pada tahun 2018. Sakim saat itu diminta oleh seorang Belanda untuk menyetel gitarnya.

"Saat itu, sekitar tahun 1931, di Desa Kepandean, Indramayu, seorang komisaris Hindia-Belanda meminta pada warga sekitar untuk memperbaiki gitarnya," tambahnya. Hal tersebut kemudian dimanfaatkan oleh Sakim untuk mengulik lebih jauh tentang gitar. Wajar saja, tak mudah bagi pribumi mendapat gitar pada zamannya.

"Mang Sakim merupakan ahli gamelan Cirebon. Sampai gitar seorang komisaris Belanda itu berhasil di perbaiki, ia tak juga mengambil gitarnya," lanjut Ivan. Sakim kemudian memiliki waktu lebih banyak lagi dalam mempelajari nada-nada gitar sekaligus membandingkan nada-nada pentatonis gamelan.

Kemudian upaya Sakim dilanjutkan oleh anaknya, Sugra. Ia bereksperimen dengan memindahkan nada-nada pentatonis gamelan ke dawai-dawai gitar yang bernada diatonis. Agaknya, ia telah berhasil menciptakan genre musik baru dengan perpaduan-perpaduan itu.

"Karenanya, kiser (tembang-tembang) Dermayonan (Indramayu) dan Cerbonan (Cirebon) yang biasanya diiringi dengan gamelan, bisa menjadi lebih indah dengan iringan petikan gitar," tambahnya. Keindahan itu, menjadi semakin lengkap setelah petikan dawai gitar diiringi dengan suling bambu yang mendayu-dayu.

Alunan gitar dan suling bambu yang menyajikan kiser Dermayonan dan Cerbonan itu pun mulai mewabah sekitar 1932-an. "Kala itu, anak-anak muda di berbagai pelosok desa di Indramayu dan Cirebon, menerimanya sebagai suatu gaya hidup," tulis Ivan.

Pada tahun 1935, alunan musiknya mulai dilengkapi dengan kotak sabun yang berfungsi sebagai kendang, dan kendi sebagai gong. Kemudian pada 1936, alunannya diiringi dengan alat musik lain, berupa baskom dan ketipung kecil yang berfungsi sebagai perkusi.

"Nama tarling baru diresmikan saat Radio Republik Indonesia sering menyiarkan jenis musik ini dan oleh Badan Pemerintah Harian (saat ini DPRD). Tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1962, melalui siaran RRI, nama Tarling mulai dikenal sebagai nama resmi jenis musik tersebut," terang Ivan.

GAYA MUSIK TARLING DARI PENGARUH GEOGRAFISNYA
Suwarjono, seorang bapak berusia 53 tahun, duduk di serambi rumahnya, tengah bersantai sambil menikmati musik tarling dari radionya. "Sudah sejak kecil saya mendengar tarling dari radio," ungkapnya kepada National Geographic Indonesia. Ia merupakan penikmat setia musik tarling.

Ia berasal dari wilayah pesisir utara Subang, tepatnya di daerah Pusakajaya, dekat dengan Pantai Patimban. "Mulai dari Indramayu, Cirebon, sampai Subang bagian Pantura, pasti kenal sama yang namanya tarling," ungkap Suwarjono.

Kesenian tarling lebih populer di daerah Indramayu dan Cirebon, serta beberapa wilayah lain seperti wilayah Pantai Utara Subang juga turut dalam tren musik tarling. Wilayah geografis pesisir utara lantas memengaruhi gaya musik tarling.

"Masyarakat di daerah pesisir, seperti contohnya orang-orang di sepanjang wilayah Pantura, lebih terbuka dan suka mengungkapkan perasaannya langsung secara omongan (verbal)," jelas Suwarjono berdasar pengamatannya.
Tarling adalah salah satu bentuk kesenian yang berkembang di wilayah pesisir pantai utara Jawa Barat, terutama wilayah Cirebon dan Indramayu. Nama tarling diidentikkan dengan nama instrumen sitar dan suling serta istilah 'Sing nelatar kudu eling, Eling kepada Tuhan Yang Maha Esa, Eling terhadap tanah kelahirannya.'

Hal tersebut dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan Rijal Abdillah dan Koentjoro dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), dalam tulisannya yang dimuat pada jurnal Psikologika, berjudul Nilai dan Pesan Moral Tarling Menurut Perspektif Pelaku Kesenian Tarling Cirebon: Studi Psikologi Budaya, terbit pada 2015.

"Pola interaksi yang diturunkan sejak nenek moyang dalam perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Pesisir Utara Jawa, utamanya di Cirebon, mengubah watak penduduknya menjadi terbuka dan berbicara teus terang (apa adanya) dalam mengutarakan perasaannya," tulisnya.

Oleh karena itu, nilai dan makna yang terkandung dalam seni Tarling lebih diarahkan pada segi hiburan, namun disertai dengan syair-syair yang menceritakan ketabahan dalam menghadapi penderitaan. "Itu jadi gaya yang disukai oleh orang-orang Pantura, mulai dari nelayan sampai petani, karena lebih mengena (melalui syair-syairnya)," ujar Suwarjono.

Syairnya ditulis dengan menggunakan basa Cêrbon atau bahasa Cirebon. Salah satu contoh kutipan syair dari lagu berjudul Diusir Laki ciptaan Almin Said.

Apa nasibe badan (Bagaimana nasib diri)
Laki doyan demenan (Suami suka pacaran)
Sekien kawin maning (Sekarang menikah lagi)
Ning kula ora eling (Tapi aku tidak tahu)

Kula kien diusir (saya sekarang diusir)
Ning laki konkong nyingkir (sama suami disuruh pergi)
Megat tanpa lantaran (Cerai tanpa alasan)
Bli eman keturunan (Tidak sayang keturunan/anak-anak)

Lirik dan syairnya begitu menyayat hati, keluar dari perasaan penggubahnya. Gaya bahasa yang digunakan sangat terbuka dan apa adanya. Itu menjadi identitas tersendiri bagi musik tarling, yang tentunya dipengaruhi kondisi geografis dan masyarakat pendukungnya.

