WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Seminar Hasil Penelitian Cingcowong: “Upacara Meminta Hujan pada Masyarakat Kuningan”

Cingcowong merupakan suatu upacara tradisional masyarakat di daerah Kuningan, Jawa Barat, untuk memohon kepada Tuhan yang Maha Esa agar menurunkan hujan pada saat terjadi kemarau panjang. Namun, dalam proses perkembangannya upacara cingcowong telah mengalami metamorfosa bentuk dari ritual upacara menjadi bentuk kebudayaan lain yaitu seni tari. Kondisi ini terjadi manakala sebagian masyarakat mulai menyadari bahwa diperlukan adanya pelestarian kebudayaan melalui media seni tari dalam rangka menyelamatkan tradisi cingcowong yang semakin lama semakin terpinggirkan.

Terkait dengan hal tersebut maka BPNB Bandung menyelenggarakan seminar hasil penelitian mengenai upacara Cingcowong pada Desa Luragung Landeuh, Kecamatan Luragung, Kabupaten Kuningan, pada tanggal 22 Desember 2012 Pukul 08.00 WIB – 15.00 WIB. Lokasi kegiatan bertempat di Sanggar Seni DEDE NONO RUKMANA (Sanggar Seni DNR).

Tujuan dari Seminar Hasil Penelitian ini diharapkan masyarakat dapat memberi masukan atau melengkapi data, sehingga dapat menjadi bahan dokumentasi Perlindungan Ekspresi Keragaman Budaya yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan Perlindungan dan Pelestarian Sejarah dan Nilai Budaya di BPNB Bandung.








Sakral di Tengah Kesederhanaan

Warga Cina Benteng menjadikan momen Imlek untuk banyak berdoa. Teguh menjalankan berbagai kewajiban dan pantangan.

“Perkumpulan Tjong Tek Bio.” Tulisan itu terpampang di sebuah gapura di perkampungan Cina Benteng, Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Neglasari, Tangerang, Banten. Ornamen bernuansa Tionghoa menghiasi sisi kiri dan kanannya. Meski warnanya memudar, gerbang utama ke perkampungan itu masih kokoh berdiri. “Kampung ini sudah ada sejak 1407,” kata Ong Sui Chan, sesepuh di pemukiman itu, kepada Prioritas, Selasa pekan lalu.

Hampir 100 persen penghuni kawasan ini merupakan warga keturunan Tionghoa. Saban tahun, seperti kebanyakan masyarakat Tionghoa lainnya, mereka juga merayakan Imlek. Mereka memperingati tahun baru Cina secara sederhana. “Warga Tjong Tek Bio merayakan Imlek sewajarnya saja, tanpa kemewahan,” ujar Ong, yang didaulat warga sebagai penasihat klenteng.

Peringatan Imlek dilakukan selama 15 hari penuh. Perayaan dimulai dari tanggal 1 Cia Gwee sampai 15 Cia Gwee (Hari Raya Cap Go Meh). Tahun ini, Imlek jatuh pada 10 Februari 2013. Menjelang Imlek, mereka melakukan berbagai persiapan. “Bikin kue, beres-beres rumah,” kata Yu Lin, penjaga klenteng Tjong Tek Bio di wilayah itu.

Meski sederhana, menurut peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bandung Ani Rostiyati, Imlek tetap menjadi tradisi yang sakral dan dilakukan turun-temurun warga Cina Benteng. Imlek menjadi kepercayaan dan sarana mengingat asal-usul mereka. Hal ini dimaknai sebagai mengingat leluhur dan Tuhan.

Keterikatan pada alam semesta, menurut Ani, perlu dijaga dengan ritual Imlek. Sehingga manusia menjaga keseimbangan dan keharmonisan dengan lingkungan alamnya. “Imlek juga sebagai katarsis. Mereka melaksanakannya karena takut terkena kutukan, malapetaka, dan hati menjadi tidak tenang,” ujarnya.

