Jakarta, LKB
Era si Pitung memang sudah lama berlalu. Tapi popularitas Robin Hood van Betawi itu tak pernah memudar dari masa ke masa. Bahkan semangat kepahlawanannya masih menginspirasi banyak kaum Betawi untuk bisa melakukan banyak hal yang membawa kebaikan bagi masyarakat. Popularitas yang luar biasa itulah yang kemudian membuat cerita Si Pitung sebagai folklore Betawi lebih banyak diketahui orang dengan berbagai mitosnya, ketimbang unsur kesejarahannya.
Fakta di atas muncul dalam presentasi dan diskusi hasil kajian Inventarisasi Perlindungan Ekspresi Keragaman Budaya, dengan judul “Cerita Si Pitung; Tokoh Legendaris dalam Pandangan Masyarakat Betawi” dan “Tradisi berpantun Pada Masyarakat Bertawi”. Acara yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bandung itu berlangsung di kantor Lembaga Kebudayaan Betawi, gedung Nyi Ageng Serang, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (18/12).
Inventarisasi dilakukan Tim Peneliti melalui buku, internet dan film, dengan penekanan pada pandangan masyarakat tentang ketokohan si Pitung. Baik Yahya Andi Saputra (budayawan Betawi) maupun JJ Rizal (sejarahwan Betawi) yang duduk sebagai pembahas sependapat, banyaknya versi cerita Si Pitung sebenarnya bukan masalah. “Yang terpenting bagaimana kita mengangkat nilai-nilai kearifan lokal dalam cerita itu untuk ditularkan kepada generasi sekarang yang lagi mengalami ketekoran moral,” demikian JJ Rizal.
Sementara itu dalam presentasi tentang “Tradisi Berpantun pada Masyarakat betawi” tim peniliti memaparkan, bahwa dalam kajiannya mereka meletakkan pantun dari segi fungsi maupun kategori sosial pelakunya. Penelitian di lakukan di Kelurahan Pangadegan Kecamatan Pancoran dan Kelurahan Sukabumi Utara Kecamatan Kebon Jeruk.
Dari hasil penelitian itu mereka mensarikan bahwa pantun memiliki peranan penting dalam komunikasi sosial. Pantun juga merupakan bentuk media komunikasi dalam penyampaian gagasan secara tidak langsung. Tujuannya adalah untuk memperhalus bentuk dialog dan membangun suasana keakraban.
Seluruh arena kehidupan dalam masyarakat betawi dapat dijadikan pantun. Namun secara umum secara umum pantun berkaitan dengan nasehat yang bersumber pada etika, moral, adab sopan santun dan ajaran agama. Ada pula pantun yang memuat kritik sosial yang tajam atas situasi yang mengitarinya. Oleh karena itu pantun Betawi dapat dikatakan sebagai representasi dinamika sosial-budaya masyarakat Betawi.
Karakter yang tampak begitu menonjol dalam pantun Betawi adalah kuatnya ekpresi spontan. Sampirannya mecuatkan nada yang bebas, lepas dan tanpa beban. Ini tentu terkait dengan karakterisasi orang Betawi yang dikenal sebagai masyarakat yang bersikap sangat terbuka. Jiwa humor yang dimiliki orang Betawi menjadi bagian penting terbentuknya tradisi berpantun. Hal ini diakui oleh salah seorang peserta, Abi, pria berdarah Bugis yang kini menetap di Gorontalo.
“Kami orang Bugis itu bukan tipe orang bisa bercanda. Karena itu kami mampu bersyair, tapi kami tidak bisa berpantun seperti orang Betawi ini. Acara ini membuat saya ingin belajar lebih banyak lagi tentang pantun Betawi”, ucapnya kepada LKB seusai acara. (CAI)