Sumber: https://nationalgeographic.grid.id/read/132920869/tarling-musik-khas-indramayu-tentang-ketabahan-dalam-penderitaan?page=all

BPNB Jabar Ajak Warga Nikmati Sajian Warisan Indonesia


Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jabar meluncurkan tayangan warisan Indonesia dengan menampilkan sejumlah budaya dan seni dari beberapa daerah di Jabar. Seperti Pangandaran, Garut, Tasikmalaya, Purwakarta, Cianjur, dan Sukabumi.

Kepala BPNB Jabar, Jumhari, mengatakan, ide untuk membuat karya seni dari berbagai kebudayaan dan dikemas melalui sebuah digital muncul tak sengaja. Namun dampaknya luar biasa.

Di Masa pandemi ini, katanya, mereka diajak berpikir dan bekerja melampaui batas kemampuan dengan cara yang berbeda, salah satunya media digital.

"Insya Allah kami mulai menunjukkan di media sosial seperti Youtube hasil karya ini pada 17 Oktober 2021. Masa pandemi ini banyak orang yang menginginkan hiburan. Semoga hasil karya ini bisa menjadi obat dengan melihat banyak keindahan budaya dari berbagai daerah di Jabar," ujarnya, Senin (11/10/2021) di Metro Indah Mal.

Adapun tujuan akhir dari kegiatan ini, Jumhari menyebut, pihaknya hanya sebatas upaya pelestarian kebudayaan. Jika pihak lain atau dinas lain berkeinginan untuk mengkomersilkannya, dia pun mempersilakan.

"Kami hanya tawarkan inilah kemasan tayangan kebudayaan kekinian yang lebih menyasar pada generasi milenial. Warisan Indonesia ini baru tahap awal. Kami akan terus eksplorasi hal-hal yang selama ini menjadi fokus perhatian," katanya.

Dia menyebyt bahwa pada Oktober-November, akan ada edis spesial yang mengambil gambar di Candi Batujaya, Karawang.

"Intinya, tugas kami memberikan ruang fasilitasi aktivitas kebudayaan yang bermuara pada terciptanya ekosistem budaya," ucapnya.

Sementara itu, duta budaya dalam warisan Indonesia ini, Adhin Abdul Hakim, menyebut kemasan kebudayaan yang ditampilkan oleh BPNB secara tayangan sangatlah pas. Biasanya tayangan-tayangan kesenian atau kebudayaan hanya terpaku pada satu kamera yang statis.

"Kalau Warisan Indonesia yang dipelopori oleh BPNB ini ada semi-semi vlog dan kami diajak langsung untuk terjun belajar seni budaya yang ada di Jabar. Jadi, menurut saya ini menarik dan berbeda banget dari biasanya. Yang jelas kami menjanjikan warisan Indonesia, kalian bisa dapatkan beauty shoot yang banyak memanjakan mata," katanya.

Sumber: https://jabar.tribunnews.com/2021/10/11/bpnb-jabar-ajak-warga-nikmati-sajian-warisan-indonesia

Warisan Indonesia: Kelahiran Ritual di Tengah Perusakan Harta Karun Gunung Padang (Bagian I)


Riuh hujan turun dari langit. Seketika, cuaca berubah lebih sejuk dan menambah hawa dingin seolah mencumbu diri. Suara obrolan yang dikecilkan membuat suasana terasa lebih intim.

Jarum jam menunjukan pukul 12.30 WIB. Tampak beberapa orang kuncen Gunung Padang yang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, sedang bersiap mengemas kebutuhan yang diperlukan untuk ritual khusus (Ritus) Seka Banda.

Ritus ini kerap dilaksanakan saat bulan Maulud.

“Seka Banda adalah ritual mencuci benda pusaka yang biasa dilaksanakan setiap bulan Maulud. Lokasinya di puncak Gunung Padang,” kata kuncen Gunung Padang, Aki Asep Sudrajat.

Tak lama tetesan hujan dari langit mulai reda. Aktivitas masyarakat kembali berjalan seperti semula. Para wisatawan tampak hilir mudik masuk dan keluar gerbang pendakian.

Dalam setahun, Ritus Gunung Padang dilaksanakan sebanyak tiga kali, tepatnya pada bulan Maulud, Rajab, dan Suro.

Persiapan untuk melaksanakan Ritus pada malam hari sudah siap. Ki Asep kembali duduk dan mengambil tembakau yang kemudian ia linting. Tangan kanannya memegang korek untuk menyalakan batang rokok yang sudah siap di mulutnya.

Tanpa menunggu waktu lama, seorang tokoh masyarakat dan budayawan Kabupaten Cianjur, Abah Tatang Setiadi datang menyapa. Mereka duduk bercengkrama membahas mengenai ritus yang akan segera digelar.

Abah Tatang menjelaskan tujuan dari Ritus Seka Banda.

“Ritus ini dilakukan untuk menjaga situs peninggalan megalitikum yang ada di Gunung Padang, agar nilai kebudayaan yang tinggi di sini tidak dirusak,” kata Abah Tatang.

Abah bercerita, sebelum memasuki tahun 2000, batu yang ada di Gunung Padang menjadi korban eksploitasi dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Warga sekitar geram dengan nafsu bisnis yang bisa merusak salah satu warisan Indonesia dari nenek moyang yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu.

“Melihat kondisi batu di tambang yang sudah tidak dipedulikan, saya dan kawan-kawan lantas berpikir ini tidak bisa dibiarkan. Keamanan saat itu ada, tapi tidak 24 jam berjaga. Lalu kami punya ide efektif untuk mengamankannya.

“Jadi para pelaku seni harus ke Gunung Padang dulu. Dan itu cukup ampuh, sedikit melindungi situs Gunung Padang yang ada sekarang,” kata Abah.

Abah Tatang lalu memutar otak agar ritual yang dilakukan tidak jatuh pada jurang kemusrikan. Setelah melakukan diskusi dengan beberapa orang, maka lahirlah Ritus Seka Banda.