Komunitas Cina Benteng merupakan keturunan Cina Hokkian. Pada awal abad 15, mereka datang ke Tangerang secara bergelombang. Generasi awal, mayoritas para lelaki yang di tanah leluhurnya bekerja sebagai buruh tani, petani, dan pedagang kecil. Di kawasan Tangerang pedalaman, mereka membuka lahan pertanian dan perkebunan. Kawasan yang dikenal sebagai kantong-kantong warga Tionghoa di daerah itu meliputi: Kampung Mekarsari, Panongan, Curug, Kelapadua, Tigaraksa, Legok, dan Balaraja.

Ratusan tahun berakulturasi dengan tradisi dan budaya setempat, membuat mereka lebih akrab dengan bahasa Melayu pasar. Itu sebabnya warga Cina Benteng banyak yang tidak bisa bahasa Mandarin atau bahasa leluhur mereka, dialek Hokkian. Adapun secara ekonomi, warga Cina Benteng hidup sederhana. Mayoritas mereka menggantungkan penghasilan dari bertani.

Momen pergantian tahun diyakini menjadi saat yang tepat untuk banyak memanjatkan doa kepada Tuhan, maupun orangtua atau para leluhur. Dengan doa itu mereka berharap agar tahun mendatang diberi keselamatan dan banyak rezeki.

Dalam perayaan Imlek, mereka menunjukkan rasa syukur dengan menggelar makan bersama keluarga. Sajian khas berupa ikan bandeng tak boleh terlewatkan. Sebab, makanan itu menjadi sesaji (samseng) untuk arwah para leluhur.

Aneka masakan, manisan, dan minuman pun dihidangkan. Menu berupa ayam, babi, cah babi kuah, ayam tim campur, sambal goreng udang tomat, mie dan ayam semur tomat menjadi menu wajib. Sementara manisan yang disajikan adalah manisan nanas, beligo, dan kolang kaling. Sedangkan minuman, jika zaman dahulu disajikan minuman arak, kini lebih banyak soft drink atau sirop.

Beragam makanan tersebut dihidangkan lantaran diyakini memiliki makna. Sajian mie misalnya, mengandung arti panjang umur. Sedangkan manisan menjadi simbol manisnya penghidupan, yang bermakna agar mereka mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya. Tak hanya itu. Kue keranjang, yang terbuat dari beras ketan dan gula, juga menjadi panganan yang wajib disajikan.

Selain itu, mereka menyambut tahun baru dengan menggelar tanjidor. Kesenian tradisional khas Betawi ini dimeriahkan dengan suara petasan dan kembang api. Di sela-sela perayaan itu, ritual sembahyang tetap menjadi kewajiban utama dalam rangkaian ritual mereka.

Altar untuk sembahyang dijumpai di depan pintu masuk setiap rumah. Dilengkapi dengan berbagai peralatan seperti meja abu, guci-guci kecil, foto para leluhur, dan hio lo (tempat dupa), kwee cang (kue ketan) dan kertas beraksara Tionghoa. Meja abu diyakini menjadi perekat persaudaraan antarwarga Cina Benteng.

Warga Cina Benteng juga meyakini ada sejumlah larangan. Saat Imlek tiba, mereka pantang menyapu lantai rumah dan membersihkan peralatan dapur. “Konon agar jangan sampai terusir atau tersapu keluar dari rumah,” kata Ani. Pembersihan rumah dan peralatan dapur hanya boleh dilakukan sehari atau beberapa hari menjelang Imlek.

Larangan lainnya adalah tidak makan nasi berkuah. Pantangan ini menjadi simbol, agar tidak kehujanan di jalan saat mereka pai-cia (bersoja/ berkunjung) ke rumah sanak famili. Mereka juga pantang membuka toko sebelum genap lima hari perayaan. Jika melanggar, mereka yakin toko itu akan sepi pembeli dan bisnis menjadi tidak lancar.

