WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Mengenal Sejarah Kota Depok Di masa Penjajahan

Oleh : Shendy Patricia

Pendahuluan
Penulisan karya tulis ini dilatarbelakangi oleh lomba yang diadakan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. Selain dari itu penulisan karya tulis ini juga dilatarbelakangi oleh rasa ingin tahu saya tentang sejarah tentang sejarah tempat di mana saya tinggal dan karena Kota Depok masih menyisakan nuansa peninggalan Belanda.

Permasalahan
Di sini saya membahas Kota Depok pada masa kolonial Belanda tepatnya saat VOC ada di Indonesia dan sedikit tentang kontroversi asal-usul nama Kota Depok.

Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan karya tulis sejarah ini adalah yang mengikuti perlombaan, menambah wawasan tentang sejarah di tempat saya tinggal dan sebagai wawasan bagi orang lain agar lebih mengenal kota Depok.

Metode Penulisan
Karya tulis ini mendapatkan data-data dari beberapa sumber, terutama dari internet dan wawancara dengan narasumber mengamati lokasi.

Kegunaan Penulisan
Kegunaan karya tulis ini adalah:
Sebagai media pengetahuan bagi orang lain,
Memacu media pengetahuan bagi orang lain,
Memacu kreatifitas siswa-siswi SMA pada umumnya,
Memperkenalkan sejarah kota Depok,
Sebagai bahan renungan untukkita semua.

Sistimatika Penulisan.
Bab I : Pendahuluan
BAB II : Pembahasan
BAB III : Kesimpulan
Daftar Pustaka

Sejarah Kota Depok pada Masa Kolonial Belanda
Depok merupakan sebuah kota yang awalnya didiami oleh buruh pertanian Belanda. Tanah Depok sendiri dulu dimiliki seorang pejabat pengadilan VOC yang mengundurkan diri dari VOC karena tindak korupsi yang sangat tidak disukai. Dahulu Depok hanyalah hutan sebelah selatan Batavia dan hanyalah sebagian kecil dari negara Indonesia yang menyimpan sejarah penjajahan Belanda.

Pada tahun 1976, Presidsen Soeharto meresmikan Perumnas di Depok. Pada saat itu penduduknya tidak lebih dari 100 ribu orang. Hubungan ke Jakarta pun masih sangat sulit, karena jalan raya ke Pasar Minggu hanya satu jalur. Pada tahun 1999, Depok menjadi sebuah kotamadya. Saat ini penduduk Depok telah mencapai lebih dari 1.335.734 jiwa atau lebih dari sepuluh kali lipat dari saat presiden Soeharto meresmikan perumnas pada tahun 1976.

Jika dilihat secara seksama, nuansa bekas-bekas kependudukan Belanda sangatlah kental dan saat ini masih terasa. Rumah-rumah bergaya Belanda masih dapat dijumpai di kota Depok, lebih tepatnya di jalan Pemuda, Depok lama.

Pada jaman penjajahan Belanda atau tepatnya pada saat VOC (verenige Oost Indische Compagnie) menguasai Indonesia. Pada saat pemerintahan Deanles, banyak tanah di pulau Jawa dijual kepada swasta, sehingga muncullah tuan-tuan tanah baru di Indonesia. Khususnya di daerah sekitar Depok, seperti tuan tanah Pondok Cina, tuan tanah Mampang, tuan tanah Cinere, tuan tanah Citayem dan tuan tanah Bojonggede. Tidak hanya itu saja pada masa kejayaan VOC, hampir semua orang Belanda di Batavia dan sekitarnya sangat kaya raya tersebut memiliki budak yang sangat banyak. Budak-budak tersebut diangkut dari daerah di luar pulau Jawa.

Salah satu dari tuan tanah yang ada di Depok adalah Cornelis Chastelein. Ia adalah seorang pemuda asal Belanda yanglahir di Amsterdam pada tanggal 10 Agustus 1657. Ia adalah seorang keturunan Perancis-Belanda. Ayahnya bernama Antonie Chastelein adalah seorang Perancis yang menyeberang lautan ke Belanda dan bekerja di VOC. Ibunya adalah Maria Cruidenar, seorang putri dari walikota Dordtrecth.

Dengan usia yang cukup muda, Cornelis Chastelein meninggalkan Belanda untuk pergi ke Indonesia, saat ia baru akan menginjak usai 17 tahun. Pada tanggal 24 Januari 1674 Cornelis meninggalkan Belanda, perjalanan ke Indonesia ia tempuh selama 223 hari atau lebih dari tujuh bulan melewati Tanjung Harapan, ujung selatan Afrika, karena pada saat itu belum ada Terusan Suez. Dan pada tanggal 16 Agustus 1674 ia sampai di Indonesia tepatnya di Batavia.

Sama halnya dengan ayahnya, Cornelis Chastelein juga bekerja di VOC. Dalam beberapa bulan tinggal di Batavia, Cornelis Chastelein menikahi seorang wanita berkebangsaan Belanda bernama Catharina van Vaalberg. Setelah lama menikahi Catharina, Cornelis mendapatkan seorang anak laki-laki ia berinama sama dengan ayahnya, Antonie Chastelein.

Cornelis Chastelein adalah seorang pria yang sangat rajin, ulet, dan hemat. Tak heran jika ia dengan cepat meraih kesuksesan. Serikat dagang milik Belanda ini mengalami pergantian gubernur jenderal dari Jenderal Johanes Champhuys menjadi Jenderal Willem van Outhorn.

Pergantian tersebut memberikan sebah arti, bahwa pergantian pejabat artinya pergantian kebijakan. Cornelis adalah seorang pria yang jujur. Ia tidak menyukai tindakan korupsi karena bertentangan dengan hati nuraninya. Selama kepemimpinan Jenderal Willem van Outhorn tindak korupsi terjadi dengan sangat gila-gilaan. Korupsi terjadi di semua lapisan jabatan dan dari segala bidang jabatan yang terdapat dalam serikat dagang VOC tersebut.

Cornelis Chastelein beralih profesi dari seorang pajabat pengadilan VOC menjadi seorang wiraswastawan. Dengan uang simpanannya, Cornelis Chastelein membeli tiga bidang tanah yang luas di hutan Batavia seharga 700 ringgit pada tanggal 18 Mei 1696. Tanah tersebut dapat dikatakan sangat sulit dijangkau. Pada saat itu tanah yang dibeli Cornelis hanya dapat dijangkau dengan melalui aliran sungai Ciliwung dan jalan setapak. Ketiga bidang tanah tersebut di bilangan Mampang, Karang Anyar, dan Depok.

Cornelis Chastelein pindah dari Batavia ke tanah yang ia beli dengan uang simpanannya. Selama di sana ia menekuni bidang pertanian dan perkebunan, pekerjaan tersebut sangat berbeda dengan pekerjaan yang ia lakukan selama bekerja di VOC.

Tiga bidang tanah tersebut sangatlah luas. Ia membutuhkan budak (pekerja). Cornelis Chastelein mendatangkan pekerjanya dari Indonesia Timur, seperti dari Bali, Makasar, Nusa Tenggara Timur, Tarnate, Kei, Jawa, Batavia, Pulau Rote dan Filipina. Jumlahnya sekitar 150 orang. Chastelein bukan hanya figur majikan yang baiktapi ia jua seorang penginjil, sesuai dengan amanat ayahnya, bahwa ia harus menyeberkan agama Kristen Protestan di Indonesia.

Para pekerjanya harus memeluk agama Kristen Protestan. Kepada mereka Chastelein memberikan fasilitas dan hak lainnya yang sama seperti yang dirasakan oleh warga Belanda. Secara bertahap di sana mulai terdapat padepokan Kristiani yang disebut De Eerste Protestante van Kristenen, disingkat DEPOK. Konon nama padepokanKristiani tersebut menjadi cikal bakal dari nama Depok.

Tanah milik Cornelis memiliki batasan-batasan sebagai berikut:

Sebelah Selatan:

Kampung Belimbing (berbatasan dengan Kelurahan Ratu Jaya sekarang)

Sebelah Timur:

Sungai Ciliwung

Sebelah Barat:

Rel kereta api Jakarta-Bogor.

Sebagai tuan tanah yang partikelir, Cornelis Chastelein berhak mengurus tanahnya sesuai dengan kebijakan yang ia tetapkan sendiri, tanpa campur tangan pihak luar. Dalam pemerintahannya Cornelis Chastelein sangat mempersiapkannya dengan matang. Hal tersebut terbukti dengan adanya gedung pemerintahan yang saat ini menjadi rumah sakit Harapan yang letaknya di Depok lama di Jalan Pemuda. Salah satu kebijakan dalam pemerintahan Cornelis adalah kebijakan terhadap hasil panen padi juga ia berikan yaitu dengan mengenakan cukai sebesar 20 persen dari hasil yang diperoleh.

Selama tinggal di Depok Cornelis Chastelein juga menikahi dua orang wanita pribumi. Dari pernikahannya dengan salah seorang isterinya. Ia dikaruniai seorang anak perempuan yang diakui di hadapan notaris, anaknya bernama Maria Chastelein. Maria adalah nama yang sama dengan ibunya, sedangkan Chastelin adalah marga keluarganya. Berbeda dengan Maria Chastelein, Catharina van Batavia yang juga anak dari wanita pribumi yang lain yang dinikahi Chastelein tidak diakui dihadapan notaris dan tidak bermarga Chastelein seperti yang dimiliki oleh Maria Chastelein.

Untuk memperlancar misi kristen dan menjalankan amanat yan telah diberikan oleh ayahnya, Cornelis Chastelein mendirikan gereja yang terbuat dari kayu pada tahun 1700. Menjelang abad ke-19 gereja tersebut diperbaharui dengan batu. Namun gereja itu hancur karena gempa yang sangat kuat melanda pada tahun 1836. Gereja itu dibangun kembali dan sampai saat ini masih berdiri kokoh di Jalan Pemuda, gereja tersebut diberi nama Gereja Imannuel.

Setelah mengalami renovasi gereja tersebut dapat menampung jemaat yang semakin lama semakin banyak dan terus bertambah. Yang spesifik dari gereja tersebut adalah terteranya 12 nama kepala keluarga bekas buruh Cornelis Chastelein di pintu masuk gereja tersebut. Kedua belas nama tersebut adalah: Soedira, Leander, Laurens, Jonathans, Loen, Tholense, Sammuel, Joseph, Bacas, Jacob, Isakh, Zadokh.

Pada tanggal 13 Maret 1714, beberapa bulan sebelum Cornelis Chastelein wafat, ia menuliskan sebuah surat wasiat. Isi dari surat wasiat tersebut adalah bahwa Cornelis Chastelein mewariskan tiga bidang tanahnya seluas 1224 hektar kepada budaknya, setelah budaknya menukar agamnya menjadi Kristen Protestan.

Keberadaan surat wasiat yang ditulis Chastelein diartikan sebagai kedudukan budak-budaknya pun berubah sebagai manusia yang merdeka. Pada tanggal 28 Juni 1714, Cornelis Chastelein meninggal dunia di atas tanah yang dibeli sendiri dengan uang uang yang ia tabung selama ia tinggal di Batavia atau semasa hidupnya hingga saat ia membeli tanah tersebut.

Tak hanya mewariskan tanah yang sangat luas kepada budaknya tapi ia juga membagi-bagikan sejumlah uang. Setiap keluarga mendapatkan 16 ringgit dimana satu ringgit sama dengan 2,5 gulden. Selain itu, ia juga mewariskan 300 ekor kerbau, 2 perangkat gamelan yang dihiasi dan bertahtakan emas, dan 60 tombak berlapis perak.

Setelah Cornelis Chastelein meninggal dunia, isterinya Catharina van Vaalberg yang ia nikahi di Batavia menuntut hak waris. Namun keberadaan surat wasiat tersebut tuntutan Catharina ditolak. Sepeninggal Chastelein, Catharina menikah kembali dengan seorang pegawai negeri bernama Francois de Witte van Schooten. Harta warisan Chastelein yang berkilau dan berlimpah ruah raib saat terjadi huru hara di masa revolusi dulu. Nama Cornelis Chastelein dikenal dengan LCC (Lembaga Cornelis Chastelein) dan sebuah pekuburan mengabdikan namanya.

Sebagai pengaruh ajaran yang dibawa dan diajarkan oleh Chastelein, pada tahun 1878, di Depok terdapat sekolah seminari petama di Indonesia sebagai tempat menyebarkan agama Kristen. Ketika itu seluruh pendeta disalurkan ke seluruh Indonesia setiap tahun, para penginjil atau penyebar agama Kristen Protestan berkumpul di kota Depok. Karena di daerah-daerah lain di Indonesia sudah banyak didirikan sekolah seminari atau sekolah yang sejenis maka sekolah itupun ditutup. Sekarang gedung bekas sekolah tersebut menjadi panti wreda yang letaknya di dekat stasiun Depok lama.

Keturunan daribudak-budak Chastelein kini dapat kita jumpai di jalan Pemuda di Depok Lama. Acapkali mereka disebut Belanda-Depok dan anak mereka dipanggil sinyo (sebutan untuk orang Belanda). Julukan atau sebutan tersebut mungkin tidak sedap didengar. Belanda-Depok dapat dikonotasikan sebagai antek-antek Belanda. Tapi mereka tidak tersinggung dengan sebutan atau julukan yang mereka dapatkan, karena hal tersebut memang benar adanya. Meskipun mereka adalah budak yang mengurus tanah milik Chastelein bukan mata-mata Belanda untuk menghancurkan Indonesia.

Ada tanggapan yang mengatakan bahwa Depok dikenal setelah Cornelis Chastelein membeli tanah tersebut dan membangun perkebunan. Tanggapan di atas dibantah H. Nawawi Napih, penduduk Depok yang sejak tahun 1991 mengadakan penelitian membantah bahwa Depok dikenal sejak masa Cornelis Chastelein membangun perkebunan di sana. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh H. Baharuddin Ibrahim dkk., dalam bukunya berjudul “Meluruskan Sejarah Depok” karena sebelum Chastelein ada nama Depok sudah ada sebelumnya.

Mengutip dari Abraham van Reibeeck ketika pada tahun 1703, dan tahun 1704, dan tahun 1709 selaku inspektur jenderal VOC mengadakan ekspedisimenelusuri sungai Ciliwung melalui rute: Benteng (Batavia) – Cililitan – Tanjung (Tanjung Barat) – Seringsing (Serengseng) – Pondok Cina – DEPOK – Pondok Pucung (Pondok Terong). Tapi berbeda dengan sejarah Depok yang disusun oleh H. Nawawi Napih dan H. Baharuddin Ibrahim.

H. Nawawi Napih mendapatkan keterangan dari MW Bakas. Ia adalah seorang pria benar-benar keturunan asli Depok mengatakan, waktu perang antara Padjajaran dengan Banten – Cirebon (Islam). Tentara Padjadjaran membangun padepokan untuk melatih para prajuritnya dalam mempertahankan kerajaan Padjadjaran (Bogor) dan Sunda Kelapa (Jakarta). Perkembangan selanjutnya padepokan ini disebut Depok sesuai lidah Melayu.