“Apa yang harus dibersihkan dalam Ritus ini? Hati kita, halaman rumah kita dan lingkungan kita. Kemudian apa yang diseka? Pertama pusaka yang mutlak dibuat manusia. Kedua, anugerah seperti panca indera. Lalu yang ketiga adalah Gunung Padangnya, karena itu merupakan karunia dari Tuhan,” kata Abah.

Dengan banyaknya perusakan, maka Ritus ini dilakukan agar benda sekecil apa pun yang ada di lingkungan Gunung Padang tidak dirusak dan disentuh tangan jahil.

Ketika melakukan ritus ini, air yang terletak di Gunung Padang harus diambil menggunakan tujuh kendi. Menurut Abah Tatang, kendi adalah unsur kehidupan manusia, sedangkan tanah dijabarkan sebagai awal lahir dan pulangnya manusia. Sementara air, adalah kehidupan makhluk hidup.

“Kita lahir dari tanah dan akan pulang ke tanah. Karena Abah yakin nanti Gunung Padang akan mengundang banyak orang hingga ada kehidupan di sekitarnya. Inilah harta karun sebenarnya, peninggalan budaya yang masih terjaga, dari yang awalnya tidak ada apa-apa jadi ada apa-apa,” kata dia.

Misi Abah Tatang melindungi situs megalitikum tersebut tak mudah. Perlu tenaga dan dukungan agar Gunung Padang tidak dirusak.

Ia pun mengaku sempat merancang sebuah setingan yang bisa membuat masyarakat sekitar jadi kapok untuk menambang batu di sekitar lokasi tersebut.

“Abah sempat tanya kepada teman, untuk membuat prasasti dengan aksara kuno. Lantas bagaimana? Kami pendam lagi, setelah itu besok lusanya kami bikin berita konferensi pers adanya penemuan. Begitu awalnya. Tapi teman Abah bilang sebaiknya jangan membodohi masyarakat, masih ada cara lainnya,” kata Abah.

Setelah mengurungkan niatnya, Abah kembali berpikir bersama seluruh tokoh masyarakat, hingga akhirnya disepakati situs Gunung Padang harus dilindungi dengan melakukan Ritus Seka Banda.

“Jadi waktu itu tahun 2003 kami lakukan festival budaya dimulai dari lokasi situs sejarah ini. Setelah itu kami adakan lagi Seka Banda khitanan massal, pengajian, dan kegiatan sosial lainnya. Itu berjalan sampai sekarang,” kata Abah, mengingat-ingat masa mudanya.

Situs ini pun menjadi perhatian Badan Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat. Kawasan Gunung Padang bukan hanya warisan Indonesia yang harus dijaga oleh anak cucu saat ini, tapi ada penghargaan tersendiri kepada nenek moyang dengan tidak merusak peninggalan yang memiliki nilai lebih tinggi dari sekadar materi.

Setelah obrolan panjang lebar, ritual khusus Seka Banda pun dimulai… (MSN)

Sumber: https://beritainspira.com/warisan-indonesia-cianjur-ritus-gunung-padang-bagian-1/

BPNB Jabar Gali Nilai Seni Budaya Tutunggulan Hingga Ritus Seka Banda Gunung Padang


Festival Kesenian 2021 dalam balutan program ‘Warisan Indonesia’ yang digelar oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Provinsi Jawa Barat dengan wilayah kerja meliputi, Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan Lampung melanjutkan perjalanan menyusuri jejak nilai budaya ke desa-desa Pemajuan Kebudayaan yang berada di Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Sukabumi.

Abdul Hakim Top adalah pembawa acara program Warisan Indonesia, yang akan menunjukan kepada publik jika kesenian dan kebudayaan di Jawa Barat begitu banyak dan beragam.

Adapun materi yang diangkat untuk dibahas dalam festival tahun ini ada 10 objek kemajuan kebudayaan dan warisan budaya tak benda yang ada di Desa Pemajuan Kebudayaan.

Tim sebelumnya sudah mengorek tentang kebudayaan dan kesenian yang berada di di Kabupaten Pangandaran, Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Garut.

Teruntuk di Kabupaten Purwakarta, para generasi yang masih hidup hingga kini masih memegang erat nilai budaya secara turun temurun. Menapaki kaki di Desa Mekarjaya, Kecamatan Kiarapedes beberapa warisan yang masih terjaga hingga kini adalah Pencak Silat, Terbang, Tutunggulan dan Kecapi Suling. Tutunggulan memiliki makna yang dalam bagi warga setempat budaya ini sudah turun temurun sejak ratusan tahun lalu. Awalnya tutunggulan ini adalah sinyal panggilan atau alat pemberitahuan kepada masyarakat pada saat akan ada hajat atau menyambut kedatangan tamu yang penting.

Kesenian Terbang sudah ada sekitar 3 abad yang lalu dan hingga kini masih dilestarikan oleh warga setempat. Alat musik yang masih asli pun masih tersimpan dan terjaga. Terbang dengan Tutunggulan masih saling berkaitan karena keduanya adalah satu kesatuan.

Bergeser ke Kabupaten Cianjur, BPNB Jabar mendatangi Situs Megalitikum Gunung Padang, yang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Cempaka.

Calung, Karinding, Pencak Silat, Mamaos adalah kesenian yang diangkat di lokasi ini. Seni Mamaos atau yang dikenal dengan Cianjuran adalah seni suara Sunda yang diiringi oleh seprangkat isntrumen musik yang terdiri atas Kacapi Indung, Kacapai Rincik, Suling dan atau Rebam. Tembang ini terbagi dalam 6 Wanda (karakter). Pertama Papantunan, Jejemplangan, Rarancagan, Dedegungan, Kakawen, dan Panambih. Musik pengiring di tengah-tengah suasana kebun teh dengan luas berhektar-hektar, membuat emosi berdamai dengan jiwa.

Abah Tatang Setiadi sebagai seorang budayawan dan sesepuh di Kabupaten Cianjur mengatakan kalau kesenian Mamaos ini memang terlahir di Kabupaten Cianjur yang kemudian tersebar ke berbagai daerah di Jawa Barat.

