WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Laporan Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Sulawesi Selatan

JudulLaporan Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Sulawesi Selatan
PengarangRidasari Bachtiar dan Nur Alam Saleh
PenerbitBalai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Ujung Pandang, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
CetakanPertama, 1998
Tebal180 halaman
Desain SampulLestari

Unsur-unsur Nilai Budaya dalam Serat Witaradya


JudulUnsur-unsur Nilai Budaya dalam Serat Witaradya
PengarangSri Retna Astuti, Tashadi, dan Wahyu Pantja Sunjata
PenerbitProyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
CetakanPertama, 1997
Tebalix + 312 halaman
Desain SampulLestari

Kajian Nilai Budaya Naskah Kuna Meongpalo Karellae

JudulKajian Nilai Budaya Naskah Kuna Meongpalo Karellae
PengarangSri Saadah Soepono, Margariche Panannangan, dan Kartika Yulistyawati
PenerbitProyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
CetakanPertama, 1999
Tebalvii + 110 halaman
Desain SampulLestari

Kosmologi Orang Wemale di Seram Barat

JudulKosmologi Orang Wemale di Seram Barat
PengarangKantor Wilayah Propinsi Maluku
PenerbitProyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
CetakanPertama, 1999
Tebaliii + 74 halaman
Desain SampulLestari

Pesindo Aceh 1945-1952: Organisasi Nasional di Tingkat Lokal

Oleh Sudirman

Abstrak
Penelitian berjudul “Pesindo Aceh 1945-1952: Organisasi Nasional di Tingkat Lokal” membahas Pesindo Aceh. Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan mengapa muncul Pesindo di Aceh sehingga menjadi kekuatan politik dan peranannya dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Untuk pengumpulan data digunakan metode sejarah. Penggunaan metode sejarah dimaksudkan supaya mendapatkan data yang akurat. Melalui metode sejarah dilakukan studi secara mendalam sehingga diperoleh pemahaman yang menyeluruh dan akurat tentang Pesindo. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan studi pustaka. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosial-politik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya tarik elit Aceh bergabung ke dalam Pesindo karena asas kedaulatan rakyat yang ditawarkannya. Masyarakat bergabung ke dalam Pesindo yang sosialisme bukan berarti fundamen orientasi politik elit Aceh yang terikat kepada nilai atau simbol suku, kekerabatan, dan agama menjadi hilang. Kekhawatiran bahwa PKI (Partai Komunis Indonesia) akan mengambil alih Pesindo sebagai wadah organisasinya di Aceh merupakan bagian dari alasan diterimanya Pesindo di Aceh. Pesindo berperan aktif dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, terutama pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia.

Kata kunci: Pesindo Aceh, organisasi nasional, politik.

Diterbitkan dalam Patanjala Vol. 6, No 1, Maret 2014: 49-64

Dinamika Teater Mendu di Kalbar (1712-2014)

Oleh Dewi Juliastuty

Abstrak
Mendu adalah teater tradisional di Kalimantan Barat. Mendu berasal dari Kabupaten Pontianak, terpusat di Dusun Malakian Desa Sengkubang Kecamatan Mempawah Hilir. Masa jaya teater mendu pada tahun 1876–1942. Tahun 1980 mendu bangkit kemudian menjadi primadona dan berkembang pesat di Provinsi Kalimantan Barat selama tahun 1980-an. Perlahan mendu meredup dan akhirnya mati suri. Masalah dalam kajian ini adalah bagaimana dinamika mendu di Kalbar. Tujuannya adalah mendeskripsikan dinamika mendu di Kalimantan Barat. Teknik pengumpulan data adalah wawancara dan studi dokumentasi. Metode yang digunakan adalah kualitatif dan didukung oleh pendekatan sosiologi sastra serta menggunakan teori sosiologi teater. Kajian ini merupakan kajian awal sehingga berpeluang dilakukan kajian lanjutan. Simpulan penelitian ini adalah mendu Kalimantan Barat merupakan penggabungan antara wayang Cina dengan syair Melayu. Keberadaan mendu di Kalbar mengalami pasang surut. Semakin derasnya arus globalisasi membuat mendu semakin tersisih pada zaman modern. Jika hal ini dibiarkan, maka kesenian mendu bukan hanya mati suri bahkan punah. Oleh karena itu, diperlukan dukungan dan tindakan nyata pemerintah dan masyarakat untuk menghidupkan kembali dan melestarikan mendu.

Kata kunci: mendu, teater tradisional.

Diterbitkan dalam Patanjala Vol. 6, No 1, Maret 2014: 33-48

Mitos Oheo dan Asas Hubungan dalam Konsep O Rapu: Menguak Posisi Perempuan dalam Keluarga Suku Tolaki

Oleh Heksa Biopsi P.H.

