Oleh: Drs. Nandang Rusnandar
Abstrak
Pada akhir abad ke-16 Masehi, Kota Sumedang telah dikenal dengan Kerajaan Sumedanglarang sebagai penerus Kerajaan Padjadjaran yang dihancurkan oleh Kerajaan Islam Banten. Pada awal abad ke-17 Masehi, dalam kedudukannya sebagai bawahan Mataram, daerah Sumedang berstatus sebagai kabupaten.Abstrak
Beranalogi dari kenyataan, bahwa di lingkungan pemerintahan tradisional semacam itu, biasanya lahir dan tumbuh naskah-naskah, terutama yang berisikan kisah atau riwayat daerah setempat. Dalam hal ini untuk daerah Sumedang misalnya, sudah dikenal adanya naskah-naskah atau karya-karya klasik seperti Babad Sumedang, Sejarah Turunan Parakanmuncang, dan sebagainya.
Penelitian mengenai naskah-naskah Sumedang khususnya Babad Sumedang ditinjau dari segi sejarah belum banyak dilakukan orang. Untuk lebih jelasnya, dalam Kabus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa pengertian naskah adalah: keterangan yang ditulis tangan, karangan seseorang sebagai hasil karya asli, bahan berita yang siap diset, rancangan.
Dengan demikian agar kita sebagai generasi penerusnya – yang kemudian muncul pada jaman yang berbeda – menerima tongkat estafet nilai-nilai yang tertuang dalam karya sastra tersebut, sehingga perlu dilestarikan agar tidak tercerabut dari akarnya, kita patut untuk menyelidiki, meneliti, memelihara, dan kemudian memanfaatkannya. Sadar atau tidak sadar bahwa kontribusi sebuah karya sastra (sastra klasik) terhadap perkembangan nilai-nilai atau norma-norma kehidupan sangat besar, terbukti bahwa karya sastra lama selain dapat dijadikan sumber kekayaan bentuk dan gaya bahasa, kosa kata, dan teknik puisi; juga akan membuka cakrawala baru bagi pengembangan baik bahasa maupun sastra modern.
Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Edisi 29, November 2003