Jurnal Penelitian Edisi 38/September 2007
Oleh:
Drs. Agus Heryana
Dra. Lina Herlinawati
Drs. Nandang Rusnandar
Drs. Agus Heryana
Dra. Lina Herlinawati
Drs. Nandang Rusnandar
Abstrak
Luqmanulhakim adalah naskah yang ilmu kebatinan untuk mencari hakikat hidup. Naskah ini memuat ajaran etika dan moral berlandaskan pada kaidah Islam. Keterangannya sangat luas, mencakup pengetahuan tentang alam dan segala isinya, fungsi masing-masing isi alam dan manfaatnya yang dilimpahkan Allah kepada manusia. Naskah tersebut juga mengandung pesan budaya, petuah, dan ajaran yang amat berguna bagi masyarakat, khususnya bagi pemantapan aspek mentalitas dan spritual.
Kata Kunci: Lukmanulhakim. Ajaran Moral.
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Perihal kegunaan dan urgensi penggarapan naskah kuno sering diungkap oleh para pakar di bidangnya. Mereka menganggap naskah kuno bukan sekedar kumpulan atau tulisan kuno yang tidak jelas artinya dan juga tidak menganggap sebagai onggokan kertas, bak sampah yang harus dibuang. Namun naskah kuno adalah peninggalan sejarah suatu suku bangsa yang perlu diteliti dan dikaji, karena akan memberi¬kan data dan informasi mengenai berbagai hal budaya maupun situasi yang pernah berlangsung pada zamannya. Dalam kaitan¬nya dengan itulah para pakar budaya, baik langsung maupun tidak, mengakui keberadaan naskah(-naskah) kuno sebagai sumber informasi budaya daerah. Pada awalnya bagi masyarakat pendukungnya bisa jadi sebuah naskah hanyalah berfungsi sebagai pengisi luang-waktu disela-sela kesibukannya seba¬gaimana terjadi pada tradisi pembacaan naskah wawacan(Sunda) atau mabasan (Bali). Namun tidaklah demikian bagi seorang pemerhati budaya dan bagi orang-orang yang arif akan nilai-nilai kehidupan. Bagi mereka pembacaan wawacan berupa naskah-naskah tertentu, misalnya, memiliki nilai tersendiri yang patut diteladani dan diambil hikmahnya, terutama sekali terhadap isi kandungan suatu naskah.
Dilain pihak pun naskah berfungsi sebagai sumber informasi sosial budaya. Sebagai sumber informasi sosial budaya, kandungan naskah menunjukkan pada salah satu sumber budaya yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan sosial budaya masyarakat saat naskah tersebut lahir dan mendapat dukungan masyarakatnya. Naskah-naskah kuno berdasarkan wujudnya dapat dipan¬dang sebagai benda budaya dalam bentuk tulisan tangan. Hasil buah pikiran yang direfleksikan dalam bentuk tulisan tangan ini adalah kode-kode aksara sarat makna yang pada gilirannya dapat memberikan informasi langsung mengenai ide-ide atau gagasan berbagai pengetahuan tentang alam semesta menurut persepsi budaya masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, Koentjaraningrat (1980:15) memasukkan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya ke dalam wujud kebudayaan yang pertama.
Wujud kebudayaan yang pertama pada dasarnya bersifat abstrak. Tak dapat dilihat, diraba atau difoto. Karena wujud kebudayaan pertama ini berupa gagasan, idiil (ide), dan nilai-nilai yang sukar diwujudkan dalam bentuk konkrit. Gagasan, idiil dan nilai letaknya berada pada diri manusia itu sendiri yang berada dalam alam pikiran dari warga masya¬rakat saat kebudayaan yang bersangkutan hidup. Kalaulah masyarakat tadi menyatakan gagasannya dalam bentuk tulisan, maka keberadaan kebudayaan gagasan atau idiil sering berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian tidak berlebihanlah apabila karya-karya sastra (daerah), lebih luas lagi maknanya segala macam hasil tulisan karya leluhur bangsa Indonesia, dianggap merupakan salah satu sumber gagasan atau ide pada masanya yang pada gilirannya dapat diambil manfaat¬nya oleh para generasi kemudian.