Pendapat yang dikemukakan oleh H. Nawawi Napih beralasan karena di sekitar Depok terdapat nama-nama kampung yang menggunakan bahasa Sunda, seperti: Parung Belimbing (Depok Lama) di selatan, Parung Malela di sebelah Utara, dan Parung Serab. Semua kampung ini terletak di kali Ciliwung, kemungkinan kampung-kampung itu pada saat perang dijadikan basis pertahanan tentara Padjadjaran terhadap kemungkinan serangan Cirebon dan Banten ke pusat pemerintahan di Bogor melalui kali Ciliwung. Kemungkinanlain adalah sebagai basis pertahanan untuk menyerang Sunda Kelapa.

Depok
Bila ditelusuri secara arti (semantic) dan makna (heurmanetika) kata Depok dalam kamus bahasa sunda dan idiomatic yang hidup di masyarakat sunda, makna arti kata Depok adalah:

Menurut kamus bahasa sunda: Depok > padepokan = pertapaan, perkampungan. Jika demikian awalnya wilayah Depok diperuntukan untuk perkampungan dengankonsentrasi peruntukan sebagai “petapaan” yang kini satu arti dengan “tempat pendidikan dan pesantren”

Adapun dalam istilah “pencak, silat, maen po’: Depok = sikap tubuh yang merendah penuh kewaspadaan, siap untuk mempertahankan diri atau melakukan serangan. Bila Depok diartikan seperti itu, maka maknanya, masyarakat dan wilayah Depok selalu siaga menghadapi segala tantangan kehidupan.

Menurut seorang sesepuh, kata Depok berasal dari Bahasa Belanda de volk yang secara fonetis masyarakat sunda mengucapkan de volk > Depok, (de volk = people, nation, the people of this country). Bila pendapat ini akan dijadikan acuan, maka akan bermakna positif. Berarti sejak lama wilayah Depok menjadi pemukiman yang dapat dibanggakan. Istilah “nation” menunjukkan kualitas peradaban suatu komunitas bangsa.

Terlepas dari semua arti dan makna kata Depok dalam kamus bahasa sunda dan idiomatic kini Depok adalah sebuah kotamadya dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi dan fasilitas-fasilitas yang cukup lengkap. H. Nawawi Napih mengatakan Depok berasal dari kata padepokan yang disesuaikan dengan lidah Melayu. Jika memang benar keberadaan nama Depok seperti yang dikatakan oleh H. Nawawi Napih,maka kita tidak dapat mengingkari keberadaan De Eerste Protestante Organisatie van Kristenen yang disingkat DEPOK.

Peninggalan-peninggalan dari jaman penjajahan Belanda masih dapat kita lihat sampai saat ini, khususnya peninggalan Cornelis Chastelein yang ada di jalan Pemuda, Depok Lama. Selain peninggalan Chastelein, di Depok juga masih ada peninggalan kolonial Belanda lainnya, yaitu Kramat Beji.

Keramat Beji terletak diantara Perumnas I dan Depok Utara. Di sekitarnya terdapat tujuh buah sukur berdiameter satu meter, di bawah sebuah pohon beringin yang terletak di antara ketujuh sumur tersebut. Di sana terdapat bangunan berukuran kecil yang selalu terkunci. Bangunan tersebut ternyata menyimpan benda-benda bersejarah dan kuno, seperti keris, golok, dan tombak.Menurut sumber keterangan, Keramat Beji sering dijadikan tempat pertemuan antara Banten dan Cirebon. Senjata-senjata tersebut sebagai tempat pelatihan bela diri dan pendidikan agama yang sering disebut padepokan.

Penutup
Kesimpulan
Dari karya tulis yang telah dibuat ini, saya menyimpulkan bahwa sesungguhnya sejarah itu adalah sebuah pembahasan yang sangat menarik, apalagi sejarah di tempat saya tinggal. Sejarah Depok memiliki keunikan tersendiri bagi saya selaku penulis. Kota Depok adalah kota padat penduduk yang jika ditelusuri akanmenemukan sebuah kontroversi dan satu sosok yang mempengaruhi kota Depok yaitu Cornelis Chastelein.

Daftar Pustaka
Situs resmi Kota Depok
Republika Online
Wawancara dengan beberapa narasumber
Beberapa situs lainnya

Sumber :
Makalah disampaikan pada “Lomba dan Diskusi Penulisan Sejarah Lokal” yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
http://wisatadanbudaya.blogspot.com

Inventarisasi Ungkapan Tradisional dan Cerita Rakyat

Oleh : Yuzar Purnama

Inventarisasi unsur-unsur kebudayaan sudah menjadi tugas dan tanggung jawab para pegawai di bagian atau seksi kebudayaan. Tugas ini sudah menjadi kegiatan rutin yang harus setiap hari digeluti, di samping kegiatan atau tugas-tugas lainnya. Penginventarisasian ungkapan tradisional dan cerita rakyat menjadi penting karena kedua jenis ini di beberapa daerah ada yang sudah punah; tidak ada masyarakat pendukungnya, ada yang mulai pudar, bahkan ada yang sudah tidak dikenali lagi khususnya oleh generasi muda, padahal mereka itu adalah penerus bangsa. Oleh karena itu, merupakan langkah yang tepat untuk menginventarisasi cerita rakyat, karena dikhawatirkan cerita rakyat tenggelam dalam kepunahan akibat lunturnya minat masyarakat.

Cerita rakyat sebagai khasanah bangsa, dewasa ini tampak mulai tersisihkan oleh cerita-cerita yang berasal dari mancanegara. Keadaan demikian merupakan salah satu ancaman jika melihat kemanfaatan cerita rakyat sebagai media pendidikan untuk membentuk moral masyarakat khususnya anak-anak, sementara cerita rakyat dari mancanegara belum tentu sesuai dengan latar belakang budaya kita.

Selain itu, cerita rakyat merupakan khasanah bangsa yang pewarisannya atau penyebarluasannya secara oral (lisan) dari mulut ke mulut (tatalepa) dari generasi ke generasi, sehingga memungkinkan lambat laun sedikit demi sedikit akan rusak dan hilang dari ingatan masyarakat pendukungnya. Padahal di dalam cerita rakyat atau dongeng ini terkandung nilai-nilai pendidikan, ajaran moral atau agama, kesejarahan, kepahlawanan, adat istiadat, dan sebagai media hiburan.

Barangkali salah satu yang santer yang dapat memicu semangat kebangsaan kita adalah kasus diklaimnya beberapa khasanah budaya bangsa oleh negara asing misalnya Reog Ponorogo oleh Malaysia dan kerajinan Batik oleh Jepang. Juga beberapa produk budaya bangsa lainnya. Hal ini dapat diantisipasi jika masyarakat segera melakukan inventarisasi, pendokumentasian, serta sosialisasi baik di dalam maupun keluar negeri. Sehingga minat negara asing untuk mengklaim salah satu produk budaya kita yang menurut mereka antik dan menarik untuk dimiliki dan dipasarkan, akan berkurang dan imbasnya mereka akan lebih menghargai dan menghormati khasanah budaya kita yang beragam.

A. Ungkapan Tradisional
1. Pengertian Ungkapan Tradisional
Secara umum ungkapan disebut juga idiom atau sinonim dari ungkapan adalah idiom. Pengertian ungkapan dalam Kamus Umum WJS. Poerwadarminta halaman 1129 (dalam Yuzar, 2005:9) adalah perkataan atau kelompok kata yang khusus untuk menyatakan sesuatu maksud dengan arti kiasan (melihat bulan, haid; celaka tiga belas).

2. Jenis-Jenis Ungkapan
Pemahaman terhadap ungkapan biasanya hanya sebatas pada babasan (ungkapan) dan paribasa (peribahasa). Perbedaan keduanya beranjak pada anggapan bahwa dari segi fisik dan jumlah (kuantitas), ungkapan lebih pendek daripada peribahasa, sebaliknya peribahasa lebih luas maknanya dari ungkapan, seperti yang tertera dalam Kamus Umum Basa Sunda LBSS (1985:43), ”Babasan nya eta ucapan matok nu dipake dina harti injeuman saperti gede hulu, panjang leungeun, jeung saterusna.” (ungkapan adalah ucapan yang terikat oleh kaidah-kaidah tertentu dengan menggunakan makna kiasan (arti konotatif) seperti besar kepala, panjang tangan, dan sebagainya). Adapun peribasa nya eta ucapan matok, saeutik patri, nu mangrupa siloka lakuning hirup (pituah, piluangeun, jeung sajabana) saperti mapatahan ngojay ka meri, moro julang ngaleupaskeun peusing (peribahasa adalah ucapan yang terikat oleh kaidah-kaidah tertentu, singkat padat, yang amerupakan gambaran kehidupan: nasihat dan pengalaman, seperti mengharap burung terbang tinggi punai di tangan dilepaskan, dan sebagainya.

Dalam buku pedoman Pelaksanaan Teknis Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Wilayah Jawa Barat (dalam Yuzar, 2005:9) disebutkan bahwa ungkapan tradisional menurut jenisnya terbagi atas enam bagian yaitu:

Kata-kata adat, berisikan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh pemangku-pemangku adat yang disampaikan dalam bentuk kalimat lengkap.

Saciduh metu saucap nyata (segala perbuatan dan ucapannya harus pasti)
Legok tapak genteng kadek (banyak pengalaman)
Landung Kandungan Laer aisan (bijaksana dalam memutuskan perkara)
Bobot pangayom timbang taraju (harus banyak pertimbangan)

Pepatah; ungkapan yang berisikan (anjuran, karangan, kritikan, dan sindiran) yang disampaikan dalam satu kalimat pendek.

Lamun keyeng tangtu pareng (jika ada kemauan segala keinginan akan tercapai)
Ulah poho ka waktu (jangan melupakan waktu)
Mending waleh manan leweh (lebih baik berusaha daripada berputus asa)

Perumpamaan; mengibaratkan langsung antara tingkah laku atau keadaan manusia dengan binatang-tumbuhan-alam sekitar yang yang diungkapkan dalam suatu kalimat lengkap dan didahului dengan kata-kata: bagai-bak-sebagai-dan bagaikan.

Kawas gula jeung peueutna (tidak bisa dipisahkan)
Lir nanggeuy endog beubeureumna (sangat dijaga dan disayang)
Asa kagunturan madu kaurugan menyan putih (mendapatkan kebahagiaan yang tiada tandingnya)

Tamsil (ibarat); ungkapan berupa perumpamaan yang dilengkapi dengan keterangan dan diungkapkan dalam kalimat tunggal yang digabungkan menjadi satu kalimat.

Manuk hiber ku jangjangna, jalma hirup ku akalna (setiap mahluk hidup sudah diberi cara untuk melangsungkan kehidupannya)

Ulah diuk dina lawang panto matak nongtot jodo (jangan suka duduk diambang pintu, bisa terhalang jodoh)

Kudu bisa ngeureut neundeun saeutik mahi loba nyesa (harus mampu menyisihkan uang untuk ditabung)

Metafora; ungkapan yang terdiri atas satu kelompok yang isinya melukiskan sifat -tingkahlaku- dan keadaan manusia dengan membandingkannya dengan sifat alam –tumbuhan-atau binatang.

Keur ngemplok hejo (sedang hidup bahagia)
Sari gunung (wajah tampak cantik dari kejauhan)
Beungeut sieureun (tidak cantik tapi banyak yang tertarik)

6. Pemeo; kelompok kata atau kalimat yang mengandung ejekan atau dorongan semangat.

a. Heuras genggerong (ucapannya kasar tidak enak didengar)
b. Bodo alewoh (orang yang rajin bertanya)
c. Baleg tampele (tidak berani berhadapan)

3. Teknik Penginventarisasian Ungkapan Tradisional
Jenis Ungkapan Tradisional

Data yang sudah terkumpul disebutkan menurut jenisnya yaitu babasan (ungkapan), paribasa (peribahasa)

Teks dan Terjemahan
Teks ungkapan tradisional ditulis secara lengkap baik huruf maupun tanda bacanya. Teks ditulis dalam bentuk aslinya (bahasa asli) kemudian diberikan terjemahan atau alih bahasa kedalam bahasa Nasional, bahasa Indonesia.

Maksud Ungkapan Tradisional Tersebut
Diterangkan maksud dari ungkapan di atas supaya jelas maksud ungkapan tersebut, agar dapat memudahkan orang lain untuk membaca dan mengenalinya.

Nilai Budaya Yang Terkandung Didalamnya
Ungkapan yang telah di data kemudian dianalisis untuk mengetahui nilai budaya apa yang terkandung didalamnya.

Yang dimaksud dengan nilai di sini meminjam definisi yang dikemukakan oleh Harry Waluyo dan Koentjaraningrat. Harry Waluyo mengatakan bahwa nilai budaya adalah konsep abstrak mengenai masalah yang amat mendasar dan dan bernilai dalam kehidupan manusia…(dalam Yuzar, 2005:82). Kontjaraningrat mengatakan bahwa nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adapt yang terdiri atas konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-halk yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu suatu system nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia (1984:25).

Konsepsi tentang nilai-nilai budaya telah dikemukakan oleh Sutan takdir Alisyahbana yaitu nilai teori, nilai ekonomi, nilai agama, nilai seni, nilai kuasa, dan nilai solidaritas. Sementara itu Koentjaraningrat mengemukakan konsepsi nilai budaya seperti nilai sosial, nilai ekonomi, nilai politik, nilai ilmu, nilai kerja, nilai seni, nilai filsafat, dan nilai-nilai agama (dalam Yuzar, 2005:107). Konsepsi lainnya dapat menggunakan konsepsi nilai budaya dari butir-butir nilai luhur Pancasila atau yang lainnya.

Asal Daerahnya (Kampung, Desa, Kecamatan, dan sebagainya)
Ketika sedang mengumpulkan data, jangan lupa dicatat dari daerah mana ungkapan tersebut berasal, kemudian dikonfirmasikan dengan daerah lainnya kampung, desa, kecamatan, dan kabupaten (kota).

B. Cerita Rakyat
1. Pengertian Cerita Rakyat (Dongeng)
Cerita rakyat disebut juga folklor, hampir di setiap daerah di Nusantara ini memiliki cerita rakyat yang tumbuh dan berkembang di daerahnya. Cerita rakyat berkembang dengan bercirikan tanpa diketahui pengarangnya (anonim), ia bagaikan sesuatu yang terlahir dalam suatu komunitas kemudian menyebar melalui lisan dari satu generasi ke generasi hingga akhirnya sampai ke generasi berikutnya termasuk kita sekarang ini, seperti yang dikemukakan oleh Ariyono Suyono bahwa cerita rakyat (tale) yaitu cerita yang disebarluaskan dan diwariskan secara lisan (Ariyono Suyono, 1985:74).