Perayaan Imlek yang sederhana, menurut Ani, tak mengurangi nilai sakral dan esensi perayaannya bagi warga Tionghoa di sana. “Hal ini karena Cina Benteng merupakan komunitas masyarakat Tionghoa yang memiliki keunikan dan kesetiaan tersendiri pada tradisi leluhurnya,” ujarnya.

Pitung & Pantun

Jakarta, LKB

Era si Pitung memang sudah lama berlalu. Tapi popularitas Robin Hood van Betawi itu tak pernah memudar dari masa ke masa. Bahkan semangat kepahlawanannya masih menginspirasi banyak kaum Betawi untuk bisa melakukan banyak hal yang membawa kebaikan bagi masyarakat. Popularitas yang luar biasa itulah yang kemudian membuat cerita Si Pitung sebagai folklore Betawi lebih banyak diketahui orang dengan berbagai mitosnya, ketimbang unsur kesejarahannya.

Fakta di atas muncul dalam presentasi dan diskusi hasil kajian Inventarisasi Perlindungan Ekspresi Keragaman Budaya, dengan judul “Cerita Si Pitung; Tokoh Legendaris dalam Pandangan Masyarakat Betawi” dan “Tradisi berpantun Pada Masyarakat Bertawi”. Acara yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bandung itu berlangsung di kantor Lembaga Kebudayaan Betawi, gedung Nyi Ageng Serang, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (18/12).

Inventarisasi dilakukan Tim Peneliti melalui buku, internet dan film, dengan penekanan pada pandangan masyarakat tentang ketokohan si Pitung. Baik Yahya Andi Saputra (budayawan Betawi) maupun JJ Rizal (sejarahwan Betawi) yang duduk sebagai pembahas sependapat, banyaknya versi cerita Si Pitung sebenarnya bukan masalah. “Yang terpenting bagaimana kita mengangkat nilai-nilai kearifan lokal dalam cerita itu untuk ditularkan kepada generasi sekarang yang lagi mengalami ketekoran moral,” demikian JJ Rizal.

Sementara itu dalam presentasi tentang “Tradisi Berpantun pada Masyarakat betawi” tim peniliti memaparkan, bahwa dalam kajiannya mereka meletakkan pantun dari segi fungsi maupun kategori sosial pelakunya. Penelitian di lakukan di Kelurahan Pangadegan Kecamatan Pancoran dan Kelurahan Sukabumi Utara Kecamatan Kebon Jeruk.

Dari hasil penelitian itu mereka mensarikan bahwa pantun memiliki peranan penting dalam komunikasi sosial. Pantun juga merupakan bentuk media komunikasi dalam penyampaian gagasan secara tidak langsung. Tujuannya adalah untuk memperhalus bentuk dialog dan membangun suasana keakraban.

Seluruh arena kehidupan dalam masyarakat betawi dapat dijadikan pantun. Namun secara umum secara umum pantun berkaitan dengan nasehat yang bersumber pada etika, moral, adab sopan santun dan ajaran agama. Ada pula pantun yang memuat kritik sosial yang tajam atas situasi yang mengitarinya. Oleh karena itu pantun Betawi dapat dikatakan sebagai representasi dinamika sosial-budaya masyarakat Betawi.

Karakter yang tampak begitu menonjol dalam pantun Betawi adalah kuatnya ekpresi spontan. Sampirannya mecuatkan nada yang bebas, lepas dan tanpa beban. Ini tentu terkait dengan karakterisasi orang Betawi yang dikenal sebagai masyarakat yang bersikap sangat terbuka. Jiwa humor yang dimiliki orang Betawi menjadi bagian penting terbentuknya tradisi berpantun. Hal ini diakui oleh salah seorang peserta, Abi, pria berdarah Bugis yang kini menetap di Gorontalo.

