WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Pengetahuan Lokal Dan Pengetahuan Global

Pengetahuan Lokal Dan Pengetahuan Global :
Menggangkat Potensi Budaya Etnik Lampung Pepadun Dan Lampung Sai Batin Di Tengah Perkembangan Zaman

Makalah ini disampaikan pada Dialog Budaya Lampung di Gedung Olah Seni Taman Budaya Prov Lampung, Jl Cut Nyak Dien Bandar Lampung, Tahun 2011.
Kerjasama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung dengan BPSNT Bandung

Bartoven Vivit Nurdin
(Universitas Lampung)



Pengantar
Makalah ini ditulis dalam rangka Dialog Budaya Lampung dengan tema Mengangkat Potensi Budaya Lampung. Berbicara tentang Budaya Lampung, banyak hal yang menginspirasi saya, yakni begitu banyaknya nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh etnik Lampung. Keunikannya, adatnya, keseniannya, cerita rakyatnya (folklore), mitologinya, hukum adatnya, lingkungannya, tumbuhannya, makanannya, seni bela dirinya, nilai-nilai filosofi yang dianutnya, dan lain sebagainya. Selama ini, menurut pengamatan saya pengetahuan lokal di Lampung belum secara maksimal diangkat sama sekali. Padahal, memiliki Etnik Sai Batin dan Pepadun adalah hal yang luar biasa, dua masyarakat adat yang berbeda tapi sama. Kita tidak perlu mencari perbedaan keduanya, karena pasti ada, namun yang penting mencari pengetahuan lokalnya yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat luas dari kedua masyarakat Adat tersebut. Etnik Pepadun adalah masyarakat adat yang tentu sangat tahu pasti soal politik dan kekuasaan demokratis dalam achievement status yang tersirat dalam cakak pepadun, soal bagaimana mengelola pertanian lahan kering (kebon), mengelola sungai (way) dan membangun ketahanan pangan dari alam sekitarnya, serta lain sebagainya karena karakteristiknya yang mendiami daerah pedalaman Lampung. Demikian juga dengan Etnik Sai Batin, merupakan masyarakat adat yang sangat tahu tentang bagaimana merawat hutan dan melestarikannya (repong damar), mengelola kawasan pesisir, memahami soal demokrasi dalam politik lokalnya, dan bagaimana membangun ketahanan pangan dalam masyarakatnya, serta banyak lagi potensi yang lain yang belum terangkat. Artinya kedua-kedua kelompok masyarakat Adat ini merupakan potensi bagi Lampung di dalam perkembangan zaman.
Zaman memang selalu berubah, kebudayaan juga memiliki sifat selalu berubah, namun perubahan itu adalah hal yang biasa. Ada juga sebagian pihak yang mengatakan untuk apa menggali dan mengangkat kebudayaan yang sifatnya kuno, tradisional, menghambat kemajuan atau perkembangan, bahkan tidak dikenali lagi oleh generasi berikutnya atau tidak digunakan lagi oleh generasi berikutnya. Pendapat ini adalah keliru, karena menurut hemat saya meskipun kebudayaan berubah, ada inti kebudayaan yang sulit berubah. Inti kebudayaan bisa diangkat sebagai potensi, inilah yang disebut dengan pengetahuan lokal yang bermanfaat.
Dari tulisan-tulisan saya terdahulu (2008) saya menjelaskan bahwa faktor budaya memberikan pengaruh yang besar dalam setiap kegiatan pembangunan masyarakat, namun seringkali aspek sosial budaya ini diabaikan dan dipinggirkan. Pembangunan yang tidak memperhatikan aspek ini tentu memberikan sumbangsih terhadap kecenderungan akan kegagalan suatu pembangunan dan kegagalan penyelesaian masalah-masalah sosial. Tidak hanya di Lampung, tapi di Indonesia bahkan dunia. Beberapa periode belakangan ini, banyak pihak telah mencetuskan betapa pentingnya pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat untuk penyelesaian masalah-masalah sosial yang ada. Pengetahuan lokal telah dijadikan dasar Pembangunan bagi Bank Dunia, artinya pengetahuan lokal menjadi sangat penting bagi kelangsungan pembangunan dan sebagai solusi masalah-masalah yang ada, terutama kemiskinan, pembangunan global, dan kerusakan lingkungan. Mungkin, sejauh ini pengetahuan ilmiah dianggap belum mampu menghindari atau memprediksi bahaya akibat terganggunya lingkungan dan memberikan solusi yang mutakhir bagi pelestarian alam. Alam selama ini banyak yang sudah tercemar dan dieksploitasi secara besar-besaran dengan berbagai alasan termasuk alasan karena kebutuhan ekonomi. Pengetahuan ilmiah juga belum bisa menuntaskan masalah kemiskinan dan memberikan solusinya.
Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya misalnya dari Dove (1993), Netting (1985), Iwan Tjitradjaja (1994), Myrna Safitri (2007) dan Zulkifli Lubis (1997) menunjukkan bahwa adanya kesalahan-kesalahan asumsi masa lalu yang memandang sepele bahkan mengabaikan kemampuan penduduk lokal dalam mengelola sumber daya lingkungan secara baik dan berkelanjutan. Kajian mereka mengungkapkan bahwa komunitas lokal sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengembangkan institusi-institusi yang kondusif bagi pengelolaan sumber daya berkelanjutan baik secara ekologis, ekonomis maupun sosial budaya dengan pengetahuan lokal yang mereka miliki. Oleh karena itu seyogyanya untuk berbagai masalah yang melanda Indonesia, diperlukan penggalian kembali nilai-nilai tradisional yang dimiliki oleh kebudayaan masyarakat lokal, karena sesungguhnya pengetahuan lokal memiliki kelenturan dan elastisitas dalam menghadapi berbagai masalah dan perubahan.
Menurut Bank Dunia (1998), pengetahuan lokal relevan untuk proses pembangunan, ini dikarenakan pengetahuan lokal memanfaatkan sumber daya yang minimal sehingga sangat efisien untuk proses pembangunan. Oleh karena itu menurut World Bank (1998) pengetahuan lokal dapat ditransfer menjadi kearifan lokal yang bisa dipertukarkan, atau dilakukan lintas budaya terhadap pengetahuan lokal (Exchange of Indigeneous Knowledge).