2. Jenis Cerita Rakyat
Ariyono Suyono menggolongkan cerita rakyat menjadi tiga kelompok besar yaitu mite, legenda, dan dongeng. Sedangkan dalam Upaya Bidang Jarahnitra (dalam Tjetjep, 1993:1) dijelaskan empat jenis cerita rakyat, yaitu:

Mite adalah jenis cerita yang tokoh-tokohnya dianggap keramat.
Legenda adalah jenis cerita yang tokoh-tokohnya dianaggap pernah ada daan berkaitan dengan kejadian alam yang dianggap luar biasa oleh masyarakat.

Fabel adalah cerita tentang binatang yang dianggap seperti manusia (personifikasi). Biasanya cerita ini mengandung unsur pendidikan bagi anak-anak dan petuah-petuah mengenai hal baik dan buruk.

Cerita jenaka adalah cerita yang isinya mengandung sindiran, kritik sosial, pendidikan, dan lain-lain yang bersifat menghibur.

Dalam kesusastraan Bahasa Indonesia disebutkan bahwa cerita rakyat atau dongeng dibagi menjadi lima jenis yaitu mite, legenda, sage, fable, dan parable. Sage adalah cerita rakyat atau dongeng yang mengandung unsur-unsur kesejarahan, sedangkan parable adalah cerita rakyat atau dongeng yang tidak masuk keempat katagori sebelumnya (mite, sage, legenda, fable).

3. Teknik Penginventarisasian Cerita Rakyat
a. Jenis Cerita Rakyat

Data yang sudah terkumpul disebutkan menurut jenisnya yaitu mite, sage, legenda, fabel, parabel, dan sebagainya.

b. Teks atau Ringkasan Cerita
Teks cerita rakyat ditulis secara lengkap baik huruf maupun tanda bacanya. Teks ditulis dalam bentuk aslinya (bahasa asli) atau teks berupa ringkasan ceritanya.

c. Nilai Budaya Yang Terkandung Didalamnya
Cerita Rakyat yang telah di data kemudian dianalisis untuk mengetahui nilai budaya apa yang terkandung didalamnya.

Yang dimaksud dengan nilai di sini meminjam definisi yang dikemukakan oleh Harry Waluyo dan Koentjaraningrat. Harry Waluyo mengatakan bahwa nilai budaya adalah konsep abstrak mengenai masalah yang amat mendasar dan dan bernilai dalam kehidupan manusia…(1991:4). Kontjaraningrat mengatakan bahwa nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat yang terdiri atas konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-halk yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu suatu system nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia (1984:25).

Konsepsi tentang nilai-nilai budaya telah dikemukakan oleh Sutan takdir Alisyahbana yaitu nilai teori, nilai ekonomi, nilai agama, nilai seni, nilai kuasa, dan nilai solidaritas. Sementara itu Koentjaraningrat mengemukakan konsepsi nilai budaya seperti nilai sosial, nilai ekonomi, nilai politik, nilai ilmu, nilai kerja, nilai seni, nilai filsafat, dan nilai-nilai agama (dalam Yuzar, 2005:107). Konsepsi lainnya dapat menggunakan konsepsi nilai budaya dari butir-butir nilai luhur Pancasila, serta dari rujukan yang lainnya.

d. Asal Daerahnya (Kampung, Desa, Kecamatan, dan sebagainya)
Ketika sedang mengumpulkan data, jangan lupa dicatat dari daerah mana cerita rakyat tersebut berasal, kemudian dikonfirmasikan dengan daerah lainnya kampung, desa, kecamatan, dan kabupaten (kota).

Daftar Pustaka
Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.

Lembaga Sastra dan Basa Sunda (LBSS).1975. Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Tarate.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia: Jakarta.

Purnama, Yuzar. 2005. Inventarisasi dan Analisis Ungkapan Tardisional Di Kabupaten Tasikmalaya. Balai Kajian Jarahnitra: Bandung.

Rosmana, Tjetjep, dkk. 1993. Inventarisasi Cerita Rakyat Kabupaten Majalengka. Balai Kajian Jarahnitra: Bandung.

Suyono, Ariyono,dkk. 1985. Kamus Antropologi. Jakarta: CV Akademika Pressindo.

Busana Tradisional Sangir-Talaud

Oleh Ria Andayani S.

Menurut asal katanya, nama Sangir-Talaud secara keseluruhan berarti orang yang berasal dari laut atau samudra. Sedangkan menurut asal-usulnya, terdapat berbagai perbedaan pendapat mengenai hal tersebut. Ada yang menyebutnya sebagai bagian dari rumpun bangsa Melayu-Polenisia yang berpindah lewat Ternate, sebagai penduduk asli Sulawesi Utara, penduduk keturunan bangsa Filipina, atau bahkan campuran dari sejumlah suku bangsa tertentu. Namun terlepas dari semua itu, orang Sangir-Talaud saat ini merupakan sekelompok masyarakat yang menempati wilayah Sulawesi Utara

Sekitar abad ke-16, penduduk Sangir-Talaud terbagi ke dalam beberapa kerajaan kecil yang tersebar di seluruh Kepulauan SangirTalaud. Setiap kerajaan selalu berusaha memperluas wilayah dan pengaruhnya dengan mengadakan perkawinan penduduk antarkerajaan. Keberadaan kerajaan-kerjaan itu sendiri memberi nuansa yang khas pada kebiasaan warga masyarakatnya dalam hal berbusana.

Ada busana adat yang sering dikenakan dalam berbagai kesempatan yang erat kaitannya dengan tradisi masyarakat setempat seperti perkawinan, peminangan, penasbihan desa, atau bahkan untuk pakaian sehari-hari. Nama busana tersebut adalah laku tepu, yakni baju panjang yang biasa dikenakan oleh wanita maupun pria. Perbedaannya hanya terletak pada ukuran panjang baju dan pasangannya. Untuk kaum wanita panjangnya bisa mencapai betis, dengan penutup bagian bawahnya menggunakan kain sarung. Sementara itu, untuk kaum pria bisa mencapai telapak kaki atau hanya sebatas lutut, dengan celana panjang sebagai penutup pada bagian bawahnya.

Laku tepu pada umumnya berwarna terang dan mencolok se-perti merah, ungu, kuning tua, dan hijau tua. Baju jenis ini, pada zaman dulu terbuat dari kain ,kofo dengan dua bahan baku utamanya adalah serat manila hennep dan serat kulit kayu. Untuk mendapatkan warna yang diinginkan, sebelum dijahit harus dicelupkan ke dalam cairan air nira untuk warna merah misalnya, dan daun-daunan atau akar-akaran tertentu yang dapat menghasilkan warna biru, hijau, kuning, atau merah darah. Namun saat ini, keberadaan kain kofo telah digantikan dengan berbagai bahan lainnya yang sesuai untuk dibuat baju panjang. Namun warna yang dipakai masih tetap mengacu pada tradisi sebelumnya, yakni warna terang dan mencolok.

Satu hal yang cukup penting dan dapat membedakan upacara yang satu dengan yang lainnya adalah kelengkapan busana. Dalam hal ini upacara perkawinan merupakan satu momen yang dapat memperlihatkan busana adat daerah Sangir-Talaud secara lengkap.

Busana adat pengantin pria terdiri atas celana panjang dan laku tepu yang panjangnya hingga lutut atau telapak kaki, di kanan kiri baju terdapat belahan yang tingginya mencapai pinggul, krah baju berbentuk bulat dan terbelah di bagian depannya, serta berlengan panjang. Kelengkapan busana yang dikenakan oleh pengantin pria meliputi kalung panjang atau soko u wanua, keris (sandang) yang diselipkan di pinggang sebelah kanan, ikat pinggang atau salikuku yang terbuat dari kain dengan simpul ikatan ditempatkan di sebelah kiri pinggang, dan ikat kepala berbentuk segitiga. Khusus untuk ikat kepala, bagian yang menjulangnya diletakkan di bagian depan kepala. Adapun ujungnya diikatkan di belakang kepala.

Sementara itu, busana adat pengantin wanita terdiri atas kain sarung lengkap dengan baju panjang atau laku tepu yang berlengan panjang, krah baju berbentuk bulat, dan terbelah di tengah pada bagian belakangnya. Kelengkapan buasana lainnya yang dipakai oleh mempelai wanita adalah sepatu atau sandal, sunting (topo-topo) yang dipasang tegak lurus pada konde di atas kepala, gelang, antinganting, kalung panjang bersusun tiga yang disebut soko u wanua, serta selendang (bawandang liku). Khusus untuk selendang, pemakaiannya disampirkan di bahu kanan melingkar ke kiri dengan salah satu ujungnya terurai sampai ke tanah, dan ujung yang satunya lagi dapat dipegang. Saat ini, keberadaan kain sarung yang dikenakan untuk menutup badan bagian bawah, kerap diganti dengan rok panjang yang sudah dilipit (plooi).

Selain pada kelengkapan busana pengantin, kekhasan lainnya juga tampak pada kelengkapan busana yang dikenakan pada upacaraupacara ritual maupun formal lainnya. Pada saat menghadiri acaraacara tersebut, kaum pria mengenakan busana adat yang terdiri atas baju panjang, celana panjang, ikat pinggang, dan yang teristimewa di sini adalah ikat kepala. Keberadaan ikat kepala di sini biasanya melambangkan status atau kedudukan seseorang di tengah-tengah masyarakat. Hingga saat ini, pemakaian ikat kepala sebagai simbol pembeda status sosial seseorang masih tetap berlaku. Dalam hal ini, ada beberapa contoh ikat kepala yang melambangkan status sosial pemakainya seperti paporong lingkaheng yang melambangkan pemakainya tidak memiliki kedudukan di dalam masyarakat; paporong tingkulu, yang menandakan pemakainya seorang pegawai pemerintah; paporong datu bouwawina, yakni ikat kepala yang digunakan oleh raja atau pejabat pemerintah tertinggi; dan beberapa jenis ikat kepala untuk para penari.

Sementara itu, busana adat yang dikenakan oleh kaum wanita pada berbagai upacara ritual atau acara formal meliputi baju panjang berikut pelengkap utamanya yaitu selendang. Seperti halnya ikat kepala pada busana adat pria, selendang memiliki makna simbolis yang erat kaitannya dengan status sosial pemakainya. Perbedaan status sosial yang ada di dalamnya tampak pada cara pemakaian selendang.

Seorang wanita yang berstatus sebagai permaisuri, biasanya mengenakan selendang yang terbuat dari kain kofo berwarna kuning tua dan merah. Selendang tersebut dinamakan kaduku, yang panjangnya mencapai dua meter dengan lebar 15 sentimeter. Cara memakainya, yakni dengan menempatkan selendang sebelah menyebelah bahu. Pemakaian dengan cara seperti ini dilakukan pula oleh seorang gadis yang akan menikah, hanya saja pada bagian kepalanya diberi atau disematkan perhiasan tertentu. Berbeda halnya dengan cara memakai selendang yang dilakukan oleh para istri bangsawan, yakni hanya dengan menyampirkannya di bahu sebelah kanan.

Sumber: http://www.tamanmini.com

Awi

Oleh : Nandang Rusnandar 2003

no matter what country we are from,

no matter what religion we belong to,

no matter what colour skin has,

no matter what political system we belong to,

bamboo is our friends and, therefore we are all friend

“Wolfgang Ebertz”

Gambaran bagaimana kehebatan awi (bahasa : Sunda) atau bambu (bahasa : Indonesia) mampu mempersatukan seluruh manusia tanpa melihat latar belakang, dari mana asal, agama yang dianutnya, warna kulit, politik yang dipahaminya, sehingga bambu menjadi alat pemersatu yang cukup tangguh. Demikian Wolfgang Ebertz memberikan janjinya pada seluruh masyarakat bambu (khususnya) di dunia. Bambu, adalah tumbuhan purba yang sangat penting artinya bagi kehidupan manusia. Sehingga, awi ‘bambu’ tidak saja dikenal di Indonesia, malahan di belahan dunia lain, seperti di India, bambu dikenal sebagai The wood of the poor ‘kayu untuk orang miskin’. Orang Cina menyebutnya sebagai The friend of the people ‘kawan bagi manusia’, dan orang Vietnam menyebutnya sebagai The brother ‘saudara’. Bagaimana lekatnya ikatan antara awi dengan manusia Sunda dalam kehidupan sehari-hari dapat dirasakan dalam kesehariannya. Masyarakat Sunda (Jawa Barat) yang hidup di pedesaan, di mana lingkungan alam sekitarnya masih merupakan panorama alam yang asri, banyak ditumbuhi berbagai jenis pohon. Manusia dan alam lingkungannya ada saling ketergantungan. Manusia hidup karena alam dan alam memberikan maknanya karena sentuhan tangan kreatif manusia itu sendiri. Keadaan itu menunjukkan suatu nuansa kehidupan yang sangat resiproks, karena adanya ikatan dan kaitan antara manusia dengan alamnya. Interaksi di antara keduanya membentuk suatu untaian ketergantungan secara alamiah yang serasi, sehingga alam menjadi karibnya yang selalu menemani kehidupan sehari-hari. Keterikatan dan keterkaitan antara manusia dengan alamnya telah digambarkan dalam ungkapan titinggal karuhun Sunda, yang tertanam sejak lama. Hal itu terbukti dengan ucapan karuhun yang tertera dalam sebuah Lontar Ciburuy ‘naskah kuno’ yang berbunyi /... sarwo tumuwuh wong sarwo sato karuhun ikang janma siwong .../ ‘...bahwa karuhun atau nenek moyang manusia itu adalah hewan dan tumbuhan ...’ (Nandang Rusnandar, dalam Laporan Penelitian, BKSNT, Edisi 10 / April 1996 : 253). Keterangan tersebut lahir jauh sebelum Darwin yang memberikan teori evolusinya yang sangat termashur itu.Masyarakat Sunda, dalam kesehariannya tak pernah melepaskan diri dari alam lingkungannya. Mereka selalu menyelaraskan diri dan mengakrabinya demi keseimbangan yang diharapkan. Hubungan erat antara manusia dengan alamnya merupakan sikap wajar yang dicerminkan dalam perilaku kesehariannya.

Mengapa hal itu terjadi ? Disebabkan karena adanya keterkaitan dan keterikatan antara manusia dengan alamnya, sehingga tercipta keselarasan, keterpaduan, dan keharmonisan di antara keduanya.Kesadaran akan keselarasan, keterpaduan, dan keharmonisan dengan lingkungannya adalah sikap hormat yang mereka terapkan berdasarkan amanat dari karuhunnya. Di samping amanat karuhun yang tertera di atas, amanat lain tercantum pula dalam sebuah kitab kuno Siksa Kanda Ng Karsian, yang berbunyi /... ini byaktana, ngaranya, ya panca byapara, sanghyang pretiwi, apah teja, bayu mwang akasa, eta kabeh drebya urang../ ‘... ini kenyataannya, yang bernama lima byapara ‘selubung’ ialah tanah, air, api, cahaya, dan angkasa. Semua milik kita’. Di dalam naskah tersebut dikatakan pula, manusia Sunda sangat mempercayai bahwa kelima selubung atau tempat-tempat tersebut ada yang mendiaminya secara magis; yaitu tanah didiami oleh Sang Mangukuhan, air didiami oleh Sang Katungmaralah, Cahaya didiami oleh Karungkalah, angin didiami oleh Sangdanggreba, dan angkasa didiami oleh Sang Wretikendayun. Pandangan seperti ini menandakan bahwa setiap unsur mempunyai nyawa yang menempati dan harus dihormati.

