WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Wawacan Nabi Muhammad, Satu Kajian Tema dan Fungsi

Oleh: Drs. Suwardi Alamsyah P., dkk.

Abstrak
Wawacan Nabi Muhammad berisi cerita tentang pengagungan Muhammad sebagai nabi terakhir yang membawa misi dan risalah kebenaran di samping syiar dan dakwah Islam, ketika masa itu masyarakatnya dalam keadaan sesat. Penulis akan mengkaji struktur cerita yang meliputi alur cerita, tokoh dan penokohan.

Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian BKSNT Bandung Edisi 25, Desember 2001

Adat Pindah Rumah pada Orang Sunda di Masa Kini

Oleh: Dra. Ria Intani T.

Abtrak
Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia untuk membuat kehidupannya menjadi manusiawi. Untuk itulah orang berupaya ”memiliki” rumah apakah dengan cara mengontrak atau membeli.

Pada orang Sunda, untuk menempati rumah (pindah rumah) bukan sesuatu hal yang bisa dianggap sepele, melainkan sesuatu hal yang ritual. Artinya, dalam pelaksanaannya ada tatacara tertentu yang biasanya bertalian dengan sistem kepercayaan.

Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian BKSNT Bandung Edisi 25, Desember 2001

Corak dan Pola Hubungan Sosial Budaya Masyarakat Pulomerak Kabupaten Serang

Oleh: Drs. Toto Sucipto, dkk.

Abstrak
Kasus di Pelabuhan Merak setidaknya dapat dijadikan gambaran bahwa walaupun batas-batas etnik diaktifkan, tetapi tidak menimbulkan masalah bahkan mereka dapat hidup berdampingan. Persatuan dan kesatuan secara utuh akan terwujud dengan semakin tingginya perasaan saling mengetahui, menghargai, dan tolong menolong selaras dengan semakin tingginya perasaan saling mengetahui, menghargai, dan tolong menolong selaras dengan semakin tingginya pengetahuan dan pendidikan mereka.

Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian BKSNT Bandung Edisi 25, Desember 2001

Seleh Taun Mapag Taun, Tinjauan Nilai Budaya di Kampung Cikondang Desa Lamajang Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung

Oleh: Drs. Yuzar Purnama, dkk.

Abstrak
Kampung Cikondang terletak tidak jauh dari Kota Bandung, Ibukta Provinsi Jawa Barat. Letaknya yang berdekatan dengan hiruk pikuk keramaian kota, namun masyarakatnya masih kuat memegang adat istiadat peninggalan leluhurnya. Salah satu bentuk kegatan masyarakat setempat yang masih mempertahankan budaya leluhurnya adalah dalam penyelenggaraan Upacara Seleh Tahun Mapak Taun.

Pada penelitian ini, kami mengamati dan mengkaji berbagai aspek upacara tersebut mulai dari nama upacara, tujuannya, yang terlibat dalam upacara, persiapan, dan penyelenggaraan, jalannya upacara, makna dari simbol-simbol upacara. Selain itu, dalam tulisan ini dikaji pula nilai-nilai luhur yang terkandung dalam upacara tersebut.

Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian BKSNT Bandung Edisi 25, Desember 2001

Kesenian Tradisional Sebagai Ikon Pariwisata

Kesenian Tradisional Sebagai Ikon Pariwisata

Makalah untuk Dialog Budaya Lampung, yang diselenggarakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung di Gedung Olah Seni Taman Budaya Provinsi Lampung, 2011

Iwan Nurdaya-Djafar
(Dewan Kesenian Lampung)

Dialog Budaya Lampung yang diselenggarakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung pada hari ini mengambil tema ‘Mengangkat Potensi Budaya Lampung.” Potensi adalah sesuatu yang belum teraktualisasikan, yang masih terpendam atau tersembunyi, dan karenanya perlu dicuatkan, perlu diangkat, untuk kemudian – dalam konteks pariwisata – perlu dijual. Yang dijual di sini, jika kita memerhatikan subtema yang ditentukan untuk narasumber dari Dewan Kesenian Lampung –- ‘kesenian tradisional sebagai ikon pariwisata Lampung’ -- adalah kesenian tradisional.
Dalam kaitan ini, saya akan memahami ‘kesenian tradisional’ bukan dalam arti yang sudah ada belaka, tetapi juga yang masih potensial, sehingga terbuka untuk melontarkan gagasan-gagasan baru yang bisa dikembangkan dalam konteks kesenian tradisional Lampung.
Berikut ini pokok-pokok pikiran berkenaan dengan tema dan subtema di atas yang perlu saya sampaikan pada kesempatan ini dan untuk didiskusikan pada waktunya nanti.