“Kami orang Bugis itu bukan tipe orang bisa bercanda. Karena itu kami mampu bersyair, tapi kami tidak bisa berpantun seperti orang Betawi ini. Acara ini membuat saya ingin belajar lebih banyak lagi tentang pantun Betawi”, ucapnya kepada LKB seusai acara. (CAI)

39 Kesenian Jabar Punah

Bandung, Jabar - Sekitar 39 seni tradisional yang pernah hidup di Jawa Barat kini punah dan tidak dipentaskan lagi. Sebelumnya, Jawa Barat memiliki sekitar 398 jenis kesenian tradisional. Ketidakpedulian pemerintah daerah dan masyarakat menjadi salah satu penyebabnya.

”Jika tak pernah dipentaskan dan tak ada regenerasi, seni tradisional tersebut bakal punah,” kata Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bandung Toto Sucipto di Bandung, Kamis (4/10/2012).

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat mendata seni tradisional sejak 2009 bekerja sama dengan BPNB, Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung, Taman Budaya Jawa Barat, dan komunitas seniman. Hasilnya, Jawa Barat pernah memiliki 398 jenis kesenian tradisional, tetapi kini 39 jenis di antaranya punah dan tidak pernah dipentaskan kembali.

Beberapa kesenian yang punah adalah topeng tanji dari Karawang, tari ondol-ondol (Purwakarta), seni pertunjukan memeniran (Bogor), topeng gong (Sukabumi), wayang mojang (Cianjur), serta wayang Sunda, ronggeng abrag, dan suriwit (Bandung).

Selain itu, ada juga palasiang dari Sumedang, bongbangan (Ciamis), reog cirebonan (Cirebon), opera Sunda (Bandung), serta balengko dan wayang tambun (Bekasi).

”Beberapa kesenian itu tidak pernah dilihat generasi sekarang, tetapi tercatat dalam sejumlah naskah lama,” kata Toto. Kesenian itu antara lain karawitan elet, empet, mamanukan, dan sarawalet. ”Sekadar nama, tapi tak pernah terlihat pementasannya,” ujar Toto menambahkan.

Revitalisasi
Toto mengatakan, agar tidak semakin banyak kesenian tradisional yang terancam punah, sejumlah pihak berupaya melakukan revitalisasi. Selain itu, pemerintah daerah didorong mementaskan kesenian tradisional dalam berbagai acara sehingga jenis keseniannya diketahui masyarakat dan seniman pun merasa dihargai.

Kurator Taman Budaya Jawa Barat, Mas Nanu Muda, menuturkan, pihaknya telah melakukan revitalisasi 10 kesenian tradisional selama 2008-2012. Fokusnya adalah kesenian tradisional yang berada di ambang kepunahan akibat minimnya pewarisan dan ketiadaan alat kesenian.

Revitalisasi dilakukan pada dombyak dari Purwakarta, lengkong hatong (Bagor), topeng minor (Subang), dan ketuk tilu (Bandung). Sementara pewarisan dilakukan untuk kesenian topeng tambi dari Indramayu, parebut seeng (Kabupaten Bogor), gamelan sari oneng (Sumedang), dan kemprongan (Kuningan).

”Tahun ini diperkirakan akan ada 10 kesenian yang direvitalisasi dan 10 lainnya mendapatkan pewarisan budaya. Jenis keseniannya sedang dibicarakan, merujuk pada ketersediaan bahan dan pewarisannya,” kata Mas Nanu Muda. (CHE)

Rahwana "Gandrung" di Keraton Kanoman

Rahwana, Raja Alengka itu, gandrung bukan kepalang kepada Dewi Sinta. Di Keraton Kanoman, Cirebon, Jawa Barat, pekan lalu, Rahwana kembali berulah. Walaupun sudah diceritakan mati dalam ratusan kali pentas lantaran tubuhnya diimpit dua gunung, malam itu Rahwana membuktikan kedahsyatan aji Pancasona dari Subali. Ia hidup kembali!