Abstrak
Mitos Oheo adalah kisah tentang salah satu versi asal-usul suku Tolaki. Sumber mitologi yang diperoleh dari orang-orang tua suku Tolaki ini memuat kisah Oheo dan Anawaingguluri yang dalam salah satu buku sumber dikatakan sama dengan Putri Wekoila, seorang perempuan yang menjadi cikal bakal suku Tolaki. Meskipun mitos Oheo sudah tidak sekuat dulu diyakini oleh suku Tolaki, mitos ini memuat hal-hal yang pada akhirnya menjadi acuan aturan adat yang sudah ditetapkan. Penelitian difokuskan pada salah satu aspek aturan adat suku Tolaki, yaitu konsep o rapu. Penelitian ini bertujuan mengungkap asas hubungan dalam konsep o rapu yang terepresentasi dalam mitos Oheo. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan kajian budaya, khususnya teori intertekstual. Hasil analisis menunjukkan bahwa di dalam mitos Oheo terdapat representasi asas hubungan meowali, meo’ana meo’ana, meo’ina meo’ana, dan mbeo’ana. Pembahasan hasil analisis diarahkan pada hubungan representasi konsep o rapu di dalam mitos dengan posisi perempuan di dalam keluarga suku Tolaki. Dari hasil dan pembahasan diketahui bahwa perempuan dalam keluarga suku Tolaki berada pada posisi terhormat dikaitkan dengan proses perawatan anak sebagai regenerasi keluarga, tidak tabu berada pada wilayah kerja nondomestik, dan posisi yang berhak mendapat perlindungan dari anggota keluarga laki-laki.

Kata kunci: mitos Oheo, konsep o rapu, posisi perempuan, suku Tolaki.

Diterbitkan dalam Patanjala Vol. 6, No 1, Maret 2014: 17-32

Etnis Betawi: Kajian Historis

Oleh Heru Erwantoro

Abstrak
Polemik tentang asal-usul etnik Betawi muncul ketika Lance Castles mengemukakan pendapat bahwa etnik Betawi baru muncul pada abad ke-20 dengan budak yang berasal dari etnik Bali sebagai unsur pembentuk yang dominannya. Berseberangan dengan Lance Castles, Ridwan Saidi mengatakan etnik Betawi tidaklah muncul secara tiba-tiba, tetapi sudah ada sejak zaman prasejarah yang dia sebut sebagai “Proto Betawi” dan terus berproses menjadi etnik Betawi di abad ke-17 Masehi. Berdasar dua pendapat itu, penelitian ini akan membahas sejarah etnik Betawi. Pertanyaan tentang siapa, kapan, dan bagaimana proses terbentuknya etnik Betawi menjadi fokus dari penelitian ini. Dengan memakai metode sejarah, ditelusuri berbagai pendapat para ahli yang telah melakukan penelaahan tentang etnik Betawi. Berbagai argumen dengan bukti-bukti yang kuat dari pendapat para ahli itu menegaskan bahwa etnik Betawi terbentuk dari suatu proses akulturasi yang berkesinambungan. Proses dari “Proto Betawi” menjadi “Betawi” berlangsung selama berabad-abad. Hanya saja, ada dua aspek yang perlu untuk diberi perhatian di dalam mengatasi polemik yang terjadi, yaitu: pertama, proses pembentukan etnik dan kedua, proses pemberian atau penyebutan nama suatu etnik/masyarakat. Proses terbentuknya masyarakat berlangsung lebih dulu sedangkan pemberian nama terjadi kemudian. Dengan demikian, tidaklah tepat bila pemberian nama suatu etnis dijadikan titik awal terbentuknya sebuah masyarakat.

Kata kunci: etnik, proto Betawi, Betawi, akulturasi.

Diterbitkan dalam Patanjala Vol. 6, No 1, Maret 2014: 1-16

Peranan Azimat pada Masyarakat Aceh Besar

JudulPeranan Azimat pada Masyarakat Aceh Besar
PengarangRusdi Sufi, Shabri A., Agus Budi Wibowo, Irvan Setiawan
PenerbitBalai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh
CetakanPertama, 1997
Tebalvii + 96 halaman
Desain SampulLestari

Kaba Siti Jamilah dengan Tuanku Lareh Simawang

JudulKaba Siti Jamilah dengan Tuanku Lareh Simawang
Kajian Isi dan Nilai Budaya
PengarangAjisman dan Rois Leonard Arios
PenerbitBalai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Padang
CetakanPertama, 2004
Tebalvi + 83 halaman
Desain SampulLestari