  1. Masyarakat suku Lampung memiliki khazanah kesenian tradisional yang dapat dimanfaatkan sebagai ikon pariwisata Lampung. Khazanah kesenian tradisional ini terdapat pada cabang seni tari, sastra, musik, senirupa, seni kerajinan. Hal ini mesti tersedia di obyek-obyek wisata yang ada di Provinsi Lampung, di tempat-tempat wisata belanja, bahkan juga di hotel tempat para wisatawan menginap dan di bandara, terminal atau pelabuhan.
  2. Dari khazanah seni tari dapat ditampilkan Tari Sigeh Penguten (Tari Sembah) untuk penyambutan para wisatawan pada saat kedatangan mereka di Provinsi Lampung. Di samping itu dapat ditampilkan Tari Bedana yang bisa melibatkan para wisatawan untuk ikut menari. Tari-tarian lainnya juga dapat ditampilkan sebagai seni pertunjukan misalnya Tari Melinting, Tari Tuping (topeng) dan lain-lain.
  3. Dari khazanah seni musik dapat ditampilkan gambus lunik, cetik (kulintang pring), talo balak. Petikan gambus lunik sudah bisa ditampilkan secara lamat-lamat di lobi hotel tempat wisatawan menginap, di dalam angkutan bus pariwasata, di samping menjualnya dalam media CD/VCD/DVD atau dalam bentuk rekaman digital lainnya. Kulintang pering dan talo balak bisa ditampilkan dalam bentuk seni pertunjukan.
  4. Dari khazanah seni rupa dapat ditampilkan seni pertunjukan Topeng Sekura, kain kapal, kain tapis baik dalam bentuk pakaian maupun sebagai hiasan dinding (kaligrafi ayat kursi, kaligrafi had Lampung ka-ga-nga dan angka Lampung; dan motif-motif tapis lainnya yang jumlahnya cukup banyak), dan seni kerajinan lainnya berupa patung gajah main bola atau miniatur Menara Siger, miniatur rumah Lampung; miniatur pengantin Lampung; dan topeng. Dari bahan tenunan kain tapi sejatinya dapat dibuat bermacam cendera mata semisal dompet, tas, tas pinggang, peci, tempat tisu, sampai gantungan kunci.
  5. Seni batik berupa kain sebagi dapat menampilkan motif-motif tradisional Lampung seperti jung (perahu kehidupan orang Lampung), motif tepi pucuk rebung yang diilhami dari kain tapis, dan dapat terus dikembangkan dengan mengangkat motif-motif tradisional yang lain semisalh had Lampung dan angkka Lampung.
  6. Dari khazanah seni sastra dapat ditampilkan teater tutur puisi-puisi Lampung klasik seperti reringget, muayak, sesikun (sekiman, pepatoh), warahan (aruhan, ruwahan), memmang (mantra), wayak, gagoret (gegurit, sastra berirama jenaka), bubandung, dadi (adi-adi, segata, pantun setimbalan/pantun bersahut), tetimbai (nyanyian epik, prosa berirama), pi’saan (sindiran atau cerita kuno), cerita rakyat, pepancer (pepaccur), wawancan, hahiwang (hiring-hiring, tangis, ngehahedo), babar bunyi surat, incang-incang, dan talibun. Di samping itu menjualnya dalam media CD/VCD/DVD atau dalam bentuk rekaman digital lainnya dan tentu saja dalam bentuk media cetak (buku). Ada baiknya, puisi-puisi Lampung klasik ini diterjemahkan juga ke dalam bahasa Indonesia dan Inggris sehingga wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara dapat memahami dan mengapresiasinya.
  7. Dari khazanah seni teater dapat ditampilkan seni pertunjukan warahan yang sudah dilengkapi dengan seni peran (akting) dengan durasi yang tidak terlalu panjang misalnya 30 menit. Saya pernah menonton teater tradisional Thailand di Bangkok yang melibatkan unsur musik, tari, bahkan Thai Boxing, dan terbukti para wisatawan menyukainyanya. Bahkan di Pataya berkembang seni kabaret yang dimainkan oleh para waria, termasuk dalamnya menampilkan waria yang tampil dalam ‘dua karakter laki-laki dan perempuan; persis seperti yang diatmpilkan Hudson dalam suatu program acara Indonesia Mencari Bakat di sebuah stasiun televisi, yang bahkan mendendangkan sebuah lagu dangdut Indonesia (artinya, seni kabaret Thailand tadi bersikap akomodatif dengan menyanyikan lagu-lagu dari mana wisatawan yang menonton berasal). Hal barusan ini dapat mengilhami kita untuk mengangkat seni pertunjukan warahan sebagai konsumsi para wisatawan mancanegara.
  8. Selain itu khazanah kesenian di atas, dari khazanah adat juga dapat dijadikan ikon pariwisata Lampung, misalnya meminta wisatawan untuk mengenakan pakaian adat, pakaian pengantin, dan mengabadikannya dalam bentuk potret, sehingga seni fotografi dapat ikut berperan di sini. Paling tidak, sang wisatawan diminta berpotret – dan menebus potretnya tentu saja -- dengan seorang muli (gadis) atau meranai (bujang) yang mengenakan pakaian adat. Hal barusan ini pernah saya alami ketika melancong di Thailand, yaitu pada obyek wisata makan malam di kapal pesiar yang menyusuri sungai Chopraya, yang membelah kota Bangkok.
Potensi kesenian tradisional Lampung di atas perlu diperkenalkan kepada para wisatawan baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara. Mendiang Nurcholish Madjid menandaskan bahwa kita baru tiba pada tahap “pluralisme antropologis yang eksotik saja,” seperti secara simbolik mengakui dan memanfaatkan pakaian daerah yang beraneka ragam!