Dikisahkan, langit yang teduh mendadak menjadi kebyar-kebyar saat Rahwana ngebet demi melihat Dewi Sinta yang cantik ditinggalkan suaminya, Rama, berburu. Lingkaran sakti yang dibuat adik iparnya, Laksmana, akhirnya jebol oleh Rahwana yang beralih rupa.

Dewi Sinta pun melawan dengan beberapa kali mengibaskan selendangnya ke arah muka Rahwana. Satu-dua kali kibasan selendang itu mengena. Si Raja raksasa yang tak kuasa membendung hasratnya itu pun murka. ”Aduh, Rahwana dikepret, jeh. Priben sih!” teriaknya.

Ratusan penonton yang menyaksikan drama tari Rama-Sinta itu pun terpingkal-pingkal mendengarkan komentar Rahwana. Ia masih bergulat dengan Sinta yang tak pantang menyerah. Beberapa kali ia mengelus kumis dan menahan diri agar tak sampai marah dan melukai pujaan hatinya. Akhirnya, setelah selendang bisa digenggam Rahwana, Sinta pun diboyong ke Taman Asoka, tempat ia dijaga oleh Dewi Trijata, keponakan Rahwana.

Penampilan apik drama tari Rama-Sinta yang dibawakan oleh Sanggar Puser Langit Cirebon itu membuat betah penonton Cultural Evening. Acara itu digelar oleh Yayasan Prima Ardian Tana di Alun-alun Keraton Kanoman.

Penonton paling banyak berasal dari Jakarta, Bali, dan Bandung, dan sebagian di antaranya turis asing yang menikmati liburan di Indonesia. Tiga Sultan Cirebon beserta keluarganya, yakni Sultan Kasepuhan XIV PRA Arief Natadiningrat, Sultan Kanoman XII Raja Muhammad Emiruddin, dan Sultan Kacirebonan PRA Abdul Gani Natadiningrat, juga menonton pergelaran seni itu. Berkumpulnya saudara sedarah yang berbeda keraton ini jarang terjadi.

Untuk meramaikan acara, Yayasan Prima Ardian Tana bekerja sama dengan Win Tours and Travel menyusun paket wisata agar turis bisa singgah di Keraton Kanoman menyaksikan pergelaran budaya itu. Hingga pukul 23.00, penonton makin dibuat geerr oleh aksi Indrajit, anak Rahwana, yang ditampilkan kurus kering dan banyak omong.

”Lho, ini ada kewan kok bisa omong. Kirik sira!” (Lho, ini ada hewan kok bisa omong. Anjing kamu)!” umpat Indrajit kepada Anoman, kera putih, yang menjadi utusan Rama untuk membebaskan Sinta. ”Ya, bisa! Sira kuh aja omong bae (Kamu itu jangan banyak bicara)!” ungkap Anoman.

Keduanya lantas saling menjejak, memukul, berkelit, bergulung, dan roboh. Lampu merah menyoroti pergumulan keduanya. Panggung dari kayu pun bergetar. Akhirnya, penonton tertawa kembali karena kumis Indrajit nyaris copot.

Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bandung Toto Sucipto menimpali, ”Drama ini Cirebon banget. Dari beberapa kali saya menyaksikan drama tari Rama-Sinta, barang kali ini yang gayanya paling dinamis.”

Warisan budaya
Namun, tak sekadar tertawa dan bertepuk tangan menyaksikan drama itu, BPNB Bandung pun merasa pertunjukan drama tari Cirebonan kurang diangkat ke permukaan. ”Sebenarnya tak hanya drama tari ini. Banyak kesenian Cirebon yang terancam punah. Tahun 2014, kami mencoba mengusulkan tari topeng Cirebon menjadi warisan budaya dunia,” katanya.