Pengetahuan Lokal, dan Pengetahuan Global.
“Lokal” yang dimaksud disini adalah suatu konsep yang menunjukkan sesuatu yang sifatnya kedaerahan, komunitas kecil, dan terbatas atau secara umum merujuk kepada etnik atau suku bangsa yang memiliki identitas. Sebenarnya lokal adalah penamaan kita saja, karena ada pada ruang dan konteks tertentu (Ezra M. Choesin, 2002). Lokal bukan berarti dalam artian sempit. Lokal dalam tulisan ini ini merujuk pada orang-orang atau kumpulan orang-orang yang merupakan populasi “asli” yang mendiami wilayah Lampung sejak awalnya yang merupakan satu etnik. Dalam tulisan ini ini lokal merujuk pada masyarakat adat Pepadun dan Sai Batin.
“Pengetahuan” yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang diketahui oleh kelompok etnik, yang diperoleh berdasarkan turun temurun dari nenek moyang yang diwariskan, berdasarkan pengalaman. Namun, sebenarnya pengetahuan lokal adalah pengetahuan sama saja dengan pengetahuan yang lainnya, kita yang menamakannya lokal karena dipakai pada aspek dan ruang tertentu (Ezra M. Choesin, 2002). Pengetahuan lokal dapat kita lihat dalam beberapa contoh, misalnya saja hubungan masyarakat dengan pelestarian lingkungan. Masyarakat lokal adalah masyarakat yang paling dekat dengan alam, sehingga mereka mengenal pasti sifat alam mereka, dan dari pengalaman tersebutlah mereka memiliki pengetahuan untuk bersikap terhadap alam. Mereka tahu pasti bagaimana menanggulangi alam, mengelolanya dan bahkan merawatnya, karena mereka tahu sisi mana yang akan membuat kerusakan alam dan tentu saja akan merugikan mereka atau bahkan menyebabkan dampak buruk atau musibah bagi mereka, kesadaran itulah yang menyebabkan pengetahuan lokal menjadi penting dan menjadi sebuah kearifan lokal (local wisdom).
Dalam tulisan ini ini, pengetahuan lokal disamakan dengan kearifan lokal. Jadi, merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh etnik Lampung, yang diperoleh akibat berinteraksi dengan alam dan lingkungan dalam jangka waktu yang lama berdasarkan pengalaman dan kesadaran akan alam, atau telah beradaptasi dengan alam. Sehingga pengetahuan tersebut dijadikan landasan untuk bertindak, karena sifatnya yang mampu beradaptasi dengan alam. Pengetahuan tersebut telah dijadikan nilai-nilai yang dianut bersama dalam masyarakat adat Lampung, yang bisa disebut sebagai suatu kearifan lokal. Tentu saja pengetahuan lokal itu sesuai dengan kondisi setempat atau dimana lingkungan kelompok etnik itu tinggal.
World Bank sendiri sudah menyadari pentingnya pengetahuan lokal sebagai solusi pembangunan di dunia. World Bank (1998:p9) dalam bukunya Indigenous Knowledge for Development mendefinisikan Pengetahuan Lokal sebagai berikut :