Dari sikap hidup seperti inilah maka pada akhirnya melahirkan konsep hidup yang diambil dari alamnya dan merupakan gambaran bahwa manusia Sunda mampu mengadaptasikan dirinya menjadi bagian dari alam sekitarnya (makrokosmos dan mikrokosmos). Makrokosmos merupakan lambang dari mikrokosmos atau sebaliknya. Dan keduanya saling melambangkan sehingga konsep kehidupannya pun banyak terlahir dan tercipta dari gerak alam, di mana gambaran alam nyata dipadukan dengan sifat dan gerak manusia itu sendiri. Hal tersebut merupakan konsep manusia Sunda untuk dapat hidup terus ‘Survive’. Alam sering dijadikan lambang bagi kehidupan manusia, baik secara etik maupun estetik. Alam dijadikan tempat pengandaian atau perumpamaan bagi tabiat dan perilaku manusia melalui ungkapan-ungkapan dalam bentuk bahasa perbandingan, kiasan, atau metafora. Hampir semua kata bersifat simbolik yang mengungkapkan berbagai macam benda yang ada di lingkungan sekitarnya. Hal itu dapat dilihat bagaimana gambaran yang mengungkapkan adanya hubungan antara manusia dengan unsur alam tadi, seperti air, tanah, pohon, hutan, gunung, dan berbagai nama tempat (toponimi; medan yang mempunyai sejarah) menunjukkan tempat orang Sunda tinggal (Suwarsih , 1987 :245). Untuk memenuhi kebutuhan hajat hidupnya, manusia selalu akan bersandar dari alam sekitar. Alam adalah suatu kekayaan yang tak ternilai harganya. Flora dan fauna adalah karib setia yang selalu menemani manusia pedesaan dalam kesehariannya. Unsur-unsur alam adalah bagian dari kehidupan dan manusia tidak dapat hidup tanpa hadirnya unsur-unsur tersebut. Unsur-unsur alam itu, mempunyai sifat-sifat spesifik yang dapat memberikan manfaat yang berbeda-beda bagi manusia khususnya dan alam sekitar pada umumnya. Setiap jenis dari flora yang tumbuh di sekitar lingkungan manusia akan memberi manfaat dan fungsi yang berbeda-beda. Salah satu contohnya adalah sifat khusus dari sebuah jenis pohon ‘awi’ bambu yang dapat memberikan manfaat bagi manusia sebagai bahan baku untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dan berfungsi sebagai pengendali ekosistem. Di samping itu dengan makin majunya pola pikir dan budaya manusia, bambu ini pun dapat pula dijadikan salah satu objek pariwisata (agro wisata). Bambu, yang tumbuh secara berumpun memiliki daya tarik wisata, di samping memiliki fungsi dalam mengendalikan dan membersihkan pencemaran udara dan air. Secara geologis lingkungan, dapuran awi ‘rumpun bambu’ merupakan tumbuhan yang amat berguna dalam mencegah erosi, mencegah gerakan tanah, pembersih / penyaring air tanah, peredam silau dan panas matahari, penghambat kecepatan angin, peredam suara, dan sebagainya.

‘Awi’ bambu, sebagai tumbuhan memiliki nilai fisik yang sangat berguna bagi kehidupan manusia, di samping itu, bambu bagi masyarakat Sunda memiliki nilai filosofis yang dalam, memiliki nilai magis, dan memiliki daya pikat dan ikat sehingga banyak dijadikan perlambang atau simbol-simbol kehidupan. Bahwa ‘awi’ bambu memiliki manfaat yang besar bagi manusia, bukanlah hal baru. Beberapa bukti sejarah (seperti situs rumah bambu, tribal art, dan lain-lain) membuktikan betapa akrabnya bambu dalam kehidupan manusia. Bambu telah mendorong manusia pemakainya memasuki perkembangan budaya. Sebagai bahan bangunan ‘awi’ bambu merupakan matrial yang dibutuhkan, untuk alat-alat rumah tangga, alat pertanian, sarana perhubungan, dan lain-lainya, bahkan ‘awi’ bambu dijadikan senjata. Sebagai bahan bangunan, ‘awi’ bambu bisa memenuhi seluruh kebutuhan bahan bangunan mulai dari lantai sampai atap. Konstruksi ‘awi’ bambu merupakan konstruksi yang sangat kuat, lentur, dan tahan gempa. Sehingga konstruksi ini akan sangat bermanfaat untuk daerah rawan gempa.‘Awi’ bambu sebagai bahan bangunan ternyata mampu bertahan sampai ratusan tahun, ini dibuktikan dengan masih tetap utuhnya situs rumah dari ‘awi’ bambu di Lebakwangi di Kabupaten Bandung. Di samping itu, juga rumah orang Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya, di kampung-kampung adat lainnya, atau di rumah-rumah penduduk di pelosok daerah Jawa Barat yang belum mengenal bahan material tembok. Rumah mereka banyak yang sudah berumur puluhan tahun dan dalam keadaan masih laik huni. ‘Awi’ bambu juga merupakan bahan utama untuk alat-alat rumah tangga, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Beberapa alat rumah tangga yang terbuat dari bahan ‘awi’ bambu, seperti aseupan ‘kukusan’, boboko ‘bakul’, hihid ‘kipas’, cutik, ayakan ‘saringan’ dan lain-lainnya. Bahkan dijadikan alat masak nasi leumeung.

Dengan banyaknya manfaat dan fungsi dalam kehidupan manusia Sunda, sehingga ‘awi’ bambu tidak saja mempunyai nilai fisik. ‘Awi’ bambu dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat Sunda dapat berfungsi dan bermakna filosofis yang dijadikan pedoman hidupnya. Kesadaran akan manfaat ‘awi’ bambu dalam kehidupan masyarakat Sunda, sebetulnya sudah tumbuh sejak dahulu, namun referensi mengenai ‘awi’ bambu itu sendiri masih kurang dan sangat sedikit. Sesuai dengan permasalahan yang telah diuraikan dan atas dasar anggapan di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan memahami bagaimana dinamika ‘awi’ bambu yang dipergunakan oleh masyarakat Sunda, baik dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dilihat dalam nilai fisik dan dinamika bambu sebagai falsafah hidup.

Penelitian mengenai Bambu dalam Keseharian Masyarakat Sunda, mencakup dua aspek, yaitu bambu dilihat sebagai material atau nilai fisik yang dipergunakan sehari-hari dan bambu yang dipergunakan sebagai filosofis nilai-nilai kehidupan manusia. Penekanan dalam penelitian lebih dititkiberatkan pada filosofi bambu nilai-nilai kehidupan manusia, baik nilai filosofis yang menunjukkan pada gambaran hubungan hidup manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan masyarakat.

a. Nilai.

Pola tindak suatu masyarakat telah diatur dalam tatanan yang bersifat abstraks yang ada dalam alam pikiran manusianya itu sendiri. Tatanan tersebut tercermin dalam nilai-nilai yang secara umum dapat kita sebut tata nilai budaya. Nilai budaya yang terkonsep dalam suatu konsepsi abstraksi, pada kenyataannya konsep nilai ini berfungsi sebagai pedoman hidup tertinggi bagi kelakuan manusia. Nilai-nilai budaya itu diwujudkan dalam bentuk adat istiadat, tata krama, sopan santun, aturan-aturan, norma-norma, hukum adat, dan falsafah hidupnya (pandangan hidupnya).

Berbicara masalah nilai, tidak lepas dari ukuran seberapa jauh kesesuaian di alam kenyataan dengan konsepsinya. Sehingga nilai itu sendiri berfungsi sebagai alat untuk mengukur makna yang terkandung di dalamnya. Dan makna ditentukan oleh bentuk kehidupan yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh faktor-faktor sosial, ekonomi, falsafah (pandangan hidupnya), psikologi, kebudayaan, dan sejarah, sehingga pilihan makna bagi seseorang atau entitas, terwujud pada sikap mentalnya. Sikap mental ini pun dibentuk oleh unsur-unsur pengetahuan, pola pikir, kepercayaan, prasangka, harapan, dan perasaan seseorang atau entitas itu sendiri. Kesimpulannya, bahwa seseorang atau suatu entitas-lah yang menentukan pilihan makna, sehingga ke mana arah tujuan dan nuansanya adalah gambaran dari hasil akumulasi pilihan-pilihan tersebut. Aksioma suatu nilai, terbentuk dalam empat ciri, di antaranya, Pertama, ciri yang menunjukkan adanya logika. Karena hubungan antara suatu konsepsi, yaitu definisinya dan petanda-petandanya merupakan jalinan fundamental yang berdasarkan logika. Kedua, ciri yang memaparkan kenyataan bahwa aksiologi formal bersejajar dan setara dengan matematika. Yaitu dengan pengertian adanya pengakuan bahwa predikat nilai diterapkan terhadap konsepsi-konsepsi dan bukan terhadap objek-objeknya. Misalnya dalam hal ini, awi dalam babasan Kudu kawas awi jeung gawirna ‘harus seperti bambu dengan tebingnya’ yang berarti adanya suatu kebersamaan. Ketiga, ciri yang menggunakan hakikat formal, terdiri atas variabel-variabel yang bukan nilai-nilai spesifik melainkan suatu rumus yang menentukan spesifikasi dari segala nilai yang mungkin. Misalnya baik merupakan suatu istilah formal murni yang dapat diterapkan terhadap apa saja. Dan keempat ciri metode yang eksak, artinya aksiologi diuraikan mempergunakan metode yang eksak. Dengan demikian, sesuatu memiliki nilai apabila sesuatu memenuhi definisinya atau pengukuran nilai adalah pengukuran ciri-ciri konseptual.

Pada prakteknya dalam kehidupan sehari-hari, nilai-nilai tumbuh mulai dari sistemik menjadi ekstrinsik dan kemudian menjadi instrinsik. sebagai contoh awi , mempunyai nilai sistemik dalam struktur flora sebagai bahan baku yang paling baik, mempunyai nilai ekstrinsik dalam perekonomian, dan mempunyai nilai intrinsik sebagai bahan penelitian para ahli.

b. Budaya

Diungkapkan bahwa fungsi dari unsur-unsur kebudayaan dan institusi sosial adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Adapun fungsi dari unsur-unsur kebutuhan menurut salah seorang ahli : bahwa aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kebudayaannya, seperti kesenian dan ilmu pengetahuan timbul karena kebutuhan naluri untuk tahu (Malinowski dalam Koentjaraningrat, 1982 : 171). Sesuai dengan pernyataan bahwa manusia Sunda selalu mengakrabi alamnya, maka sejalan dengan hal tersebut manusia dituntut untuk melestarikan alam lingkungannya. Kewajiban manusia untuk ikut berperan serta dalam melestarikan lingkungan hidup dituangkan dalam Undang-undang Lingkungan Hidup, mulai dari perencanaan, pengelolaan, maupun tahap-tahap pelaksanaan dan penilaian. Dengan ikut berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup ini, muncullah motivasi kuat untuk bersama-sama mengatasi masalah lingkungan hidup dan mengusahakan keberhasilannya pengelolaan lingkungan hidup (Koesnadi Hardjaksoemantri, 1990 :15) Kondisi lingkungan memberikan pengaruh terhadap kebudayaan, jadi keberadaan flora yang ada di sekitar lingkungan hidupnya, seperti halnya dengan pohon bambu dapat berpotensi untuk menghasilkan kreasi bagi manusia pendukungnya. Jadi di sini bambu dapat memunculkan budaya spesifik yaitu budaya bambu. Tetapi kondisi lingkungan bukan satu-satunya yang mempengaruhi, yang tak kalah pentingnya adalah faktor manusia, kerena dia mempunyai akal pikiran dan perasaan. Kenyataan ini ditunjang oleh beberapa ahli seperti : Morgan (1984), Netting (1977), Darling (1976), Vayda & Rappaport (1968), Moegelef (1968), yang menyatakan bahwa “keadaan lingkungan alam menentukan corak kebudayaan’. Oleh karena itu gejala kebudayaan hanya dapat dijelaskan dan dianalisis berdasarkan pengaruh lingkungan (Adimihardja, 1989 :6). Dengan demikian keadaan lingkungan yang banyak ditanami pohon bambu menentukan corak kebudayaannya. Dengan lahirnya konsep di atas, Emil Salim (Mentri Lingkungan Hidup) melihat bahwa orang Sunda lebih akrab dengan pohon bambu, sehingga melahirkan konsep budaya bambu. Mengatakan bahwa apabila ingin menghancurkan orang Sunda, maka terlebih dahulu harus membinasakan pohon bambunya (Dalam Mangle). Pandangan mengenai corak kebudayaan yang ditimbulkan oleh kondisi lingkungan ini mungkin dapat bersifat diterministik, oleh karena itu perlu dilengkapi dengan pengaruh manusia, karena kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa karsa, dan karya manusia. Pembentukkan faset budaya bambu merupakan kebutuhan naluri manusia dipengaruhi oleh apresiasi manusianya sendiri terhadap bambu. Semakin rendah apresiasi masyarakat terhadap bambu, semakin rendah pula penghargaan terhadap alam lingkungannya.

Bambu sebagai tumbuhan bukan saja memiliki nilai fisik, melainkan juga nilai philosofis, bahkan bambu memiliki pula kekuatan magis, daya pikat dan daya ikat sehingga bambu banyak dijadikan sebagai perlambang atau simbol. Hal itu dapat dibuktikan dalam kehidupan masyarakat Sunda di daerah-daerah pedesaan yang belum terkontaminasi oleh arus era kesejagatan. Dalam hal ini, bambu bukan saja dikenal oleh masyarakat Sunda, melainkan bangsa-bangsa timur yang terkenal memiliki sifat ketimurannya. Bambu dalam kehidupan manusia, memberikan sangat banyak kemungkinan; bisa memberikan kepuasan hati (estetika), arti (symbol dan etika), dan nilai hidup (value). Maka jadilah bambu sebagai salah satu upaya peningkatan sumber daya manusia, sehingga menghasilkan nilai ekonomis yang tinggi dan dicoba agar mampu meningkatkan kesejahteraan hajat hidup manusia. Konsep nilai hidup banyak terlahir dari alam dan dijadikan falsafah bahkan dijadikan ungkapan sehari-hari dalam hidupnya. Pengambilan konsep ini, disesuaikan untuk kepentingan alam itu sendiri, untuk manusia secara pribadi, dan hubungan manusia dengan manusia sebagai makhluk sosial.