Beralih pada bentuk konkrit sastra Nusantara, akan ditemukan suatu kenyataan bahwa karya sastra Nusantara masih banyak tertulis dalam wujud manuskrip (tulisan tangan) yang ditulis dengan bahasa dan aksara atau huruf daerah. Karena wujudnya itu serta dikaitkan dengan usia naskahnya yang rata-rata berusia lebih dari 50 tahunan, maka semua karya
Nusantara cenderung dikelompokkan pada kelompok naskah kuno. Sehubungan dengan hal itu, Haryati Soebadio (1973:6) menga¬takan, bahwa Indonesia merupakan khasanah raksasa bagi naskah kuno yang kebanyakan tertulis dalam bahasa dan huruf daerah. Isi naskah-naskah tersebut beraneka ragam mulai dari naskah kesusastraan dalam arti terbatas sampai dengan sumber keagamaan, kemasyarakatan, sejarah, yang sangat penting bagi pengetahuan kita mengenai kebudayaan Indonesia pada umumnya.
Pentingnya pengungkapan naskah sebagaimana diungkap oleh Haryati Subadio itu, belum cukup menyadarkan kalangan masyarakat luas untuk memberi penghargaan yang sesuai dengan semestinya. Bahkan ada kecenderungan semakin tersisihkan apabila dihubungkan dengan kegiatan pengadopsian teknologi dan ilmu pengetahuan yang berkiblat ke negara-negara maju (baca: Barat). Ditambah lagi dengan semakin langkanya orang-orang yang mau menekuni dan memahami naskah-naskah kuno tersebut. Oleh sebab itu, seyogyanyalah usaha penggarapan naskah kuno, baik pengalihaksaraan, pengalihbahasaan maupun penganalisaan atas suatu naskah patutlah didukung bersama, karena dengan cara ini isi kandungan sebuah naskah dapat terungkap.
1.2 Masalah
Naskah Sunda menurut wujud aksaranya terbagi ke dalam empat macam, yaitu: aksara Sunda-Buhun, aksara Cacarakan, aksara Pegon, dan aksara Latin. Aksara Sunda-Buhun merupakan aksara "asli" orang Sunda yang ini belum banyak orang mengenalnya. Biasanya aksara ini dipakai pada awal sejarah Sunda dimulai. Sekedar contoh, prasasti Kawali di situs Astana Gede, Kecamatan Kawali Kabupaten Ciamis adalah contoh konkrit penggunaan aksara Sunda-Buhun. Sementara contoh pada naskah yang menggunakan aksara Sunda-Buhun adalah Carita Parahiyangan dan Siksa Kandang Karesian.
Aksara Cacarakan yang diklaim oleh sebagian orang Sunda sebagai aksara Sunda "asli" adalah aksara yang dipen¬garuhi atau berasal dari daerah Jawa Mataram). Dalam kajian lebih lanjut tentangnya dapat saja timbul hipotesis yang "nyeleneh", menyimpang, yakni apakah tidak mungkin aksara Jawa itu berasal dari Sunda? Tidak seperti dugaan semula, aksara Cacarakan berasal dari Jawa. Tentu saja hipotesis ini sah-sah saja, tak ada orang yang melarangnya. Tinggal kita mencari pembuktiannya.
Aksara yang ketiga, yaitu aksara Pegon; merupakan aksara Arab sebagai imbas pengaruh agama Islam. Aksara ini berkembang sejalan dengan penyebaran agama Islam.Tak ada orang yang menyangkal tentang keberadaannya. Bentuknya merupakan modifikasi atas aksara-aksara Arab. Aksaranya Arab namun bahasanya bahasa Melayu atau bahasa daerah, itulah aksara Pegon.