“Indigenous knowledge is the local knowledge – knowledge that is unique to a given culture or
society. IK contrasts with the international knowledge system generated by universities, research
institutions and private firms. It is the basis for local-level decision making in agriculture, health
care, food preparation, education, natural-resource management, and a host of other activities in
rural communities. (Warren 1991 dalam World Bank, 1998)”

Namun, berbicara sesuatu yang sifatnya lokal tidak bisa dipisahkan dari regional dan global. Lokal pastilah dipengaruhi oleh regional dan global, demikian juga sebaliknya. Apalagi jika bicara perubahan, maka lokal saling mempengaruhi dengan regional dan global. Pengetahuan global dan regional mengalamai perubahan yang semakin cepat, akan mempengaruhi pengetahuan lokal. Pengetahuan lokal seringkali tidak dianggap alias diabaikan atau bodoh pada level pengetahuan global, dimana Negara dalam hal ini pemerintah seringkali menggunakan pengetahuan regional dan global dalam proses pembangunan. Dalam memahami dinamika lokal untuk pengetahuan global, beberapa ahli telah merumuskan alternatifnya yang disebut dengan konsep connectionism (Ezra M. Choesin, 2002) yang berasal dari Dror dan Dascal (1997). Ezra M Choesin (2002:2) mengungkapkan bahwa,
“Connectionism sangat berguna untuk memahami dan menjelaskan pembentukan, perubahan dan penerapan pengetahuan dalam pertemuan antara yang ‘lokal’ dan ‘global’. Model yang memahami pengetahuan lama dan baru diproses secara bersama-sama untuk menghasilkan skema-skema interpretasi dan tindakan yang relevan dengan situasi sosial yang ada, sehingga pertemuan antara pengetahuan lokal dan global bukanlah sesuatu yang selalu berakhir pada pilihan satu diatas yang lainnya” (Ezra M Choesin, 2002:2).