Oleh karena itu, kita harus menembus batas-batas pengakuan dangkal tentang adanya sekadar keanekaragaman itu, menuju kepada hubungan interaktif dalam ikatan-ikatan kewargaan masyarakat di atas landasan sikap saling percaya, saling menghargai, dan saling harap. Dapat ditambahkan, untuk itu, kita perlu saling mempelajari khazanah budaya yang dimiliki oleh masing-masing suku bangsa dan menerimanya sebagai kekayaan bersama.
Gagasan Nurcholish Madjid tadi pada gilirannya akan menghantarkan kita kepada gagasan dan harapan mendiang Romo Mangun Wijaya yang merindu-dambakan kita semua menjadi Manusia Pasca-Indonesia, alih-alih berhenti sebagai manusia-suku belaka. Bahkan, kita semua diharapkan menjadi manusia mondial, yang berwawasan global namun tetap bertindak lokal (think globally, act locally).
Selanjutnya, akan dibicarakan soal pengaruh pariwisata terhadap seni budaya. Dalam mempertahankan mutu seni budaya, kerjasama antara pihak pariwisata dan pihak kebudayaan paling menonjol. Dalam jalinan kerjasama itu, pihak yang berpikir secara kuantitas dan pihak yang berpikir secara kualitas dapat bertemu. Mempertahankan mutu seni budaya tidak perlu menghambat pariwisata, sebaliknya pariwisata mesti ikut menjamin kelestarian mutu itu, justru untuk kepentingan daya tarik pariwisata dan wisata budaya secara khusus.
Mengenai adanya kekhawatiran akan merosotnya nilai seni budaya sebagai akibat perkembangan pariwisata, Prof Haryati Subadio menandaskan sebagai berikut, “Warisan budaya yang non-konkret, terutama kesenian dan kerajinan, baru pada tahun 1982 mendapat perhatian dengan memberi perlindungan dengan memberikan hak cipta berdasarkan UU Hak Cipta yang baru. Meskipun non-konkret sifatnya, namun juga yang paling peka terhadap pengaruh masuk dan berkembangnya kehidupan modern dalam bentuk teknologi modern serta akibat kontak-kontak dengan dunia luar, karena teknologi dan transportasi modern. Memang dalam mengembangkan kebudayaan yang dipersoalkan adalah mutu, akan tetapi popularisasi, penyederhanaan atau penggunaan bahan murah bukan berarti perlu menurunkan mutu itu. Misalnya, pertunjukan tarian dan musik yang diperpendek belum tentu berarti harus menjadi ceroboh dan sembarangan tekniknya. Apabila pertunjukan yang diperpendek itu mutu teknis dan seninya tinggi, maka rasanya tidak akan merugikan standar kebudayaan kita. Demikian pula dengan pembuatan cendera-mata berharga murah tidak perlu berarti menjatuhkan martabat budaya bangsa. Bila pembuatannya tetap indah dan memerhatikan teknik dan penghalusan penyelesaian, maka mutu seni bisa terjamin di samping harga murah terjangkau di luar negeri.”
Bila kita kaji agak mendalam, sesungguhnya kegiatan kepariwisataan tidak harus merugikan perkembangan seni budaya dan seni tradisional pada umumnya. Dengan pengelolaan yang baik dan terarah, ia bisa menguntungkan seni budaya dan seni tradisional itu sendiri. Karena itu dalam pengelolaan kegiatan kepariwisataan itu dianggap perlu keikutsertaan orang-orang yang banyak tahu tentang seni budaya dan seni tradisional itu. Hal ini perlu mendapat perhatian orang-orang yang bergerak dalam industri pariwisata yang kadang jalan sendiri tanpa memerhatikan diperlukannya sentuhan tangan para seniman yang nyatanya masih banyak mengharapkan suatu pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. Industri pariwisata yang ada hendaknya jangan hanya sampai “sekadar menjual saja.” Kepada mereka juga diharapkan suatu kesadaran untuk dapat memelihara bagaimana penyajian suatu atraksi kesenian yang pantas dipertunjukkan. Sangat ideal sekali kalau pertunjukan itu disenangi para wisatawan, tetapi penyajiannya tetap dalam norma-norma yang hidup dalam kebiasaan pada masyarakat yang tradisional. Satu hal lagi yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk menangani seni budaya dan kepariwisataan jangan sekali main coba-coba dan ditangani oleh mereka yang masih amatir. Inilah yang selama ini banyak terjadi.
Intinya adalah, nilai-nilai yang tinggi di dalam kebudayaan tradisional maupun daerah harus dipegang, kemudian disesuaikan, dibina dan dikembangkan untuk menunjang pengembangan kebudayaan Indonesia yang kita cita-citakan. Harus disadari bahwa setiap bentuk seni tradisional yang tinggi mutunya di suatu daerah, bukan hanya menjadi warisan daerah atau suku yang bersangkutan, melainkan menjadi warisan seluruh bangsa Indonesia.
Kekhawatiran akan adanya pengaruh negatif terhadap seni budaya sebagai akibat arus wisatawan asing yang datang berkunjung ke Indonesia, tidak akan mematikan seni budaya tradisional itu sendiri. Walau ada usaha-usaha yang sifatnya komersial, seni budaya ini akan tetap selalu hidup berdasarkan sumber aslinya dari peninggalan warisan leluhur yang telah dipelihara secara turun-temurun.
Demikian beberapa pokok pikiran yang bisa saya sampaikan pada kesempatan ini. Kiranya dapat diperbincangkan lebih jauh dalam diskusi nanti. Terima kasih atas perhatian dan mohon maaf atas segala kekurangan.[]

