WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Festival Kesenian Tradisional, Cianjur 2012

a. Dasar Pemikiran
Kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan yang bersifat universal, artinya kesenian ada dalam masyarakat manapun. Kesenian tidak hanya dapat dikaji sudut penataan artistiknya, tetapi juga latar belakang kebudayaannya yang mampu mengungkapkan makna simbolis dari kesenian tersebut. Sehubungan dengan itu, khususnya yang berkenaan dengan keindahan, Popo Iskandar (1991: 8) mengatakan bahwa karya seni sebagai produk dari pemikiran kreatif dalam kehidupan batin manusia dengan sendirinya mempengaruhi batik penikmatnya.

Jenis kesenian rakyat yang merupakan refleksi dari cara hidup sehari-hari biasanya bersumber pada mitos, sejarah, adalah kesenian tradisional. Jenis kesenian ini biasanya diwariskan secara turun menurun dengan menggunakan alat atau cara-cara sederhana, berfungsi spiritual dan sosial, serta sarat dengan makna simbolis.

Pada masanya dulu, kesenian tradisional sempat “berjaya”, dalam arti menjadi satu-satunya sarana hiburan masyarakat yang menyebabkan berbagai jenis kesenian tradisional sering dipertunjukkan dan sangat digemari oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. Fungsi lainnya seperti sosial, kultural, dan spiritual juga berjalan secara harmonis. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, eksistensi kesenian tradisional pun mengalami perubahan. Keberadaannya kini tidaklah sehebat dan setegar dulu. Beberapa jenis kesenian tradisional kini mulai ditinggalkan para pendukungnya, bahkan tidak sedikit yang mulai menghilang dan tidak dikenal lagi oleh masyarakatnya. Keadaan ini juga diperparah dengan kurang adanya regenerasi sehingga keberadaan kesenian tradisional semakin terpuruk. Sejalan dengan itu, generasi muda pun tampak kurang memiliki minat untuk melanjutkan atau bahkan mengembangkannya. Dengan kata lain, keberadaan kesenian tradisional saat ini dalam keadaan kritis. Jangankan untuk berkembang, bertahanpun sangatlah sulit.

Berdasarkan pemikiran dan kenyataan di atas, maka Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung merasa perlu untuk menyelenggarakan sebuah kegiatan untuk memperkenalkan kesenian tradisonal kepada masyarakat, utamanya kepada generasi muda dan memberdayakan jenis-jenis kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di wilayah kerjanya, yaitu Provinsi Jawa Barat, DKI Jakartta, Banten dan Lampung dalam bentuk kegiatan “Festival Kesenian Tradisional”

b. Tujuan
Kegiatan Festival Kesenian Tradisional ini bertujuan untuk: (1) memperkenalkan kesenian tradisional kepada masyarakat, utamanya kepada generasi muda agar mereka lebih memahami dan mencintai budaya milik sendiri dalam upaya memperkokoh jati diri; (2) mengidentifikasi berbagai permasalahan berkenaan dengan keberadaan kesenian tradisional pada saat ini; (3) menampung aspirasi dari para pendukung kesenian tradisional (seniman/praktisi, penikmat seni, dan pemerhati) bagi kelangsungan dan pengembangan kesenian tradisional; (4) mencari alternatif pemecahan bagi permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh kesenian-kesenian tradisional di tengah upaya pengembangannya.

Hasil kegiatan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pihak-pihak terkait dalam upaya regenerasi kesenian tradisional.
c. Tema Kegiatan
Tema kegiatan ini adalah “Eksistensi dan Regenerasi Kesenian Tradisional”. Tema ini dipilih berdasarkan pada salah satu misi BPSNT Bandung, yaitu berupaya memperkenalkan dan mentransformasikan kembali kesenian tradisional kepada generasi muda.

d. Bentuk Kegiatan
Festifal Kesenian Tradisional ini akan dilaksanakan dalam dua bentuk kegiatan, yaitu: (a) Pergelaran/peragaan yang menampilkan 6 (enam) jenis kesenian tradisional yang berasal dari Kabupaten Cianjur, yaitu Mamaos, Maenpo, Bedor, Tutunggulan, Rampak Kohkol dan Reog; dan (b) diskusi panel yang akan menampilkan pembicara dari Praktisi/Akademisi dan budayawan.