Pengetahuan Lokal Masyarakat Kampung Karta di Tulang Bawang dalam Ketahanan Pangan dan Pelestarian Lingkungan.
Dua Contoh hasil penelitian saya yang kiranya relevan dalam membicarakan pengetahuan lokal masyarakat adat Pepadun dan adat Sai Batin khususnya dalam pelestarian Lingkungan dan Ketahanan Pangan.
Penelitian pertama adalah mengenai pengetahuan lokal (etnosains) dari masyarakat Lampung di sekitar sungai Way Kiri dalam mengelola dan memanfaatkan lingkungan, khususnya tanah dan sungai. Orang Karta mengenal sumber makanan mereka dari tanah dan air. Air adalah materi utama dan penting sekali bagi orang Karta, bahkan hampir semua etnik Lampung. Tidaklah heran kata ”way’ yang artinya sungai, dijadikan sebagai nama tempat atau daerah bagi orang Lampung. Dalam memanfaatkan sungai bagi masyarakat Karta ada sistem bawang. Geco dan Rawang, ketiga sistem ini tidak sekedar memanfaatkan ikan di sungai melainkan juga melestarikan sungai. Misalnya saja sistem Bawang, dimana ikan-ikan yang dihasilkan adalah milik ulayat, maka kemudian di lelang dan boleh dibagikan kepada warga kampung.
Orang Karta mengenal empat jenis tanah yakni tanah pekarangan, nyapah, kebon dan Hutan. Tanah pekarangan dimanfaatkan untuk tanaman-tanaman hias dan juga untuk makanan. Misalnya bumbu-bumbu dapur, dan sayuran biasanya ditanam di pekarangan.. Bahkan kalau ada tetangga yang meminta pun dikasih, itu merupakan hal yang biasa atau yang disebut dengan setolongan.
Untuk Nyapah seperti yang telah dijelaskan merupakan tanah yang terletak di lereng sungai, biasanya ditanami berbagai jenis tumbuhan seperti jagung, dan singkong serta berbagai jenis buahan yang lain. Kalau musim panen tiba yang pemiliknya biasa membagi-bagikan kepada warga sekitar untuk berbagi biasa dinamakan dengan Ngeju’ei. Apalagi kalau sesama warga karta yang etnik Lampung, biasanya mereka pasti memiliki hubungan saudara dan sekelik, sehingga sulit bagi mereka untuk berjual beli, sehingga lebih banyak diberikan atau dikasih. Tapi kalau etnik lain misalnya transmigran Jawa, biasanya mereka berjual beli.
Demikian juga dengan kebon atau kebun, kebun bagi warga Karta adalah lahan yang luas, yang jauh dari pemukiman yang ditanam dengan berbagai jenis tanaman dengan skala besar, misalnya singkong, karet dan sawit. Biasanya warga karta memiliki banyak kebun, bahkan berhektar-hektar untuk satu atau dua orang pemiliknya. Hasil dari tanaman mereka itu dijual kepada pabrik atau pemborong yang membutuhkan. Hasil dari kebun inilah yang besar untuk pendapatan bagi mereka. Biasanya yang bekerja di kebun-kebun orang Lampung adalah transmigran dari Jawa baik dengan sistem upah harian maupun dengan bagi hasil.
Dahulunya untuk membuka lahan di hutan orang Karta mempunyai ritual-ritual tertentu dalam membuka kebon. Yakni dengan Ngumo, yaitu membuka lahan dengan melalui ritual-ritual tertentu seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Prosesi ngumo memperlihatkan kepada kita, bahwa sebenarnya etnik Lampung memiliki pengetahuan khusus untuk merawat alam. Mempunyai filosofi bagaimana mengelola dan merawat lingkungannya. Tidak sembarangan dan punya aturan khusus. Rangkaian Ngumo itu menunjukkan bagaimana memanfaatkan hutan sambil merawatnya. Pengetahuan lokal yang arif seperti inilah yang seharusnya terus dikembangkan.
Ngumo ini dilakukan pada saat musim panas. Ngumo diawali dengan menentukan batas patok lahan untuk menandai batas lahan antara warga yang satu dengan yang lain jika ingin membabat hutan. Proses selanjutnya adalah nebas atau kusei artinya menebas batang-batang pohon kecil seperti ilalang, alat yang digunakan adalah golok atau besei.
Setelah pohon-pohon kecil terbabat, maka mulailah menebang pohon-pohon besar yang dikenal dengan sebutan tuwaw. Proses tuwaw dimulai dengan menebang ranting-ranting kayu terlebih dahulu agar saat pohon tumbang raning-rantingnya tidak merusak lahan. Proses tuwaw dikerjakan dengan alat yang bernama beliung. Jika proses tuwaw selesai maka batang-batang dan daun-daunan pepohonan tersebut didiamkan terlebih dahulu agar kering dan mudah dibakar, proses ini disebut dengan ditagonpai. Proses ditagonpai bisa berlangsung hingga, satu bulan tergantung pada cuaca. Semakin terik cuaca maka proses ditagonpai pun semakin cepat. Kemudian daun dan kayu yang telah kering dikumpulkan menjadi tumpukan-tumpukan yang disebut gebou.
Gebou selanjutnya dibakar atau di suah . Proses suah ini dilakukan secara beramai-ramai atau bergotong royong dengan warga lainnya atau istilah lokalnya setolongan. Suah harus dilakukan beramai-ramai untuk mengepung api agar tidak menjalar kemana-mana. Jadi, agar proses suah tidak menjalar kemana-mana membakarnya dilakukan dari beberapa sudut lahan dan api kemudian dijaga. Proses ini dapat dilakukan berkali-kali hingga kayu dan daunnya benar-benar habis atau kakan.
Apabila lahan telah benar-benar bersih, maka proses nugal atau najuk bisa dilakukan. Nugal atau najuk adalah proses pembuatan lubang-lubang di atas lahan untuk menyemai benih. Alat yang digunakan adalah kayu dengan ujung lancip seperti alu atau bisa berupa linggis.
Untuk menjalankan proses ngumo hingga nugal, umumnya didasarkan pada hitung-hitungan hari baik. Hitungan ini berdasarkan penanggalan tahun Islam atau Hijriah. Dengan hitungan hari baik ini, diyakini dapat menghindarkan diri dari marabahaya seperti tertimpa kayu, terjatuh dari pohon dan lainnya. Namun saat ini perhitungan-perhitungan hari baik sudah sejak lama ditinggalkan warga.