“Kesenian Mamaos ini adalah salah satu kesenian yang lahir di Cianjur yang kemudian berkembang dan menyebar ke seluruh daerah di Jawa Barat. Kesenian ini berawal dari papantunan yang sangat digemari oleh kalangan menak dan kerajaan pada zaman dulu,” kata Abah Tatang.

Menurut Abah Tatang seni budaya yang ada di Cianjur memiliki karakter yang halus dan lembut. Lirik yang terkandung dalam Mamaos penuh dengan rasa syukur kepada sang pencipta atas anugerah yang telah diberikan kepada manusia dan alam. Secara tegas Abah mengatakan, kesenian yang satu ini sangat penting untuk dilestarikan dan dijaga nilainya.

“Mamaos wajib untuk dilestarikan di Cianjur. Karena bangsa yang besar menghargai jasa para pahlawannya dan juga kebudayaannya dari hasil yang berbuat baik. Karena pengaruh kesenian ini bisa membuat sebauh karakter manusia dengan kebaikan yang terkandung di dalamnya,” ucapnya.

Yang menarik lagi adalah kegiatan Ritual Khusus (Ritus) Seka Banda. Ritual ini dilakukan setahun 3 kali, tepatnya pada bulan Maulud, Rajab, dan Suro. Ritus ini melakukan pembersihan terhadap benda-benda pusaka yang terletak di Teras Gunung Padang yang terbagi dalam 5 teras. Tak hanya itu, benda-benda pusaka milik warga yang menjadi warisan dari orang tuanya sejak zaman dulu pun turut dibersihkan.

Ritus ini terlahir untuk menjaga Gunung Padang dari kerusakan oleh pihak yang tak bertangung jawab. Banyaknya perusakan di situs megalitikum tersebut, membuat para Abah Tatang Setiadi bersama rekan-rekannya membuat sebuah kegiatan yang mampu membentengi situs ini agar tidak dirusak lagi demi kepentingan bisnis dan rasa keserakahan manusia.

Dengan melakukan ritus ini benda sekecil apapun yang ada di lingkungan Gunung Padang tidak akan dirusak oleh para pengunjung yang datang. Saat ini Gunung Padang sudah menjadi lokasi objek wisata yang menyedot para pengunjung dari luar kota bahkan luar negeri.

Ketika melakukan ritus ini, air yang terletak di Gunung Padang harus diambil menggunakan 7 kendi. Abah Tatang mengatakan kendi dan air adalah unsur kehidupan manusia, tanah dijabarkan sebagai awal lahirnya dan pulangnya manusia. Sementara air, adalah kehidupan makhluk hidup. Setiap orang yang turut ikut dalam ritus ini wajib untuk mensucikan diri sesuai dengan agama dan kepercayannya masing-masing.

“Kita lahir dari tanah dan akan pulang ke tanah, kalau air kebutuhan makhluk untuk hidup. Karena Abah yakin nanti Gunung Padang akan mengundang banyak orang hingga ada kehidupan disekitar Gunung Padang. Inilah harta karun emas sebenarnya, peninggalan budaya yang masih terjaga, dari yang awalnya tidak ada apa-apa jadi ada apa-apa,” katanya.

Kasubag Tata Usaha BPNB Jabar, Hendra Gunawan, mengatakan BPNB Jabar memiliki tugas pokok dan fungsi untuk melindungi, mengembangkan, dan menjaga kelestarian budaya. Tak hanya itu BPNB memiliki tekad untuk mengembangkan potensi budaya dan seni di desa-desa pemajuan kebudaya yang berada di bawah naungan wilayah kerja BPNB Jabar.

“Kami dari BPNB Jawa Barat memiliki Tupoksi untuk melindungi, mengembangkan, dan menjaga kelestarian budaya dan kami menggandeng untuk mengembangkan potensi di desa budayanya, apakah ada harta karun yang bisa menjadi Warisan Indonesia. Dan kita juga menggali potensi yang ada di desa-desa pemajuan kebudayaan di Jabar,” kata Hendra.

Setelah dari Kabupaten Cianjur, BPNB Jawa Barat akan kembali bergerak menuju Kabupaten Sukabumi. Kegiatan akan dilaksanakan di Desa Margalaksan, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi. Proses syuting akan dilaksanakan pada hari Kamis 23 Oktober 2021 mendatang.

Sumber: https://jabar.tribunnews.com/2021/09/21/bpnb-jabar-gali-nilai-seni-budaya-tutunggulan-hingga-ritus-seka-banda-gunung-padang?page=2

BPNB Jabar Lanjutkan Susuri Jejak Nilai Warisan Indonesia di 3 Kabupaten


Festival Kesenian 2021 dalam balutan program ‘Warisan Indonesia’ yang digelar oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Provinsi Jawa Barat dengan wilayah kerja meliputi, Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan Lampung melanjutkan perjalanan menyusuri jejak nilai budaya ke desa-desa Pemajuan Kebudayaan yang berada di Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Sukabumi.

Abdul Hakim Top adalah pembawa acara program Warisan Indonesia, yang akan menunjukan kepada publik jika kesenian dan kebudayaan di Jawa Barat begitu banyak dan beragam.

Adapun materi yang diangkat untuk dibahas dalam festival tahun ini ada 10 objek kemajuan kebudayaan dan warisan budaya tak benda yang ada di Desa Pemajuan Kebudayaan.

Tim sebelumnya sudah mengorek tentang kebudayaan dan kesenian yang berada di di Kabupaten Pangandaran, Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Garut.

Teruntuk di Kabupaten Purwakarta, para generasi yang masih hidup hingga kini masih memegang erat nilai budaya secara turun temurun. Menapaki kaki di Desa Mekarjaya, Kecamatan Kiarapedes beberapa warisan yang masih terjaga hingga kini adalah Pencak Silat, Terbang, Tutunggulan dan Kecapi Suling. Tutunggulan memiliki makna yang dalam bagi warga setempat budaya ini sudah turun temurun sejak ratusan tahun lalu. Awalnya tutunggulan ini adalah sinyal panggilan atau alat pemberitahuan kepada masyarakat pada saat akan ada hajat atau menyambut kedatangan tamu yang penting.