e. Peserta
Kegiatan ini diikuti oleh 100 peserta terdiri dari budayawan, generasi muda, pendidik, LSM, sanggar-sanggar seni, media massa, dan instansi terkait.

f. Waktu dan Tempat
Kegiatan Festival Kesenian Tradisional ini dilaksanakan pada hari Rabu, 18 Juli 2002 di Gedung Dewan Kesenian Cianjur, Jalan Suroso No. 46 Cianjur.

Konsumtivisme Penghalang Utama Revitalisasi Budaya

ANTARAJAWABARAT.com,3/5 - Pakar kajian budaya Yasraf Amir Piliang menyatakan, konsumtivisme adalah penghalang utama upaya revitalisasi budaya di Indonesia guna membentuk generasi yang berkarakter.

Dalam seminar nasional "Potret Sukses Generasi Budaya" di Universitas Padjadjaran, Bandung, Kamis, Yasraf menilai masyarakat Indonesia, terutama kalangan muda, saat ini sudah terjebak dalam budaya konsumtif.

"Revitalisasi budaya itu suatu pekerjaan besar, tetapi kalau sudah terpengaruh oleh konsumtivisme percuma saja," ujarnya.

Menurut dia, budaya konsumtif menghasilkan generasi yang hanya menjadi pengikut dan peniru dari suatu trend yang tengah merebak namun hanya bersifat sementara.

Gaya hidup konsumtif itu telah mendorong manusia menggunakan obyek atau suatu benda yang beredar di pasaran untuk mendefinisikan diri dan posisi.

"Anak-anak muda yang rentan menjadi pengikut, peniru, bahkan cara berpikir yang salah pun ditiru," ujarnya.

Revitalisasi budaya, menurut Yasraf, karena itu bukan sekedar kegiatan menggali-gali peninggalan tradisi untuk diagung-agungkan semata. Melainkan, kearifan lokal yang tersimpan dalam warisan budaya Indonesia digunakan sebagai pencerah dalam mengubah karakter masyarakat konsumtif.

"Perubahan hanya bisa melalui perubahan yang konkret, bukan wacana," ujarnya.

Revitalisasi budaya, kata pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) itu, seharusnya bisa mengubah perilaku konsumtif menjadi produktif, peniru menjadi pencipta, dan pengikut menjadi kreatif.

Ia pun menyayangkan pendidikan tingkat dasar sampai tinggi tidak memuat pelajaran tentang etos kerja, kreativitas, serta nilai-nilai budaya yang bisa membangun karakter manusia.

Sementara pembicara lain dalam seminar itu, Indra J Piliang, menyatakan pemerintah sama sekali tidak memiliki strategi kebudayaan untuk memunculkan berbagai kearifan lokal yang tersimpan dalam banyak peninggalan tradisi Indonesia.

Kehidupan politik di tingkat pusat yang dikuasai oleh "kepikunan sejarah", lanjut Indra, sebaliknya justru disebarkan secara cepat ke seluruh daerah Indonesia.

Untuk itu ia mengusulkan agar dibentuk pusat-pusat budaya di setiap daerah dengan karakteristik masing-masing yang unik agar berfungsi sebagai penangkal nilai-nilai negatif yang menyebar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam seminar yang sama, Kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Bandung Toto Sucipto menyatakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menargetkan Indonesia telah memiliki generasi berkarakter kuat pada 2045.

"Jadi setelah 100 tahun Indonesia merdeka sudah tercipta generasi yang sangat kuat berkarakter," ujarnya.