Wali Kota Cirebon Ano Sutrisno mengakui, selama ini seni dan budaya Cirebon kurang dieksplorasi. Padahal, kota itu memiliki banyak potensi. ”Tahun 2014, kami akan mulai menggelar pertunjukan seni secara rutin. Tempatnya bisa di keraton secara bergantian atau di alun-alun Kota Cirebon,” ujarnya lagi.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Cirebon mencatat, 27 kesenian dari sekitar 40 kesenian tradisi di wilayah itu hampir punah atau tak lagi berkembang di masyarakat. Hal ini, antara lain, disebabkan ketiadaan penerus kesenian dan kian jarangnya kesenian itu dipertontonkan di masyarakat.

Kondisi ini memiriskan sebab Kota Cirebon menargetkan dirinya menjadi daerah tujuan wisata. Kenyataannya, potensi seni dan budaya justru belum diperhatikan. (Rini Kustiasih)

Tiga Seni Tradisional Kabupaten Cirebon Punah

Hiburan organ tunggal dan tayangan televisi modern berdampak besar terhadap punahnya tiga kesenian tradisional Kabupaten Cirebon. Selain itu, modernisasi tersebut juga mengancam tujuh kesenian tradisional lainnya.

Demikian dikatakan Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Dispudparpora) Kabupaten Cirebon, Asullah, Jumat (21/6/13). “Organ tunggal harus diakui sedikit demi sedikit terus menggerus kesenian tradisional di Kabupaten Cirebon yang pada awalnya terdata sekitar 40 jenis,” katanya.

Asdullah menegaskan, saat ini masyarakat lebih memililih menonton tayangan TV daripada menyaksikan pertunjukan seni tradisional. Begitu pula masyarakat yang menggelar hajatan lebih suka mengundang organ tunggal daripada pelaku seni tradisional.

Menurut Asdullah, tiga seni tradisional yang sekarang sudah punah adalah Punil, Wayang Gong, dan Lais. Sementara seni tradisional yang statusnya terancam antara lain Wayang Golek Ceplak, Angklung Bungko, dan Tabuhan Renteng.

Kondisi tersebut membuat Dispudparpora mengambil langkah cepat untuk memasukan seni tradisional ke dalam mata pelajaran kesenian di tingkat sekolah dasar. “Dengan begitu, sejak dini anak dipaksa untuk mengenal dan mencintai seni tradisional. Jangan sampai mereka lebih mencintai seni dari luar negeri,” ujar Asdullah.

Seperti diberitakan sebelumnya, organ tunggal memang telah menjadi budaya baru yang menjadi tren di masyarakat. Namun, keberadaannya tanpa disadari telah mengikis seni tradisional yang sarat pesan moral. Seni Tarling juga termasuk salah satu seni yang sempat tergeser oleh organ tunggal. Beruntung, pewarisan Tarling saat ini terus digiatkan instansi terkait dari tingkat Kota/Kabupaten sampai Provinsi Jawa Barat.

Seniman dan budayawan Cirebon, Mustaqim Asteja mengatakan, tarling memang seringkali dikumandangkan hampir di seluruh wilayah pantura oleh organ tunggal. “Hampir 90 persen Tarling dimainkan oleh organ tunggal,” katanya.

Mustaqim tidak antipati terhadap organ tunggal. Namun ia berharap organ tunggal tidak menggunakan nama Tarling saat memainkan lagu-lagu Tarling. Sesuai dengan namanya, tarling asli dimainkan oleh dua alat musik utama yaitu gitar dan suling.

Selain itu, tambah Mustaqim, Tarling klasik juga memuat banyak pesan moral dalam liriknya. Begitu juga dalam musiknya, terdapat pakem-pakem yang selama ini tak pernah diperhatikan para pemain organ tunggal. Sementara itu Kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Bandung Toto Sucipto pernah mengatakan, pihaknya terus berupaya menginventarisasi seni tradisional di Jawa Barat. Pasalnya, pelestarian sulit dilakukan jika seni tradisional yang ada tidak tercatat dalam basis data.