Tata nilai (falsafah hidup) yang terkandung dalam budaya Sunda, banyak jumlah dan ragamnya. Khususnya falsafah yang diambil dari gambaran makna yang tersirat dari bambu, banyak diungkapkan oleh masyarakat Sunda dalam bentuk peribahasa, babasan, sisindiran, atau bahkan dalam bentuk kawih. Di dalamnya makna dan nilai-nilai yang dijadikan falsafah hidup bagi pendukungnya. Gambaran itu merupakan hubungan untuk memahami secara timbal balik antara manusia dengan alamnya. Manusia sangat menyadari bahwa alam sekitarnya adalah seuatu yang mampu dimanfaatkan, sehingga diperlukan daya kreativitas dan daya adaptif dengan alamnya. Bambu sebagai salah satu kekayaan alam yang ada di Tatar Sunda, terbukti telah memberikan aspirasi dalam mengapresiasi alamnya, sehingga bambu dapat pula dijadikan alat-alat bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya, penciptaan alat-alat tersebut mempunyai bentuk, sifat, kegunaan, fungsi, dan karakter tertentu yang berbeda-beda.

Dari alam yang diciptakan oleh manusia sesuai dengan kebutuhan dan fungsinya yang berbeda-beda karakter itu pula manusia Sunda mengapresiasi ciptaannya menjadi sesuatu yang bernilai. Nilai-nilai tersebut kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk kehidupan yang nyata dengan media bahasa sebagai sarananya. Nilai-nilai falsafah hidup yang diungkapkan dalam bentuk bahasa sebagai medianya, ada yang berbentuk peribahasa, babasan, dan syair kawih. Isi pengungkapan di dalamnya mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman hidup manusia Sunda, di mana pengungkapannya disesuaikan dengan karakter, sifat, dan fungsi benda yang diapresiasikan tadi. Tata cara pentransformasiannya ke dalam ungkapan ada beberapa cara, yakni, bentuk personifikasi, bentuk perbandingan, dan bentuk perumpamaan (Nandang Rusnandar, 1993 :5). Dari ketiga cara pentransformasian itu dapat menggambarkan bahwa manusia Sunda mampu mengadaptasi alam sekitarnya dengan kehidupan kesehariannya yang diterapkan pada norma, pandangan hidup dan perilaku manusia itu sendiri. Di sinilah salah satu bukti bahwa manusia Sunda dalam menghadapi alamnya menjadi sesuatu yang perlu diakrabi dan diselaraskan agar keseimbangan terjadi dari kedua belah pihak. Pepatah laukna beunang caina herang ‘mendapatkan ikan tanpa mengeruhi airnya’ bukan saja diterapkan kepada tingkah laku manusia dalam mencari kepuasan materi, dapat pula mengakali alamnya sehingga hubungan antara dirinya dengan alam tidak terjadi ketimpangan dan ada yang dirugikan.

Kreativitas manusia Sunda dalam mengakali alamnya demi memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka menciptakan berbagai alat dengan bentuk dan karakter yang berbeda-beda sesuai dengan fungsinya. Seperti jeujeur, ayakan, boboko, lodong, bilik, bubu, rancatan, nyiru, buleng, tamiang, galah, angklung, aseupan, taraje, dan sebaginya. Alat-alat yang diciptakannya itu, mempunyai fungsi, karakter, dan bentuk yang berbeda-beda. Sehingga dari karakter, fungsi, dan bentuk yang berbeda-beda itu pula, manusia Sunda dengan daya kreativitasnya mentransformasikan ciri-ciri tersebut menjadi nilai-nilai, norma, dan falsafah hidup baik dalam hubungan antar individu, individu dengan masyarakat, atau hubungan manusia dengan alamnya dan hubungan manusia dengan Tuhannya.Adanya hubungan antara manusia dengan alamnya itu, Otto Sumarwoto (1988 :18) mengatakan bahwa manusia terbentuk oleh interaksi antara genotif dengan lingkungan hidupnya. Karena ada mutasi gen dalam kromosom, genotif terus mengalami perubahan. Individu dalam proses seleksi bila tidak sesuai dengan lingkungannya akan terdesak, meninggal, atau kesempatan untuk memproduksinya terbatas. Sebaliknya individu yang sesuai untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya akan tahan hidup dan berkembang. Sedangkan adanya penyelarasan dan daya kreativitas manusia terhadap alamnya, Franz Boas dalam bukunya The Mind of Primitive Man (1910), mengungkapkan bahwa lingkungan menyediakan materi yang oleh manusia dibentuk dan dikembangkan sebagai alat untuk kehidupan sehari-hari.

Profil Kota Sentra Kerajinan

Rajapolah

Rajapolah merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Tasikmalaya yang menjadi sentra kerajinan tradisional. Rajapolah ini pula yang menjadi etelase Kota Tasikmalaya sebagai kota pengrajin kerajinan tradisional yang telah go internasional. Rajapolah adalah kota persimpangan antara Kecamatan Ciawi dengan Tasikmalaya, terletak di tengah-tengah kedua kota tersebut. Kota Rajapolah kini semakin bersinar dengan hasil-hasil kerajinan yang diperdagangkan. Deretan toko yang memanjang sepanjang jalan protokol kota Rajapolah ini pula yang menjadikan para turis baik domestik maupun mancanegara tertarik akan tampilan dari barang-barang antik yang terbuat dari bahan-bahan yang sederhana dan bernilai jual tinggi. Kebutuhan akan kerajinan Rajapolah terus meningkat sepanjang waktu sehingga pasokan barang terus berlangsung ke seluruh daerah. Pesanan datang bukan saja untuk memenuhi keperluan lokal, tapi juga untuk memenuhi keperluan internasional. Sehingga para produsen / pengrajin kewalahan memenuhi pesanan ini karena berbagai alasan.

Berbagai jenis kerajinan yang diperdagangkan itu dipasok dari berbagai daerah dari seluruh Kecamatan yang ada di Kabupaten Tasikmalaya, seperti bordir dari Kecamatan Kawalu, pakaian jadi dari Kecamatan Cikalang dan Kecamatan Tawang Desa Kahuripan, Kelom Geulis dari Kecamatan Cibeureum, Payung dari Kecamatan Cibeureum dan Kecamatan Indihiang, dan kerajinan bambu datang dari berbagai kecamatan, antara lain Kecamatann Leuwisari, Cigalontang, Cikatomas, Salawu dan Cisayong. Belum lagi kerajinan tikar mendong datang dari Kecamatan Cibeureum, Kecamatan Cineam, Kecamatan Karangnunggal, dan Kecamatan Manonjaya, sedangkan kerajinan pandan, ijuk, mebel, sampai kerajinan batu onyx datang dari Cosayong. Pengolahan batu onyx ini baru dikenal beberapa tahun terakhir ini.

Rajapolah sebagai sentra kerajinan dan pemasaran, menjadi kota yang paling efektif dalam bidang promosi dan bisa terjadi transaksi yang langsung dan tidak langsung. Penyebab lainnya karena Rajapolah terletak sangat strategis antara Ciawi dengan Tasikmalaya, hingga toko-toko souvernir yang berada sepanjang jalan protokol yang melewati kedua kota tersebut, bisa dilalui oleh warga yang akan bepergian dari Jawa Barat ke arah Jawa Tengah, dan menjadi jalur utama menuju daerah pariwisata Pangandaran atau Cipatujah.

Sukamaju di Kecamatan Indihiang

Selain Rajapolah, Indihiang juga merupakan salah satu kecamatan yang banyak menghasilkan sentra-sentra kerajinan tradisional. Berbagai desa yang ada di kecamatan ini, seperti Desa Sukamaju Kaler yang terletak kira-kira 3-4 kilometer setelah ibukota kecamatan dan kira-kira 7 - 8 kilometer sebelah baratdaya kota Tasikmalaya.

Desa Sukamaju adalah suatu pedesaan yang menrcerminkan daerah agraris, hal itu dapat dilihat dari letak dan keadaan daerahnya, sehingga hamparan pesawahan merupakan ciri utama di samping tanah yang berdataran tinggi sebagai variasi topografis kontur daerahnya. Dengan ciri demikian, maka hawa segar pegunungan, sungai yang mengalir sepanjang waktu hingga pesawahan di daerah itu tetap dapat digarap dalam setahun penuh. Dalam perbandingan antara tanah yang dipergunakan sebagai tanah hunian yang diperuntukan perkampungan, 25% dari luas keseluruhan dipergunakan untuk perkampungan dan 5% peruntukan tanahnya dipergunakan sebagai usaha pertanian ikan tawar. Dengan kenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebagian penduduknya adalah petani yang mengusahakan pertanian sawah dan pertanian ikan tawar.

Desa Awipari di Kecamatan Cibeureum

Sentra kerajinan lainnya terdapat di daerah Awipari di Kecamatan Cibeureum. Desa ini terletak 3 atau 4 KM dari ibukota kecamatan dan kurang lebih 6 sampai 7 kilometer sebelah timur kota Tasikmalaya. Seperti pada umumnya sebuah pedesaan suasana Desa Awipari pun tak lepas dari warna pedesaan yang menggambarkan sebagian penduduknya beraktivitas sebagai petani. Hal itu dapat dilihat dari data bahwa sebagian luas tanahnya yang hampir 59% dipergunakan sebagai lahan pesawahan.

Kampung Naga

Kampung Naga merupakan sebuah perkampungan yang cukup eksklusif dibanding dengan kampung-kampung lainnya yang ada di Kecamatan Salawu. Kampung Naga ini merupakan salah satu daerah sentra kerajinan yang menghasilkan beberapa kerajinan baik anyaman dari bambu maupun kerajinan yang lainnya. Kampung Naga terletak di sebelah Barat Ibukota Kabupaten Tasikmalaya, jaraknya kurang lebih 15 KM menuju ke arah Ibukota Garut. Sebagaian penduduknya masih memegang teguh adat istiadat Karuhun yang telah diturunkan atau diwariskan secara turun menururn dari generasi ke generasinya. Keutuhan akan adat istiadat itu tercermin dari berbagai tingkah laku yang sangat sederhana dan sangat tukuh akan fatwa kuncen sebagai sesepuh kampung itu.

Keadaan alam Kampung Naga berpenampilan sangat bersahaja, mereka mendiami lahan kurang lebih 1,5 Ha dengan batas wilatahnya ditandai dengan sebuah pagar bambu yang dianggap sangat sakral untuk diganggu. Di tengah perkampungan Kampung Naga terdapat beberapa bangunan yang dianggap suci, di antaranya Bale Patemon sebagai tempat pertemuan dan menerima berbagai tamu yang datang berkunjung ke tempat itu; Bumi Ageung, sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka leluhurnya, dan sebuah mesjid yang dipergunakan sebagai tempat untuk salat Jumat secara berjamaah atau sebagai salah satu tempat dalam sebuah upacara sakral secara tradisional.

Untuk mencapai ke Kampung Naga tidak terlalu susah, karena Kampung Naga terletak di pinggir jalan Propinsi yang menghubungkan Ibukota Kabupaten Tasikmalaya dengan Ibukota Kabupaten Garut. Sarana hubungan dapat dicapai dengan mempergunakan kendaraan roda dua hingga roda empat atau bus. Kampung Naga, terletak di sebuah lembah yang mempunyai kontur tanah berbukit. Adalah suatu ciri khas Kampung Naga dengan tangga yang terbuat dari semen sebanyak kurang lebih 335 anak tangga yang cukup terjal dengan kemiringan 45 derajat.

‘AWI’ BAMBU DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Alam Indonesia (Jawa Barat khususnya) yang subur makmur ditumbuhi oleh berbagai jenis flora (--bambu khususnya--) memberikan inspirasi bagi seorang pemerhati akan tumbuhan yang satu ini Sehingga bagaimana eksistensi bambu yang begitu erat dan lekat dalam segala kegiatan manusia di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, digambarkan dengan jelas tentang fungsi tanaman ini. Bambu dinyatakan oleh Bapak Daeng Sutigna (Bapak Bambu Indonesia) sebagai berikut :

Indonesia is a country where bamboo is found growing everywhere. Bamboo is insparable from our daily life. We build our houses from bamboo, even the floors, walls, furniture, and kitchenuntensils are often made of bamboo. We are often sleep on beds made of this material. Bamboo is also eaten, young bamboo shoots called rebung are esential ingredients of many delicius dishes. And when Indonesians die, the mortal remains are often carried forth in bamboobiers and they are buried in bamboo-graves. And the Indonesian people are also capable in making music instruments from bamboo.

Bambu yang tumbuh subur di mana saja dapat dijadikan bahan baku untuk membuat rumah, mulai dari lantai, dinding, hingga peralatan dapur dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Begitu pula bambu dapat dijadikan bahan makanan, dengan rebungnya yang berkhasiat sebagai obat, dan ketika manusia itu mati, maka tetengger dan padungnya dari bambu. Dan dengan bambu pula manusia Indonesia dapat menciptakan musik.

Karuhun Sunda merupakan satu rumpun bangsa yang tidak dapat menjauhkan diri dari alam lingkungannya, khususnya dari tumbuh-tumbuhan. Untuk memberikan penghormatan kepada manusia yang berilmu atau kepada orang tua, Karuhun Sunda, tidak pernah menyebut dengan bapak atau nama tapi dengan sebutan Kai. Contoh Kai Buyut Aspu, Kai Mujur dan sebagainya. Hal ini berbeda dengan panggilan Ki atau Kiayi dalam bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa Ki atau Kiayi itu mempunyai arti manusia itu sebagai ahli. Contoh Ki Hadjardewantara; begitu pula untuk menyebut barang-barang pusaka seperti keris, gamelan, kereta. Pengertian Kyai atau Ki dalam bahasa Jawa sering dikonotasikan sebagai orang ahli agama. Dalam bahasa Sunda sebutan Kai untuk orang yang berpengertian falsafah yang cukup dalam. Apa itu Kai ? Kai merupakan tumbuhan yang mempunyai multi guna, bisa dipakai untuk berteduh atau mengayomi. Bahkan dalam hakekat kehidupan manusia, kita dapat melihat simbol gunungan dalam pagelaran wayang golek. Setiap ganti episode sang dalang mengeluarkan gunungan sebagai simbolnya. Simbol kehidupan itu adalah kai, sebab dengan kai atau pohon, manusia akan merasa tenang. Pohon dapat menimbulkan keteduhan, memberikan manfaat bagi air tanah. Di samping itu, untuk manusia yang telah banyak pengalaman 'legok tapak genteng kadek' diibaratkan sebuah pohon kayu yang telah memberikan air kehidupan kepada seluruh manusia.. Mengapa awi ? Dan apa hubungannya dengan Awi ‘bambu’ ? Awi , salah satu pengertiannya adalah Ajining Wiwitan Ingsun medal 'ilmu diri yang lahir ke dunia', atau Ajining Wiwitan Ingsun dahar 'ilmu kehidupan'. Jadi kesimpulannya dalam kehidupan adanya hakekat dan sareat. Hakekat dilambangkan dengan awi. Pertama, Dapat dilihat bahwa awi merupakan parungpung 'lubang yang kosong tengahnya' yang melambangkan manusia lahir dengan kekosongan. Maka dengan sareat bambu yang tidak diolah dan direkayasa dengan baik, tidak akan melahirkan bentuk-bentuk estetika. Dan kedua, galeuh awi ‘inti bambu’ merupakan bagian dari bambu yang dilambangkan dengan ilmu.