Langkah yang ditempuh oleh Kemendikbud untuk mencapai target itu, menurut Toto, di antaranya adalah menggali dan mengangkat serta mengembangkan nilai-nilai budaya yang masih relevan dengan situasi saat ini lalu mengaktualisasikannya agar menghasilkan perilaku yang baik. ***3***
Diah

BPSNT Rangkul Pelajar Dengan Program Lawatan Budaya

Bandung (JarrakOnline), Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) merangkul kalangan pelajar untuk memperkenalkan berbagai peninggalan tradisional melalui program lawatan budaya yang digelar setiap tahun, demikian dikatakan Kepala BPSNT Bandung Toto Sucipto di Bandung.

Setiap tahun BPSNT akan mengundang 150 pelajar dari empat provinsi yang berada di wilayah kerjanya meliputi Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan Lampung. Para siswa diajak berkunjung ke suatu tempat selama beberapa hari agar mereka dapat mengenali dan mempelajari nilai-nilai budaya di daerah tersebut.

"Kami pernah mengajak para pelajar itu untuk menginap selama tiga hari di perkampungan Baduy di Banten. Setelah itu, para pelajar diminta untuk mendiskusikan pengalaman mereka," ujarnya.

Kegiatan serupa, menurut Toto, juga diadakan di Cirebon agar para pelajar bisa mengenali nilai-nilai tradisi dan kesenian daerah pesisir Jawa Barat. Dan Mei 2012 kami berencana mengundang 150 pelajar ke Rajapolah, Tasikmalaya, agar mereka bisa mempelajari wiraswasta dari produk-produk budaya.

Menurut Toto, kegiatan lawatan budaya bisa lebih cepat dan efektif menarik perhatian kalangan muda pada nilai-nilai budaya dan tradisi karena didasarkan oleh pengalaman langsung. Kegiatan seperti itu sangat penting untuk pelestarian budaya kepada generasi muda terutama yang berada di kawasan Jawa Barat dan DKI Jakarta yang termasuk daerah dengan akulturasi budaya yang tinggi.

Akulturasi budaya karena begitu banyak etnik yang memasuki wilayah tersebut bisa menyebabkan semakin terpinggirnya budaya asli penduduk setempat, jika tidak dilakukan upaya pelestarian. Apalagi orang-orangnya hampir sebagian besar 'mobile' dengan arus informasi yang begitu cepat. Jadi satu sisi kita berhasil sebagai 'melting pot' budaya-budaya lain yang datang, tapi di sisi lain menderanya bukan main.

Untuk kawasan Jawa Barat saja, BPSNT mencatat dari 394 jenis kesenian tradisional yang terdata, 42 jenis dalam kategori sangat berkembang, 61 jenis dalam keadaan berkembang, 248 tidak berkembang, dan yang punah sebanyak 43 jenis.Sedangkan karya budaya Jawa Barat yang sudah masuk ke dalam basis data nasional pencatatan warisan budaya tak benda baru mencapai 73 jenis. (ant/co

Sisingaan, Seni Sarat Makna Perjuangan

Semua anak di Indonesia mungkin sudah tidak asing dengan yang namanya Odong – odong. Namun tahukah Anda dari mana asal mulanya ?. Setelah ditelusuri ternyata pada mulanya Odong – odong merupakan sebutan lain dari kesenian Sisingaan, seni tradisional yang berasal dari Subang, Jawa Barat.

Tak diketahui secara pasti siapa yang menciptakan kesenian ini. Menurut Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Bandung, kesenian ini diperkirakan sudah mulai muncul sejak tahun 1812 ketika masa penjajahan Belanda di Indonesia. Saat itu meskipun secara politis wilayah Subang dalam kekuasaan Belanda namun secara ekonomi Subang di kuasai oleh Inggris melalui perusahaan perkebunan P & T Lands (Pamanoekan en Tjiasemlanden) yang menguasai hampir seluruh wilayah Subang.

Saat itu masyarakat Subang mendapat tekanan secara politik, ekonomi sosial dan budaya dari pihak Belanda maupun Inggris. Untuk melakukan perlawanan, mereka tidak hanya melakukannya secara fisik tetapi juga melalui bentuk kesenian Sisingaan. Kesenian ini merupakan bentuk ungkapan rasa ketidakpuasan, ketidaksenangan, atau upaya pemberontakan dari masyarakat Subang kepada pihak penjajah.