Menurut Toto, dari 293 seni budaya yang tercatat di Jawa Barat saja, saat ini 43 diantaranya sudah dinyatakan punah. Sementara itu puluhan lainnya juga terancam. Toto juga membenarkan pernyataan Asdullah bahwa salah satu seni tradisional yang kondisinya tengah kritis adalah Angklung Bungko. (A-178/A-108)***

Sejarah Kota Bandung dari ”Bergdessa” (Desa Udik) Menjadi Bandung ”Heurin Ku Tangtung” (Metropolitan)

Oleh Nandang Rusnandar

Abstrak
Bandung merupakan sebuah kota yang mempunyai alur sejarah yang sangat panjang, wilayah yang asalnya hanya sebuah Bergdessa ‘desa udik yang sunyi sepi yang terdiri dari 25 sampai 30 rumah…’. Apabila dari satu rumah terdiri atas 4 orang anggota keluarga, maka dari 25 sampai 30 rumah tersebut diperkirakan penduduk di tempat itu berjumlah seratus dua puluhan jiwa dan diduga semuanya adalah orang Sunda. Itulah penduduk yang menempati ‘Dayeuh Bandung’ sebagai cikal bakal Kota Bandung. Dewasa ini, Bandung terwujud sebuah kota metropolitan yang indah penuh sanjung. Tujuan penelitian ini mengungkapkan sejarah Kota Bandung. Metode penelitian yang dipergunakan heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Bandung berkembang sesuai dengan situasinya.

Kata kunci: Bandung, Kota Bandung.

Abstract
The city of Bandung has a very long history, from the area of a remote and calm village (Bergdessa) consisting of 25 to 30 houses (approximately 120 people), it has turned into a big city (metropolitan) populated by over 4 millions people. The village was called Dayeuh Bandung (the city of Bandung) and it is considered to be the embryo of nowadays Bandung. The early population of Dayeuh Bandung was probably the Sundanese only. Revealing the history of the city of Bandung would be the main goal of this research, and the methods we are conducting are heuristic, critique, interpretive, and historiography. We came into conclusion that Bandung has developed accordingly.

Keywords: Bandung, Bandung City.

Diterbitkan dalam Patanjala, Vol. 2 No. 2 Juni 2010

Museum Etnografi Perkembangan dan Fungsinya Saat Ini

Oleh T. Dibyo Harsono

Abstrak
Masyarakat tradisional biasanya diidentikkan dengan masyarakat yang lebih banyak dikuasai oleh adat istiadat yang lama. Ada beberapa suku bangsa yang hanya mempunyai populasi puluhan orang, dan ada yang di ambang kepunahan. Untuk mewujudkan berdirinya sebuah museum etnografi perlu didukung dengan sebuah penelitian, yang mempergunakan teknik pengumpulan data seperti pengamatan, wawancara mendalam, serta studi kepustakaan. Untuk itu sangat relevan sekali apabila diwujudkan adanya sebuah museum etnik (Museum Etnik Nusantara), karena dengan keberadaannya akan banyak memberikan informasi mengenai etnik atau suku bangsa yang ada di Indonesia. Khususnya suku bangsa yang komunitasnya kecil dan belum banyak dikenal masyarakat secara luas, seperti halnya masyarakat Akit, masyarakat Suku Anak Dalam (Kubu/Orang Rimba/Rimbo), Suku Sakai, Suku Bonai, Suku Talangmamak, Masyarakat Hutan (Orang Hutan), Suku Laut, masyarakat Nias/Mentawai, masyarakat Rejang, dan masih banyak lagi.

Kata kunci: masyarakat, tradisional, etnografi.

Abstract
There are many endangered traditional tribes in the world, in term of very few population. Many of them inhabited the Indonesian Archipelago. The idea of establishing an ethnography museum, called Museum Etnik Nusantara, would be highly appreciated. Hopelfully, this kind of museum would serve us with any kind of data concerning endangered tribes of Indonesia, such as Suku (tribe) Anak Dalam, Suku Sakai, Suku Bonai, Suku Talangmamak, and others.

Keywords: society/community, traditional, ethnography.

