WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Komunitas Masyarakat Hukum Adat, Situs Cagar Budaya Rumah Adat Cikondang

Komunitas Masyarakat Hukum Adat, Situs Cagar Budaya Rumah Adat Cikondang
Desa Lamajang Kec. Pangalengan Kab. Bandung

Oleh: Abah Ilin Dasyah
(Ketua Adat Kampung Cikondang)

1. Latar Belakang
Ma Empuh alias mama sepuh sosok sesepuh juru kuncen keramat leluhur Kampung Cikondang Desa Lamajang, sejak abad ke-17 M yang tercatat riwayatnya termasuk keluarga besar, dianugerahi anak putra-putri 7 orang. Makan keamat leluhur Cikondang tanpa nama sli cikup dengan julukan ujut istri pameget leluhur Ciondang, terakhir menetap di Kampong Cikondang Desa Lamajang Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung Jabar Barat.

Kearifan keteladanan Ma Empuh bersama istri sungguh kondang tenar di Jawa Barat sesuai dengan nama kampungnya, termasuk komunitas masyarakat hukum adat yang patuh dan taat terhadap adat, agama, dan agama. Ucap lampah dan tekadnya sesuai dengan jati dirinya.

Kirata dari adat = A, D- iri, A-dam, T-urunan, kita semua keturunan adam sisi hawa. Kirata dari agama+ A-turan, Ga-we, Ma-nusia, Islam adat diatur oleh Quran Hadist dan Kiyas (Akli), Kristiani diatur oleh Injil, Hindu diatur Tauret, Budha diatur oleh Jabar.

Taat terhadap Darigama adalah terhadap pemerintah atas nama presiden kepala negara, ada tiga kewajiban terhadap pemerintah antara lain:
- Pameenta Cuponan. Hal pajak listrik dll.
- Parentah Lakonan. Hal Gotong royong kerja bakti
- Panyaur temonan. Hal rapat kumpulan pemilu

Pada abad ke-18 juru kunci dijabat oleh Ma. Akung Bin, Ma. Empuh. Abah ke-19 kuncen Anom Idil Bin. Ma. Akung.

Pada tahun 1962 Anom Idil meninggal dunia, kuncen dijabat oleh Anom Rumya Bin Nata Bin Ma. Akung, berjasa pada tahun 1995 memugar renofasi rumah adat sesuai aslinya.

Anom Rumya meninggal dunia kuncen dijabat oleh Anom Samsa Bin. Kooyo Bin. Marhasik Bin. Ma. Empuh dari tahun 2005 sd 2009. Anom Samsa meninggal dunia, kuncen dijabat sementara oleh Anom Juhana mewakili sebelum ada kuncen yang depinitif sampai sekarang.

2. Tugas Kuncen/Juru Kunci Keramat Leluhur
Harus tetap tinggal di rumah adat peninggalan leluhur, setiap hari minggu malam senin ia memandu mengantar tamu domestik, yang akan ziarah ke makam keramat, dan hari Rabu malam Kamis, selain hari itu tabu pamali. Kuncen harus tetap melestarikan adat istiadat antara lain: Pada Tanggal 15 Muharam melaksanakan ritual Budaya Wuku-Taun. Pada bulan September melaksanakan adapt ruatan hajat sumber air bersih.

Kuncen harus tetap melestarikan tradisi agraris selaku punduh wali puhun di Pupuhunan/pepohonan Imam Mitembian Tebar Tabbur Benih Padi, Tandur Tanam Padi, dan Punduh Imam pada waktu panen padi sekaligus ngarereokeun padi buat benih selanjutnya.

Kuncen harus sanggup jadi imam di Masjid Tugas selaku wakil melestarikan Islam tradisi, tidak terpengaruh aliran baru. Melestarikan tahlilan tradisi, selaku Imam ruiatan adat tradisi. Keramat leluhur rumah adat Kisunda warisan leluhur termasuk hukum adat harus tetap lestari kearifat lokalnya, harus tetap antik artistik tidak terbawa arus globalisasi semoga ada guna dan manfaat bagi generasi penerus siswa siswi yang observasi dan penelitian untuk keperluan skripsi, manfaat bagi tamu wisman yang ingin tahu rumah adat Kisunda wiwitan budaya bangsa Indonesia.

Masih tugas kuncen memelihara sarana prasarana rumah adat dan Bale, Bangunan leuit atau lumbung padi, bangunan lesung tempat menumbuk padi bersama halu atau antannya, bangunan Paseban Bale tempat musyawarah, ada bangunan tampian pancuran tempat suci abdas dan mandi, ada bangunan makam keramat leluhur termasuk makam keluarga besar Ma Empuh.

Kuncen harus memelihara lahan pertanian palawija padi huma dan bawang merah, memelihara sawah 0,75 H, memelihara hutan keramat semuanya termasuk halaman seluas 3 H yang disebut lahan awisan, kalau diluar Jawa disebut tanah ulayat.

Kuncen dibantu pegawai tetap pasapon, merawat hutan dan kebersihan halaman, menggarap sawah awisan dan lahan palawija, memelihara pagar kandang jaga dari bambo.

3. Tugas Ketua Adat
  • Memandu dalam permusyawaratan membentuk kuncen/juru kunci keramat, memandu dalam pelaksanaan ritual Wuku-Taun, kedatangan tamu undangan dari kabupaten Bapa Bukati atau yang mewakili, dari Kabid Budaya Disdik Kabupaten dan dari Propinsi Jawa Barat, ketua adat H. Drs. Engku Sumitra.
  • Tugas tetua adat Ilin Dasyah selaku pemandu tamu wisman, memandu para mahasiswa dan siswi dari SMP, SMA, yang sengaja observasi dan penelitian cagar budaya rumah adat Kisunda Wisata Budaya dan selaku gaet anorama alam bagi wisatawan domestik.
  • Tugas tetua adat memberikan informasi latar belakang budaya adat Kisunda dan fungsinya, menerangkan suluk siloka/filosofis adat istiadat Kisunda, lobi-lobi antar budaya adat di Jawa Barat.
4. Pantangan Tabu Pamali Larangan Bulan Merupakan Hukum Adat
Di Kampung Adat Cikondang masih tetap punya keyakinan hukum adat tidak boleh dilanggar, perputaran kala atau Jatingarang tiap tiga bulan sekali, bulan Muharam, Sapar, Maulud, Kala Besar atau Jatingarang berada di timur, larangan bulannya hari Sabtu dan Abad tabu pantang bagi orang yang punya maksud membangun rumah, melantik kepala Negara, pemilihan umum, khitanan, pernikahan, pindah tempat tinggal suka ada kejadian yang tidak diinginkan, rahayunya hari Senin dan Selasa.

Pada bulan silih Maulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Kala besar Jatingarang berada di selatan, larangan bulannya hari Seni dan Selasa, rahayunya hari Rabu dan Kamis. Pada bulan Rajab, Rewah, Puasa, Kala Besar berada di Barat, larangan bulannya hari Rabu dan Kamis, rahayunya hari Jumat dan Sabtu.

Pada bulan Sawal, Hapit, Rayagung, larangan bulannya hari Jumat setunggal, rahayunya Sabtu Minggu, dan seterusnya sesuai dengan tahun kuruf Hijrah. Perputaran Kala kecil tiap hari, dihitung dari tanggal 1 Muharam Kala kecil berada di timur, tanggal 2 di Selatan, tanggal 3 di Barat, tanggal 4 di Utara, dan tanggal 5 kembali lagi ke Timur. Itu juga dilanggar tentu ada resikonya, seperti pindah alamat tempat kala di Timur tidak boleh pindah ke timur pantang tabu di masyarakat adat, jangan sampai mapag kala.