Penelitian kedua adalah mengenai Pengetahuan Lokal Masyarakat Lampung Untuk Ketahanan Pangan, Dimana ditemukan nilai-nilai kearifan lokal dalam ketahanan pangan di Kampung Karta, Tulang Bawang. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada dua hal penting dalam temuan penelitian ini yang mendukung ketahanan pangan di Karta, adalah (1) ngeju’ei, setolongan dan nginjam yang berlaku pada hubungan-hubungan kekerabatan orang Karta. Hubungan-hubungan kekerabatan menjadi sangat penting dalam memberi dan meminta makanan. (2) Pengetahuan dan Teknologi Lokal masyarakat dalam pengelolaan, pengawetan, dan penyimpanan makanan.
Cara pengelolaan makanan agar dapat bertahan lama juga merupakan hal yang sangat penting. Ada beberapa klasifikasi orang Karta dalam mengawekan makanan agar bertahan lama tanpa mengurangi rasa nya. Yakni :
1. Bekasam atau sesam
2. Dilan atau terasi
3. Balur atau ikan asin
4. Lakut
5. Minyak Kelapa
6. Dilambungkan di mei
Meskipun tidak semua orang Karta fasih dengan cara pembuatannya, namun proses pengawetan makanan demikian masih tetap dilakukan, karena selain untuk cadangan makanan yang bisa bertahan dalam waktu yang lama namun juga karena rasanya yang enak. Cara-cara pengelolaan dan pengawetan makanan seperti ini sangat lazim dilakukan untuk cadangan makanan dalam waktu yang lama. Disamping itu orang Karta juga menyimpan makanannya di kas pagot, untuk jangka waktu yang lama sebagai cadangan makanan, misalnya beras, jagung, pisang dan lain sebagainya. Inilah Kearifan Lokal untuk ketahanan pangan.

Daftar Pustaka
Bartoven Vivit Nurdin. (2008). Kearifan Lokal Untuk Kesejahteraan Rakyat. Opini Pada Koran Lampung Post, Tanggal,
Dove, Michael. 1985. Pendahuluan dalam Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Michael R. Dove (ed) Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ezra M. Choesin (2002). Connectionism: Alternatif dalam Memahami Dinamika Pengetahuan Lokal dalam Globalisasi. Jurnal Antropologi Indonesia Vol. 69. (p1-9). Universitas Indonesia.
Lubis, Zulkifli. 1997. Repong Damar: Kajian tentang Pengambilan Keputusan dalam Pengelolaan Lahan Hutan di Pesisir Krui, Lampung Barat.WORKING PAPER NO. 20 CIFOR
Netting, Robert Mc. 1980. Balancing On An Alp, Ecological Change and Continuity in a Swiss Mountain Community. Cambridge University Press.
Tjitradjaja, Iwan dkk. 1994. Kajian Pengembangan Institusi Masyarakat di dalam dan sekitar Hutan: Kasus Pengelolaan Hutan Damar di Krui Lampung Barat. Laporan Penelitian. Program pasacasarjana Antropologi UI dan Departemen Kehutanan.
Safitri, Myrna. 2007. Konstruksi Hutan Adat. Forum Komunikasi Kehutanan Rakyat.
World Bank (1998). INDIGENOUS KNOWLEDGE FOR DEVELOPMENT A FRAMEWORK FOR ACTION. November 4, 1998

Popular Posts