Diterbitkan dalam Patanjala, Vol. 2 No. 2 Juni 2010

Pengelolaan Rumah dan Lahan Produksi pada Masyarakat Guradog Di Lebak- Banten

Oleh Yudi Putu Satriadi

Abstrak
Penelitian bertujuan untuk mengetahui masyarakat Guradog di Kabupaten Lebak-Banten dalam mengelola rumah dan lahan produksi. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan mendeskripsikan data hasil wawancara dan observasi tentang pengaturan rumah dan lahan produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Kampung Guradog masih menjunjung tinggi nilai tradisional dalam hal pengaturan rumah dan lahan produksi. Namun demikian, mereka tidak menampik masuknya budaya modern. Mereka melakukan seleksi terhadap budaya modern dengan cara hanya mengambil hal-hal yang baik yang tidak merusak tatanan tradisional. Kini, Masyarakat Kampung Guradog dalam mengatur rumah dan lahan produksi menggunakan dua budaya yaitu budaya tradisional dan budaya modern. Kedua budaya tersebut dapat berjalan secara harmonis. Kondisi ini terwujud berkat toleransi olot yang sangat menekankan pentingnya kehidupan berlandaskan rasa persatuan dan kebersamaan.

Kata kunci: Nilai, tradisional, modern, harmonis.

Abstract
The objective of this research is to understand how Guradog community manage their houses and land of production. The author observed and interviewed some community members, and a descriptive method was conducted in analysing the data. The result is that traditional values in managing houses dan land of production are highly appreciated, although modern culture is also acceptable. They accept some elements of modern culture selectively. Those which do not meet their values are not recommended. Therefore, they accomodate two different cultural values, either traditional or modern, as long as they do not harm their traditional way of life. Unity and togetherness become the basis of the community way of life. The role of olot (the elders) are very important in making this harmony happen.

Keywords: Value, traditional, modern, harmony.

Diterbitkan dalam Patanjala, Vol. 2 No. 2 Juni 2010

Mitos Dan Nilai Dalam Cerita Rakyat Masyarakat Lampung

Oleh Tjetjep Rosmana

Abstrak
Untuk mengungkapkan nilai-nilai luhur, sesungguhnya terdapat di dalam cerita rakyat, antara lain nilai-nilai luhur yang menyangkut tentang ajaran moral, harga diri, jati diri, kerja keras, tegang rasa, dan sebagainya. Nilai-nilai tersebut sangat baik ditanamkan dalam kehidupan kita, terutama kepada anak-anak sebagai penerus bangsa. Dalam tulisan mitos dan nilai dalam cerita rakyat masyarakat Lampung ini menggunakan pendekatan deskritif analisis content untuk menjelaskan cerita rakyat yang dikumpulkan. Data yang dikumpulkan tersebut disusun dan dianalisis, terutama dari segi struktur cerita dan nilainya. Selain itu dipergunakan metode komparatif analisis untuk membedakan jenis cerita dengan harapan dapat menyimak nilai-nilai luhur tersebut sebagai sistem pengendalian sosial yang dapat mewujudkan kehidupan yang tenteram, bersatu, dan harmonis. Dari tulisan ini kiranya dapat digarisbawahi betapa pentingnya nilai-nilai luhur tersebut di dalam kehidupan kita, terutama untuk anak agar berbudi pekerti sebagai pembentuk karakter bangsa.

Kata kunci: folklor lisan, mitos dan nilai, masyarakat Lampung.

Abstract
Folklores are source for us to dig traditional values that live in society, such as the ones of moral, dignity, hard work, and others. This research is about myths and folklores of Lampung society. We/the author examined the structure and values that they convey to analyse meaning and content. The stories are compared one to another and a descriptive analitical approach was conducted to describe the result.
Keywords: oral folklore, myth and values, society of Lampung.

Diterbitkan dalam Patanjala, Vol. 2 No. 2 Juni 2010

Popular Posts