Dan terakhir, aksara Latin merupakan pengaruh bangsa Eropa yang datang ke Indonesia. Tentunya usianya lebih muda dibanding ketiga aksara di atas. Biasanya penggunaan aksara Latin digunakan dalam dokumen-dokumen negara kaum penjajah dan jarang digunakan dalam naskah-naskah Sunda umumnya. Namun demikian, dalam hal-hal tertentu penggunaan aksara Latin pun dipakai dalam menuliskan naskah.
Selanjutnya, dalam hal penggarapan sebuah naskah kuno, umumnya melalui beberapa tahap. Diawali inventarisasi naskah, pengalihaksaraan, pengalihbahasaan dan terakhir penganalisisan. Tahap kedua setelah penginventarisasian adalah pengalihaksaraan aksara naskah. Aksara naskah yang dimaksud biasanya ditulis dengan aksara daerah (Sunda-Buhun, Cacarakan, atau Pegon). Pada proses ini hakikatnya yang terjadi adalah "penggantian" aksara yakni dari aksara daerah ke aksara Latin. Bisa jadi istilah yang tepat dalam proses ini adalah "penglatinan aksara daerah". Selanjutnya dialih¬bahasakan dan dianalisis.
Masalah kemudian muncul manakala kita berhadapan dengan naskah yang ditulis dalam aksara Latin seperti yang terjadi pada naskah Lukmanul Hakim. Apakah hal ini tidak menyalahi prosedur? Dan apakah dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah? Mengingat umumnya seorang peneliti naskah dimulai dari naskah beraksara daerah bukan dari aksara Latin. guna menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya kita menyimak pengalaman penulis dalam menggarap naskah-naskah.
Sudah merupakan kebiasaan apabila sebelum menggarap naskah selalu didahului dengan pencarian naskah atau istilah kami adalah "berburu naskah". Pada saat berburu itulah kami masih menemukan orang-orang yang menyalin naskah atau menulis naskah dalam aksara daerah. Padahal ia sendiri tahu dan mahir menggunakan aksara Latin. Jika demikian, apakah tidak mustahil kita membuat "naskah" dengan cara menyalin yang sudah ada? Artinya, naskah yang ditulis dalam aksara Latin disalin ke dalam aksara daerah. Tentu saja ide "konyol" ini hanyalah ide-nisbi yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang penggarap naskah profesional. Namun dari peristiwa ini timbul semacam kegamangan antara batasan naskah yang ditulis aksara daerah dengan aksara Latin. Setidaknya di dalam diri penulis timbul semacam "pembenaran" argumentasi bahwa penulis naskah tersebut pada awalnya membaca dalam bentuk aksara daerah. Namun karena sudah hafal, ia menuliskannya kembali dalam bentuk aksara Latin.
Adapun penelaahan filologi hakikatnya menelusuri asal-usul sebuah naskah yang pada awal perkembangannya lebih menitikberatkan pada penelusuran keaslian atau keotentikan sebuah teks naskah. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya (pandangan modern), filologi tidak lagi terbatas pada penelusuran keotentikan teks naskah, namun telah melebar ke arah segala aspek yang berhubungan dengan teks. Sebuah perubahan teks merupakan pertanda perubahan pada diri manusia dan masyarakatnya. Tidak terkecuali pula dalam kasus teks naskah Lukmanulhakim yang ditulis dalam aksara Latin. Dalam pandangan filologi teks ini tidak saja membawa misi tersendiri tetapi juga membawa perubahan pola pikir manusia. Setidaknya kita tahu buah pikir penulis atau pengarang.
Lepas dari masalah penelusuran sah dan tidaknya naskah Lukmanulhakim ditelaah dari pandangan filologi, kita harus mengakui akan urgensinya atas naskah yang dimaksud. Semata-mata pertimbangan isi kandungannya, yang menurut pandangan kami sebagai peneliti, sangat perlu dikemukakan sesegera mungkin.