Perputaran Jaman Menginduk Kepada Hitungan Hanacaraka, Datasawala, Padajayanya, Magabatanga.
  1. Alam Ha adalah alam Hindu Budha, adanya candi-candi di Pulau Jawa, adanya dupa kemenyan, adanya pewayangan itu di jaman Hindu Budha, adanya gamelan Koromong dari perunggu di diri adanya pangrungu atau telinga, lamanya jaman Hindu Budha beberapa abad di Indonesia.
  2. Na. Jaman Nederland Belanda menjajah Indonesia selama 350 th.
  3. Alam Ca. adalah jaman Cina Jepang Nipongah menjajah Indonesia selama 3,5 th.
  4. Alam Ra. adalah jaman RIS. Republik Indonesia Serikat, jaman Bung Karno dan Bung Hatta Indonesia Merdeka.
  5. Alam Ka. Jaman komunis Musolini di Madiun, tentara Siliwangi Hijrah ke Jogjakarta.
  6. Alam Da. Jaman Darul Islam DI/TII dan NII dari tahun 1959 habis pada tahun 1962 di pagar betis massa.
  7. Alam Ta. Adalah jaman Presiden Soeharto berjaya 33 th. Menjadi presiden adanya repelita, listrik masuk Desa dijuluki Bapak Pembangunan, Bung Karno tanahnya Soeharto membangunnya.
  8. Alam Sa. Jaman sabil perang dimana-mana, kata “S” selalu susah, sulit, sunami, Sidoarjo, Semeru, Siatury, musibah dimana-mana, amarah bumi, amarah banyu, amarah api, terror bom, pesawat darat laut udara kena musibah.
  9. Alam Wa. Selesai Bpk. SBY jadi presiden nanti akan bertemu dengan jaman Wa. Mudah-mudahan Waluya mulus rahayu berkah-selamet terhindar dari malapetaka. Alam jaman para wali akan digali kembali kearifan lokal adat budaya akan diperhatikan aparat pemerintah, aksara yang 20 akan tetap dilalui sesuai dengan jamannya.
Beberapa tahun yang silam contoh yang tidak perlu ditiru, beberapa orang tokoh terkemuka dari Kampung Lamajang Desa Lamajang, merencanakan akan mendirikan pesantren di tanah Awisan Hutan Masyarakat yang dilindungi Undang-Undang tabu pamali, tepatnya di kawasan hutan keramat leluhur Lamajang Mbah Dalem dari Mataram, pernah diukur-ukur kayunya akan menebang di kawasan itu, ternyata apa yang terjadi semua tokoh habis meninggal dunia semuanya dengan penyakit yang sama akibat struk stress, akhirnya urung tidak jadi sampai sekarang tidak satu orang pun yang akan melanjutkan rencana itu.

Sekian yang bisa kami sampaikan semoga ada guna dan manfaatnya.
Amin Sampurasun Rampes.

Sumber:
Makalah disampaikan dalam Kegiatan "Festival Komunitas Adat" yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung tanggal 13 Juli 2010 di Sumedang

Babad Sumedang sebagai Karya Sastra Sejarah

Oleh: Drs. Nandang Rusnandar

Abstrak
Pada akhir abad ke-16 Masehi, Kota Sumedang telah dikenal dengan Kerajaan Sumedanglarang sebagai penerus Kerajaan Padjadjaran yang dihancurkan oleh Kerajaan Islam Banten. Pada awal abad ke-17 Masehi, dalam kedudukannya sebagai bawahan Mataram, daerah Sumedang berstatus sebagai kabupaten.

Beranalogi dari kenyataan, bahwa di lingkungan pemerintahan tradisional semacam itu, biasanya lahir dan tumbuh naskah-naskah, terutama yang berisikan kisah atau riwayat daerah setempat. Dalam hal ini untuk daerah Sumedang misalnya, sudah dikenal adanya naskah-naskah atau karya-karya klasik seperti Babad Sumedang, Sejarah Turunan Parakanmuncang, dan sebagainya.

Penelitian mengenai naskah-naskah Sumedang khususnya Babad Sumedang ditinjau dari segi sejarah belum banyak dilakukan orang. Untuk lebih jelasnya, dalam Kabus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa pengertian naskah adalah: keterangan yang ditulis tangan, karangan seseorang sebagai hasil karya asli, bahan berita yang siap diset, rancangan.

Dengan demikian agar kita sebagai generasi penerusnya – yang kemudian muncul pada jaman yang berbeda – menerima tongkat estafet nilai-nilai yang tertuang dalam karya sastra tersebut, sehingga perlu dilestarikan agar tidak tercerabut dari akarnya, kita patut untuk menyelidiki, meneliti, memelihara, dan kemudian memanfaatkannya. Sadar atau tidak sadar bahwa kontribusi sebuah karya sastra (sastra klasik) terhadap perkembangan nilai-nilai atau norma-norma kehidupan sangat besar, terbukti bahwa karya sastra lama selain dapat dijadikan sumber kekayaan bentuk dan gaya bahasa, kosa kata, dan teknik puisi; juga akan membuka cakrawala baru bagi pengembangan baik bahasa maupun sastra modern.

Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Edisi 29, November 2003

Mobilitas Tenaga Kerja Antarsektor Pekerjaan di Kabupaten Karawang

Oleh: Dra. Ani Rostiyati, dkk.

Abstrak
Gejala mobilitas sosial tenaga kerja merupakan masalah yang saling berkaitan antara pertumbuhan penduduk angkatan kerja dan kesempatan kerja. Umumnya, alasan utama dari gejala mobilitas tenaga kerja adalah motivasi ekonomi. Namun demikian, persoalan mobilitas sosial tenaga kerja tidak hanya berkaitan dengan ekonomi semata, melainkan menyangkut masalah sosial dan budaya. Penelitian ini juga meneropong fakta pendorong dan penarik mobilitas tenaga kerja serta diversifikasi sektor pekerjaan. Terakhir juga dilihat kondisi sosial ekonomi pelaku mobilitas dan dampak perilaku mobilitas teknologi kehidupan sosial budaya.

Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian BKSNT Bandung Edisi 27, Desember 2002

Lomba Peninggalan Sumber Sejarah dalam Bentuk Audiovisual

Direktorat Nilai Sejarah
Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
Bekerjasama dengan:
Istitut Kesenian Jakarta (IKJ)

Dasar Pemikiran
Keterbatasan sumber belajar yang hanya bertumpu pada buku teks semata membuat belajar sejarah sering menjadi membosankan dan kurang menarik. Untuk itu perlu ada alternatif sumber belajar yang dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menggunakan nalar berfikirnya serta dapat membangkitkan rasa keingintahuan yang kuat dalam mempelajari sejarah bangsanya. Salah satu upaya untuk itu adalah dengan menyelenggarakan Lomba Penggalian Sumber Sejarah dalam bentuk Audio Visual (VCD) dengan tema : Pembangunan Karakter Bangsa Melalui Sejarah Membangun karakter adalah suatu proses atau usaha yang dilakukan untuk membina, memperbaiki, dan membentuk tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak, insan manusia, sehingga menunjukkan perangai dan tingkah laku yang baik berlandaskan nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai sejarah yang diambil dan diteladani dari para tokoh bangsa menjadi nilai-nilai yang perlu ditanamkan pada generasi muda Indonesia guna menjadi pegangan dalam membangun bangsa kini dan masa depan. Nilai-nilai tersebut antara lain:
  • Berani membela Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.
  • Mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi dan golongan.
  • Berwawasan nasional dan plural.
  • Menolak segala macam bentuk kekerasan, mengutamakan dialog dan musyawarah.
  • Selalu berusaha meraih keunggulan/terbaik.
  • Santun, beretika, dan tidak arogan.
  • Berfikir positif yaitu berbicara dan bertindak positif.
  • Pantang menyerah dalam meraih keberhasilan.
  • Berani bersaing.
  • Kesetiaan/loyalitas
(Sumber: Pidato Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, pada Pembukaan Rakor Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala di Denpasar, Bali, pada 8 April 2010)

Tujuan
  • Mengembangkan kreatifitas anak didik dalam menggali sumber sejarah yang tersedia di sekitar lingkungannya, baik itu tempat-tempat bersejarah, bangunan bersejarah, dan tokoh / pejuang kemerdekaan, serta kearifan lokal.
  • Dapat digunakan sebagai model pembelajaran sejarah yang kreatif dan inovatif.
  • Mengembangkan kemampuan berfikir kritis dalam memahami kehidupan masyarakat.
  • Mengembangkan sikap kepahlawanan, kepemimpinan, dan semangat kebangsaan dalam rangka pembentukan karakter bangsa.
  • Mengembangkan kemampuan berkomunikasi kepedulian sosial