Kesenian Terbang sudah ada sekitar 3 abad yang lalu dan hingga kini masih dilestarikan oleh warga setempat. Alat musik yang masih asli pun masih tersimpan dan terjaga. Terbang dengan Tutunggulan masih saling berkaitan karena keduanya adalah satu kesatuan.

Bergeser ke Kabupaten Cianjur, BPNB Jabar mendatangi Situs Megalitikum Gunung Padang, yang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Cempaka.

Calung, Karinding, Pencak Silat, Mamaos adalah kesenian yang diangkat di lokasi ini. Seni Mamaos atau yang dikenal dengan Cianjuran adalah seni suara Sunda yang diiringi oleh seprangkat isntrumen musik yang terdiri atas Kacapi Indung, Kacapai Rincik, Suling dan atau Rebam. Tembang ini terbagi dalam 6 Wanda (karakter). Pertama Papantunan, Jejemplangan, Rarancagan, Dedegungan, Kakawen, dan Panambih. Musik pengiring di tengah-tengah suasana kebun teh dengan luas berhektar-hektar, membuat emosi berdamai dengan jiwa.

Abah Tatang Setiadi sebagai seorang budayawan dan sesepuh di Kabupaten Cianjur mengatakan kalau kesenian Mamaos ini memang terlahir di Kabupaten Cianjur yang kemudian tersebar ke berbagai daerah di Jawa Barat.

“Kesenian Mamaos ini adalah salah satu kesenian yang lahir di Cianjur yang kemudian berkembang dan menyebar ke seluruh daerah di Jawa Barat. Kesenian ini berawal dari papantunan yang sangat digemari oleh kalangan menak dan kerajaan pada zaman dulu,” kata Abah Tatang.

Menurut Abah Tatang seni budaya yang ada di Cianjur memiliki karakter yang halus dan lembut. Lirik yang terkandung dalam Mamaos penuh dengan rasa syukur kepada sang pencipta atas anugerah yang telah diberikan kepada manusia dan alam. Secara tegas Abah mengatakan, kesenian yang satu ini sangat penting untuk dilestarikan dan dijaga nilainya.

“Mamaos wajib untuk dilestarikan di Cianjur. Karena bangsa yang besar menghargai jasa para pahlawannya dan juga kebudayaannya dari hasil yang berbuat baik. Karena pengaruh kesenian ini bisa membuat sebauh karakter manusia dengan kebaikan yang terkandung di dalamnya,” ucapnya.

Yang menarik lagi adalah kegiatan Ritual Khusus (Ritus) Seka Banda. Ritual ini dilakukan setahun 3 kali, tepatnya pada bulan Maulud, Rajab, dan Suro. Ritus ini melakukan pembersihan terhadap benda-benda pusaka yang terletak di Teras Gunung Padang yang terbagi dalam 5 teras. Tak hanya itu, benda-benda pusaka milik warga yang menjadi warisan dari orang tuanya sejak zaman dulu pun turut dibersihkan.

Ritus ini terlahir untuk menjaga Gunung Padang dari kerusakan oleh pihak yang tak bertangung jawab. Banyaknya perusakan di situs megalitikum tersebut, membuat para Abah Tatang Setiadi bersama rekan-rekannya membuat sebuah kegiatan yang mampu membentengi situs ini agar tidak dirusak lagi demi kepentingan bisnis dan rasa keserakahan manusia.

Dengan melakukan ritus ini benda sekecil apapun yang ada di lingkungan Gunung Padang tidak akan dirusak oleh para pengunjung yang datang. Saat ini Gunung Padang sudah menjadi lokasi objek wisata yang menyedot para pengunjung dari luar kota bahkan luar negeri.

Ketika melakukan ritus ini, air yang terletak di Gunung Padang harus diambil menggunakan 7 kendi. Abah Tatang mengatakan kendi dan air adalah unsur kehidupan manusia, tanah dijabarkan sebagai awal lahirnya dan pulangnya manusia. Sementara air, adalah kehidupan makhluk hidup. Setiap orang yang turut ikut dalam ritus ini wajib untuk mensucikan diri sesuai dengan agama dan kepercayannya masing-masing.

“Kita lahir dari tanah dan akan pulang ke tanah, kalau air kebutuhan makhluk untuk hidup. Karena Abah yakin nanti Gunung Padang akan mengundang banyak orang hingga ada kehidupan disekitar Gunung Padang. Inilah harta karun emas sebenarnya, peninggalan budaya yang masih terjaga, dari yang awalnya tidak ada apa-apa jadi ada apa-apa,” katanya.

Kasubag Tata Usaha BPNB Jabar, Hendra Gunawan, mengatakan BPNB Jabar memiliki tugas pokok dan fungsi untuk melindungi, mengembangkan, dan menjaga kelestarian budaya. Tak hanya itu BPNB memiliki tekad untuk mengembangkan potensi budaya dan seni di desa-desa pemajuan kebudaya yang berada di bawah naungan wilayah kerja BPNB Jabar. (MSN)

Sumber: https://beritainspira.com/bpnb-jabar-lanjutkan-susuri-jejak-nilai-warisan-indonesia-di-3-kabupaten/

Warisan Indonesia: Senandung Dalem Pancaniti, Pelipur Lara yang Merindukan Kejayaan Padjajaran


Duduknya begitu anggun. Lengan kanan dan kiri di taruh di atas paha dengan jari-jarinya yang lentik. Balutan kabaya coak karembong, kain batik, bros, dan kerudung, mendukung wajahnya yang ayu dan pipi yang merah merona serta kulit berwarna kuning langsat. Suaranya begitu syahdu dan lembut, melantunkan tembang Sunda dengan sedikit sentilan senyum dari raut wajahnya.

Sang pria pun tampak gagah dengan pakaian Parangwadana. Dibalut iket landung, tuksedo, kemeja putih berdasi kupu kupu, serta sinjang lamban-landung yang menambah kesan tampan dan elegan.