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Teks naskah Lukmanulhakim bukanlah sebuah cerita berbentuk prosa atau puisi. Tetapi teks tersebut lebih merupakan sebuah uraian atau paparan berupa nasihat-nasihat. Oleh sebab itulah penanganan teks Lukmanulhakim ini lebih terarah pada penelaahan kandungan teksnya.
Ada beberapa alasan teks naskah Lukmanulhakim yang menjadi obyek penelitian ini sengaja dipilih. Pertama, teks berada pada kumpulan aksara-aksara daerah yang berisi tentang mantera dan asmaul husna. Dalam hal ini teks Lukmanulhakim berada di akhir "cerita". Kedua, teks naskah Lukmanul¬hakim, dalam pembacaan wacananya selintas, banyak persamaannya dengan konteks budaya Sunda. Hal ini menggelitik peneliti untuk menelusuri isi kandungannya lebih lanjut. Dan terakhir, ketiga, teks Lukmanulhakim ditulis dalam aksara Latin yang dengan itu memudahkan penggarapannya terutama mengurangi beban kerja dalam tahap pengalihaksaraan aksara naskah.
Selanjutnya, guna membatasi ruang lingkup penelitian sebagaimana dikemukakan di atas, penelitian naskah Lukmanul¬hakim meliputi: pertama, melakukan rekonstruksi teks dalam pengertian membetulkan kesalahan teks dengan mengabaikan penelusuran keotentikan teks; kedua kita harus menyadari bahwa naskah nasihat Lukmanulhakim ini berlatar belakang budaya Sunda. Oleh karena itulah mau tidak mau unsur budaya Sunda akan sangat mempengaruhi; itu artinya kita harus membedah teks naskah yang dimaksud dari berbagai kultur budaya Sunda yang meliputi norma, adat, aturan, dan ungka¬pan.
1.4 Tujuan penelitian
Selanjutnya, tujuan penelitian naskah Lukmanulhakim meliputi:
1.5 Metode Penelitian
Tentunya, guna mencapai tujuan yang dimaksud diperlukan metode dan teknik penelitian yang terpadu. Adapun untuk memahami nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya digunakan metode analisis isi (content analysis), yaitu suatu pendekatan yang difokuskan pada pemahaman isi pesan atau gagasan yang terkandung di dalam teks.
Pedekatan metode filologi adalah salah satu cabang ilmu bantu sastra yang khusus menanggani masalah naskah. Naskah-naskah digarap sesuai ketentuan yang berlaku di dalam ilmu tersebut guna di telusuri keasliannya. Namun dalam prateknya pencapaian tujuan tersebut sukar dilakukan bahkan pada perkembangan dewasa ini cenderung keluar dari jalur tersebut. "Keaslian" sebuah naskah bukan lagi tujuan akhir ilmu filologi, tetapi tujuan utamanya adalah menyajikan teks apa adanya. Dalam pengertian tidak terlalu jauh adanya penyimpangan dari suatu "teks naskah aslinya".
Dalam pada itu teks naskah dicoba digarap secara filologi. Penggarapannya pun sebatas pengungkapan kesalahan-kesalahan teks dan penyimpangan-penyimpangan yang diperkirakan terjadi pada naskah aslinya yang tidak diketahui di mana adanya. Dalam hal ini sebutan untuk metode tersebut di dalam ilmu filologi dikenal sebagai metode standar.
Sementara itu, guna menunjang metode penelitian yang dimaksud, digunakan pula teknik studi pustaka. Studi pustaka diperlukan guna memperoleh data-data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan bagi dicapainya suatu kesimpulan yang benar dan tidak menyimpang.
1.6 Sistematika Penulisan
Hasil akhir penelitian adalah tersusunnya sebuah naskah laporan. Laporan penelitian disusun atas 5 (lima) bab yang masing-masing menguraikan secara khusus bahasannya.
Kata Kunci: Lukmanulhakim. Ajaran Moral.