TEMA
Pembangunan Karakter Bangsa Melalui Sejarah Lokal

TOPIK
Peserta memilih topik yang sesuai dengan daerahnya, misalnya :
  1. Sejarah Perkembangan Kota/Desa
  2. Sejarah Perkebunan/Pertanian/Pengairan
  3. Sejarah Transportasi
  4. Sejarah Perdagangan (Pasar Tradisional, Pelabuhan, dll)
  5. Sejarah Industri Tradisional (Kain Tenun, Batik, Keramik, Ukiran, dan Kerajinan Khas lainnya)
  6. Sejarah Organisasi Sosial (Subak di Bali, Nagari di Sumbar, Puun pada Masyarakat Baduy dan Gapong di Aceh)
  7. Sejarah Industri Dasar (Industri baja di Cilegon, Pupuk Kujang di Jawa Barat, Industri semen di Gresik, dll)
  8. Sejarah Kesenian Daerah (Seni Tari, Musik, Lukis, dan Seni Pertunjukan).
  9. Sejarah Tokoh (Daerah)
  10. Sejarah Pendidikan Non Formal (Pesantren, Dayah)
  11. Peninggalan Bersejarah
PERSYARATAN PESERTA
  1. Siswa/siswi SMA/SMK/Sederajat
  2. Peserta terdiri dari 3 orang dalam satu tim disekolah yang sama
  3. Mengirimkan proposal singkat dan data pribadi (lihat pedoman proposal terlampir) yang dikirimkan ke Panitia Lomba Penggalian Sumber Sejarah dengan alamat: Komplek Depdiknas Gedung E. Lantai 8, Direktorat Nilai Sejarah, Jl. Jend. Sudirman, Senayan, Jakarta Pusat. Paling lambat tanggal 6 Mei 2011 atau melalui email: nilaisejarah_budpar@yahoo.co.id
  4. Formulir pendaftaran dan contoh proposal dapat juga diakses melalui internet dengan alamat : www.nilaisejarahbudpar.go.id
  5. Peserta wajib mendapat ijin tertulis dari sekolah

Tahapan Pelaksanaan
I. Seleksi Tahap I
  1. Proposal yang masuk akan diseleksi menjadi 10 tim
  2. Tim yang lolos seleksi tahap I mendapat pembekalan (workshop) selama 7 hari pada 28 Juni – 4 Juli 2011 di Institut Kesenian Jakarta (IKJ)
  3. Setelah mendapat pembekalan, peserta kembali ke daerah masing-masing untuk melakukan pembuatan dokumenter sejarah audiovisual dalam bentuk DVD berdurasi 15-17 menit (Juli-September)
II. Seleksi Tahap II
  1. Hasil produksi DVD diterima panitia paling lambat pada tanggal 14 Oktober 2011
  2. Hasil produksi yang masuk akan dinilai oleh tim juri untuk menentukan 6 (enam) finalis
  3. 6 (enam) finalis akan diundang ke Jakarta didampingi oleh guru untuk mempresentasikan karyanya dihadapan dewan juri pada bulan November 2011 (8-11 November)
Panitia menanggung biaya transportasi dari ibukota propinsi PP, akomodasi, dan konsumsi selama workshop dan finalisasi yang berlangsung di Jakarta.

Pemenang Lomba akan mendapat paket hadiah :
Total nilai Rp.60.000.000,- (Enam Puluh Juta Rupiah) untuk 6 pemenang ditambah tropy dan sertifikat



Informasi lebih lanjut Hubungi
Panitia Lomba Direktorat Nilai Sejarah
1. Puspita Dewi (081319702205 atau 0818814695)
2. Sanggupri B (081281182816)
3. Tommy/W. Taslim?IKJ (0818465787)

Atau melalui website:
www.nilaisejarah.budpar.go.id
Email : nilaisejarah_budpar@yahoo.co.id
Phone :5725519/5725704
Fax : 5725519

Peneliti dan Eksistensi Komunitas Adat

Oleh: Drs. T. Dibyo Harsono, M.Hum

A. Pendahuluan
Indonesia memiliki beragam suku bangsa, sangat majemuk. Dengan Kondisi wilayah Indonesia yang memiliki lebih dari 13.667 pulau, serta jumlah penduduk lebih dari 234 juta. Kondisi geografis wilayah negara yang bercorak nusantara (archipelago) dan di dalamnya terdapat lebih dari 3000 pulau yang dihuni, membawa konsekuensi sulitnya komunikasi maupun pemberdayaan masyarakat. Terutama dengan kelompok masyarakat, komunitas adat yang hidup di pedalaman, di tengah rimba raya, maupun di pulau-pulau kecil yang terpencil. Kemajemukan bangsa Indonesia seperti nampak dari beragamnya komunitas adat yang ada. Seperti di Sumatera ada komunitas adat Enggano, Nias, Mentawai, Suku Anak Dalam/Kubu, Suku Laut, Akit, Orang Utan, Talangmamak, Bonai, Sakai, Lampung, dan lain-lain. Kemudian di Kalimantan ada beberapa komunitas adat Dayak. Di Sulawesi ada komunitas adat Bugis, Toraja, Tolaki, Mandar, Buton, Muna, tajiyo, Ammatoa, To Pembuni To Seko Lampung, To Marobo, dan To Landale. Di Bali ada komunitas Bali Aga, di NTB ada komunitas adat Lombok, Sumba, Di NTT ada komunitas adat Ngada, Lio, Sika, Timor, kemudian di Maluku (Yamdena, Tugutil, dll) sampai Papua (Dani, Asmat, Amungme, Bgu, Biak, Mawes, dan lain-lain).

Pada awal abad ke-21 ini para ahli hukum adat Indonesia telah mengkaji serta mendskripsi kehbinekaan kebudayaan. Salah seorang diantara ahli-ahli itu yakni C. Van Vollenhoven, telah mengklasifikasikan kebhinekaan itu dalam 19 golongan yang disebutnya 19 adatrechtskrigen atau lingkaran hukum adat (Vollenhoven, 1918: 33). Seorang antropolog Inggris MA. Jaspan menerbitkan daftar sementara terdiri dari 366 sukubangsa yang ada di Indonesia. Sementara itu H. Geertz dalam ikhtisarnya telah menguraikan adanya 111 sukubangsa di Indonesia, yang sebenarnya adalah ke-111 bahasa yang tercantum dalam peta bahasa-bahasa daerah di Indonesia (susunan J. Esser dalam Atlas van Tropisch Nederland, Atlas 1938). Kemudian dalam buku FM. LeBar, Ethnic Groups of Insular Southeast Asia, Volume I: Indonesia (1972), memuat ikhtisar singkat tentang 962 sukubangsa di Indonesia.

Sehingga dapat disimpulkan betapa banyaknya komunitas adat yang ada di Indonesia, mungkin selama ini kita hanya mengenal sukubangsa yang mempunyai populasi besar seperti sukubangsa Jawa, Sunda, Batak, Minang, Melayu, Bugis, dan sebagainya. Untuk itu sangat perlu adanya penelitian-penelitian yang berkaitan dengan komunitas adat, khususnya yang belum banyak dikenal secara luas. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Bandung, dalam hal ini sangat perludi dengan keberadaan komuntias adat yang ada di wilayah kerjanya. BPSNT Bandung memiliki peneliti bidang nilai tradisional/kebudayaan, sehingga diharapkan keberadaan komunitas adat bisa diangkat, diperkenalkan/disosialisasikan eksistensinya, agar masyarakat luas mengenal, mengetahuinya. Karena keberadaan komunitas adat ibarat laboratorium hidup, di mana kita bisa melihat, mengkaji berbagai pengetahuan tradisional, kearifan tradisional di tengah gemburah arus modernisasi yang lebih banyak merusak alam daripada melestarikannya.

B. Peneliti dan Eksisten Komunitas Adat
Makalah ini disampaikan dalam kegiatan Festival Komunitas Adat, yang mengambil tema: Merawat Tradisi Memelihara Kelangsungan Alam dan Harmoni Sosial, yang diselenggarakan di Sumedang tanggal 13 Juli 2010, bertempat di gedung Sri Manganti – Museum Prabu Geusan Ulun.