Mereka tampak saling menyahut menuntaskan lirik yang dinyanyikan.

Inilah Mamaos satu dari tiga pilar budaya yang dikenal di Cianjur.

Kesenian Mamaos adalah seni suara Sunda yang diiringi oleh seperangkat instrumen musik yang terdiri atas Kacapi Indung, Kacapai Rincik, Suling dan Rebam.

Tembang ini terbagi dalam enam Wanda (karakter), yaitu Papantunan, Jejemplangan, Rarancagan, Dedegungan, Kakawen, dan Panambih. Musik pengiring di tengah-tengah suasana kebun teh yang luasnya berhektar-hektar, membuat emosiberdamai dengan jiwa.

Seolah tak mau kalah, siliran angin turut mendukung mendamaikan jiwa, menyumbang hembusan penghilang peluh yang keluar dari dahi.

Abah Tatang Setiadi, begitulah panggilannya. Memakai ikat kepala khas Sunda, pakaian putih sambil menggantung kaneron di pundaknya, ia sibuk mengarahkan anak didiknya yang sedang bernyanyi.

“Kesenian Mamaos lahir di Cianjur, kemudian berkembang dan menyebar ke seluruh daerah di Jawa Barat. Kesenian ini berawal dari papantunan yang sangat digemari oleh kalangan menak dan kerajaan pada zaman dulu,” kata Abah Tatang yang tengah duduk di bawah pohon rindang.

Dulu, lanjutnya, para abdi kerajaan begitu senang dengan kesenian pantun. Maka dibawalah ke dalam lingkungan kerajaan agar ruh pantun itu tetap terjaga dan tidak hilang termakan waktu.

“Maka dibuatlah para ahli yang ada di dalam pendopo. Sebuah jenis tembang papantunan yang seiring perkembangan zamannya menjadi kesenian Mamaos, yang berarti mamaca (membaca) atau bercerita dengan kalimat halus,” kata Abah Tatang.

Lirik yang terkandung dalam Mamaos dipenuhi dengan rasa syukur kepada sang Pencipta atas anugerah yang telah diberikan kepada manusia dan alam.

Abah bersikeras bahwa kesenian satu ini sangat penting untuk dijaga dan dilestarikan.

“Mamaos wajib dilestarikan di Cianjur. Karena bangsa yang besar harus menghargai jasa para pahlawan dan juga kebudayaannya. Pengaruh kesenian ini bisa melahirkan sebuah karakter manusia dengan segala kebaikan yang terkandung,” katanya.

Kesenian merupakan bingkai dari karakteristik masyarakat, baik secara kelompok maupun individu, dan Kabupaten Cianjur jadi salah satu wilayah agraris yang halus.

“Kesenian di Cianjur tidak ada yang kasar. Mulai dari Cianjur hingga ayam pelung besar tidak pernah diadukan secara fisik, hanya suaranya saja. Itulah bentuk kehalusan dari Cianjur,” kata Abah Tatang, tersenyum.
Rindu Kejayaan Padjajaran

Posisi badan Abah menjadi tegak dengan posisi bersila. Ia kemudian menceritakan seni Mamaos sesuai literatur yang ia baca.

Dikisahkan, Bupati Cianjur ketika itu, RAA Kusumaningrat atau dikenal dengan sebutan Dalem Pancaniti, memprakarsai kesenian ini pada tahun 1834-1862. Di tahun itulah mulai terbentuk embrio Mamaos.

Abah memandang langit, menceritakan sebuah kisah dibalik lahirnya seni Mamaos, ketika terik matahari menyinari Paldua.

“Banyak kisah mengenai Kerajaan Padjajaran yang tercipta dalam lakon carita pantun,” katanya.

Abah memutar waktu ke masa RAA Kusuma. Saat itu dirinya memilih satu fragmen dari dasar kesenian ini tentang Mundinglaya Dikusuma yang naik ke langit untuk mengambil pusaka Layang Jamus Kalimusada, sebelum kemudian ia kembali ke Bumi.

Pancaniti menciptakan Wanda Papantunan dalam bayangan kerinduan terhadap megahnya Kerajaan Padjajaran di masa kejayaan.

“Ia sedih dan prihatin melihat situasi Cianjur yang ketika itu menjadi ibu kota Karesidenan dalam situasi kacau. Masyarakatnya dalam keadaan malas, acuh dan tak memiliki kemauan untuk bekerja dan belajar,” kata Abah Tatang.

Situasi tersebut tak ayal membuat hati RAA Kusumaningrat gundah gulana. Hatinya menarik dan mengajak masuk ke dalam ruangan yang disebut Pancaniti untuk menyendiri.

“Ia berintropeksi diri sambil membuat sebuah karyayang bisa menghiburnya dikala sedih. Saat itulah Cianjuran terlahir sebagai obat pelipur lara,” kata Abah.

Perlahan waktu berganti, keturunan RAA Kusuma memperkenalkan Mamaos kepada masyarakat luas tanpa ada pantangan apa pun. Ia pun berharap, kesenian ini bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat,” katanya.

Waktu pun kembali berputar ke Paldua. Kulit keriput tampak jelas di wajah Abah Tatang. Kini ia tak lagi muda, namun memorinya tentang kesenian dan budaya masih kuat, seolah waktu tak mampu mengalahkan ingatan yang ia pelajari sejak muda.

Bukan perkara mudah untuk menjabarkan seni Mamaos. Ada tiga faktor penting dalam menyuguhkannya. Pertama, bagaimana menyuguhkan seni ini secara visual. Kedua, menyajikan lantunan suara yang begitu nikmat di telinga. Lalu yang ketiga, bagaimana ia dikonsumsi hingga menyentuh rasa dan pikiran.

“Secara visual, bentuk kecapinya memiliki makna khusus. Contoh kecapi indung yang berbeda dari yang lain; ada gelungnya, ada kawat kuningannya. Itu masing-masing memiliki arti berbeda. Orang Cianjur terlahir dari budayawan dan ulama, maka Tuhan tidak akan memaafkan manusia tanpa ada kata maaf dari Ibu,” kata Abah.