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Perihal kegunaan dan urgensi penggarapan naskah kuno sering diungkap oleh para pakar di bidangnya. Mereka menganggap naskah kuno bukan sekedar kumpulan atau tulisan kuno yang tidak jelas artinya dan juga tidak menganggap sebagai onggokan kertas, bak sampah yang harus dibuang. Namun naskah kuno adalah peninggalan sejarah suatu suku bangsa yang perlu diteliti dan dikaji, karena akan memberi¬kan data dan informasi mengenai berbagai hal budaya maupun situasi yang pernah berlangsung pada zamannya. Dalam kaitan¬nya dengan itulah para pakar budaya, baik langsung maupun tidak, mengakui keberadaan naskah(-naskah) kuno sebagai sumber informasi budaya daerah. Pada awalnya bagi masyarakat pendukungnya bisa jadi sebuah naskah hanyalah berfungsi sebagai pengisi luang-waktu disela-sela kesibukannya seba¬gaimana terjadi pada tradisi pembacaan naskah wawacan(Sunda) atau mabasan (Bali). Namun tidaklah demikian bagi seorang pemerhati budaya dan bagi orang-orang yang arif akan nilai-nilai kehidupan. Bagi mereka pembacaan wawacan berupa naskah-naskah tertentu, misalnya, memiliki nilai tersendiri yang patut diteladani dan diambil hikmahnya, terutama sekali terhadap isi kandungan suatu naskah.
Dilain pihak pun naskah berfungsi sebagai sumber informasi sosial budaya. Sebagai sumber informasi sosial budaya, kandungan naskah menunjukkan pada salah satu sumber budaya yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan sosial budaya masyarakat saat naskah tersebut lahir dan mendapat dukungan masyarakatnya. Naskah-naskah kuno berdasarkan wujudnya dapat dipan¬dang sebagai benda budaya dalam bentuk tulisan tangan. Hasil buah pikiran yang direfleksikan dalam bentuk tulisan tangan ini adalah kode-kode aksara sarat makna yang pada gilirannya dapat memberikan informasi langsung mengenai ide-ide atau gagasan berbagai pengetahuan tentang alam semesta menurut persepsi budaya masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, Koentjaraningrat (1980:15) memasukkan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya ke dalam wujud kebudayaan yang pertama.
Wujud kebudayaan yang pertama pada dasarnya bersifat abstrak. Tak dapat dilihat, diraba atau difoto. Karena wujud kebudayaan pertama ini berupa gagasan, idiil (ide), dan nilai-nilai yang sukar diwujudkan dalam bentuk konkrit. Gagasan, idiil dan nilai letaknya berada pada diri manusia itu sendiri yang berada dalam alam pikiran dari warga masya¬rakat saat kebudayaan yang bersangkutan hidup. Kalaulah masyarakat tadi menyatakan gagasannya dalam bentuk tulisan, maka keberadaan kebudayaan gagasan atau idiil sering berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian tidak berlebihanlah apabila karya-karya sastra (daerah), lebih luas lagi maknanya segala macam hasil tulisan karya leluhur bangsa Indonesia, dianggap merupakan salah satu sumber gagasan atau ide pada masanya yang pada gilirannya dapat diambil manfaat¬nya oleh para generasi kemudian.
Beralih pada bentuk konkrit sastra Nusantara, akan ditemukan suatu kenyataan bahwa karya sastra Nusantara masih banyak tertulis dalam wujud manuskrip (tulisan tangan) yang ditulis dengan bahasa dan aksara atau huruf daerah. Karena wujudnya itu serta dikaitkan dengan usia naskahnya yang rata-rata berusia lebih dari 50 tahunan, maka semua karya
Nusantara cenderung dikelompokkan pada kelompok naskah kuno. Sehubungan dengan hal itu, Haryati Soebadio (1973:6) menga¬takan, bahwa Indonesia merupakan khasanah raksasa bagi naskah kuno yang kebanyakan tertulis dalam bahasa dan huruf daerah. Isi naskah-naskah tersebut beraneka ragam mulai dari naskah kesusastraan dalam arti terbatas sampai dengan sumber keagamaan, kemasyarakatan, sejarah, yang sangat penting bagi pengetahuan kita mengenai kebudayaan Indonesia pada umumnya.