Pihak panitia telah menentukan judul makalah yang harus disampaikan, yakni tentang Peneliti dan Eksisten Komunitas Adat, itulah yang menjadi batasan materi dalam makalah ini. Kalau berbicara mengenai peneliti, dalam hal ini saya sebagai peneliti di BPSNT Bandung, tentunya sesuai dengan job description mengenai peranan peneliti, tugasdan kewajiban peneliti, serta tanggungjawab peneliti, yang selama ini dilaksanakan. Dalam makalah ini kemudian dipersempit lagi mengenai penelitian di komunitas adat, karena di Indonesia terdapat ratusan komunitas adat, maka saya hanya mengambil beberapa komunitas adat yang pernah saya teliti. Adapun dalam makalah ini saya akan memberikan gambaran tentang kehidupan mereka dalam memandang lingkunga alam di sekitarnya, yang terwujud dalam kearifan tradisional yang sampai saat ini masih mereka pertahankan.

1. Komunitas Adat Lampung Pepadun
Kampung-kampung penduduk asli (tiyuh) pada dasarnya belum berubah, masih menurut polanya yang lama yakni satu kampung dibagi dalam beberapa bagian yang disebut bilik, tempat kediaman suku yaitu tempat kediaman bagian klen yang disebut buway atau juga kadang-kadang gabungan buway seperti terdapat pada tiyuh-tiyuh masyarakat adat Pubiyan. Di setiap bilik terdapat rumah besar yang disebut nowou menyanak atau rumah besar, rumah kerabat. Kemudian ada lagi beberapa rumah keluarga lainnya yang menurut adat masih merupakan dalam satu hubungan rumah besar tadi. Maka dalam perkembangannya di dalam stu tiyuh akan terdapat rumah kerabat yang tertua tadi. Kadang-kadang terjadi nowou menyanak dari bagian klen yang lain datang kemudian masuk menjadi warga kampung dengan jalan mewari (diangkat sebagai saudara) pada kerabat tertua pendiri kampung. Baik kerabat yang berasal dari nowou menyanak semula maupun yang datang belakangan, mengakui bahwa kepala kerabat yang tertua itu adalah pemimpin mereka. Oleh sebab itu kepala kerabat semula yang tadinya adalah penyimbang suku tertua menjadi penyimbang bumi atau sebagai penyimbang marga. Untuk mengatur jalannya pemerintahan kampung maka penyimbang bumi membentuk dewan kampung, yang merupakan suatu kerapatan adat dimana anggota-anggotanya terdiri dari para penyimbang-penyimbang suku (bilik) masing-masing. Kerapatan adat dipimpin oleh penyimbang bumi (penyimbang tiyuh) sebagai orang pertama diantara yang sama. Penyimbang bumi dapat bertindak mewakili kampung terhadap dunia luar (masyarakat luar), namun ke dalam tidak berwenang mengatur kerabat suku lainnya, kecuali sukunya sendiri, suku-suku lain dipimpin sendiri oleh masing-masing kepala sukunya. Sebelum tahun 1928 pemerintah Belanda meganggap para penyimbang bumi sebagai kepala kampung, setelah tahun 1928 dengan dibentuknya pemerintahan marga teritorial, maka kepala kampung diangkat atas dasar calon yang didukung oleh kepala-kepala kerabat (penyimbang) di dalam tiyuh yang bersangkutan dengan memperhatikan keutrunan kepenyimbangannya serta kecakapan dan kemampuannya untuk menjadi kepala kampung. Beberapa kampung yang merupakan kesatuan berasal dari satu marga asal (buway asal) digabungkan menjadi satu ke dalam suatu ikatan marga yang dikepalai oleh kepala marga yang diangkat Belanda berdasarkan calon-calon yang diajukan oleh penyimbang dari keturunan marga yang bersangkutan. Demikianlah semenjak tahun 1928 yang dinamakan sebagai marga adalah kesatuan dari beberapa kampung, dan satu kampung meliputi kediaman kecil di daerah pertanian sekitarnya yang disebut dengan umbul. Suatu umbul dikepalai oleh kepala keluarga yang tertua dari umbul bersangkutan. Penduduk Kabupaten Lampung Timur sampai dengan tahun 2002 berjumlah 896.500 orang, di bawah ini adakan ditampilkan tabel penduduk menurut jenis kelamin dan kelompok umur.

Terbentuknya kesatuan hidup masyarakat Lampung di daerah Sukadana pada umumnya didasarkan pada kesamaan sumber mata pencaharian, baik dalam mengusahakan ladang, kebun maupun menangkap ikan. Oleh karena adanya ikatan kekerabatan adat kampung, maka lambat laut mereka mempertahankan ikatan adat, baik karena hubungan ikatan pertalian darah maupun karena perkawinan.

Secar umum masyarakat adat Lampung Timur adalah masyarakat adat pepadun, yang terkenal dengan istilah Abung Siwo Mego dan Pubian Telu Suku, kalaupun ada masyarakat adat peminggir hanya beberapa desa/kampung saja. Upacara-upacara adat pada umumnya nampak atau terlihat pada acara-acara perkawinan atau pernikahan, di mana perkawinan/pernikahan tersebut dilakukan menurut tata cara adat tradisional disamping kewajiban memenuhi hukum Agama Islam.

Tata cara da upacara perkawinan adat pepadun pada umumnya menurut garis keturunan patrilineal dari adanya jujur yakni berupa pemberian sejumlah uang dari pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai wanita, dan adanya sesan yakni berupa alat-alat rumah tangga komplit sebagai bawaan mempelai perempuan untuk menuju hidup baru bersama suaminya. Sesan tersebut akan diserahkan pihak keluarga mempelai wanita kepada pihak keluarga mempelai laki-laki pada saat upacara perkawinan berlangsung yang sekaligus sebagai penyerahan formal (secara adat) mempelai wanita dari keluarganya kepada pihak keluarga mempelai pria. Dengan demikian secara hukum adat maka putus pula hubungan secara adat (bukan secara kekeluargaan) antara mempelai wanita dari adat keluarganya. Upacara perkawinan adat pepadun bisa berupa upacara adat besar (gawei besar ibal serbou, bumbang aji, intar wawai, dan sebumbang, bisa pula berupa gawei kecil). Prinsip-prinsip dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan suatu corak keaslian yang khas dalam hubungan sosial antarmasyarakat Lampung yang disimpulkan dalam 5 prinsip yakni:

Piil Pesenggiri, berasal dari bahasa Arab Fiil yang berarti perilaku, dan pesenggiri maksudnya keharusan bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu diri, serta tahu kewajiban. Pada filsafat piil tampak nilai-nilai yang tersirat begitu luhur seperti tercantum dalam kitab hukum adat Kuntara Abung dan Kuntara Raja Niti, kedua kitab tersebut banyak berisi aturan perikelakuan seseorang, cara berpakaian, aturan perkawinan, serta hukum pidana adat dan hukum perdata adat.

Sakai Sambayan, mengandung makna dan pengertian yang luas, termasuk diantaranya tolong menolong, bahu membahu, dan saling memberikan sesuatu kepada pihak lain yang memerlukan dalam hal ini tidak terbatas pada sesuatu yang sifatnya materi saja, tetapi juga dalam arti moral termasuk sumbangan tenaga, pemikiran, dan lain sebagainya.

Nemui Nyimah, berati bermurah hati dan ramah tamah terhadap semua pihak terhadap orang dalam satu klan maupun di luar klan dan juga terhadap siapa saja yang berhubungan dengan mereka. Jadi selain bermurah hati dengan memberikan sesuatu yang ada padanya kepada pihak lain, juga sopan santun dalam bertutur kata terhadap tamu mereka.

Nengah Nyappur, adalah tata cara pergaulan masyarakat Lampung dengan sikap membuka diri dalam pergaulan masyarakat umum, agar berpengetahuan luas dan ikut berpartisipasi terhadap segala sesuatu yang sifatnya baik dalam pergaulan dan kegiatan masyarakat yang dapat membawa kemajuan dan selalu bisa menyesuaikan diri terhadap perkembangan zaman.