Budaya Spiritual Orang Makassar

JudulBudaya Spiritual Orang Makassar
PengarangRaodah
PenerbitBalai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar
CetakanPertama, 2012
Tebalvi + 77 halaman
Desain SampulLestari

Makna Simbolik Tumbuh-tumbuhan dan Bangunan Kraton

JudulMakna Simbolik Tumbuh-tumbuhan dan Bangunan Kraton
Suatu Kajian terhadap Serat Salokapatra
PengarangI.W. Pantja Sunjata, Tashadi, dan Sri Retna Astuti
PenerbitProyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Pusat, DIrektorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
CetakanPertama, 1995
Tebalviii + 296 halaman
Desain SampulA.M. Djoko Subandono

Warisan Budaya Jawa Barat Banyak Tak Tercatat

TEMPO.CO, Bandung - Pencatatan warisan budaya di Jawa Barat berjalan lambat. Jumlah hasil pencatatannya pun kini masih sedikit yakni lima warisan budaya per tahun di tiap daerah. Adapun jenis dan bentuk warisan budaya itu sangat banyak, termasuk dongeng hingga cerita tahayul.

Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung Toto Sucipto mengatakan, selama 5 tahun sejak 2009 hingga Desember 2014, jumlah warisan budaya berupa benda dan bukan benda di Jawa Barat tercatat 821 jenis. Karena banyak data pencatatan budaya itu yang tidak lengkap, maka hanya 236 jenis yang memenuhi syarat untuk diajukan. "Untuk mendapat sertifikasi warisan budaya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," kata Toto, Rabu, 25 Maret 2015.

Menurut Toto, pencatatan warisan budaya ini penting, karena beberapa telah punah akibat tidak ada lagi kelompok masyarakat yang memakai atau menampilkannya lagi. Tahun ini, Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung berencana mengajukan 20 karya warisan budaya Jawa Barat, diantaranya sintren, tarawangsa, reak, tarling, dan pencak silat. Adapun di jenis kuliner seperti nasi timbel dan sate maranggi.

"Hambatan awal pencatatan seperti petugas yang malas atau merasa capek melihat formulir pengisian, sekarang kami persingkat," ujarnya.

Kendala lain soal pencatatan di lapangan, yakni kurangnya kerjasama Dinas Budaya dan Pariwisata daerah dengan komunitas atau budayawan, kemudian masih adanya budaya yang disakralkan masyarakat, dan petugas pencatat data karya budaya di daerah belum bekerja secara profesional. "Banyak nama karya budaya yang sama, duplikasi data, atau sejarah dan deskripsi karya budaya tidak lengkap," kata dia.

Beberapa solusi yang ditawarkan, menurut Toto, diantaranya petugas bisa memakai sumber-sumber sekunder seperti hasil penelitian, koran dan majalah. Petugas juga diminta lebih dekat dengan pelaku budaya guna mendapatkan informasi yang lebih mendalam tentang karya budaya yang dicatat. "Untuk menyiasati keterbatasan informasi yang diberikan oleh maestro karya budaya," ujarnya.

Antropolog lulusan Universitas Indonesia, Yophie Septiady, mengatakan jumlah budaya di masyarakat sangat banyak, termasuk budaya bukan benda. Budaya seperti itu misalnya pemaknaan masyarakat tentang motif batik. "Motif parang rusak misalnya tidak pantas dipakai ke pesta perkawinan karena dinilai berpengaruh buruk ke pengantin," katanya.

Beragam dongeng di masyarakat bahkan cerita tahayul yang berkembang di suatu tempat, dinilainya termasuk budaya bukan benda. Pencatatan hal semacam itu selain oleh petugas, bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat lalu diajukan ke dinas. "Di Bali ada yang malu, masak (cerita) setan dicatat segala," katanya. Menurut Yophie, sejumlah mitos itu bisa menjadi bahan untuk dibuktikan secara ilmiah. (ANWAR SISWADI)

Ini 24 WBTB Jabar yang Akan Didaftarkan BPNB

Bandung, HanTer - Dalam waktu dekat Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bandung akan segera mendaftarkan 24 warisan budaya tidak benda (WBTB) ke kementerian pendidikan dan kebudayaan dan kementerian hukum dan hak asasi manusia.

"Dalam waktu dekat, 24 WBTB tradisional Jawa Barat akan didaftarkan ke Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI," kata Toto Sucipto dari BPNB Bandung.

Adapun ke 24 WBTB asal Jawa Barat yang tahun 2015 ini didaftarkan ke Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya Kemendikbud RI, untuk jenis kuliner didaftarkan makanan nasi timbel serta sate maranggi.

Untuk arsitektur bangunan leuit turut didaftarkan dan untuk kriya atau kerajinan khas didaftarkan kelom geulis (Bandung, lukis kaca (Cirebon), dan payung geulis (Tasikmalaya).