Secara filosofis para pengusung Sisingaan melambangkan masyarakat pribumi yang tertindas / terjajah. Sepasang patung Sisingaan melambangkan penjajah Inggris dan Belanda. Nayaga melambangkan masyarakat yang berjuang dan memberi semangat kepada generasi muda untuk dapat megusir penjajah dari daerah mereka. Sedangkan anak kecil penunggang singa melambangkan generasi muda yang suatu saat bisa mengusir penjajah. Anak kecil penunggang Sisingaan yang biasanya menjambak rambut Sisingaan merupakan salah bentuk ekspresi kebencian kepada kaum penjajah.

Dengan menggunakan simbol – simbol dalam Sisingaan tersebut masyarakat Subang bisa mengekspresikan perasaan mereka secara terselubung tanpa di curigai oleh para penjajah. Bahkan para penjajah malah merasa bangga karena lambang negara mereka (singa) dijadikan sebagai bentuk kesenian rakyat. Padahal kesenian itu merupakan simbol perlawanan terhadap mereka.

Pada zaman dahulu sisingaan dibuat dengan sangat sederhana, bagian kepala sisingaan terbuat dari kayu, rambut terbuat dari bunga atau daun kaso dan daun pinus. Sedangkan badan sisingaan terbuat dari carangka (anyaman bambu) yang besar dan ditutupi dengan karung karung goni atau terbuat dari kayu yang masih utuh atau kayu gelondongan. Untuk usungan sisingaan terbuat dari bambu untuk bisa dipikul oleh 4 orang. Saat ini bentuk sisingaan sudah dibuat semirip mungkin dengan bentuk singa asli.

Waditra pada masa itu sangat sederhana, hanya memakai beberapa alat musik saja (seperti beberapa angklung pentatonis berlaras salendro). Sekitar tahun 1968 mulai dimasukkan unsur ketuk tilu dan silat. Hal ini dapat dilihat dari penggabungan waditra yakni adanya tambahan dua buah gendang besar (gendang indung), terompet, tiga buah ketuk, dan sebuah kulanter (gendang kecil), bende (gong kecil), serta kecrek namun kemudian berkembang seperti saat ini.

Pada awalnya gerakannya para penarinya pun masih sangat sederhana dan dilakukan secara spontan. Demikian juga dengan busana yang dikenakan para penarinya. Pada mulanya para penari Sisingaan hanya mengenakan kampret, pangsi, iket seperti masyarakat umumnya. Namun sekarang baik gerakan tari maupun busana telah mengalami perkembangan tanpa meninggalkan kesan tradisionalnya.

Selain itu seiring dengan perkembangan zaman fungsi Sisingaan juga semakin luas. Pada awal terbentuknya kesenian Sisingaan terbatas hanya untuk sarana hiburan pada saat khitanan seorang anak, dengan cara melakukan helaran keliling kampung. Namun pada saat ini kesenian Sisingaan mempunyai fungsi yang beragam antara lain untuk prosesi penyambutan tamu terhormat atau acara seremonial lainnya.

Saat ini kesenian Sisingaan sudah sangat dikenal tidak hanya di daerah Subang saja. Di daerah sekitar kabupaten Subang pun bermunculan grup – grup seni Sisingaan. Penyebutan nama kesenian ini kadang berbeda di setiap daerah, ada yang menyebutnya odong-odong, citot, kuda depok, kuda ungkleuk, kukudaan, kuda singa atau singa depok.

Masyarakat pesisir pantura Jawa Barat biasanya menyebutnya dengan Odong – odong. Kesenian ini kemudian menjadi cikal bakal odong – odong yang sangat digemari anak – anak saat ini. Odong – odong yang asalnya diusung kemudian mengalami modifikasi dengan dipasangkan pada badan becak. Hingga akhirnya bentuk Sisingaan yang dipasang pada becak justru yang dimodifikasi menjadi bentuk lain, seperti bentuk kuda-kudaan hingga bentuk komidi putar, namun tetap menggunakan istilah Odong – odong.