Bejuluk Beadek, adalah didasarkan kepada titei gemattei yang diwarisi secara turun temurun secara adat dari zaman nenek moyang dahulu, tata cara ketentuan pokok yang selalu dipakai diikuti (titei gemattei) diantaranya adalah ketentuan seseorang selain mempunyai nama juga diberi gelar sebagai panggilan terhadapnya dan bagi seseorang baik pria maupun wanita jika sudah menikah diberi adek (beadek) yang biasanya pemberian adek ini dilakukan atau dilaksanakan didalam rangkaian upacara atau waktu pelaksanaan perkawinan/pernikahan.

Bentuk kesatuan hidup (community) yang berdasarkan hidup bertetangga di kampung-kampung penduduk setempat (asli) pada umumnya didasarkan pada hubungan teritorial dan genealogis. Kerukunan kampung dibagi dalam beberapa bilik, mengikuti aliran sungai atau jalan lalu lintas umum. Beberapa bilik dapat merupakan penerus perintah kepada kampung, dan tidak berkah untuk mengatur hubungan kekerabatan seorang penduduk atau somah. Terbentuknya kesatuan hidup sekampung atau hidup mengelompok disebabkan karena sumber mata pencaharian yang pada mulanya sama, misalnya dalam mengusahakan ladang, kebun atau menangkap ikan. Pada mulanya mereka berbeda dalam asal-usul keturunan, tetapi kemudian bersatu karena adanya ikatan kekerabatan adat kampung. Lambat laun mereka mempertahankan ikatan adat (pepadun) itu baik karena hubungan ikatan pertalian darah maupun karena perkawinan dan adat mewari (saling mengangkat menjadi saudara).

Pimpinan kesatuan hidup tersebut terbentuk melalui proses musyawarah dan mufakat yang diketahui oleh seorang kepala keluarga dari keturunan kerabat utama, atau keturunan orang yang pertama kali mendirikan kampung (mendirikan pepadun bagi masyarakat adat pepadun). Dewan musyawarah dan mufakat tidak selamanya harus dipimpin oleh seorang tetau tetapi boleh juga dilakukan oleh juru bicara (pelaksana acara) yang bertindak atas nama ketua. Pimpinan demikian itu berlaku tidak saja di dalam musyawarah orang tua-tua kepala-kepala keluarga, tetapi juga berlaku dalam kesatuan mulei menganai (bujang gadis) dalam acara. Hubungan kemasyarakatan antara anggota yang satu dan anggota yang lain didasarkan atas kerukunan kekeluargaan, tolong menolong, dan persaudaraan. Kunjung mengunjungi, saling memperhatikan, saling memberi serta harga menghargai, merupakan inti keakraban diantara mereka. Keakraban ini akan bertambah kuat apabila mereka terikat pula oleh sesuatu tujuan mata pencaharian yang sama, baik dalam pembukaan ladang bersama, atau dalam membuka kebun atau tanaman keras secara bersama-sama, dalam pembuatan kolam ikan dan penangkapan ikan secara bersama, serta kegiatan lainnya.

2. Komunitas Adat Lio
Masyarakat Lio mendiami wilayah bagian tengah Pulau Flores, mereka dalam berkomunikasi sehar-hari mempergunakan bahasa Sara Lio (bahasa Lio). Bahasa ini masuk ke dalam kelompok bahasa Bima-Suma. Mayoritas orang Lio bermatapencaharian sebagai petani lahan kering, yang menanam jenis padi-padian dan ubi-ubian untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kehidupan sosial dan ekonomi mereka terpusat di sekitar siklus agrikultural tahunan yang sangat tergantung pada musim hujan dan panas. Oleh sebab itu, faktor tanah pertanian dan bertambahnya jumlah anggota keluarga adalah unsur-unsur dasar dalam kehidupan sosial. Tanah pertanian dimiliki secar komunal oleh keluarga patrilineal (garis keturunan ayah). Pada masa lalu, pelapisan sosial terbagi atas tiga kelompok hirarkis. Kelompok pertama adalah mosalaki/riabewa (pemangku adat), kelompok kedua adalah faiwalu/anahalo (orang biasa/orang kebanyakan), kelompok ketiga adalah ataho’o rowa (para hamba dan budak). Pelapisan sosial mempunyai kaitan yang tak bisa dipisahkan dengan masalah kepemilikan tanah. Jadi secara hukum adat masyarakat Lio, Mosalaki/riabewa adalah pemilik tanah, sementar itu para faiwalu/anahalo adalah sekedar penggarap tanah. Masyarakat Lio mengalami persentuhan yang luas dan intensif dengan dunia luar baru pada awal abad ke-20. Meskipun demikian tidak bisa diabaikan bahwa Ata Paga (orang-orang Lio yang mendiami wilayah bagian timur, yang berbatasan dengan wilayah Sikka sudah lebih awal berhubungan dengan misionaris Barat. Tahun 1621, orang Lio Paga sudah memiliki seorang imam Katolik yakni Joao Baptista da Fortalezaa. Tahun 1873 datang lagi seorang imam Jesuit yaitu Pater Omtizig yang menetap di stasi Sikka, namun juga menyebarkan agama Katolik ke wilayah Lio Paga. Wilayah Lio bagian tengah dan barat baru mengalami persentuhan dengan para misionaris pada awal abad ke-20. Penyebaran agama Katolik baru dilaksanakan setelah Propaganda Fide menyerahkan wilayah misi Kepulauan Sunda Kecil dari ordo Misioner Jesuit kepada Societas Verbi Divini (Serikat Sabda Allah) yang terjadi pada tahun 1914. Ada dua hal yang perlu dikemukakan dalam kaitannya dengan persentuhan atau interaksi masyarakat Lio dengan dunia luar yang lebih luas, dan juga pengaruh dari luar. Pertama adanya pembukaan isolasi fisik, yang ditandai dengan pembuatan jalan lintas Flores sepanjang 620 kilometer yang dikerjakan semenjak tahun 1915, dan diresmikan penggunaannya mulai tahun 1925. Dengan adanya akses jalan ini merupakan suatu babak baru bagi masyarakat Lio, karena secara de fakto masyarakat Lio hidup secara terisolir di tanah persekutuan masing-masing.

Topografi dimana masyarakat Lio menetap memang berbukit-bukit, dan bergunung terjal, sehingga banyak menghambar arus persentuhan atau interaksi antara tanah persekutuan dengan tanah persekutuan yang lain, juga dengan dunia luar. Adanya intervensi kultural melalui pembukaan sekolah-sekolah (Standarscholl dan Vervolgschool) di daerah Lio pada awal tahun 1900, hasil dari adanya kerjasama antara Misi Katolik dengan Pemerintah Kolonial Belanda. Sebelum itu masalah pendidikan anak-anak adalah tugas orang tua dalam keluarga. Pembukaan sekolah rakyat atau sekolah dasar merupakan sebuah terobosan yang sangat besar di bidang kebudayaan, dalam artian semenjak saat itu dimulainya intervensi sistem pendidikan dan persekolahan modern. Hal tersebut bagi orang Lio merupakan suatu yang sangat berarti dalam kehidupan mereka, adanya suatu peralihan atau transisi dari tradisi lisan menuju ke tradisi tertulis. Akhirnya bisa dicatat tentang sistem politik, mosalaki/riabewa adalah pemimpin tertinggi pada setiap wilayah tanah persekutuan. Secara sosial, politik, dan ritual orang-orang Lio hidup secara merdeka di kampung-kampung, yang merupakan kelompok kekerabatan dan pusat dari suatu tanah persekutuan. Para mosalaki/riabewa adalah pemimpin di bidang politik, sosial, dan religious. Peran para pemangku adat tersebut mulai mengalami kemunduran ketika pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan pengelompokan wilayah dan sistem kepemimpinan politis kerajaan dan swapraja dengan kebijakan zelfbestuur sesudah menaklukkan pemimpin adat Lio pada tahun 1907. Pada waktu itu secara politis wilayah Lio dibagi menjadi tujuh wilayah swapraja. Pada tahun 1917 Belanda membagi wilayah Lio ke dalam dua kerajaan yakni Kerajaan Tanah Kunu Lima di bagian timur, dan Kerajaan Ndona di bagian barat. Seiring dengan perkembangannya, pusat-ppusat swapraja dan kerajaan menjadi pusat politik, pendidikan, dan agama Katolik. Kedua wilayah kerajaan tersebut di atas disatukan pada tahun 1924, dengan nama Kerajaan Lio. Sementara itu kehadiran para misionaris Kristen yang disusul dengan pembentukan wilayah-wilayah gerejani memperlemah posisi para pemimpin tradisional.