Pengetahuan Lokal Dan Pengetahuan Global

Pengetahuan Lokal Dan Pengetahuan Global :
Menggangkat Potensi Budaya Etnik Lampung Pepadun Dan Lampung Sai Batin Di Tengah Perkembangan Zaman

Makalah ini disampaikan pada Dialog Budaya Lampung di Gedung Olah Seni Taman Budaya Prov Lampung, Jl Cut Nyak Dien Bandar Lampung, Tahun 2011.
Kerjasama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung dengan BPSNT Bandung

Bartoven Vivit Nurdin
(Universitas Lampung)



Pengantar
Makalah ini ditulis dalam rangka Dialog Budaya Lampung dengan tema Mengangkat Potensi Budaya Lampung. Berbicara tentang Budaya Lampung, banyak hal yang menginspirasi saya, yakni begitu banyaknya nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh etnik Lampung. Keunikannya, adatnya, keseniannya, cerita rakyatnya (folklore), mitologinya, hukum adatnya, lingkungannya, tumbuhannya, makanannya, seni bela dirinya, nilai-nilai filosofi yang dianutnya, dan lain sebagainya. Selama ini, menurut pengamatan saya pengetahuan lokal di Lampung belum secara maksimal diangkat sama sekali. Padahal, memiliki Etnik Sai Batin dan Pepadun adalah hal yang luar biasa, dua masyarakat adat yang berbeda tapi sama. Kita tidak perlu mencari perbedaan keduanya, karena pasti ada, namun yang penting mencari pengetahuan lokalnya yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat luas dari kedua masyarakat Adat tersebut. Etnik Pepadun adalah masyarakat adat yang tentu sangat tahu pasti soal politik dan kekuasaan demokratis dalam achievement status yang tersirat dalam cakak pepadun, soal bagaimana mengelola pertanian lahan kering (kebon), mengelola sungai (way) dan membangun ketahanan pangan dari alam sekitarnya, serta lain sebagainya karena karakteristiknya yang mendiami daerah pedalaman Lampung. Demikian juga dengan Etnik Sai Batin, merupakan masyarakat adat yang sangat tahu tentang bagaimana merawat hutan dan melestarikannya (repong damar), mengelola kawasan pesisir, memahami soal demokrasi dalam politik lokalnya, dan bagaimana membangun ketahanan pangan dalam masyarakatnya, serta banyak lagi potensi yang lain yang belum terangkat. Artinya kedua-kedua kelompok masyarakat Adat ini merupakan potensi bagi Lampung di dalam perkembangan zaman.
Zaman memang selalu berubah, kebudayaan juga memiliki sifat selalu berubah, namun perubahan itu adalah hal yang biasa. Ada juga sebagian pihak yang mengatakan untuk apa menggali dan mengangkat kebudayaan yang sifatnya kuno, tradisional, menghambat kemajuan atau perkembangan, bahkan tidak dikenali lagi oleh generasi berikutnya atau tidak digunakan lagi oleh generasi berikutnya. Pendapat ini adalah keliru, karena menurut hemat saya meskipun kebudayaan berubah, ada inti kebudayaan yang sulit berubah. Inti kebudayaan bisa diangkat sebagai potensi, inilah yang disebut dengan pengetahuan lokal yang bermanfaat.
Dari tulisan-tulisan saya terdahulu (2008) saya menjelaskan bahwa faktor budaya memberikan pengaruh yang besar dalam setiap kegiatan pembangunan masyarakat, namun seringkali aspek sosial budaya ini diabaikan dan dipinggirkan. Pembangunan yang tidak memperhatikan aspek ini tentu memberikan sumbangsih terhadap kecenderungan akan kegagalan suatu pembangunan dan kegagalan penyelesaian masalah-masalah sosial. Tidak hanya di Lampung, tapi di Indonesia bahkan dunia. Beberapa periode belakangan ini, banyak pihak telah mencetuskan betapa pentingnya pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat untuk penyelesaian masalah-masalah sosial yang ada. Pengetahuan lokal telah dijadikan dasar Pembangunan bagi Bank Dunia, artinya pengetahuan lokal menjadi sangat penting bagi kelangsungan pembangunan dan sebagai solusi masalah-masalah yang ada, terutama kemiskinan, pembangunan global, dan kerusakan lingkungan. Mungkin, sejauh ini pengetahuan ilmiah dianggap belum mampu menghindari atau memprediksi bahaya akibat terganggunya lingkungan dan memberikan solusi yang mutakhir bagi pelestarian alam. Alam selama ini banyak yang sudah tercemar dan dieksploitasi secara besar-besaran dengan berbagai alasan termasuk alasan karena kebutuhan ekonomi. Pengetahuan ilmiah juga belum bisa menuntaskan masalah kemiskinan dan memberikan solusinya.
Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya misalnya dari Dove (1993), Netting (1985), Iwan Tjitradjaja (1994), Myrna Safitri (2007) dan Zulkifli Lubis (1997) menunjukkan bahwa adanya kesalahan-kesalahan asumsi masa lalu yang memandang sepele bahkan mengabaikan kemampuan penduduk lokal dalam mengelola sumber daya lingkungan secara baik dan berkelanjutan. Kajian mereka mengungkapkan bahwa komunitas lokal sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengembangkan institusi-institusi yang kondusif bagi pengelolaan sumber daya berkelanjutan baik secara ekologis, ekonomis maupun sosial budaya dengan pengetahuan lokal yang mereka miliki. Oleh karena itu seyogyanya untuk berbagai masalah yang melanda Indonesia, diperlukan penggalian kembali nilai-nilai tradisional yang dimiliki oleh kebudayaan masyarakat lokal, karena sesungguhnya pengetahuan lokal memiliki kelenturan dan elastisitas dalam menghadapi berbagai masalah dan perubahan.
Menurut Bank Dunia (1998), pengetahuan lokal relevan untuk proses pembangunan, ini dikarenakan pengetahuan lokal memanfaatkan sumber daya yang minimal sehingga sangat efisien untuk proses pembangunan. Oleh karena itu menurut World Bank (1998) pengetahuan lokal dapat ditransfer menjadi kearifan lokal yang bisa dipertukarkan, atau dilakukan lintas budaya terhadap pengetahuan lokal (Exchange of Indigeneous Knowledge).

Pengetahuan Lokal, dan Pengetahuan Global.
“Lokal” yang dimaksud disini adalah suatu konsep yang menunjukkan sesuatu yang sifatnya kedaerahan, komunitas kecil, dan terbatas atau secara umum merujuk kepada etnik atau suku bangsa yang memiliki identitas. Sebenarnya lokal adalah penamaan kita saja, karena ada pada ruang dan konteks tertentu (Ezra M. Choesin, 2002). Lokal bukan berarti dalam artian sempit. Lokal dalam tulisan ini ini merujuk pada orang-orang atau kumpulan orang-orang yang merupakan populasi “asli” yang mendiami wilayah Lampung sejak awalnya yang merupakan satu etnik. Dalam tulisan ini ini lokal merujuk pada masyarakat adat Pepadun dan Sai Batin.
“Pengetahuan” yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang diketahui oleh kelompok etnik, yang diperoleh berdasarkan turun temurun dari nenek moyang yang diwariskan, berdasarkan pengalaman. Namun, sebenarnya pengetahuan lokal adalah pengetahuan sama saja dengan pengetahuan yang lainnya, kita yang menamakannya lokal karena dipakai pada aspek dan ruang tertentu (Ezra M. Choesin, 2002). Pengetahuan lokal dapat kita lihat dalam beberapa contoh, misalnya saja hubungan masyarakat dengan pelestarian lingkungan. Masyarakat lokal adalah masyarakat yang paling dekat dengan alam, sehingga mereka mengenal pasti sifat alam mereka, dan dari pengalaman tersebutlah mereka memiliki pengetahuan untuk bersikap terhadap alam. Mereka tahu pasti bagaimana menanggulangi alam, mengelolanya dan bahkan merawatnya, karena mereka tahu sisi mana yang akan membuat kerusakan alam dan tentu saja akan merugikan mereka atau bahkan menyebabkan dampak buruk atau musibah bagi mereka, kesadaran itulah yang menyebabkan pengetahuan lokal menjadi penting dan menjadi sebuah kearifan lokal (local wisdom).
Dalam tulisan ini ini, pengetahuan lokal disamakan dengan kearifan lokal. Jadi, merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh etnik Lampung, yang diperoleh akibat berinteraksi dengan alam dan lingkungan dalam jangka waktu yang lama berdasarkan pengalaman dan kesadaran akan alam, atau telah beradaptasi dengan alam. Sehingga pengetahuan tersebut dijadikan landasan untuk bertindak, karena sifatnya yang mampu beradaptasi dengan alam. Pengetahuan tersebut telah dijadikan nilai-nilai yang dianut bersama dalam masyarakat adat Lampung, yang bisa disebut sebagai suatu kearifan lokal. Tentu saja pengetahuan lokal itu sesuai dengan kondisi setempat atau dimana lingkungan kelompok etnik itu tinggal.
World Bank sendiri sudah menyadari pentingnya pengetahuan lokal sebagai solusi pembangunan di dunia. World Bank (1998:p9) dalam bukunya Indigenous Knowledge for Development mendefinisikan Pengetahuan Lokal sebagai berikut :