Pentingnya pengungkapan naskah sebagaimana diungkap oleh Haryati Subadio itu, belum cukup menyadarkan kalangan masyarakat luas untuk memberi penghargaan yang sesuai dengan semestinya. Bahkan ada kecenderungan semakin tersisihkan apabila dihubungkan dengan kegiatan pengadopsian teknologi dan ilmu pengetahuan yang berkiblat ke negara-negara maju (baca: Barat). Ditambah lagi dengan semakin langkanya orang-orang yang mau menekuni dan memahami naskah-naskah kuno tersebut. Oleh sebab itu, seyogyanyalah usaha penggarapan naskah kuno, baik pengalihaksaraan, pengalihbahasaan maupun penganalisaan atas suatu naskah patutlah didukung bersama, karena dengan cara ini isi kandungan sebuah naskah dapat terungkap.
1.2 Masalah
Naskah Sunda menurut wujud aksaranya terbagi ke dalam empat macam, yaitu: aksara Sunda-Buhun, aksara Cacarakan, aksara Pegon, dan aksara Latin. Aksara Sunda-Buhun merupakan aksara "asli" orang Sunda yang ini belum banyak orang mengenalnya. Biasanya aksara ini dipakai pada awal sejarah Sunda dimulai. Sekedar contoh, prasasti Kawali di situs Astana Gede, Kecamatan Kawali Kabupaten Ciamis adalah contoh konkrit penggunaan aksara Sunda-Buhun. Sementara contoh pada naskah yang menggunakan aksara Sunda-Buhun adalah Carita Parahiyangan dan Siksa Kandang Karesian.
Aksara Cacarakan yang diklaim oleh sebagian orang Sunda sebagai aksara Sunda "asli" adalah aksara yang dipen¬garuhi atau berasal dari daerah Jawa Mataram). Dalam kajian lebih lanjut tentangnya dapat saja timbul hipotesis yang "nyeleneh", menyimpang, yakni apakah tidak mungkin aksara Jawa itu berasal dari Sunda? Tidak seperti dugaan semula, aksara Cacarakan berasal dari Jawa. Tentu saja hipotesis ini sah-sah saja, tak ada orang yang melarangnya. Tinggal kita mencari pembuktiannya.
Aksara yang ketiga, yaitu aksara Pegon; merupakan aksara Arab sebagai imbas pengaruh agama Islam. Aksara ini berkembang sejalan dengan penyebaran agama Islam.Tak ada orang yang menyangkal tentang keberadaannya. Bentuknya merupakan modifikasi atas aksara-aksara Arab. Aksaranya Arab namun bahasanya bahasa Melayu atau bahasa daerah, itulah aksara Pegon.
Dan terakhir, aksara Latin merupakan pengaruh bangsa Eropa yang datang ke Indonesia. Tentunya usianya lebih muda dibanding ketiga aksara di atas. Biasanya penggunaan aksara Latin digunakan dalam dokumen-dokumen negara kaum penjajah dan jarang digunakan dalam naskah-naskah Sunda umumnya. Namun demikian, dalam hal-hal tertentu penggunaan aksara Latin pun dipakai dalam menuliskan naskah.
Selanjutnya, dalam hal penggarapan sebuah naskah kuno, umumnya melalui beberapa tahap. Diawali inventarisasi naskah, pengalihaksaraan, pengalihbahasaan dan terakhir penganalisisan. Tahap kedua setelah penginventarisasian adalah pengalihaksaraan aksara naskah. Aksara naskah yang dimaksud biasanya ditulis dengan aksara daerah (Sunda-Buhun, Cacarakan, atau Pegon). Pada proses ini hakikatnya yang terjadi adalah "penggantian" aksara yakni dari aksara daerah ke aksara Latin. Bisa jadi istilah yang tepat dalam proses ini adalah "penglatinan aksara daerah". Selanjutnya dialih¬bahasakan dan dianalisis.