Kabupaten Subang sebagai daerah asal Sisingaan sangat gencar mempromosikan kesenian ini. Setiap tahun di daerah ini di gelar festival Sisingaan. Bahkan pada bulan Pebruari 2012 digelar pemecahan rekor MURI Sisingaan dengan jumlah penari terbanyak. Semoga kesenian yang sarat akan makna perjuangan ini akan tetap dicintai masyarakat. (Budiana Yusuf)

Siswa SMA Kenali Budaya Tasik

Tasikmalaya - Sebanyak 150 siswa dari empat provinsi —Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten dan Lampung— mengikuti acara Jejak Tradisi Daerah di Hotel Namira Kota Tasikmalaya kemarin (20/6). Acara itu diselenggarakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Bandung. Para siswa datang bersama guru pendamping masing-masing.

Agus Setiabudi SIP, kepala Sub Bagian Tata Usaha Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, menerangkan kegiatan ini diselenggarakan untuk memberikan pemahaman kepada generasi muda tentang nilai-nilai dan kearifan budaya lokal.

Khusus di Tasikmalaya, sambung dia, para peserta diajak untuk mengunjungi beberapa pusat kerajinan tradisional diantaranya kelom geulis, payung geulis, batik Tasik dan menyaksikan secara langsung budaya asli Kampung Naga.

Mengapa Tasik menjadi pilihan kunjungan tahun ini? Kata dia, Tasik memiliki banyak kebudayaan dan peninggalan sejarah yang masih menyimpan nilai budaya dan kearifan lokal.

Tahun lalu, tambah dia, BPSNT mengadakan acara yang serupa, namun Cirebon yang dipilih sebagai daerah jejak tradisi daerah. Di sana, peserta diajak mengenal lebih jauh jejak tradisi keraton. Fungsi keraton dulu dengan sekarang sama atau tidak.

Sedangkan di Tasikmalaya, sambung dia, BPSNT mengunjungi Kampung Naga. ”Peserta bisa mengetahui apa saja yang ada di sana, keseharian masyarakat di sana dan bagaimana tradisi masyarakat di sana tetap bertahan di tengah-tengah masyarakat yang modern,” tutur dia.

Tantan Rustandi, kepala Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kota Tasikmalaya, menyambut baik kegiatan tersebut. Menurut dia, Tasikmalaya yang menjadi daerah tujuan acara jejak tradisi sangat diuntungkan, terlebih untuk publikasi berbagai kesenian dan beragam kebudayaan.

”Acara seperti ini sangat bagus dan memberikan banyak manfaat untuk generasi muda agar mereka mencintai budaya dan tradisi daerah. Saya sangat menyambut baik kegiatan yang terselenggara atas prakarsa BPSNT yang memperkenalkan Tasikmalaya khususnya. Terlebih Tasikmalaya sendiri memang mempunyai banyak UKM yang memiliki kualitas tinggi,” ujar mantan kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Tasikmalaya ini.

Nurmala R, peserta dari SMKN 1 Kota Tasikmalaya mengaku bangga terpilih menjadi salah satu duta sekolahnya. Terlebih tidak ada tes khusus untuk mengikuti acara Jejak Tradisi Daerah.

”Dari SMKN 1 Tasikmalaya ada dua orang yang mengikuti kegiatan ini. Di sini kami diberikan pengetahuan mengenai budaya-budaya dari daerah-daerah yang dikunjungi, khususnya Tasik,” jelasnya.

Peserta dari luar Tasikmalaya pun memberi apresiasi terhadap kegiatan ini. Salah satunya adalah siswa SMA Mekar Harum Bandung. Dia mengaku sangat bahagia menjadi bagian dari kegiatan jejak tradisi daerah.

”Kebetulan di sekolah kami ada ekskul (ekstrakurikuler, red) yang khusus mengupas mengenai budaya Indonesia yaitu Lises. Kegiatan ini bagus dan memberikan banyak pengetahuan dan masukan untuk kami,” jelas dia. (irma/xpresi news)

Popular Posts