“Indigenous knowledge is the local knowledge – knowledge that is unique to a given culture or
society. IK contrasts with the international knowledge system generated by universities, research
institutions and private firms. It is the basis for local-level decision making in agriculture, health
care, food preparation, education, natural-resource management, and a host of other activities in
rural communities. (Warren 1991 dalam World Bank, 1998)”

Namun, berbicara sesuatu yang sifatnya lokal tidak bisa dipisahkan dari regional dan global. Lokal pastilah dipengaruhi oleh regional dan global, demikian juga sebaliknya. Apalagi jika bicara perubahan, maka lokal saling mempengaruhi dengan regional dan global. Pengetahuan global dan regional mengalamai perubahan yang semakin cepat, akan mempengaruhi pengetahuan lokal. Pengetahuan lokal seringkali tidak dianggap alias diabaikan atau bodoh pada level pengetahuan global, dimana Negara dalam hal ini pemerintah seringkali menggunakan pengetahuan regional dan global dalam proses pembangunan. Dalam memahami dinamika lokal untuk pengetahuan global, beberapa ahli telah merumuskan alternatifnya yang disebut dengan konsep connectionism (Ezra M. Choesin, 2002) yang berasal dari Dror dan Dascal (1997). Ezra M Choesin (2002:2) mengungkapkan bahwa,
“Connectionism sangat berguna untuk memahami dan menjelaskan pembentukan, perubahan dan penerapan pengetahuan dalam pertemuan antara yang ‘lokal’ dan ‘global’. Model yang memahami pengetahuan lama dan baru diproses secara bersama-sama untuk menghasilkan skema-skema interpretasi dan tindakan yang relevan dengan situasi sosial yang ada, sehingga pertemuan antara pengetahuan lokal dan global bukanlah sesuatu yang selalu berakhir pada pilihan satu diatas yang lainnya” (Ezra M Choesin, 2002:2).

Pengetahuan Lokal Masyarakat Kampung Karta di Tulang Bawang dalam Ketahanan Pangan dan Pelestarian Lingkungan.
Dua Contoh hasil penelitian saya yang kiranya relevan dalam membicarakan pengetahuan lokal masyarakat adat Pepadun dan adat Sai Batin khususnya dalam pelestarian Lingkungan dan Ketahanan Pangan.
Penelitian pertama adalah mengenai pengetahuan lokal (etnosains) dari masyarakat Lampung di sekitar sungai Way Kiri dalam mengelola dan memanfaatkan lingkungan, khususnya tanah dan sungai. Orang Karta mengenal sumber makanan mereka dari tanah dan air. Air adalah materi utama dan penting sekali bagi orang Karta, bahkan hampir semua etnik Lampung. Tidaklah heran kata ”way’ yang artinya sungai, dijadikan sebagai nama tempat atau daerah bagi orang Lampung. Dalam memanfaatkan sungai bagi masyarakat Karta ada sistem bawang. Geco dan Rawang, ketiga sistem ini tidak sekedar memanfaatkan ikan di sungai melainkan juga melestarikan sungai. Misalnya saja sistem Bawang, dimana ikan-ikan yang dihasilkan adalah milik ulayat, maka kemudian di lelang dan boleh dibagikan kepada warga kampung.
Orang Karta mengenal empat jenis tanah yakni tanah pekarangan, nyapah, kebon dan Hutan. Tanah pekarangan dimanfaatkan untuk tanaman-tanaman hias dan juga untuk makanan. Misalnya bumbu-bumbu dapur, dan sayuran biasanya ditanam di pekarangan.. Bahkan kalau ada tetangga yang meminta pun dikasih, itu merupakan hal yang biasa atau yang disebut dengan setolongan.
Untuk Nyapah seperti yang telah dijelaskan merupakan tanah yang terletak di lereng sungai, biasanya ditanami berbagai jenis tumbuhan seperti jagung, dan singkong serta berbagai jenis buahan yang lain. Kalau musim panen tiba yang pemiliknya biasa membagi-bagikan kepada warga sekitar untuk berbagi biasa dinamakan dengan Ngeju’ei. Apalagi kalau sesama warga karta yang etnik Lampung, biasanya mereka pasti memiliki hubungan saudara dan sekelik, sehingga sulit bagi mereka untuk berjual beli, sehingga lebih banyak diberikan atau dikasih. Tapi kalau etnik lain misalnya transmigran Jawa, biasanya mereka berjual beli.
Demikian juga dengan kebon atau kebun, kebun bagi warga Karta adalah lahan yang luas, yang jauh dari pemukiman yang ditanam dengan berbagai jenis tanaman dengan skala besar, misalnya singkong, karet dan sawit. Biasanya warga karta memiliki banyak kebun, bahkan berhektar-hektar untuk satu atau dua orang pemiliknya. Hasil dari tanaman mereka itu dijual kepada pabrik atau pemborong yang membutuhkan. Hasil dari kebun inilah yang besar untuk pendapatan bagi mereka. Biasanya yang bekerja di kebun-kebun orang Lampung adalah transmigran dari Jawa baik dengan sistem upah harian maupun dengan bagi hasil.
Dahulunya untuk membuka lahan di hutan orang Karta mempunyai ritual-ritual tertentu dalam membuka kebon. Yakni dengan Ngumo, yaitu membuka lahan dengan melalui ritual-ritual tertentu seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Prosesi ngumo memperlihatkan kepada kita, bahwa sebenarnya etnik Lampung memiliki pengetahuan khusus untuk merawat alam. Mempunyai filosofi bagaimana mengelola dan merawat lingkungannya. Tidak sembarangan dan punya aturan khusus. Rangkaian Ngumo itu menunjukkan bagaimana memanfaatkan hutan sambil merawatnya. Pengetahuan lokal yang arif seperti inilah yang seharusnya terus dikembangkan.
Ngumo ini dilakukan pada saat musim panas. Ngumo diawali dengan menentukan batas patok lahan untuk menandai batas lahan antara warga yang satu dengan yang lain jika ingin membabat hutan. Proses selanjutnya adalah nebas atau kusei artinya menebas batang-batang pohon kecil seperti ilalang, alat yang digunakan adalah golok atau besei.
Setelah pohon-pohon kecil terbabat, maka mulailah menebang pohon-pohon besar yang dikenal dengan sebutan tuwaw. Proses tuwaw dimulai dengan menebang ranting-ranting kayu terlebih dahulu agar saat pohon tumbang raning-rantingnya tidak merusak lahan. Proses tuwaw dikerjakan dengan alat yang bernama beliung. Jika proses tuwaw selesai maka batang-batang dan daun-daunan pepohonan tersebut didiamkan terlebih dahulu agar kering dan mudah dibakar, proses ini disebut dengan ditagonpai. Proses ditagonpai bisa berlangsung hingga, satu bulan tergantung pada cuaca. Semakin terik cuaca maka proses ditagonpai pun semakin cepat. Kemudian daun dan kayu yang telah kering dikumpulkan menjadi tumpukan-tumpukan yang disebut gebou.
Gebou selanjutnya dibakar atau di suah . Proses suah ini dilakukan secara beramai-ramai atau bergotong royong dengan warga lainnya atau istilah lokalnya setolongan. Suah harus dilakukan beramai-ramai untuk mengepung api agar tidak menjalar kemana-mana. Jadi, agar proses suah tidak menjalar kemana-mana membakarnya dilakukan dari beberapa sudut lahan dan api kemudian dijaga. Proses ini dapat dilakukan berkali-kali hingga kayu dan daunnya benar-benar habis atau kakan.
Apabila lahan telah benar-benar bersih, maka proses nugal atau najuk bisa dilakukan. Nugal atau najuk adalah proses pembuatan lubang-lubang di atas lahan untuk menyemai benih. Alat yang digunakan adalah kayu dengan ujung lancip seperti alu atau bisa berupa linggis.
Untuk menjalankan proses ngumo hingga nugal, umumnya didasarkan pada hitung-hitungan hari baik. Hitungan ini berdasarkan penanggalan tahun Islam atau Hijriah. Dengan hitungan hari baik ini, diyakini dapat menghindarkan diri dari marabahaya seperti tertimpa kayu, terjatuh dari pohon dan lainnya. Namun saat ini perhitungan-perhitungan hari baik sudah sejak lama ditinggalkan warga.