Sementara untuk jenis kesenian, yaitu kesenian sintren (Indramayu, Majalengka dan Cirebon), mamaos (Cianjur), tarawangsa (Sumedang), reak (Bandung), tarling (Indramayu), pencak silat, ronggeng bugis (Cirebon), badneng, ujungan, lais, dan surak ibra (Garut).

“Khusus untuk kesenian tradisional kemungkinan akan bertambah karena jumlahnya masih banyak mencapai 800 lebih,” terang Toto.

Selain WBTB jenis makanan, arsitektur, kriya dan kesenian, tahun 2015 BPNB Bandung menurut Toto, juga mendaftarkan upacara tradisional dan permainan tradisional.

Untuk upacara tradisional didaftarkan upacara ngarot, nadran, ngalungsur geni, rahengan, cingcowong, dan mapag tamba, sedangkan permainan tradisional yang baru akan didaftarkan adalah pamidangan atau ketangkasan domba Garut. (Ris)

BPNB Bandung tak Berwenang Keluarkan Rekomendasi Pengesahan Raja

BANDUNG,(PRLM).- Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung (BPNBB) Direktorat Jenderal Kebudayaan di Kementerian Pendidikan Kebudayaan tidak memiliki wewenang memberi rekomendasi pengesahan raja dan kesultanan di Jawa Barat.

Jumlah raja dan sultan di Indonesia terus semakin bertambah seiring dengan adanya perhimpunan dan forum komunikasi raja dan sultan di Indonesia.

Kepala BPNBB Dirjen Kebudayaan di Kemendikbud, Toto Sucipto menegaskan bahwa pihaknya tidak memiliki wewenang untuk memberikan rekomendasi atau mengesahkan pengajuan dihidupkannya kembali kerajaan ataupun kesultanan di Jawa Barat.

“Saya tegaskan, bahwa saya tidak akan memberikan rekomendasi ataupun sebuah persetujuan akan ajuan penetapan kerajaan atau kesultanan di Jawa Barat yang dilakukan oleh pihak yang mengatasnamakan ahli waris atau turunan,” ujar Toto Sucipto pada evaluasi dan arahan kegiatan Lawatan Sejarah, Rabu (1/4/2015).

Hal tersebut diungkapkan Toto sehubungan sering muncul pertanyaan dari peserta diskusi atau kegiatan yang diselenggarakan BPNBB. Selain itu, dalam satu tahun terakhir pihaknya banyak menerima surat pengajuan atau permohonan penetapan raja dan sultan.

“Pada tahun 2010 tercatat ada 60 raja dan sultan Nusantara, namun seiring dengan tumbuhnya kelompok atau forum, tahun 2014 jumlahnya mencapai lebih dari 190. Memang tidak ada salahnya terus bermunculan dan menghidupkan kembali kerajaan dan kesultanan yang pernah ada, tapi ada banyak hal yang harus dibuktikan,” ujar Toto. (retno heriyanto/A-89)***

Tradisi Masyarakat Parmalim di Toba Samosir

JudulTradisi Masyarakat Parmalim di Toba Samosir
PengarangSri Alem br Sembiring, Agustrisno, Rytha Tambunan, Titit Lestari, dan Hotli Simanjuntak
PenerbitBalai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Banda Aceh
CetakanPertama, 2012
Tebalvi + 110 halaman
Desain SampulTitit Lestari

Mahabarata Parwa ke Tujuh Drona-Parwa

JudulMahabharata
Parwa ke Tujuh Drona-Parwa
PengarangFikrawan Zuska, Gustanto, Irini Dewi Wanti, Harvina, Hendra Mulia
PenerbitLembaga Javanologi Surabaya
Koordinator Jawa Timur
CetakanPertama, 2011
Tebalxi + 310 halaman
Desain SampulKoes Indarto

Kongres Nasional Sejarah 1996

JudulKongres Nasional Sejarah 1996
Subtema
Pemikiran dan Analisis Teks Sejarah I
PenyuntingMPB. Manus
PenerbitProyek Inventarisasi dan DOkumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
CetakanPertama, 1998
Tebalx + 293 halaman
Desain SampulLestari

Bibliografi Beranotasi Hasil Penelitian Kebudayaan

JudulBibliografi Beranotasi Hasil Penelitian Kebudayaan
PengarangSoejanto, Wahyuningsih, Sukiyah, Kartika Yullistyawati, Margariche Panannangan, dan Nina Ruchiana
PenerbitProyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Pusat, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
CetakanPertama, 1995
Tebalvi + 293 halaman
Desain SampulLestari

Popular Posts