Masalah kemudian muncul manakala kita berhadapan dengan naskah yang ditulis dalam aksara Latin seperti yang terjadi pada naskah Lukmanul Hakim. Apakah hal ini tidak menyalahi prosedur? Dan apakah dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah? Mengingat umumnya seorang peneliti naskah dimulai dari naskah beraksara daerah bukan dari aksara Latin. guna menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya kita menyimak pengalaman penulis dalam menggarap naskah-naskah.
Sudah merupakan kebiasaan apabila sebelum menggarap naskah selalu didahului dengan pencarian naskah atau istilah kami adalah "berburu naskah". Pada saat berburu itulah kami masih menemukan orang-orang yang menyalin naskah atau menulis naskah dalam aksara daerah. Padahal ia sendiri tahu dan mahir menggunakan aksara Latin. Jika demikian, apakah tidak mustahil kita membuat "naskah" dengan cara menyalin yang sudah ada? Artinya, naskah yang ditulis dalam aksara Latin disalin ke dalam aksara daerah. Tentu saja ide "konyol" ini hanyalah ide-nisbi yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang penggarap naskah profesional. Namun dari peristiwa ini timbul semacam kegamangan antara batasan naskah yang ditulis aksara daerah dengan aksara Latin. Setidaknya di dalam diri penulis timbul semacam "pembenaran" argumentasi bahwa penulis naskah tersebut pada awalnya membaca dalam bentuk aksara daerah. Namun karena sudah hafal, ia menuliskannya kembali dalam bentuk aksara Latin.
Adapun penelaahan filologi hakikatnya menelusuri asal-usul sebuah naskah yang pada awal perkembangannya lebih menitikberatkan pada penelusuran keaslian atau keotentikan sebuah teks naskah. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya (pandangan modern), filologi tidak lagi terbatas pada penelusuran keotentikan teks naskah, namun telah melebar ke arah segala aspek yang berhubungan dengan teks. Sebuah perubahan teks merupakan pertanda perubahan pada diri manusia dan masyarakatnya. Tidak terkecuali pula dalam kasus teks naskah Lukmanulhakim yang ditulis dalam aksara Latin. Dalam pandangan filologi teks ini tidak saja membawa misi tersendiri tetapi juga membawa perubahan pola pikir manusia. Setidaknya kita tahu buah pikir penulis atau pengarang.
Lepas dari masalah penelusuran sah dan tidaknya naskah Lukmanulhakim ditelaah dari pandangan filologi, kita harus mengakui akan urgensinya atas naskah yang dimaksud. Semata-mata pertimbangan isi kandungannya, yang menurut pandangan kami sebagai peneliti, sangat perlu dikemukakan sesegera mungkin.
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Teks naskah Lukmanulhakim bukanlah sebuah cerita berbentuk prosa atau puisi. Tetapi teks tersebut lebih merupakan sebuah uraian atau paparan berupa nasihat-nasihat. Oleh sebab itulah penanganan teks Lukmanulhakim ini lebih terarah pada penelaahan kandungan teksnya.
Ada beberapa alasan teks naskah Lukmanulhakim yang menjadi obyek penelitian ini sengaja dipilih. Pertama, teks berada pada kumpulan aksara-aksara daerah yang berisi tentang mantera dan asmaul husna. Dalam hal ini teks Lukmanulhakim berada di akhir "cerita". Kedua, teks naskah Lukmanul¬hakim, dalam pembacaan wacananya selintas, banyak persamaannya dengan konteks budaya Sunda. Hal ini menggelitik peneliti untuk menelusuri isi kandungannya lebih lanjut. Dan terakhir, ketiga, teks Lukmanulhakim ditulis dalam aksara Latin yang dengan itu memudahkan penggarapannya terutama mengurangi beban kerja dalam tahap pengalihaksaraan aksara naskah.
