WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Warisan Indonesia: Wasiat 3 Abad ‘Terbang’ di Sudut Kenangan Ciseureuh


Matanya tampak memandang langit sambil mengingat cerita yang dijejalkan kepada dirinya sejak kecil. Dengan baju pangsi dan ikat di kepalanya, Abah Koko (52) memejamkan mata dan bercerita tentang sebuah prasasti yang diwasiatkan kepada warga Kampung Ciseureuh, Desa Mekarjaya, Kecamatan Kiarapedes, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.

Sebuah wasiat prasasti ‘Terbang’ tersimpan di sudut ruangan berukuran 3×4 meter. Jaring laba-laba membalut benda yang memiliki nilai budaya bagi warga Ciseureuh. Tampilannya memberi kesan bahwa ia memang sudah berumur dan entah sudah berapa lama alat musik ini mendekam dalam ruangan kenangan tersebut.

Kesenian Terbang adalah salah satu yang masih dilestarikan oleh warga Kampung Ciseureuh.

Napas Abah sesaat terasa berat. Ia menarik dalam-dalam sebelum memulai cerita perjalanan warisan nenek moyang hingga dikenal oleh masyarakat.


“Sudah ada sekitar 300 tahun lalu,” kata Abah singkat.

Kedua telapak tangannya sesekali saling mengusap. Tak jarang jari telunjuknya mendarat di bibir memberitahu orang sekitar agar diam, agar bisa menjelaskan kebudayaan Terbang secara jelas dan runut.

Terbang bukan kesenian yang bisa membuat seseorang melayang di udara, kata Abah, melainkan kesenian musik yang kerap dilakukan ketika warga mengadakan acara atau kegiatan untuk memperingati sebuah momentum agenda penting.

“Kesenian Terbang ini merupakan ritual adat buhun yang sekarang dipakai acara adat sesuai dengan kebiasaan warga Kampung Ciseureuh. Ketika ada Hajat Maulud yang dilaksanakan di bulan Maulud Nabi, paginya ada acara dulu buat ritual budaya di sini,” katanya.

Kening Abah tampak menyatu. Ia kembali memejamkan matanya, mengungkapkan betapa pentingnya kesenian ini di mata mereka.

“Generasi terakhir yang masih melestarikan kesenian ini sudah berumur 80 tahun lebih, itu pun tinggal tersisa dua orang,” kata Abah.

Ia kembali menatap langit, seolah sedang menerka bagaimana perasaan sesepuhnya terdahulu jika mengetahui warisan seni yang dititipkan kepada anak cucunya ternyata masih terpelihara dan terjaga sangat baik hingga sekarang.

Tangan kirinya lalu menepuk paha sebelah kiri; lanjutlah ia bercerita.

Setelah melaksanakan ritual, warga setempat akan menggelar acara makan-makan dengan alas daun pisang. Abah Koko sendiri mengaku tidak tahu secara pasti apa arti dan makna dari lirik lagu yang dinyanyikan dalam kesenian itu.

“Meski warisan dari nenek moyang kami, sampai sekarang kami tidak tahu apa arti dari liriknya, entah pakai bahasa apa. Tapi secara prediksi, nyanyian ini mengajak kita kepada kebaikan dan mencegah dari kejelekan,” kata Abah sambil tersenyum.

Ia tidak yakin apakah kata-kata tersebut menggunakan bahasa Sunda atau bukan.

“Ketika saya tanya ke orang tua dulu, mereka bilang tidak ada catatan yang tertulis (mengenai lirik nyanyian Terbang), hanya diingat dalam memori kepala,” kata dia.

Menurutnya, tidak semua orang tahu dan hafal dengan lirik lagu dalam kesenian ini. Ia hanya terbatas untuk keturunan dari orang yang sudah melestarikan kebudayaan secara turun temurun.

“Jadi khusus orang keturunan dulu saja yang melestarikan budaya ini. Orang dulu kan tidak bisa menulis, makanya disimpan dalam kepala saja,” kata Abah, sambil menambahkan bahwa kesenian Terbang tidak bisa terpisahkan dengan kegiatan lain yang ada di kampung ini, lantaran sejarahnya yang saling berkaitan.

Dalam praktiknya, terdapat 12 lagu dalam kesenian Terbang, seusai aturan adat yang ada sejak dulu kala.

Kesenian ini dimainkan oleh tiga orang yang memegang alat musik khusus dan satu orang memegang alat musik kendang. Tak berselang, Terbang keluar setelah lama berisitirahat di sudut ruangan. Seolah dipapah oleh beberapa orang warga sekitar, Abah langsung menunjukan itu di depan mata.

“Bahan dari kesenian Terbang ini dulu terbuat dari kayu dan menggunakan kulit sapi, hampir sama yang dibuat baru oleh kami sekarang. Hanya saja, karena ini asli warisan dari sesepuh, makanya kami perbaharui lagi supaya keasliannya tetap terjaga dan tidak sampai rusak,” ujarnya.

Meskipun beberapa kota dan kabupaten di Jabar memiliki kesenian serupa, namun perbedaannya cukup mencolok. Jika kebanyakan daerah lain membawakan lagu salawat, Kabupaten Purwakarta tetap menggunakan lagu aslinya.

“Jadi kalau mau menabuh Terbang ada 12 lagu khusus yang wajib diselesaikan dulu. Setelah itu baru boleh membawakan lagu-lagu lain seperti shalawatan. Jadi Terbang itu sejenis gambus atau kasidahan,” kata Abah.

Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Provinsi Jawa Barat turut melestarikan harta karun yang menjadi identitas kebudayaan dan kesenian masyarakat, termasuk tradisi Terbang di kampong Ciseureuh.

Sebab mereka yakin, dengan menjaga warisan, tali silaturahmi dengan nenek moyang tidak akan pernah terputus. (MSN)

Sumber: https://beritainspira.com/warisan-indonesia-purwakarta-terbang/

Popular Posts