Lebih jauh ia menjelaskan, petikan kecapi dalam seni Mamaos memiliki kekuatan untuk membentuk karakter individu, terutama bagi yang memainkannya. Secara harfiah, sifat dari alat musik dalam kesenian ini menggambarkan orang yang ramah, jujur, lembut dan menghormati Ibu.

“Cara bermain kecapi Cianjuran, meski sederhana, namun ia sarat akan makna. Menggunakan dua jari kiri dan kanan yang berarti ada rasa dan logika, kiri batiniah, dan kanan lahiriah. Tekniknya menyentil, mencolek dan mendorong,” kata Abah.

“Jika anak nakal maka disentil, jika anak lupa maka dicolek untuk diingatkan, jika anaknya memiliki keinginan yang baik maka harus didorong.”

Dan itu, menurut Abah Tatang, adalah nilai luhur yang terkandung dalam kesenian Mamaos.

Bara Mamaos di Kabupaten Cianjur tak akan pernah padam, selama generasi masih terlahir dengan tekad melestarikan warisan Indonesia dari sekian banyak harta karun yang masih terkubur.

Perjalanan Badan Pelestarian Niali Budaya (BPNB) Provinsi Jawa Barat untuk memasang perisai dari serangan budaya asing masih terus dibangun. (MSN)

Sumber: https://beritainspira.com/warisan-indonesia-cianjur-mamaos/

Teka-Teki Mbah Tisna dan Jurus Andalan Pendekar Satria Kencana


Tangan kekar menerjang dengan cepat, kanan dan kiri silih berganti seolah menangkis serangan lawan di depannya. Di bawah lembayung senja dan angin yang berhembus dari barat ke timur, para pendekar tampak sedang berlatih.

Layaknya seorang Magalah yang setia menjaga istana dengan senjata tombak, mereka memasang kuda-kudanya untuk melancarkan jurus andalan yang sudah diturunkan dari gurunya terdahulu.

Padepokan Pencak Silat Satria Kencana berada dalam naungan Paguyuban Tali Wargi.

Amang Warno, begitulah dirinya akrab dipanggil. Sambil duduk bersila, ia menjelaskan apa itu Tali Wargi Satria Kencana.


“Perguruan Satria Kencana berdiri sejak tahun 2011 dan sampai sekarang anak didik kami sudah melewati tiga periode,” kata Amang Warno, mengenakan pakaian pangsi.

Amang Warno sibuk dengan kesehariannya menjadi guru bagi 25 orang anak yang ingin belajar kesenian Pencak Silat. Ia menjalani takdirnya sebagai penerus salah satu warisan Indonesia yang sudah ada sejak zaman dulu, dan kini telah diakui oleh dunia.

Di belakangnya para pendekar cilik sedang melakukan latihan dari beberapa jurus yang telah dipelajari selama di padepokan ini. Kang Warnotak segan mengutarakan apa jurus andalan yang dimiliki oleh perguruannya.

“Jurus andalan kita yang sudah turun temurun dari guru kita itu ‘Cilalawi Pleredan’. Dasarnya, setiap perguruan Tali Wargi punya ciri khas masing-masing yang dikembangkan,” kata Amang Warno, menengadah sambil mengisap sebatang tembakau.

Kendang Pencak yang dimiliki oleh Satira Kencana tampak jelas dari ciri khas ibingan yang lebih kreatif dan bergerak tidak pada satu jalur.

Nama dari Tali Wargi Satria Kencana, menurut Amang Warno, memang sudah melalangbuana dalam dunia persilatan. Mereka bahkan telah melahirkan para pendekar silat yang handal dan menjunjung tinggi tata krama dan kehormatan.

“Tata krama itu sebagai modal dasar yang harus ditanam dalam setiap anak didik yang belajar pencak silat di kami, karena itu akan menjadi modal utama untuk hidup mereka,” kata dia.

Kebanyakan para anak didiknya masih duduk di bangku SD dan SMP. Lekukan badan dan gerakan mereka begitu elok dan sangat lincah.

Perjuangan Amang Warno melestrikan warisan gurunya sudah terbukti hingga sekarang. Apa yang sudah ia dapat, lantas diberikan kepada muridnya sebagai bentuk pertahanan diri.

“Dulu ada yang namanya Mbah Tisna. Dia hijrah ke Plered (Purwakarta) pada tahun 1892 dan mendirikan perguruan Pencak Silat yang sampaise karang diteruskan oleh anak cucunya dan juga kita,” kata Amang Warno.

Sejauh ini Paguyuban Tali Wargi memiliki 13 padepokan silat yang tersebar di berbagai titik dan beberapa wilayah di Jawa Barat.

“Sudah ada 13 yang terdata dan bisa lebih lagi, karena sudah tersebar di beberapa wilayah Jawa Barat,” kata dia.

Seolah mengingat asal muasal tempatnya berlatih, Amang Warno memejamkan mata untuk memutar memori dan mengingat awalnya terbentuk Tali Wargi.

Seorang bernama Abah Duyeh yang tak lain keturunan dari Mbah Tisna mengembangkan perguruannya sehingga lahir dengan nama Tali Wargi Muda. Perguruan ini lalu diisi oleh Abah Hasan, Abah Komay, Abah Wowong, dan Abah Adam. Seiring waktu, Tali Wargi Muda semakin berkembang pesat dan hidup hingga kini.

“Mbah Tisna itu setahu saya hijrah ke Plered. Mengenai asal-usulnya kami belum tahu. Orang-orang dulu kan dikenal punya nama lebih dari satu. Kebetulan kami sudah pernah cari tahu tentang Mbah Tisna,” kata dia sambil tersenyum bangga atas jasa guru-gurunya.

“Saya punya amanah dari orang tua saya untuk menjaga danmelestarikan Pencak Silat ini,” kata Amang Warno melanjutkan.