Desa-desa yang didiami masyarakat Lio dulunya biasa dibangun di atas bukit, hal ini berkaitan dengan alasan keamanan dan pertahanan. Pola perkampungan dari desa-desa kuno tersebut biasanya merupakan suatu lingkaran dengan tiga bagian, yakni bagian depan, bagian tengah, dan bagian belakang. Pada masa lalu, masyarakat Lio hidup terpisah-pisah di tanah persekutuan masing-masing. Kondisi geografis yang kurang bersahabat serta minimnya prasarana lalu lintas membatasi interaksi diantara mereka. Karena letak pemukiman mereka yang terpencil di lereng-lereng gunung, di lembah, di teluk, dan di tanjung yang sulit ditempuk. Kendala geografis tersebut berakibat perkampungan mereka seperti terisolir dari dunia luar. Namun kendala alam tersebut tidak menutup mereka untuk tetap menjalin persahabatan diantara tanah-tanah persekutuan. Persahabatan yang berdasarkan pada tura jaji yaitu perjanjian persahabatan abadi. Tura jaji biasanya diperkuat dengan sumpah yang menyatakan bahwa bagi pelanggarnya akan mengalami suatu bencana/musibah/kebinasaan. Kesepatan ini merupakan sebuah kontrol sosial yang memberikan mereka keamanan, baik dalam hal perdagangan maupun dalam pergaulan. Karena mereka terikat dalam sebuah kesepakatan yang berisi saling menghormati, saling menghargai diantara mereka. Selain menjunjung tinggi persahabatan, mereka juga sangat ramah dalam menerima orang lain, hal ini dilakukan secara spontan, murni dari mentalitas masyarakat agraris orang Lio. Berdasarkan kesepakatan tura jaji, diantara tanah persekutuan satu dengan lainnya tidak akan saling menyerang, melainkan saling membantu dalam menghadapi musuh. Tanah persekutuan yang relatif kecil mempunyai hak ulayat yang juga terbatas. Akan tetapi mereka tetap mengakui sebagai kelompok yang berdiri sendiri, berdasarkan pada keturunan darah dari nenek moyang yang sama. Pada dasarnya tanah persekutuan menginginkan kehidupan yang serasi/harmonis/rukun, taat kepada pemerintahan, taat pada adat istiadat, dan taat pada tata upacara berladang. Sewaktu pembentukan desa-desa model baru seperti ini, beberapa tanah persekutuan genealogis berdasarkan pada turunan dari nenek moyang yang berlainan. Akan tetapi diantara mereka ada kesepakatan untuk menghuni tanah persekutuan yang sama, dengan mematuhi pemerintahan serta adat istiadat yang sama. Pada prinsipnya tanah persekutuan berdasarkan jenis genealogis, namun dalam perkembangannya seiring dengan perkembangan penduduk, bertambahnya penduduk yang datang, membutuhkan tempat tinggal serta lahan garapan, sehingga unusr genealogis lama kelamaan berkurang berganti dengan unsur teritorial. Pemerintahan adat Lio berlandaskan pada dewan mosalaki ria yakni dewan tujuh besar, sebagai pemerintahan adat untuk seluruh masyarakat. Peranan penting ada pada mosalaki puu dan ria bewa, mosalaki puu sebenarnya pelaksana utama dalam dewan mosalaki ria. Ria bewa juga merupakan pelaksana yang penting dengan posisi sebagai pengatur, pelaksana, pengusut, dan pengelola berdasarkan petunjuk/perintah dari dewan mosalaki ria yang bermuara pada mosalaki puu. Mosalaki puu yang didukung atau dibantu oleh dewan mosalaki ria memberikan perintah-perintah atau petunjuk-petunjuk yang akan dilaksanakan oleh ria bewa. Anggota yang lain dari dewan mosalaki ria memegang atau memangku salah satu jabatan fungsionaris di tanah persekutuan. Dewan mosalaki ria merupakan jenis pemerintahan bersama/kolektif, sehingga setiap putusan diambil berdasarkan suatu musyawarah untuk mencapai kesepakatan. Pada masyarakat Lio pemerintahan terdiri dari tujuh anggota atau tujuh besar, inilah yang disebut sebagai semacam pemerintahan Sapta Tunggal. Persoalan tanah persekutuan merupakan ikatan kewilayahan berdasarkan keturunan darah, dan tempat tinggal atau tanah kelahiran yang sama. Dua hal inilah yang menetukan tata kehidupan dan tata aturan penduduknya, mereka dilahirkan, dibesarkan, bekerja mencari nafkah, menikah, serta mati dan dimakamkan di sana/di tanah persekutuan. Apabila sampai terjadi seseorang meninggal di luar tanah persekutuan, maka hal tersebut merupakan suatu pertanda yang tidak baik, bisa juga dianggap sebagai kutukan nenek moyang. Bagi masyarakat Lio keturunan berdasarkan darah (genealogis) dan tempat/tanah tumpah darah/tanah kelahiran, merupakan hal yang sangat penting. Berbagai tanah persekutuan di daerah Lio selatan memiliki kondisi geografis yang terjal berbukit-bukit, namun di daerah ini malahan penduduknya relatif cukup padat. Penduduk yang bermukim di pemukiman atau perkampungan besar di Lio selatan sangat taat pada adat istiadat serta pemerintahan adat Lio. Masyarakat Lio di daerah ini tersebar mulai dari kali Ndona di bagian barat, sampai ke kali Wajo di bagian timur, lokasi pemukiman relatif berdekatan. Saat ini hambatan geografis sudah tidak menjadi penghalang lagi, karena adanya jaringan transportasi yang relatif baik. Meskipun kondisi geografis yang begitu sulit, namun masyarakat Lio di bagian selatan sangat terbuka dalam menerima pengaruh dari luar. Meskipun mereka hidup dalam kelompok-kelompok yang terpisah, akan tetapi suku bangsa atau masyarakat Lio memiliki bahasa, kebudayaan, tata hidup, adat istiadat yang relatif sama dan tetap seragam. Masyarakat Lio adalah masyarakat agraris, ikatan hidup di kampung-kampung adalah ikatan hidup yang berlandaskan genealogis.

Namun saat ini kebanyakan desa-desa sudah banyak meninggalkan pola seperti itu, kebanyak desa-desa masyarakat Lio sekarang berada di lereng-lereng yang cukup landai, berdekatan dengan sumber air, dan ladang-ladang atau kebun mereka. Apabila dahulu suku bangsa Lio hidup berkelompok dan terpisah-pisah di tanah persekutuan masing-masing, namun saat ini seiring dengan perkembangan pembangunan daerah, desa-desa sudah banyak yang terhubung dengan daerah lain. Jalan-jalan sudah cukup baik, menghubungkan desa satu dengan desa lainnya, meskipun kondisi geografis masih menjadi hambatan utama. Perkampungan masyarakat Lio biasanya terletak di cekungan bukit, di daerah yang agak landai. Sebagai perlindungan biasanya warga menanam pohon beringin (kiara), dadap, kapuk randu, nangka, dan pohon-pohon besar lainnya. Penanaman pohon-pohon besar untuk perlindungan tersebut disebut bhaku nua (perisai kampung), juga ditanam berbagai pohon buah-buahan seperti pisang baranga, jeruk, mangga, kelapa, pinang, sirih, kelengkeng, markisa, dan lain-lain. Ladang yang tidak jauh dari kampung adalah ladang milik komunitas (marga) disebut dengan uma ngenda, ladang keluarga (ura aje). Ladang-ladang biasanya terletak di lereng-lereng bukit, di celah-celah bukit, karena memang kondisi daerahnya tidak memungkinkan berladang di tanah datar, rata-rata ladang diberi pagar bambu untuk mencegah hewan masuk (babi hutan masih menjadi musuh utama yang merusak tanaman).