Penelitian kedua adalah mengenai Pengetahuan Lokal Masyarakat Lampung Untuk Ketahanan Pangan, Dimana ditemukan nilai-nilai kearifan lokal dalam ketahanan pangan di Kampung Karta, Tulang Bawang. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada dua hal penting dalam temuan penelitian ini yang mendukung ketahanan pangan di Karta, adalah (1) ngeju’ei, setolongan dan nginjam yang berlaku pada hubungan-hubungan kekerabatan orang Karta. Hubungan-hubungan kekerabatan menjadi sangat penting dalam memberi dan meminta makanan. (2) Pengetahuan dan Teknologi Lokal masyarakat dalam pengelolaan, pengawetan, dan penyimpanan makanan.
Cara pengelolaan makanan agar dapat bertahan lama juga merupakan hal yang sangat penting. Ada beberapa klasifikasi orang Karta dalam mengawekan makanan agar bertahan lama tanpa mengurangi rasa nya. Yakni :
1. Bekasam atau sesam
2. Dilan atau terasi
3. Balur atau ikan asin
4. Lakut
5. Minyak Kelapa
6. Dilambungkan di mei
Meskipun tidak semua orang Karta fasih dengan cara pembuatannya, namun proses pengawetan makanan demikian masih tetap dilakukan, karena selain untuk cadangan makanan yang bisa bertahan dalam waktu yang lama namun juga karena rasanya yang enak. Cara-cara pengelolaan dan pengawetan makanan seperti ini sangat lazim dilakukan untuk cadangan makanan dalam waktu yang lama. Disamping itu orang Karta juga menyimpan makanannya di kas pagot, untuk jangka waktu yang lama sebagai cadangan makanan, misalnya beras, jagung, pisang dan lain sebagainya. Inilah Kearifan Lokal untuk ketahanan pangan.

Daftar Pustaka
Bartoven Vivit Nurdin. (2008). Kearifan Lokal Untuk Kesejahteraan Rakyat. Opini Pada Koran Lampung Post, Tanggal,
Dove, Michael. 1985. Pendahuluan dalam Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Michael R. Dove (ed) Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ezra M. Choesin (2002). Connectionism: Alternatif dalam Memahami Dinamika Pengetahuan Lokal dalam Globalisasi. Jurnal Antropologi Indonesia Vol. 69. (p1-9). Universitas Indonesia.
Lubis, Zulkifli. 1997. Repong Damar: Kajian tentang Pengambilan Keputusan dalam Pengelolaan Lahan Hutan di Pesisir Krui, Lampung Barat.WORKING PAPER NO. 20 CIFOR
Netting, Robert Mc. 1980. Balancing On An Alp, Ecological Change and Continuity in a Swiss Mountain Community. Cambridge University Press.
Tjitradjaja, Iwan dkk. 1994. Kajian Pengembangan Institusi Masyarakat di dalam dan sekitar Hutan: Kasus Pengelolaan Hutan Damar di Krui Lampung Barat. Laporan Penelitian. Program pasacasarjana Antropologi UI dan Departemen Kehutanan.
Safitri, Myrna. 2007. Konstruksi Hutan Adat. Forum Komunikasi Kehutanan Rakyat.
World Bank (1998). INDIGENOUS KNOWLEDGE FOR DEVELOPMENT A FRAMEWORK FOR ACTION. November 4, 1998

Penayangan Film dan Diskusi Kebudayaan, Bandar Lampung 2011

A. Latar Belakang
Kebudayaan merupakan kerangka acuan atau pedoman bagi sikap dan tingkah laku dalam pergaulan antarsesama warga masyarakat. Dengan demikian, kebudayaan akan mempunyai pengaruh besar terhadap pengetahuan, pembentukan sikap, kepercayaan, dan perilaku setiap individu. Pada masa sekarang, ketika kontak kebudayaan semakin meningkat dan intensif, banyak sekali terjadi pergeseran dan perubahan dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam perubahan pengetahuan, pandangan, sikap, dan tingkah laku mengenai kebudayaan tradisional.

Ada gejala-gejala masyarakat kita bersikap kurang santun dan tampil menjadi orang lain yang tidak sesuai dengan jatidiri bangsa. Oleh karena itu, dalam pengembangan kebudayaan, harus mengutamakan pengembangan karakter bangsa atau National Building.