Terlepas dari semua yang diungkapkan di atas, pembuktian bahwa manusia Sunda selalu lekat dengan kehidupan alam, dapat kita simak sebuah pengalaman hidup yang cukup sederhana, di mana manusia dalam kesehariannya tidak lepas dari bambu. Sebuah pengalaman kecil dari serpihan kehidupan di pedesaan. (Cuplikan Makalah Mang Ujo Ngalagena, 1993)

Semasa masih kecil, 4 meter dari halaman rumah saya terdapat leuweung awi ‘hutan bambu’, yaitu kuburan di bawah dapuran awi ‘rumpun-rumpun bambu’. Di sekitar rumah terdapat kolam dengan pancuran awi ‘pancuran bambu’. Mandi di pancuran tersebut di atas bagbagan awi. Pinggir kolam diseseg dengan bambu, dan terdapat tempat menetaskan ikan-ikan dan lele dari akar-akar awi. Di tengah kolam ada tempat marab 'memberi pakan ikan dari bambu’. Ayah pun membuat sumur, kerembengnya 'pagar kurungan sumurnya' dari seseg ‘bilahan bambu’, ketika akan menimba air selalu menggunakan tali dan ember dari bambu yang diangkat dan diturunkan dengan alat pengungkit bambu yang disebut senggotan. Air sumur dialirkan melalui talang awi ‘bambu gombong besar’ yang dimiringkan pada ujungnya diberi lubang kecil sebagai pancuran 'kran' yang disumbat dengan bambu bulat kecil untuk mandi atau ngisikan 'mencuci beras' dengan boboko ‘bakul bambu’. Kemudian ada sumur siuk 'sumur yang dapat dijangkau dengan gayung bambu', sumurnya diseseg dengan bambu, dan bagbagannya juga dari bambu. Bila buang air kecil dan besar, maka pergi ke pancilingan bambu di atas kolam.

Habis mandi, pergi bermain perang-perangan memakai bebedilan dari bambu kecil dengan sistem dorlok (habis dijedor lalu dicolok), kemudian bermain gatrik dari bambu dan bermain teterelekan dari bambu pula. Bila musim kemarau dan angin besar, membuat kokoleceran dari bambu, tiangnya dari bambu pula, kemudian bermain layang-layang rangkanya dari bambu pula. Sepulang bermain, memasuki pekarangan rumah yang dipagari dengan pager awi ‘pagar bambu’, masuk rumah panggung bambu melalui golodog bambu, saya gegelehean 'tiduran' di atas lantai palupuh awi, kemudian masuk ke kamar yang berdinding bilik dari bambu dan tidur di atas tempat tidur dipannya dari bambu. Dan apabila saya ngangon 'menggembala' domba dituntun dengan tali dari bambu dan dicangcang 'diikat' pada sebuah patok bambu. Eh ... ternyata waktu ibuku pulang mandi dari pancuran, ia ngajingjing 'menenteng' lodong awi berisi air sambil ngelek boboko 'mengepit bakul' dari bambu berisi cucian beras dan piring. Waktu ibu ke dapur, di sana dijumpai ada parako awi dan perabotan dapur, antara lain, aseupan, hihid, boboko, wadah piring bambu, kirwi kongrana (akronim dari cangkir awi bekong ngarana) 'cangkir bambu bekong namanya', nyiru awi, ayakan ‘kalo’ awi, tolombong awi, dan lain-lain. Ketika ayam peliharaan mulai bertelur, sayang hayam 'sarang ayam' terbuat dari bambu diselipkan pada dinding / bilik rumah dari bambu di pinggir rumah, naiknya ke atas untuk mengambil telur pakai taraje / tangga dari bambu pula. Dan ... bila ada yang meninggal, diusung dengan pasaran awi 'keranda bambu' kemudian dikuburkan di bawah rumpun bambu, padungnya dari bambu dan tetenggernya 'nisannya' dari bambu pula. Dan masih 1001 macam lagi kenangan dan kegunanan bambu dalam kehidupan sehari-hari.

Bambu dalam kehidupan manusia memberikan sangat banyak kemungkinan, dapat memberikan kepuasan hati, arti, dan nilai hidup. Hal itu dapat dibuktikan dalam kenyataan dalam keseharian. Maka bambu merupakan salah satu upaya peningkatan sumberdaya alam, sehingga menghasilkan produk yang bernilai ekonomis tinggi dan sangat berkepentingan dalam peningkatan kesejahteraan hidup manusia.

Kegunaan Bambu

Bambu dapat dikatakan banyak manfaat dan fungsi bagi kehidupan manusia, hal itu nampak dalam hasil karya manusia (kebudayaan fisik), mulai dari alat-alat transportasi, kesenian, alat ritual, makanan, dan tempat berlindung.

Bambu sebagai alat musik. Di tanah Sunda, akan banyak ditemui berbagai jenis kesenian tradisional yang menggunakan alat-alat bambu, seperti : Kacapi suling (dalam Tembang Sunda Cianjuran). Nada suling ini dapat begitu menyayat hati, suara klasik yang mengalun dari tiupan seorang peniup suling memberikan nuansa nada yang serasi dengan kecapi maupun penyanyi (mamaos). Bahan baku Suling Sunda ini tidak mungkin dapat diganti dengan alat lain, melainkan hanya dengan bambu tamiang. Suling Sunda pun dapat bermacam-macam, ada yang berlubang 4 dan lebih pendek dari suling Cianjuran (berlubang 6). Keduanya dapat menghasilkan suara dengan dimensi nada yang sangat mendalam. Di Jawa Barat ditemukan suling yang berlubang satu buah yang disebut taleot, suling ini dipergunakan bukan untuk mengiringi lagu, melainkan sebagai alat sandi ’suling pemberi tanda, sebab suaranya dapat menirukan suara burung’.

Angklung, kita mengenal tokoh Mang Ujo Ngalagena dari Bandung dengan Saung Angklungnya yang telah go-internasional -- beliau dikenal bukan saja di Indonesia, melainkan hampir di seluruh dunia --. Ngetopnya Mang Ujo karena 'angklung’ bambunya.

Dahulu angklung biasa dipakai di mana-mana dikenal dengan nama Angklung Bandung, terdiri atas 9 buah instrumen ditambah dengan 2 buah dogdog dan satu tarompet. Lain lagi di Sumedang, yaitu 12 angklung ditambah 4 dogdog.

Calung, sebagai salah satu jenis kesenian tradisional Sunda, telah berkembang dan memasyarakat di kalangan anak muda, sehingga pada tahun 1970-an anak-anak mahasiswa dari Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran terkenal dengan calung kontemporernya (Calung Jingjing). Ada beberapa macam calung yang tersebar di beberapa daerah, yaitu :Calung Gambang (Calung renteng), Calung Gamelan, di Sumedang disebut Calung Salentrong, 3. Calung Jingjing, dalam calung Jingjing ini dibawa oleh 4 orang penabuh, di antaranya adalah a. Calung Melodi (10 nada), b. Calung Pangiring (6 nada), c. Calung Jenglong, dan d. Calung Besar 'Goong'. 4. Calung renteng ( di Banten)

Ada lagi yang disebut kohkol ‘kentongan’ yang umumnya sebagai alat komunikasi, namun di Kampung Rongga Desa Cihampelas Kabupaten Bandung, kohkol ini pun dapat menjadi alat musik yang dapat mengiringi lagu / nyanyian. Demikian pula dengan Kang Nano S yang telah menciptakan bentuk seni PRAKPILINGKUNG, akronim dari kekeprak ‘terbuat dari bambu’ kacapi, dan angklung. Kesenian ini muncul di TVRI dahulu, tapi kini tenggelam lagi.

Yang sekarang sudah kurang nampak di masyarakat tetapi memiliki arti tersendiri adalah karinding. Alat musik ini diberi gema suara dari mulut. Karinding, pada waktu dahulu dipergunakan oleh para remaja untuk menyatakan cinta kasih kepada gadis yang digandrunginya. Biasanya malam hari seorang jejaka meniup karinding di seberang jendela kamar si gadis sebagai rayuan, apabila rayuan tersebut diterima, maka si gadis akan membukakan sedikit daun jendelanya. Sedangkan apabila si gadis menolak atau dalam bahasa Sunda disebut ditolak sapajodogan ‘ditolak seketika itu juga’, maka daun jendelanya pun tetap rapat tidak terbuka. Alat musik lain yang sudah dan kurang memasyarakat adalah celempung. Celempung ini terbuat dari belahan bambu dan cara memainkannya dipukul halus dengan telapak tangan atau dengan alat lain seperti karet.

Bambu sebagai alat Ritual. Di tanah Sunda ada sebuah tradisi ritual yang berhubungan dengan bambu, yaitu tujuh bulanan, khitanan, dan Rengkong 'upacara pengambilan padi'. Bambu sebagai makanan, di tatar Sunda khususnya, bambu dimanfaatkan sebagai makanan. Inilah yang disebut rebung atau iwung. Kadar gizi yang dikandung dalam rebung bila dibandingkan hampir sama dengan gizi yang dikandung dalam bawang Bombay. Ada tatacara mengambil rebung untuk dijadikan bahan makanan. Orang biasanya memetik rebung ketika matahari sedang redup, agar terhindar dari sengatan matahari (biasanya bila rebung dipetik dan terkena sinar matahari, rasanya akan pahit). Lalu untuk menghilangkan rasa pahit, rebung terlebih dahulu direndam atau direbus, setelah itu dapat langsung dimasak 'disayur' lodeh.

Bambu sebagai bahan Kertas. Perhatian terhadap bambu sebagai bahan untuk pulp kertas ini sebenarnya sudah lama. India, Tiongkok, Jepang, dan Inggris sejak lama telah mengadakan penelitian mengenai jenis bambu yang paling baik untuk menghasilkan kertas. Bambu dapat dicampur dengan Ground wood atau pulp berasal dari kayu dan daun untuk membuat kertas berkualitas baik dan kuat. Indonesia sendiri sudah melakukan penelitian bahwa bambu duri dan apus sangat baik untuk bahan kertas.

Bambu sebagai tanaman hias. Daya tarik dari pohon bambu ini ialah bentuknya sendiri dengan tajuk yang rimbun dan warna buluhnya. Di Indonesia cukup banyak terdapat jenis bambu tanaman hias ini.

Bambu sebagai penahan erosi. Bambu dengan sistem perakarannya yang kuat dan lebat dapat menahan erosi dan longsor yang diakibatkan tanah gundul.

Bambu sebagai bahan seni. Disadari atau tidak, manusia tidak dapat melepaskan dirinya dari rasa estetika. Dengan bahan baku bambu, manusia-manusia bertangan terampil dapat mengekespresikan rasa seninya melalui media bambu tersebut. Lihat (salah satu contoh) masyarakat Kampung Naga dan masyarakat Rajapolah Kabupaten Tasikmalaya, mereka dapat membuat berbagai benda seni (cendramata) dari bambu, mulai dari peralatan dapur, hingga benda-benda kerajinan lainnya. seperti kursi, meja, kap lampu, vas bunga, dan lain-lain

Bambu sebagai bahan bangunan rumah. Seperti diungkapkan sebelumnya, bahwa ketika sebuah rumah tradisional Sunda hampir semua materialnya terbuat dari bambu, mulai dari golodog, sampai ke tempat tidur. (lihat beberapa contoh rumah tradisional di Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya, Kampung Dukuh Kabupaten garut, Kampung Pulo Kabupaten Garut, Kampung Kuta Kabupaten Ciamis, Kampung Baduy Kabupaten Pandeglang, Kampung Mahmud Kabupaten Bandung, dan sebagainya). Dan kini restoran-restoran di kota-kota besar mempergunakan material bambu sebagai daya tariknya dan ciri khasnya.

Sebagai alat pertanian bambu juga memegang peranan yang tidak kalah pentingnya, seperti tolombong, rancatan, tangkai garu, tampir, nyiru, busang / oblog, geribig, dan lain-lainnya. Kesemuanya itu merupakan alat pertanian yang sangat penting. Di dalam kemajuan teknologi pertanian sekarang, petani membuat tesser ‘perontok gabah’ juga dari bambu.

Kini setelah masuk teknologi mesin, ke dalam dunia pertanian kita, alat-alat pertanian dari bambu itu masih tetap dipergunakan dan dibutuhkan petani. Budaya plastik hanya sebagian saja (seperti karung plastik) yang masuk ke dalam kelompok alat pertanian yang dibutuhkan. Walau ada plastik lain yang digunakan seperti ember untuk membawa pupuk sewaktu memupuk padi, tetapi itu hanyalah tambahan saja karena sebenarnya ember itu lebih berperan di rumah.

Bagi petani peternak, bambu juga merupakan bahan baku yang sangat dibutuhkan, untuk membuat kandang (kandang domba, ayam, dan sebagainya) para peternak mempergunakan bahan baku bambu. Demikian pula untuk kebutuhan peralatan lainnya seperti tempat pakan dan minum ternak. Para peternak tingkat menengah dan besar pun masih mempergunakan karinjangkeranjang’ dan rancatanpikulan’ dari bambu.

Untuk petani ikan, bambu paling utama digunakan sebagai saluran air talang atau kuluwung dan di pedesaan; tampianMCK untuk madi, kala hajat’, dan lain-lain masih mempergunakan bahan baku bambu. Hal-hal lain yang berhubungan dengan pertanian perikanan adalah tempat karantina ikan, tempat menelurkan ikan, cireung keranjang ikan, karamba, buleng ‘tempat ikan dan membawa ikan’, oblok ‘tempat untuk membawa ikan’, gagang sirib ‘tangkai anco, dan masih banyak lagi.

Bambu Sebagai Alat Perang (Bambu Runcing). Hanya ada satu bangsa di dunia ini yang mempertahankan kemerdekaannya dengan senjata yang sederhana dan primitif dalam era bom atom. tetapi memberikan hasil yang paling optimal. Kita tahu bahwa senjata bambu runcing yang dijadikan senjata bangsa Indonesia saat itu bukan hasil penelitian dan dibuat bukan karena perintah pemimpin bangsa seperti Bung Karno dan lain-lainnya. Lewat getaran hati seluruh bangsa Indonesia, mereka menciptakan sebuah senjata ampuh yang mampu mengatasi senjata mutakhir musuh. Bambu runcing yang umumnya terbuat dari bambu hitam itu ternyata telah mampu membakar semangat juang dan patriotisme bangsa Indonesia. Mereka berjuang tanpa mengenal takut, hanya dengan satu tekad Merdeka atau Mati.

Sikap bangsa Indonesia yang militan dan penuh percaya diri, membedakan bangsa ini dengan bangsa-bangsa lainnya di dalam mempertahankan kemerdekaan dari penjajah yang ingin menguasai Republik Indonesia. Bahwa bangsa Indonesia dapat mempertahankan kemerdekaannya hanya dengan tongkat bambu benar-benar sesuatu yang paling mengagumkan, sebab perang kemerdekaan bangsa Indonesia terjadi pada era bom atom, pintu gerbang era teknologi yang canggih.