Pola perkampungan masyarakat Lio biasanya berpusat pada bangunan rumah adat (keda kanga), yakni kompleks rumah adat yang merupakan kompleks dimana diselenggarakan acara-acara religius, ritual, yang terdiri dari satu rumah tidak berdinding, sebuah pelataran/lapangan, sao keda yaitu rumah adat dimana ditempatkan patung-patung kayu nenek moyang suami isteri (ana deo). Keda kanga merupakan pusat tanah persekutuan (puse nua) dan tempat ini disakralkan serta dianggap keramat, angker. Biasanya tempat ini juga diakui sebagai daerah atau tempat asal-usul/kampung asal (nua puu) mereka. Sao keda juga dimanfaatkan sebagai tempat musyawarah anggota dewan musalaki (ketua adat), dan tempat disiapkannya sesaji/sesajen untuk pelaksanaan upacara ritual saat akan dimulainnya penggarapan ladang, mulai masa kerja di ladang. Kemudian ada kanga yakni pelataran/tanah lapang tempat dipentaskannya sebuah tandak atau tarian hiburan. Keda kanga juga berfungsi sebagai tempat untuk menyelesaikan urusan-urusan penting, urusan upacara ritual, hal yang berkaitan dengan keselamatan tanah persekutuan, permasalahan penduduk, masalah persengketaan/konflik, masalah perang (zaman dulu), masalah perdamaian, pembahasan masalah perjanjian persahabatan abadi (turajaji), penyelesaian masalah pelanggaran adat (misalnya masalah kawin incest). Kemudian di tengah pelataran (kanga) terdapat batu asal-usul (musu mase) yakni batu yang ditancapkan oleh nenek moyang, sebagai lambang pemersatu warga masyarakat Lio, juga sebagai lambang alat pengikat dari tanah persekutuan satu dengan tanah persekutuan lainnya. DI tempat ini biasanya diletakkan sesaji/sesajen yang ditujukan untuk Penguasa Langit dan Bumi (Dua Nggae), serta untuk Ular Bumi (Niparia) yang merupakan lambang kesuburan tanah persekutuan dan suku bangsa. Biasanya di belakang sao ria (rumah besar/rumah pokok) terdapat makam batu atau sarkofagus atau dalam bahas Lio dikenal dengan istilah bhaku, berupa peti batu yang berisi tulang belulang dari para leluhur/nenek moyang, para pahlawan, para pendiri tanah persekutuan, makam dan batu nisan para tetua adat ini (musalaki, riabewa) berada di sekeliling kedakanga.

C. Penutup
Peneliti, khususnya peneliti BPSNT Bandung mempunyai tanggungjawab moral untuk ikut menjaga kelestariannya, mengkaji, menyebarluaskan keberadaan keberadaan Komunitas adat yang ada di wilayah kerjanya. Kontribusi peneliti terhadap keberadaan komunitas adat adalah berusaha mensosialisasikan keberadaan mereka dengan memberikan gambaran/deskripsi tentang kehidupan mereka, memfasilitasi kepentingan mereka dalam memperjuangkan keberadaan mereka, melalui tulisan-tulisan hasil penelitian. Salah satunya adalah mengusulkan mereka menjadi warisan dunia (world heritage) ke UNESCO, misalnya saja Taman Nasional Way Kambas, tarian Melinting, Tarian Sigeh Penguten, Komunitas Adat Lio yang tidak terpisahkan dengan Kelimutu.

Komunitas adat ibaratnya merupakan benteng terakhir dalam pelestarian lingkungan alam, merupakan penjaga lingkungan alam yang konsisten, tidak tergoyahkan oleh kaum kapitalis. Meskipun hal tersebut merupakan pekerjaan yang sangat berat, penuh tantangan, serta membutuhkan ketekunan, ketabahan, dan keberanian.

Daftar Pustaka
Koentjaraningrat, dkk. Masyarakat Terasing di Indonesia. Gramedia Pustaka utama. Jakarta. 1993.

Yuniarti, Fandri, dkk (editor). Ekspediai Tanah Papua. KOMPAS. Jakarta. 2007.

Saifuddin, Achmad Fedyani. Antropologi Kontemporer, Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2006.

Anwar, Syaiful. Naskah Seni tari Lampung Pesisir Daerah Lampung. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Pusat Pengembangan Kebudayaan Lampung. Bandar Lampung. 1979.

Syani, Abdul. Kebudayaan Daerah Setempat Sangat Berarti Bagi Pembentukan Jatidiri Bangsa. Makalah, disampaikan dalam forum Penyuluhan Kebudayaan Daerah Lampung dalam rangka Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Daerah Lampung, di Balai Penataran Guru. Bandar Lampung. 1996.

Syani, Abdul. Peranan Pemimpin Formal dan Nonformal bagi Pengembangan Kebudayaan Nasional. Makalah, Penyuluhan Budaya, di Balai Penataran Guru. Bandar Lampung. 1997.

Orinbao, P. Sareng. Tata Berladang Tradisional dan Pertanian Rasional Suku Bangsa Lio. Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero. Nita- - Flores. 1992.

Sumber:
Makalah disampaikan dalam Kegiatan "Festival Komunitas Adat" yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung tanggal 13 Juli 2010 di Sumedang

Peranan Buruh Pemetik Teh di Dalam Keluarga di Perkebunan Teh Gunung Cempaka Kabupaten Cianjur

Oleh: Dra. Yanti Nisfiyanti, dkk.

Abstrak
Penelitian yang berlokasi di kawasan pemukiman buruh perkebunan teh Gunung Cempaka, di Kabupaten Cianjur ini, menyoroti peranan buruh wanitanya, baik di tempat bekerja maupun di dalam mengelola rumah tangganya. Dari penelitian ini terungkap bahwa masalah yang timbul akibat peran ganda yang disandang para buruh wanita pemetih teh ini tidak jauh berbeda dengan para pekerja wanita di perkotaan, yaitu terjadinya perbenturan kepentingan keluarga dan disiplin dalam pekerjaan di saat yang bersamaan.

Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian BKSNT Bandung Edisi 26, Oktober 2002

Pembangunan Lima Tahun DKI Jakarta: Studi tentang Pembangunan Perumahan Rakyat Periode Pelita I-IV (1969-1989)

Oleh: Drs. Heru Erwantoro, dkk.

Abstrak
Dalam studi ini diuraikan permasalahan dan upaya pemerintah di bidang perumahan dan pemukiman. Ketidak sesuaian antara pendekatan yang deterministik dengan kompleksitas persoalan yang dihadapi membuat berbagai upaya pemerintah itu terkesan sia-sia. Studi historis ini menawarkan suatu pendekatan yang bersifat multidimensional dan komprehensif untuk mengatasi persoalan di bidang perumahan dan pemukiman.

Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian BKSNT Bandung Edisi 25, Desember 2001

Wawacan Lokayanti, Satu Kajian Tema dan Fungsi

Oleh: Drs. Suwardi A.P, dkk

Abstrak
Wawacan Lokayanti berisi cerita tentang perjuangan dan penyebaran agama Islam pada zaman Nabi Ibrahim alaihisallam. Di lain pihak pengaruh keadaan pun turut membentuk nilai-nilai budaya masyarakat pendukungnya, yang melalui proses enkulturasi dan sosialisasi nilai-nilai budaya akan mampu menempa bangsa menjadi bangsa yang berbudi luhur sebagaimana tercermin dalam kepribadian bangsa.

Kemudian dalam pengkajian Wawacan Lokayanti ini, lebih menikit-beratkan pada segi tema dan fungsi, namun pada dasarnya unsur-unsur yang terdapat dalam struktur cerita pun tidak lepas dari kajian. Unsur-unsur tersebut adalah alur, tokoh dan penokohan, latar atau setting, tema dan amanat.

Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian BKSNT Bandung Edisi 26, Oktober 2002

Penumpasan DI/TII di Kabupaten Garut (1950 – 1962)

Oleh: Drs. Herry Wiryono

Abstrak
Terwujudnya kemerdekaan Indonesia tidak berarti perjuangan bangsa Indonesia telah selesai, karena tidak semua bangsa Indonesia sepakat dengan bertujuan berdirinya Negara Kesatuan RI. Keinginan sekelompok orang untuk mendirikan sebuah negara di luar NKRI, antara lain dipelopori oleh R.M. Kartosuwiryo untuk mendirikan Negara slam Indonesia. Upaya Kartosuwiryo untuk mendirikan NII, sudah barang tentu merusak keutuhan Negara Kesatuan RI. Oleh karena itu, pemerintah dan rakyat berupaya menumpas gerakan ini.

Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian BKSNT Bandung Edisi 26, Oktober 2002

Dialog Budaya, Taman Budaya-Bandar Lampung Maret 2011

A. Dasar Pemikiran
Indonesia merupakan salah satu negara yang penduduknya sangat majemuk, terdiri atas banyak suku bangsa. Tidak kurang dari 657 suku bangsa yang menjadi penduduk Indonesia, tersebar di seluruh kawasan nusantara. Masing-masing suku bangsa mengembangkan kebudayaannya yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Kemajemukan masyarakat bangsa Indonesia ini bukan saja dibentuk karena keberagaman etnisnya, melainkan juga perbedaannya dalam latar belakang sejarah, kebudayaan, agama dan sistem kepercayaan yang dianut, serta lingkungan geografisnya.

Tidak jarang pula di antara suku-suku bangsa ini tinggal di pelosok-pelosok daerah yang relatif terpencil dan sulit dijangkau, sehingga untuk mengaksesnya pun sulit. Padahal data dan informasi tentang karya-karya kebudayaan suku-suku bangsa ini sangat diperlukan oleh banyak pihak, baik kalangan akademisi, instansi pemerintah, kalangan swasta, maupun masyarakat umum. Kita menyadari sepenuhnya bahwa betapa pentingnya potensi budaya bangsa kita dalam berbagai bentuk, seperti beragam jenis kesenian, kerajinan tradisional, arsitektur, bangunan rumah, serta upacara-upacara adat sebagai hasil pemikiran dan kreasi bangsa kita yang di dalamnya terkandung citra, kendatipun tidak lengkap dan tidak pula menyeluruh, tentang bangsa kita sendiri.

Kehidupan suatu masyarakat pada garis besarnya menunjukkan suatu kelompok tata kelakuan yang disebut adat istiadat yang dalam prakteknya berwujud cita-cita, norma-norma, pendirian, kepercayan, sikap, aturan, hukum undang-undang, dan sebagainya. Betapa pun sederhananya, setiap masyarakat selalu menginginkan hidup yang aman, tenteram, dan sejahtera. Dengan kata lain, setiap masyarakat harus taat dan patuh terhadap adat istiadat dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Namun perlu disadari bahwa tidak semua adat istiadat berdampak positif. Ada juga sebagian yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.

Seperti kita ketahui masyarakat Indonesia begitu beragam dari segi kesukubangsaan, dari Provinsi Aceh sampai dengan Papua terdapat ratusan suku bangsa. Seperti halnya Provinsi Lampung, di provinsi ini juga terdapat beragam suku bangsa antara lain suku bangsa Lampung, Jawa, Sunda, Minangkabau, Bali, Palembang, Melayu, Batak, dll. Melihat kemajemukan tersebut maka tercetuslah sebuah gagasan untuk melaksanakan kegiatan Dialog Budaya, dengan tujuan agar keberagaman tersebut bisa terjembatani melalui dialog budaya. Sehingga diharapkan dengan adanya kegiatan ini, mereka saling memahami, saling mengerti, mempunyai toleransi karena adanya perbedaan latar belakang kebudayaan tersebut.

B. Tujuan
Tujuan diselenggarakannya Dialog Budaya ini adalah :
1. Mengenalkan keanekaragaman budaya (antara lain kebudayaan Lampung) yang berada di wilayah kerja BPSNT Bandung.
2. Memberikan wawasan kebudayaan, terutama bagi generasi muda dan masyarakat umum agar dapat menyelami nilai-nilai budaya secara arif sehingga kebudayaan yang akan ditumbuhkembangkan tidak kehilangan jati diri.

C. Tema
Tema dari kegiatan Dialog Budaya di Bandar Lampung tahun 2011 ini adalah "Menggali dan Mengangkat Potensi Budaya Lampung".

D. Narasumber
Narasumber dalam kegiatan Dialog Budaya ini di antaranya

E. Peserta
Kegiatan Dialog Budaya tahun 2011 diikuti oleh 100 orang, yang terdiri dari: seniman, budayawan, mahasiswa, dosen, masyarakat umum, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung, Museum Negeri Lampung dan Taman Budaya Lampung.

F. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Dialog Budaya diselenggarakan pada Tahun 2011 di Gedung Olah Seni, Taman Budaya Bandar Lampung.

Pergolakan Revolusi di Karesidenan Banten (1945 – 1949)

Oleh: Drs. Heru Erwantoro

Abstrak
Sejarah Banten merupakan sejarah pemberontakan yang tiada henti atas kekuasaan kolonial. Dari tahun 1870 tercatat sekitar 19 kali pemberontakan. Islam, Kyai, Ulama, dan Jawara serta penetrasi kolonial melalui perkebunan, penguasaan tanah, dan birokrasi merupakan faktor-faktor yang memicu ledakan sosial yang selalu laten dalam sejarah Banten. Fase penting dari Karakter “radikalisme” masyarakat Banten adalah ketika gagasan-gagasan poltik modeeern pergerakan abad XX seperti; nasionalisme dan komunisme untuk berinteraksi, diterima dalam adaptasi secara lokal.

Begitulah ketika revolusi terjadi di Karesidenan Banten, ideologi revolusioner melahirkan gerakan revolusioner massa dengan membangkitkan ikatan-ikatan ideologis serta memobilisasi golongan-golongan sosial. Dengan demikian, revolusi Banten melukiskan pula struktur .

Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Edisi 26, Oktober 2002

Peranan Saung Angklung Udjo dalam Proses Transformasi Budaya Sunda pada Generasi Muda di Kelurahan Pasir Layung Kecamatan Cibeunying Kidul Kota Bandun

Oleh: Dra. Ria Andayani S.

Abstrak
Saung Angklung Udjo, nama yang cukup populer dalam dunia pariwisata dan seni budaya tradisional di Jawa Barat, khususnya di Bandung. Kemampuan mengemas atraksi seni budaya tradisional Sunda melalui keceriaan anak-anak dan remaja, menjadi magnet bagi wisman dan wisnu untuk mempir ke tempat tersebut. Di balik semua itu, Saung Angklung Udjo merupakan aset tak ternilai bagi kelangsungan budaya Sunda. Secara tidak langsung, tempat tersebut menjadi media transformasi budaya Sunda pada generasi muda.

Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian BKSNT Bandung Edisi 26, Oktober 2002

Registrasi Hasil Penelitian (Penulis)

Peneliti Kebudayaan
- Drs. Toto Sucipto
- Drs. Tjetjep Rosmana
- Drs. Rosyadi
- Dra. Ani Rostiyati
- Dra. Yanti Nisfiyanti
- Dra. Nina Merlina
- Drs. Nandang Rusnandar
- Drs. Suwardi Alamsyah P.
- Drs. Yuzar Purnama
- Dra. Enden Irma Rachmawaty
- Drs. Yudi Putu Satriadi
- Dra. Ria Intani Tresnasih
- Drs. T. Dibyo Harsono, M.Hum
- Drs. Endang Supriatna
- Drs. Aam Masduki
- Dra. Ria Andayani S.
- Dra. Lina Herlinawati
- Irvan Setiawan S.Sos
- Drs. Agus Heryana
- Drs. Hermana
- Risa Nopianti, S.Sos

Peneliti Kesejarahan
- Drs. Heru Erwantoro
- Drs. H. Iwan Roswandi
- Drs. Adeng
- Drs. Herry Wiryono
- Dra. Lasmiyati
- Iim Imadudin, S.S.
- Dra. Euis Thresnawati, S.
- Drs. M. Halwi Dahlan
- Hary Ganjar Budiman, S.S

Popular Posts