Warisan Indonesia melalui Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat selalu membuka lebar untuk menjaga nilai-nilai yang sudah semestinya dijaga dan diteruskan oleh anak cucu di masa depan. (MSN)

Sumber: https://beritainspira.com/teka-teki-mbah-tisna-dan-jurus-andalan-pendekar-satria-kencana/

Warisan Indonesia: Wasiat 3 Abad ‘Terbang’ di Sudut Kenangan Ciseureuh


Matanya tampak memandang langit sambil mengingat cerita yang dijejalkan kepada dirinya sejak kecil. Dengan baju pangsi dan ikat di kepalanya, Abah Koko (52) memejamkan mata dan bercerita tentang sebuah prasasti yang diwasiatkan kepada warga Kampung Ciseureuh, Desa Mekarjaya, Kecamatan Kiarapedes, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.

Sebuah wasiat prasasti ‘Terbang’ tersimpan di sudut ruangan berukuran 3×4 meter. Jaring laba-laba membalut benda yang memiliki nilai budaya bagi warga Ciseureuh. Tampilannya memberi kesan bahwa ia memang sudah berumur dan entah sudah berapa lama alat musik ini mendekam dalam ruangan kenangan tersebut.

Kesenian Terbang adalah salah satu yang masih dilestarikan oleh warga Kampung Ciseureuh.

Napas Abah sesaat terasa berat. Ia menarik dalam-dalam sebelum memulai cerita perjalanan warisan nenek moyang hingga dikenal oleh masyarakat.


“Sudah ada sekitar 300 tahun lalu,” kata Abah singkat.

Kedua telapak tangannya sesekali saling mengusap. Tak jarang jari telunjuknya mendarat di bibir memberitahu orang sekitar agar diam, agar bisa menjelaskan kebudayaan Terbang secara jelas dan runut.

Terbang bukan kesenian yang bisa membuat seseorang melayang di udara, kata Abah, melainkan kesenian musik yang kerap dilakukan ketika warga mengadakan acara atau kegiatan untuk memperingati sebuah momentum agenda penting.

“Kesenian Terbang ini merupakan ritual adat buhun yang sekarang dipakai acara adat sesuai dengan kebiasaan warga Kampung Ciseureuh. Ketika ada Hajat Maulud yang dilaksanakan di bulan Maulud Nabi, paginya ada acara dulu buat ritual budaya di sini,” katanya.

Kening Abah tampak menyatu. Ia kembali memejamkan matanya, mengungkapkan betapa pentingnya kesenian ini di mata mereka.

“Generasi terakhir yang masih melestarikan kesenian ini sudah berumur 80 tahun lebih, itu pun tinggal tersisa dua orang,” kata Abah.

Ia kembali menatap langit, seolah sedang menerka bagaimana perasaan sesepuhnya terdahulu jika mengetahui warisan seni yang dititipkan kepada anak cucunya ternyata masih terpelihara dan terjaga sangat baik hingga sekarang.

Tangan kirinya lalu menepuk paha sebelah kiri; lanjutlah ia bercerita.

Setelah melaksanakan ritual, warga setempat akan menggelar acara makan-makan dengan alas daun pisang. Abah Koko sendiri mengaku tidak tahu secara pasti apa arti dan makna dari lirik lagu yang dinyanyikan dalam kesenian itu.

“Meski warisan dari nenek moyang kami, sampai sekarang kami tidak tahu apa arti dari liriknya, entah pakai bahasa apa. Tapi secara prediksi, nyanyian ini mengajak kita kepada kebaikan dan mencegah dari kejelekan,” kata Abah sambil tersenyum.

Ia tidak yakin apakah kata-kata tersebut menggunakan bahasa Sunda atau bukan.

“Ketika saya tanya ke orang tua dulu, mereka bilang tidak ada catatan yang tertulis (mengenai lirik nyanyian Terbang), hanya diingat dalam memori kepala,” kata dia.

Menurutnya, tidak semua orang tahu dan hafal dengan lirik lagu dalam kesenian ini. Ia hanya terbatas untuk keturunan dari orang yang sudah melestarikan kebudayaan secara turun temurun.

“Jadi khusus orang keturunan dulu saja yang melestarikan budaya ini. Orang dulu kan tidak bisa menulis, makanya disimpan dalam kepala saja,” kata Abah, sambil menambahkan bahwa kesenian Terbang tidak bisa terpisahkan dengan kegiatan lain yang ada di kampung ini, lantaran sejarahnya yang saling berkaitan.

Dalam praktiknya, terdapat 12 lagu dalam kesenian Terbang, seusai aturan adat yang ada sejak dulu kala.

Kesenian ini dimainkan oleh tiga orang yang memegang alat musik khusus dan satu orang memegang alat musik kendang. Tak berselang, Terbang keluar setelah lama berisitirahat di sudut ruangan. Seolah dipapah oleh beberapa orang warga sekitar, Abah langsung menunjukan itu di depan mata.

“Bahan dari kesenian Terbang ini dulu terbuat dari kayu dan menggunakan kulit sapi, hampir sama yang dibuat baru oleh kami sekarang. Hanya saja, karena ini asli warisan dari sesepuh, makanya kami perbaharui lagi supaya keasliannya tetap terjaga dan tidak sampai rusak,” ujarnya.

Meskipun beberapa kota dan kabupaten di Jabar memiliki kesenian serupa, namun perbedaannya cukup mencolok. Jika kebanyakan daerah lain membawakan lagu salawat, Kabupaten Purwakarta tetap menggunakan lagu aslinya.

“Jadi kalau mau menabuh Terbang ada 12 lagu khusus yang wajib diselesaikan dulu. Setelah itu baru boleh membawakan lagu-lagu lain seperti shalawatan. Jadi Terbang itu sejenis gambus atau kasidahan,” kata Abah.

Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Provinsi Jawa Barat turut melestarikan harta karun yang menjadi identitas kebudayaan dan kesenian masyarakat, termasuk tradisi Terbang di kampong Ciseureuh.

Sebab mereka yakin, dengan menjaga warisan, tali silaturahmi dengan nenek moyang tidak akan pernah terputus. (MSN)

Sumber: https://beritainspira.com/warisan-indonesia-purwakarta-terbang/

Popular Posts