Selanjutnya, guna membatasi ruang lingkup penelitian sebagaimana dikemukakan di atas, penelitian naskah Lukmanul¬hakim meliputi: pertama, melakukan rekonstruksi teks dalam pengertian membetulkan kesalahan teks dengan mengabaikan penelusuran keotentikan teks; kedua kita harus menyadari bahwa naskah nasihat Lukmanulhakim ini berlatar belakang budaya Sunda. Oleh karena itulah mau tidak mau unsur budaya Sunda akan sangat mempengaruhi; itu artinya kita harus membedah teks naskah yang dimaksud dari berbagai kultur budaya Sunda yang meliputi norma, adat, aturan, dan ungka¬pan.
1.4 Tujuan penelitian
Selanjutnya, tujuan penelitian naskah Lukmanulhakim meliputi:
- Menyajikan teks naskah Lukmanulhakim;
- Menelaah isi kandungannya guna mengungkap nilai dan nasihat atau ajaran yang terdapat di dalamnya.
- Memberikan interpretasi terhadap teks guna menjembatani kesesuaian muatan teks naskah Lukmanulhakim itu dengan nasihat Lukman yang terdapat dalam Al Quran.
1.5 Metode Penelitian
Tentunya, guna mencapai tujuan yang dimaksud diperlukan metode dan teknik penelitian yang terpadu. Adapun untuk memahami nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya digunakan metode analisis isi (content analysis), yaitu suatu pendekatan yang difokuskan pada pemahaman isi pesan atau gagasan yang terkandung di dalam teks.
Pedekatan metode filologi adalah salah satu cabang ilmu bantu sastra yang khusus menanggani masalah naskah. Naskah-naskah digarap sesuai ketentuan yang berlaku di dalam ilmu tersebut guna di telusuri keasliannya. Namun dalam prateknya pencapaian tujuan tersebut sukar dilakukan bahkan pada perkembangan dewasa ini cenderung keluar dari jalur tersebut. "Keaslian" sebuah naskah bukan lagi tujuan akhir ilmu filologi, tetapi tujuan utamanya adalah menyajikan teks apa adanya. Dalam pengertian tidak terlalu jauh adanya penyimpangan dari suatu "teks naskah aslinya".
Dalam pada itu teks naskah dicoba digarap secara filologi. Penggarapannya pun sebatas pengungkapan kesalahan-kesalahan teks dan penyimpangan-penyimpangan yang diperkirakan terjadi pada naskah aslinya yang tidak diketahui di mana adanya. Dalam hal ini sebutan untuk metode tersebut di dalam ilmu filologi dikenal sebagai metode standar.
Sementara itu, guna menunjang metode penelitian yang dimaksud, digunakan pula teknik studi pustaka. Studi pustaka diperlukan guna memperoleh data-data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan bagi dicapainya suatu kesimpulan yang benar dan tidak menyimpang.
1.6 Sistematika Penulisan
Hasil akhir penelitian adalah tersusunnya sebuah naskah laporan. Laporan penelitian disusun atas 5 (lima) bab yang masing-masing menguraikan secara khusus bahasannya.
- Bab pertama menguraikan latar belakang serta hal-hal lain yang berkaitan dengan kepentingan suatu penelitian dilakukan.
- Bab kedua adalah deskripsi naskah Lukmanulhakim yang dilanjutkan dengan rekonstruksi teks.
- Bab ketiga adalah alih aksara dan terjemahan.
- Bab keempat dicoba dibahas mengenai isi kandungan naskah.
- Bab Kelima yang sekaligus pula sebagai penutup naskah laporan penelitian adalah kesimpulan. Kesimpulan dimasukan ke dalam bab kelima merupakan hasil atau intisari dari uraian bab-bab sebelumnya. Intisari setiap bab dicoba dipadukan dan disarikan pada bab kelima ini sebagai kesimpulan.