Bambu dalam Kehidupan Bathin Orang Sunda Pemberian nama daerah --toponimi-- di daerah Sunda (Jawa Barat), banyak yang berasal dari nama-nama jenis bambu, seperti Cicalengka, Cigombong, Ciater, Cihaur, Citamiang, Ciawi, dan lain sebagainya sesuai dengan rumpun bambunya yang tumbuh di sekitar lingkungan itu. pemberian nama ini disesuaikan dengan kondisi daerahnya, seperti di suatu daerah dimana banyak tumbuh rumpun bambu dan mengeluarkan air, maka daerah itu diberi nama Ci ‘air’ digabungkan dengan nama bambunya. Sedangkan bagi daerah yang banyak rumpun bambunya tetapi tidak memancarkan mata air, maka daerah itu diberi nama bambunya dan tidak diberi suku kata Ci-, seperti Gombong, Rangkasbitung, gegerbitung, haurpugur, haurpancuh, Kedungwuluh, dan lain-lain. Dalam bahasa Sunda baru, nama lengka mulai hilang dalam perbincangan sehari-hari, kini lebih dikenal dengan nama awi.

Bambu dalam kebiasaan orang Sunda. Dalam adat istiadat orang Sunda, apababila bayi dilahirkan, tali ari arinya dipotong dengan sembilu -- kulit lengka yang diambil dari lengka yang tua dan masih terbungkus pelepah batang -- Lengka yang diambil sembilunya merupakan batang yang masih hidup dan belum ditebang.

Setelah bayi mandi untuk pertama kali, dibedongdibungkus dengan kain’ dan diletakkan di atas nyiruniru’ yang dilapisi dengan daun pisang. Hal ini menunjukkan, kearifan nenek moyang orang Sunda dalam menyembunyikan lambang. Nyiru yang terbuat dari bambu gunanya untuk menampi beras atau gabah; membuang yang kotor atau hampa, memisahkan yang bernas dan baik. Harapannya agar anak itu nantinya mampu membuang yang jelek dan tidak berarti serta mengambil yang baiknya. Sedangkan daun pisang, merupakan alat pembungkus dan biasanya untuk membungkus nasi. Harapannya agar anak itu nantinya mampu membungkus sebagian dari rizkinya untuk persediaan hari esok atau dengan kata lain agar hemat dan tidak boros. Dalam peribahasa bahasa Sunda dikatakan bisa ngeureut neundeun.

Saat menginjak umur 5-6 tahun anak laki-laki harus disunat. Kebiasaan dahulu di pedesaan, anak yang akan disunat itu pada saat menjelang subuh direndam terlebih dahulu di kolam atau lubuk yang besar. Pada waktu upacara rendaman ini biasanya ditemani oleh teman-teman sebayanya untuk menghibur anak yang akan disunat. Ketika anak sunat pada menjelang subuh tersebut diarak ke tempat perendaman biasanya diterangi dengan oncor bambu dan dibawakan makanan (Sunda : Bancakan) di atas sebuah nyiru. Bancakan ini dibagikan kepada teman-temannya seusai upacara rendaman. Harapan dari upacara rendaman ini agar anak tersebut setelah dewasa mau membagi rizkinya kepada orang lain (Sunda : daek mere maweh). Upacara rendaman anak sunat ini adalah semacam upaya anestesi (Sunda : dibaalan) agar anak sunat tidak merasa sakit saat disunat. Setelah upacara rendaman selesai, anak disunat oleh paraji sunat atau dukun sunat. Hal ini biasanya dilaksanakan di halaman rumah, maksudnya agar setelah anak dewasa selalu ingat rumah, tidak anclong-anclongan ‘pergi meninggalkan rumah dan lupa’ meninggalkan rumah seenaknya. Sunatan dilaksanakan oleh seorang paraji sunat dianggap sebagai pengesahan terhadap anak untuk masuk Islam (menurut kepercayaan orang desa). Pisau yang dipergunakan untuk menyunat adalah pisau bambu (hinis lengka, seperti pisau yang dipergunakan untuk memotong tali ari-ari). Pisau sunat tersebut dikenal dengan sebutan bengkong yang kemudian istilah ini pun menjadi sebutan bagi paraji sunatnya.

Setelah dewasa anat tersebut akan menikah, salah satu upacara dalam pernikahan adat Sunda yakni nincak endog ‘menginjak telur’. Sebenarnya dalam upcara nincak endog ini bukan hanya semata-mata menginjak telur, melainkan disertai dengan menginjak barungbung awi ‘sepotong bambu kecil sepanjang kurang lebih 20 cm dan bambunya adalam awi tamiang.’ pelaksananan upacara ini termasuk salah satu rangkaian upacara pernikahan adat Sunda. Biasanya setelah selesai walimahan, pengantin dibawa ke depan pintu rumah. Mereka didudukan dan disawer. Isi sawer adalah nasihat mengenai kerumahtanggaan bagi kedua mempelai. Dan setelah upacara sawer inilah upacara nincak endog dilakukan. Para petugas upacara menyiapkan sebutir telur ayam dengan sepotong barungbung awi yang disimpan di dalam cowet tanah, harupat ‘lidi ijuk aren’ yang ditutup dengan kain putih dan diletakkan di atas tikar pandan / mendong yang masih baru, sebuah pelita biasanya dari minyak kelapa dan sebuah kendi berisi air. Pelaksanaan upacara nincak endog ini, dilakukan oleh pengantin pria berdiri menghadap ke pengantin wanita di ambang pintu menghadap ke luar. Dengan aba-aba dari petugas upacara, pengantin pria menginjak endog dan barungbung awi sampai pecah. Berlelehanlah putih telur dan kuning telur mengena pada kaki pengantin pria, kemudian pengantin wanita harus mencuci kaki pengantin pria dengan air yang ada dalam kendi. Setelah selesai, maka kendi tersebut dilemparkan ke tanah sampai pecah berantakan.

Ketika meninggal dunia, pasaran atau jampana ‘keranda’ untuk mengusung mayat ke kuburan juga terbuat dari bambu, padung-nya terbuat dari bambu, tetengger-nya terbuat dari bambu, dan kuburannya di dipagar dengan pagar bambu disebut dengan istilah Galogor.

Dari sepanjang hidup manusia yang serba bambu ini, orang Sunda melihat ada keterkaitan langsung antara manusia dengan bambu, dari lahir hingga meninggal. Secara tidak sadar orang desa melihat bahwa lengka atau awi yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan tumbuhan biasa dan hanya memiliki nilai rendah, ternyata apabila dilihat secara hakekat awi merupakan benda yang sangat bearti dan mempunyai nilai filosofis yang tinggi.

Beberapa Pandangan dan pendapat Mengenai Bambu

1. Kiayi Haji Hasan Mustafa (1847 -1927) (Sunda - Indonesia) Jawa Barat memiliki seorang filosof yang cukup disegani, bukan saja oleh orang Sunda, melainkan juga oleh para cerdik pandai Barat yang pada jamannya, yaitu orang Belanda. Beliau telah menulis puluhan ribu Pada ‘bait’ pusis tembang Sunda dan karya sastra prosa yang hingga saat ini belum ada yang sanggup menterjemahkannya secara utuh. Karya-karya tersebut baru sebagian diinventarisir oleh Ayip Rosidi. Haji Hasan Mustafa pada jamannya sudah menjadikan bambu sebagai perlambang ‘simbol’. Beliau memperlambangkan bambu bukan saja dilihat dari pemikiran sastra, melainkan dari sudut pandang agama. Pandangan dan pemikiran yang sangat universal, tidak terpengaruh oleh sastra dn pandangan orang luar. Beliau pun menulis tentang bahasa, pandangan hidup, wawasan, dan jiwa Sunda. Sebagian tulisannya dalam salah satu pada sajaknya dari Kinanti Gusti Yang Kawung : Urang dipasihan iwung, iwung ilmuning sang awi, iwung kersaning awina, iwung kawasaning awi, rungu paningal awina,iwung andikaning awi,

urang dipasihan iwung, ku awi nu maha suci, lahang dipasihan lahang,ku kawung nu maha suci, mayang dibere mayang,ku jambe nu maha suci (Dalam : Ayip Rosidi, 19 :18)

Kedua bait di atas menunjukkan kepada kita betapa kekuasaan Tuhan dengan segala ciptaan-Nya. Bambu diposisikan sebagai yang dijadikan. Hal ini membuktikan bahwa Haji Hasan Mustafa meyakini betapa pantas - karena nilainya - bambu dijadikan perlambang hubungan antara Yang Menjadikan dengan yang dijadikan. Sedngkan yang disebut nira, mayang, dan pinang dalam bait ketiga hanyalah sebagai perbandingan untuk memperkuat posisi bambu dalam kedudukannya sebagai simbol. Pada kesimpulannya Haji Hasan Mustafa menjadikan bambu sebagai simbol antara Yang Menjadikan dengan yang dijadikan, antara Khalik dan makhlu-Nya. Di sinilah kearifan manusia Sunda (Haji Hasan Mustafa) menarik suatu makna yang ada di dalam bambu nilai filosofis yang lebih tinggi untuk menjadikannya sebagai simbol.

2. Baumschule (Wolfgang) Eberts (Jerman) Lain lagi dengan Haji Hasan Mustafa, Wolfgang Eberts, tokoh bambu dunia. Beliau memandang bambu bukan saja dari titik pandang agama, melainkan dari hakekat pergaulan manusia. beliau memabndang bambu sebagai tumbuhan yang luar biasa di dalam kehidupan manusia, sehingga bambu tampil sebagai perlambang pergaulan dunia, perlambang hidup berdampingan yang saling menghormati sebagai sesama saudara. Dan beliau manifestsikan dalam baik puisinya :

no matter what country we are from, no matter what religion we belong to, no matter what colour skin has, no matter what political system we belong to,bamboo is our friends and, therefore we are all friend

Bait pusisi di atas, terasa sekali bagaimana mendalamnya jiwa persahabatan dan koeksistensi dunia dengan bambu sebagai simbol pemersatu. Dengan bambu - mestinya - hilang segala pendapat dalam pergaulan dunia. Dengan hendaknya semakin eratnya jalinan persatuan dan kesatuan ummat manusia sehingga tidak perlu pertentangan dan perang. Karena pada hakekatnya manusia itu benci perang dan kekerasan.

3. Yves Crouzet, Former President European Bamboo Sociaty (Perancis) Berpandangan lebih ekstrim dibanding yang lain, Yves berpendapat bahwa bambu penting dalam pergaulan dan perdamaian dunia. Yves mengatakan ‘... Bamboo is the green peace knight ...’ baginya bambu adalah pedang perdamaian dunia. Betapapun manusia berbicara tentang perdamaian dunia, senjatanya tiada lain adalah bambu.

Baginya bambu bukan lagi perbandingan, Yves secara tegas memperlambangkan bambu sebagai senjata yang langsung diarahkan kepada upaya pemeliharaan dan penciptaan perdamaian dunia. Ini adalah suatu pernyataan yang patut kita kaji secara mendalam apabila kita tidak lagi mau mendengar pertantangan manusia, pertentangan antarnegara, perang dan kekacauan. Kedalaman dari pernyataan ini harus dijadikan salah satu pandangan bangsa - bangsa di dunia. Bahwa perdamaian bukan harus dicapai dengan dentuman meriam, hujan peluru, dan penyiksaan. Perdamaian itu dapat diciptakan dengan pendalaman hakekat pergaulan dunia. bambu selalu hidup dalam suasana damai, penuh pengertian, teduh, dan romantis. Tidak dapatkah manusia hidup dalam situasi seperti rumpun bambu ? Pernyataan Yves harus jadi pernyataan para pencinta bambu, sebab pada hakekatnya mereka itu adalah pencinta perdamaian.

4. Shoji Shiba (Jepang) adalah seorang pencinta lingkungan dari Jepang, mengatakan ‘...bamboo is one of important factor to create natural enviroment...’ Bambu adalah salah satu faktor utama dalam menciptakan lingkungan yang alami. Pernyataan ini merupakan pernyataan perjuangan bangsa Jepang yang memiliki Teluk Minamata yang rusak oleh pencemaran yang berat. Sebagai seorang pencinta lingkungan, wajar sekali kalau mengangkat upaya penyelamatan lingkungannya ke permukaan. Dan pernyataan ini terbukti dengan telah dibangunnya hutan-hutan bambu di sekitar teluk Minamata. Pernyataan Shoji Shiba bukan tidak berdasar, ia yakin bahwa bambu memiliki daya menetralisir limbah berat di Teluk Minamata.

Jadi jelas bahwa bambu itu memiliki segalanya.

Orang Jepang mengangkat nilai dan martabat bambu dengan suatu keyakinan bahwa bambu memiliki segalanya, bukan hanya yang bersifat fisik semata, melainkan juga memiliki arti di luar itu.

Dengan dorongan bagi kita untuk lebih mencintai bambu dan mengangkatnya ke permukaan karena bambu memiliki seribu satu manfaat bagi manusia.

Yang Aneh-aneh tentang Bambu

Ada beberapa anekdot mengenai bambu yang dipergunakan sebagai alat kesenian, seperti contoh, beberapa penuturan Pak Daeng Sutigna dan Abah jaya mengenai pembuatan angklung.

1. "...... Juragan kanggo ngadamel angklung nu pangsaena mah, gantar pamoean kenging maling ...." (....Tuan, bambu yang paling bagus untuk membuat angklung adalah batang bambu jemuran hasil mencuri ....) Pada kenyataannya memang benar juga, bambu yang sudah dipergunakan untuk jemuran itu kering dan tegar, juga sudah jauh dari kemungkinan dimakan bubuk.

2. "Awi nu sae kanggo angklung mah, nya eta bambu nu tilas dihakan cangkilung" (Bambu yang baik untuk bahan angklung, adalah sisa cangkilung). Kenapa demikian ? Karena bambu bekas dimakan cangkilung ruasnya lalantas 'tipis, dan tegar'.

3. Awi nu dipake ngendong sireum eta nu pangsaena 'bambu yang dipergunakan untuk sarang semut' itu yang sangat baik untuk bahan angklung, hal ini menyebabkan bambu menjadi keras dan tegar.

4. Cara menebang bambu harus berdasarkan patokan pamali dan ulah. "....Upami nuar awi mah ulah ayeuna pamali, engke dina "mangsa" (kapat, karo, katiga), upami iwung parantos bijil daun, upami iwung parantos sumear" (...bila hendak menebang bambu jangan sekarang, pamali, nanti pada "musim-nya", bila rebungnya sudah tinggi dan berdaun). Hal ini disebabkan, Tuhan telah memberikan patokan-patokan khusus tentang masa-masa penebangan bambu. Hukum alam yang merupakan aksioma itu harus dipelajari dengan benar oleh manusia. Dan manusia Sunda surti akan hal itu. Saat yang paling ideal untuk melakukan penebangan yaitu pada mangsa 'musim' (kapat, karo, dan katiga) atau pada bulan-bulan kemarau, yaitu awal Juni sampai bulan Agustus. Sedangkan saat yang paling baik untuk menanam yaitu pada bulan-bulan penghujan, biasanya pada bulan-bulan yang berakhir dengan ber-ber (September, Oktober, dan seterusnya).

