WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Pindang Gunung Ayam Kampung ala Desa Sukamulya Pangandaran, Rasa Asam Gurih yang Bikin Nagih


Pangandaran dikenal dengan wisata pantainya yang eksotis. Tak hanya itu, sajian kuliner laut (seafood) dan berbagai olahan ikannya juga tak kalah menarik untuk dicoba, salah satunya ada pindang gunung.

Pindang gunung merupakan kuliner khas Pangandaran yang dibuat penduduk dari resep yang telah diwariskan secara turun temurun.

Jika mendengar kata ‘pindang’ yang terlintas pada masyarakat pada umumnya adalah jenis sajian ikan yang diawetkan. Ternyata, berbeda dengan pindang gunung Pangandaran.

Titan Firman, pamong budaya Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Provinsi Jawa Barat yang kerap mengunjungi berbagai daerah mengungkapkan, menariknya dari kuliner ini ternyata berupa kuah sejenis sop.

Pindang gunung ini memiliki cita rasa asam, gurih dan segar dengan kuah yang tidak begitu kental biasa disajikan dengan nasi. Bagi penggemar pedas, bisa menambahkan cabe rawit sebagai penambah rasa.

Sementara kata ‘gunung’ dalam penamaan kuliner ini, menuruntya, karena bumbu dan rempah yang digunakan sebagian besar berasal dari daerah pegunungan.

Bagi masyarakat pesisir, mereka biasanya menggunakan ikan hasil tangkapan laut seperti ikan kakap, kerapu dan tongkol sebagai bahan pokok sop ini.

Namun lain lagi dengan pindang gunung ala Desa Sukamulya. Pindang gunung di desa ini menggunakan daging (ayam,sapi atau kambing) sebagai bahan utama sop.

Sari salah satu warga Desa Sukamulya menuturkan, pindang gunung ala desa ini bisa juga berbahan dasar sayuran dari seperti pucuk kelapa (humbut kelapa), tangkal taleus (pohon talas), jamur dan batang pohon pisang kole bagian dalam.

Meskipun memiliki keragaman dalam hal bahan utama, namun untuk bumbu rempah pindang gunung tidak ada perbedaan. Misalnya, masih menggunakan buah honje atau kecombrang dan daun kedongdong sebagai cita rasa khas pindang gunung.

Lebih lanjut Sari menambahkan, perbedaan pindang gunung justru terletak pada proses pengolahannya. Jika menggunakan bahan dasar daging, tentu perlu direbus lebih lama agar daging lebih empuk.

Selanjutnya pada rebusan kedua, untuk menghilangkan bau amis dagingnya ditambahkan salam, sereh, lengkuas. Beda lagi dengan pengolahan pindang gunung berbahan dasar sayuran, di sini lengkuas tidak digunakan.

Menariknya lagi, di Sukamulya perangkat masak yang digunakan dalam membuat pindang gunung masih mempertahankan teknologi tradisional, yaitu hawu dan wajan berbahan dasar tanah liat.

Menurut Sari, penggunaan tungku tradisional (hawu) dengan kayu bakar memberikan aroma yang khas pada pindang gunung. Selain itu wajan berbahan dasar tanah liat juga mampu memberikan cita rasa yang unik.

Di kesempatan yang sama, Dede Arief, penggiat budaya dari Kementerian Pendidikan Riset dan Teknologi, menjelaskan bahwa keragamaan bahan dasar pindang gunung, salah satunya disebabkan karena perbedaan alam tempat dimana masyarakat tinggal.

Bagi masyarakat yang tinggal di sekitar pesisir, menggunakan ikan laut sebagai bahan utama lantaran bahan tersebut mudah ditemukan.

Lain halnya dengan masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan, dan biasa berprofesi sebagai petani. Mereka memanfaatkan tumbuhan yang ditemukan di hutan (seperti pisang kole) sebagai bahan dasar pindang gunung.

Lebih jauh masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan, selain mengelola lahan pertanian, mereka juga biasa memelihara ayam, kambing dan sapi. Sumber-sumber protein tersebut mereka manfaatkan sebagai bahan dasar untuk membuat pindang gunung.

Cita rasa gurih, asam dan segar dari pindang gunung serta keragaman jenisnya, menjadi salah satu kekayaan masyarakat Pangandaran. Sudah sepatutnya jika warisan budaya tak benda ini terus dilestarikan.***

Sumber:
https://cianjurpedia.pikiran-rakyat.com/wisata-budaya/pr-1032488490/pindang-gunung-ayam-kampung-ala-desa-sukamulya-pangandaran-rasa-asam-gurih-yang-bikin-nagih?page=3

Popular Posts