Pergeseran dan perubahan dengan skala perkembangan yang pesat terutama tampak sekali di kalangan generasi muda yang dianggap haus akan hal-hal baru dan menantang. Perhatian khusus bagi generasi muda merupakan hal menarik karena merekalah penerus dan pendukung kebudayaan yang ada sekarang ini. Perubahaan pandangan, pengetahuan, sikap, dan tingkah laku pada diri mereka akan berdampak besar terhadap masa depan dari corak dan nuansa kebudayaan. Padahal di sisi lain, mereka itu sangat mudah dipengaruhi oleh kebudayaan baru/asing di luar kebudayaan yang dikenalnya. Oleh karena itu, dirasa perlu untuk melakukan suatu tindakan, terutama dalam bentuk kampanye/pengenalan, supaya mereka mengenal kebudayaan yang hidup dan berkembang di lingkungannya. Pengenalan tersebut pada gilirannya akan bermuara pada upaya untuk mencintai kebudayaan sendiri sehingga kebudayaan yang ditumbuhkembangkan tidak lepas dari akarnya. Hal ini menjadi prioritas bidang kebudayaan dalam program kerja Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada lima tahun ke depan, karena menyangkut kepentingan seluruh rakyat Indonesia agar tertanam rasa cinta terhadap bangsa dan tanah air.

Sehubungan dengan hal tersebut, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung sebagai UPT Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, menyusun program yang mengarah pada pengenalan dan pemahaman budaya bagi kalangan siswa SLTA melalui kegiatan yang dinamakan Penayangan Film dan Diskusi Kebudayaan.

Dalam kegiatan kali ini akan ditayangkan film dokumenter tentang Upacara Tradisional Mapag Tamba di Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat dan Tradisi: Kini, di Sini di Provinsi Lampung. Dengan penayangan film ini, diharapkan film tidak dijadikan sekadar alat hiburan semata, melainkan mampu mengadopsi nilai-nilai kebudayaan yang dapat mendorong masyarakat untuk berfikir positif, di samping mampu mencintai budaya sendiri.

B. Tema
Tema kegiatan Penayangan Film Peristiwa Budaya dan Diskusi Nilai Kebudayaan adalah ”Pengenalan Keragaman Budaya bagi Generasi Muda”.

C. Dasar Hukum
  1. Peraturan Presiden RI tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional tahun 2010-2014.
  2. Rencana Strategis Pembangunan Kebudayaan dan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2014.
  3. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM. 38/05.001/MKP-2006 tanggal 7 September 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPSNT Bandung.
  4. DIPA BPSNT Bandung Tahun Anggatran 2011
D. Tujuan
Tujuan diselenggarakan kegiatan ini adalah:
  1. Untuk meningkatkan pengetahuan para siswa tentang arti penting nilai budaya yang tercermin dalam peristiwa budaya.
  2. Untuk meningkatkan pemahaman generasi muda tentang nilai budaya warisan leluhur yang relevansi dan urgensinya masih sangat tinggi dalam kehidupan kekinian.
  3. Sebagai wahana generasi muda untuk dapat mengenal lebih dekat dalam memahami budaya sendiri.
  4. Dengan mengenali dan memahami nilai budaya yang terkandung dalam suatu peristiwa budaya, diharapkan dapat memperkokoh jatidiri dan integrasi bangsa.
E. Bentuk Kegiatan dan Penyaji
Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk penayangan film mengenai ”Upacara Mapag Tamba di Kabupaten Indramayu” dan “Tradisi: Kini, di Sini”, serta diskusi. Adapun yang bertindak sebagai pembicara/penyaji adalah Dra. Ria Intani T. dan Imas Sobariah, S.Sn. Masing-masing pembicara akan memberikan informasi seputar pengalaman di bidangnya, membahas film yang ditayangkan, serta peran sertanya dalam melestarikan kebudayaan.

F. Waktu dan Tempat
Penayangan film dan diskusi ini diselenggarakan di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Provinsi Lampung pada hari Rabu, tanggal 23 Maret 2011.

G. Peserta
Kegiatan ini diikuti oleh 100 peserta yang terdiri atas siswa SMU/SMK sederajat, guru pembimbing yang ada di wilayah Kota/Kabupaten Bandar Lampung, dan para undangan dari instansi, budayawan, serta lembaga-lembaga yang berada di lingkungan pendidikan dan sektor kebudayaan.

Pembentukan Norma dan Nilai Baru dalam Pranata Keluarga

Pembentukan Norma dan Nilai Baru dalam Pranata Keluarga (Studi tentang Peran Ganda Perempuan di Kelurahan Cibaduyut)

Oleh: Dra. S. Dloyana K

Abstrak
Penelitian yang dilakukan di Kelurahan Cibaduyut Kecamatan Bojongloa Kaler Kotamadya Bandung ini mengungkapkan jawaban dan informasi yang berkenaan dengan aktivitas kaum perempuan, khususnya ibu rumah tangga di sektor publik. Fokus perhatiannya ditujukan pada sejumlah kenyataan menarik yang timbul akibat domestic sphere (lingkungan domestik) yang selama ini menjadi dunia perempuan mulai ditinggalkan, yaitu konflik yang timbul dalam keluarga akibat peran ganda perempuan/ibu rumah tangga, sikap kaum laki-laki/suami sebagai mitra terdekat melihat aktivitas isterinya di luar rumah tangga, motivasi kaum perempuan yang memutuskan bekerja di sektor publik, transformasi/sosialisasi nilai-nilai budaya bagi anak-anak dalam keluarga, serta harapan akan masas depan pekerjaannya.

Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian BKSNT Bandung Edisi 24, Oktober 2001

Budaya Masyarakat Perbatasan

Budaya Masyarakat Perbatasan (Studi tentang Corak dan Pola Interaksi Sosial pada Masyarakat Kecamatan Langensari Propinsi Jawa Barat)

Oleh: Drs. Toto Sucipto

Abstrak
Penelitian mengena budaya masyarakat perbatasan ini berupaya menggambarkan bentuk dari hubungan-hubungan yang terjalin akibat hidup bersama/bersatunya etnik yang berbeda, yaitu antara etnik Sunda dan etnik Jawa, dalam sebuah daerah. Hasil penelitian mengungkapkan juga stereotipe antar etnik yang relatif muncul dalam kehidupan sehari-hari, upaya-upaya masyarakat dalam menggalang persatuan dan kesatuan, serta solusi untuk meminimalisir kendala-kendala yang dapat menyebabkan disintegrasi.

Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian BKSNT Bandung Edisi 24, Oktober 2001

Kerajaan Tradisional Banten

Oleh: Drs. Adeng

Abstrak
Semula Banten adalah salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda. Setelah kerajaan itu runtuh (akhir abad ke-16), Banten menjadi kerajaan tradisional (kerajaan Islam), dipimpin oleh seorang sultan dalam arti raja. Sesuai dengan sistem pemerintahan tradisional, jabatan sultan adalah jabatan seumur hidup dan jabatan itu diwariskan secara turun-temurun. Kerajaan/Kesultanan Banten mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.

Dalam perjalanan sejarahnya sampai dengan abad ke-19, kehidupan kerajaan/kesultanan itu mengalami pasang-surut. Kondisi itu terjadi akibat faktor intern dan faktor ekstern, yaitu tindakan kolonial. Dalam menghadapi tindakan kolonial, kesultanan dan masyarakat Banten tidak segan melakukan gerakan perlawanan. Akan tetapi setiap perlawanan itu berakhir dengan kegagalan. Akibat perlawanan-perlawanan itu, eksistensi Kesultanan Banten sebagai kerajaan tradisional berakhir pada awal abad ke-19. Namun demikian, perlawanan rakyat Banten terhadap kolonial terus berlangsung.

Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Vol. 40, No. 3, Desember 2008

Hari Jadi Kota Jakarta

Oleh: Drs. Heru Erwantoro

Abstrak
Sejak tahun 1956, tanggal 22 Juni ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Jakarta. Ironisnya, sejak itu pula, penetapan itu menjadi polemik di antara para ahli sejarah dan pengamat sejarah. Pada konteks inilah, penelitian sejarah dapat mencarikan solusi untuk mengakhiri kontroversi yang berkepanjangan.

Melalui penelitian sejarah ini, dilakukan beberapa langkah yang meliputi: (1) penelusuran literatur untuk mendapatkan data baru yang dapat dijadikan fakta baru, (2) mengkaji kembali pendapat para ahli agar dapat diketahui akar permasalahan dari kontroversi yang selama ini terjadi, (3) dilakukan interpretasi baru. Dari penelitian sejarah ini, akhirnya, dapat ditemukan akar permasalahan yang sebenarnya dan dapat dicarikan solusi untuk mengakhiri kontroversi yang berkepanjangan.

Diterbitkan dalam Patanjala, Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Vol. 1 No.3 September 2009

Sajian dalam Upacara Adat

Sajian dalam Upacara Adat (Studi Kasus tentang Makanan Tradisional dalam Sajian Upacara Siklus Hidup di Desa Ciapus, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung)

Oleh: Dra. Yanti Nisfiyanti, dkk

Abstrak
Dalam penelitian ini diungkapkan bahwa makanan pada hakikatnya merupakan kebutuhan biologis manusia. Akan tetapi apa yang dimakan, cara mengolah dan etika memakannya ditentukan oleh kebudayaan. Kebudayaan itu sendiri merupakan sistem menyeluruh dari cara-cara dan aspek-aspek pemberian makna. Dengan demikian makanan pada sajian upacara secara esensi bermuatan makna budaya. Hal itu tercermin dari simbol-simbol yang dikenakan pada sajian upacara itu.

Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian BKSNT Bandung Edisi 24, Oktober 2001

Sistem Resiprositas pada Masyarakat Desa Tajur Kecamatan Cigasong, Kabupaten Majalengka

Oleh: Dra. Nina Merlina, dkk.

Abstrak
Gotong-royong merupakan salah satu warisan leluhur yang harus dipertahankan, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur. Nilai-nilai tersebut di antaranya adalah tolong menolong dan kerja sama. Perwujudan dari sistem gotong-royong ini bisa terjadi dalam berbagai aspek kehidupan dan peristiwa. Salah satunya adalah gotong-royong atau sistem resiprositas dalam pelaksanaan hajatan di Desa Tajur, Kecamatan Cigasong, Kabupaten Majalengka.

Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian BKSNT Bandung Edisi 24, Oktober 2001

Tradisi Perlindungan Sosial dalam Rangka Pemberdayaan Ekonomi

Tradisi Perlindungan Sosial dalam Rangka Pemberdayaan Ekonomi
(Studi Kasus pada Komunitas Pendaurulang sampah di Kelurahan Cigondewah Kaler, Kecamatan Bandung Kuon, Kota Bandung)

Oleh: Drs. Rosyadi

Abstrak
Naluri sosial manusia yang senantiasa harus selalu hidup bersama dalam suatu kelompok masyarakat untuk menciptakan pranata-pranata sosial yang mengatur perikehirupan bermasyarakat. Tradisi perlindungan sosial, adalah salah satu wujud pranata sosial yang berkembang pada masyarakat Cigondewah. Tradisi perlindungan sosial ini berjalan efektif tidak hanya pada sektor kehidupan sosial saja, melainkan juga pada kehidupan ekonomi. Melalui tradisi perlindungan sosial ini warga masyarakat Cigondewah berupaya mengatasi berbagai persoalan ekonomi yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini mencoba menggali berbagai bentuk tradisi perlindungan sosial yang berkembang pada komunitas pendaurulang sampah di Kelurahan Cigondewah Kaler, Kecamatan Bandung Kulon, Kota Bandung.

Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian BKSNT Bandung Edisi 24, Oktober 2001

Sistem Pengetahuan Masyarakat Sunda: Makna Pendidikan di Balik Permainan Anak

Oleh: Drs. Nandang Rusnandar

Abstrak
Dari mulai bayi hingga masa baleg ’remaja’, bagi masyarakat Sunda sudah diperkenalkan pola permainan dan jeujeuhananan ’pengasuhan’ yang disimbolkan permainan, baik nyanyian maupun gerakan yang diharapkannya dalam bentuk permainan anak. Dalam permainan itu, si anak tidak terasa telah diajak untuk mengenal dirinya, orang di sekelilingnya, alam, dan Tuhannya. Dengan demikian si anak yang baleg akan mencapai tingkatan hideng ’mengerti’.

Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Edisi 22, Oktober 2000

Popular Posts