5. Cara menebang bambu, (bambu untuk dipergunakan sebagai bahan-bahan, baik angklung atau pun bahan bangunan lainnya). Menurut pepatah orang tua, apabila akan menebang bambu harus pada waktu sanggeus ci reumis turun 'setelah embun turun', yaitu mulai pukul 09.00 pagi kala bambu sudah tuus 'sudah tidak mengandung cireumis lagi' sampai dengan pukul 15.00 sore. Setelah ditebang, bambu diberdirikan agar kandungan air dalam batangnya cepat turun, dahan dan daunnya jangan dilepas dulu biarkan lepas sendiri. Bambu yang ditebang dengan cara demikian menjadi lebih baik dan tidak mudah dimakan bubuk.

6. Percaya atau tidak percaya, bahwa bambu pertumbuhannya dalam sehari dapat mencapai 30 cm.

7. Apabila menginginkan pohon bambu yang kecil dan kerdil, maka menanamnya jangan di tempat atau tanah yang subur.

Falsafah Bambu

Bambu sebagai pedoman hidup, artinya hirup hurip manusia di dunia terikat oleh aturan yang menjadi lambang kehidupan yaitu bambu. Seperti diungkapkan sebelumnya, bahwa manusia itu bagaikan parungpung pertanda masih kosong. Begitu manusia lahir ke dunia tungtung hirupna 'tali pusarnya' dipotong dengan hinis 'sembilu' dari bambu kemudian tali pusarnya dicangreudkeun 'disimpulkan' nyangreud pageuh teu bisa dipisahkeun jeung awi 'tersimpul kuat tak dapat dipisahkan dengan arti hakekat bambu sebagai lambang kehidupan'.

Bambu itu adalah ukuran. Ada tiga tingkatan ukuran hidup manusia dalam perlambang bambu, yaitu : lodong, ruas, dan katung. Lodong adalah bambu tempat air dengan panjang kurang lebih tiga ruas. Buku 'ruas' yang tengah disekruk 'dibuang' dibersihkan agar tiap ruas dari bambu menyatu. Ruas paling bawah dibiarkan sebagai alas. Ruas paling atas dibuang agar air dapat masuk. Ruas adalah bagian dari bambu yang hanya memiliki satu buku 'ruas', dan yang disebut sebagai lodong leutik apabila ruas yang paling atas dilubangi. Apabila ruas tersebut dipotong dan hanya sebagian saja disebut katung. Oleh paneresan 'orang yang mengambil nira / tukang nyadap' katung tersebut disebut kolanding.

Bambu sebagai ukuran. Di Tatar Sunda, kalau ada manusia bodoh suka disebut lodong kosong. Apabila manusia tersebut bodoh tapi banyak bicara dan guminter ‘seperti orang yang pintar’ disebut lodong kosong sok ngelentrung. Sama artinya dengan peribahasa dalam bahasa Indonesia yang berbunyi 'Tong kosong nyaring bunyinya'. Nah demikian pula bagi manusia yang lagi kasmaran tapi tidak ada kemauan dan kurang keberanian untuk mengungkapkannya kepada si wanita ’kemba’, ahli sindir di Tatar Sunda menyebutnya dengan sisindiran sebagai berikut :

sore lodong isuk katung, ti beurang kolanding tande sore noong isuk nangtung, ti beurang ngabanding bae

Apabila kita pelajari kehidupan tumbuhan bambu, akan kita temukan berbagai keunikan sifat-sifat bambu. Dari sifat-sifat keunikan inilah manusia dapat mengambil makna yang tersirat di dalamnya dijadikan sifat kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Sifat-sifat keunikan tersebut adalah :

Bambu dapat beradaptasi dengan berbagai lingkungan yang ada, tidak peduli tanah itu subur atau pun tidak. Makna ini pun dijadikan dasar bagi manusia sebagai makhluk sosial harus mampu beradaptasi dengan lingkungan setempat. Maka lahirlah peribahasa Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung atau dalam peribahasa bahasa Sunda dikatakan Pindah cai pindah tampian.

Bambu umum dibuat tali oleh manusia untuk mengikat benda-benda yang diperlu diikat. Ini berarti bambu dapat dijadikan perlambang kebersatuan atau lambang ikatan. Sebab dengan keterikatan satu sama lainnya, kita akan sulit untuk digoyahkan solid. Sebatang lidi tidak akan menjadi alat pembersih, tetapi apabila lidi-lidi terikat dalam satu ikatan sapu lidi yang diikat oleh simpay ‘jalinan tali dari bambu’, maka ia akan memiliki arti yang sangat penting. Di sini maka lahirlah peribahasa Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.

Bambu memiliki sifat lentur atau elastis. Dalam hal ini membuktikan bahwa kekuatan dan kemampuan bambu itu justru karena kelenturannya. Makna ini melambangkan bahwa manusia itu baru memiliki kekuatan, apabila memiliki sifat lentur, yaitu sifat bijaksana. Maka lahirlah ungkapan yang melambangkan kebijaksanaan seorang manusia dalam peribahasa Sunda Leuleus jeujeur liat tali. Jeujeur ‘joran’ biasanya dibuat dari bahan bambu.

Bambu selalu tumbuh berumpun dan tidak pernah tumbuh sendirian. Tumbuhan bambu selalu merupakan kelompok batang yang satu sama lainnya saling terikat dalam bongkot dan rimpangnya. Ini memberikan suri tauladan kepada kehidupan manusia yang berkelompok baik dalam kelompok keluarga, lingkungan, suku bangsa, bahkan bangsa yang satu dengan yang lainnya terikat pada akar budaya, adat istiadatnya, bahkan agama dapat menciptakan saling pengertian, saling menghargai, saling bantu dan seterusnya.

Bambu memiliki saling keterkaitan yang menjadikan kekuatan yang tidak tergoyahkan. Keterkaitan ini melambangkan adanya kebersatuan antara dirinya dengan yang lain. Maka makna yang tersirat dari kondisi ini, manusia menciptakan nilai-nilai. Dalam peribahasa Sunda disebutkan yaitu kudu kawas awi jeung gawirna ‘harus seperti bambu dengan tebingnya’. Hubungan yang melembaga antara awi dengan gawirna menunjukkan hubungan yang erat dan saling menguntungkan serta menciptakan kekuatan yang ampuh. Tebing akan terhindar dari bahaya longsor dan bambunya sendiri tumbuh dengan kuat dan akan menyesuaikan diri dengan kondisi yang alam yang ada.

Dengan mendalami sifat-sifat yang unik inilah manusia kemudian menyadari betapa awi telah memberikan suri tauladan yang patut dijadikan dan diimplementasikan dalam kehidupanya

Bambu Sebagai Lambang Filosofis pada Masyarakat Sunda

- Ulah pucuk awian ‘nuduhkeun jelema teu puguh janjina, luak leok teu puguh tangtungan’.

- Kawas bujur aseupan ‘jelema nu teu bisa ngadalian diri, nepi ka teu ngabogaan katenangan hirup’

- Moal ditarajean ‘teu sieun nyanghareupan hirup’

- Sagolek pangkek, sacangreud pageuh ‘jelema anu sok tigin kana jangjina’ sarua jeung ngadek sacekna, nilas saplasna’

- Bobo sapanon carang sapakan ‘aya wae kakurangan = Tak ada gading yang tak retak’

- Lodong kosong ngelentrung ‘jelema nu loba nyaritana tapi teu eusian’

- Buku juga dijadikan perlambang ‘ manusa kudu inget kana batas kahirupan’

- Inggis batan maut hinis ‘kacida matak inggisna’

- Maut hinis ka congona ‘diibaratkeun ka jelema nu hirupna susah di kakolotan’

- Biwir nyiru rombengeun ‘jelema nu teu bisa neundeun rusiah, biasana dilarapkeun ka awewe’

- Pokrol bambu ‘jelema mah kudu bisa nyanghareupan sagala masalah dina kaayaan nu tenang, ngarah bisa survive’

- Anak mah ulah siga anak angklung ‘ulah joledar ka kolot’

- Indung mah siga angklung ‘ibu lebih sayang dan selalu ingat kepada anaknya, walaupun anaknya lupa kepada orang tusanya’

- Elmu angklung ‘Kolot wajib ngadidik jeung ngaping kanu jadi anakna ku elmu pangaweruh, kalauan, etika, jeung estetika supaya jadi jelema anu bageur’

- Peunggas rancatan ditinggalkeun ku jelema nu dijadikeun tanggelan’

- Kudu nepi ka paketrok iteuk ‘kudu nepi kakolot’

- Matak tibalik aseupan ‘awewe nu teu bisa masak tercela’


Pandangan Hidup Manusia dengan Masyarakat

Meungpeun carang ku ayakan ‘ pura-pura tidak tahu terhadap perbuatan yang tidak baik’

Hirup kumbuh jeung manusa kudu lir ibarat awi jeung gawirna ‘harus saling memperkuat, mendukung, tolong menolong’

Tamiang meulit ka bitis ‘malindes ka diri sorangan = perbuatan mencelakan orang lain tapi hasilnya kepada diri sendiri’

Leuleus jeujeur liat tali ‘lentur dalam menghadapi permasalahan’

Bubu ngawaregan cocok ‘memberi nasihat kepada orang lain untuk mengeuntungkan diri sendiri’

Pager doyong aya gebrage ’gotong royong di masyarakat’

Nu burung diangklungan nu edan didogdogan ‘nu salah dibenerkeun beuki kacida salahna’

Nete taraje nincak hambalan ‘ harus bertahap’

Ulah jiga meulah awi ‘sikaya makin kaya si miskin makin miskin adanya korban ketidakadilan’

Ulah ulin dina bebekan awi ‘jangan bermain dengan pekerjaan yang akan mencelakakan’

Pindah cai pindah tampian ‘dapat menyesusikan diri’

Kawas awi sumear di pasir ‘harus mempunyai pendirian dan bersatu dengan masyarakat sekitar’

.Ngadu angklung ‘berkumpul dan berbincang hanya untuk menghabiskan waktu’

Asup kana bubu ‘masuk ke dalam suasana yang sangat sulit untuk menghindar’


Pandangan Hidup Manusia dengan Tuhan

Awi = Ajining Wiwitan Ingsun Medal ‘ manusia hidup ada yang melahairkan secara syareat dan hakikat’

Kudu neangan galeuh bitung ‘pasrahdalam kekosongan’

Puhu nyurup ka tungtung, congo amprok kana bonggol ‘lingkaran hidup yang berkesinambungan’

Urang dipasihan iwung, iwung elmuning sang awi, iwung kersaning awina, iwung kawasaning awi, rungu paningal awina, iwung andikaning awi ‘Adanya keterkaitan antara yang dicipta dengan sang Pencipta’

Awi temen ngeluk tungkul nungkulan buku pribadi nulisna make hinis ‘Jatining diri’

Bisi teu inget ka ruas, sieun hinis salah nurih, nurihna Ruh - Asma - Allah ‘selalu ingat dengan cara berdoa kepada Allah’

Dina buku aya mata, keur maca buku pribadi ‘mata hati selalu tidak pernah tidur’

Kudu ngeusian awi ku uyah ‘Yahu - uyah’


Pandangan Hidup Manusia dengan Alam

Leuweung kaian, gawir awian, legok balongan, datar sawahan ‘Proporsional’.

Pandangan Hidup manusia dalam mengejar kebahagiaan lahir bathin

1. Ayakan mah tara meunang kancra ‘hasilnya tidak akan jauh dengan kemampuan’

2. Nyiuk cai ku ayakan ‘mengerjakan sesuatu yang sia-sia’

3. Dagang oncom rancatan emas ‘bekerja berlebihan tapi tidak sepadan dengan hasilnya’

Awi dapat dilihat dari berbagai disiplin ilmu, baik dari ekonomi, filsafat, dan nilai-nilai kehidupan manusia. Awi sangat erat dalam sisi kehidupan manusia Sunda, terbukti dari beberapa tokoh yang secara eksplisit menekuni dan mencintai bambu menyatakan pendapatnya.

Awi, adalah tumbuhan purba yang sangat penting artinya bagi kehidupan manusia. Sehingga, awi ‘bambu’ tidak saja dikenal di Indonesia, malahan di belahan dunia lain, seperti di India, bambu dikenal sebagai The wood of the poor ‘kayu untuk orang Miskin’. Orang Cina menyebutnya sebagai The friend of the people ‘kawan bagi manusia’, dan orang Vietnam menyebutnya sebagai The brother ‘saudara’.

Awi sebagai tumbuhan bukan saja memiliki nilai phisik melainkan juga memiliki nilai filosofis. Banyak suku bangsa yang menganggap bambu sebagai suatu tumbuhan yang memiliki kekuatan magis, memiliki daya ikat sehingga manusia banyak menjadikannya sebagai perlambang. Filsafat awi yang banyak digunakan oleh masyarakat Sunda, menunjukkan bahwa nilai kedekatan hidupnya tak lepas dari bambu. Filsafat itu digunakan untuk pedoman hidupnya. Sifat fisik bambu, kuat, liat, luwes, mudah didapat di sembarang tempat, sehingga cocok bagi bahan bangunan perumahan rakyat. Sifat awi yang luwes halus namun kuat (leuleus jeujeur) punya elkastisitas tinggi. Mampu menahan goncangan dan tekanan. Dari sifat awi ini timbul makna falsafah yang paradoks : “dalam keluwesan dan kehalusan, juga harus silih saksian”

Daftar Pustaka

Anang Sumarna, drs. Bambu, Angkasa.

Eddi Tarmiddi, 1993. Bambu dina Pilosopi Sunda (Makalah Saresehan Bambu)

Udjo Ngalagena, 1993. Hal Ihwal Bambu Dalam Kehidupan Sehari-hari (Makalah Saresehan Bambu)

Nandang Rusnandar, dalam Laporan Penelitian, BKSNT - Bandung, Edisi 10, 1996

Naskah kuno “Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian”

Koentjaraningrat .1981. Kebudayaan, mentalitasm dan Pembangunan. Gramedia. Jakarta

Maclaine Pont, Ir. 1933. Javaansche Architectuur, DJAWA, Tijdschrift van het Java Instituut, Jogjakarta.

Reid, Anthony. 1992. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450 - 1680. Jilid I : Tanah di Bawah Angin. Yayasan Obor Indonesia.

Ayip Rosidi, Karya-karya Hasan Mustafa, Giri Mukti.

Ottih Rostoyati, Dra. 1998 Bambu Thesis Universitas Padjadjaran Bandung

Haryoto Kunto, 1993. Bambu si Buluh Perindu, Makalah Saresehan Bambu. Bandung

Suwarsih , 1987. Pandangan Hidup Manusia Sunda, DEPDIKBUD

Sulaeman B. Adiwidjaja, 1993. Sikap dan Tata Nilai Tradisional Jawa Barat. Makalah.

Majalah Mangle

Sumber:
http://sundasamanggaran.blogspot.com

Popular Posts