Oleh: Drs. T. Dibyo Harsono, M.Hum
A. Pendahuluan
Indonesia memiliki beragam suku bangsa, sangat majemuk. Dengan Kondisi wilayah Indonesia yang memiliki lebih dari 13.667 pulau, serta jumlah penduduk lebih dari 234 juta. Kondisi geografis wilayah negara yang bercorak nusantara (archipelago) dan di dalamnya terdapat lebih dari 3000 pulau yang dihuni, membawa konsekuensi sulitnya komunikasi maupun pemberdayaan masyarakat. Terutama dengan kelompok masyarakat, komunitas adat yang hidup di pedalaman, di tengah rimba raya, maupun di pulau-pulau kecil yang terpencil. Kemajemukan bangsa Indonesia seperti nampak dari beragamnya komunitas adat yang ada. Seperti di Sumatera ada komunitas adat Enggano, Nias, Mentawai, Suku Anak Dalam/Kubu, Suku Laut, Akit, Orang Utan, Talangmamak, Bonai, Sakai, Lampung, dan lain-lain. Kemudian di Kalimantan ada beberapa komunitas adat Dayak. Di Sulawesi ada komunitas adat Bugis, Toraja, Tolaki, Mandar, Buton, Muna, tajiyo, Ammatoa, To Pembuni To Seko Lampung, To Marobo, dan To Landale. Di Bali ada komunitas Bali Aga, di NTB ada komunitas adat Lombok, Sumba, Di NTT ada komunitas adat Ngada, Lio, Sika, Timor, kemudian di Maluku (Yamdena, Tugutil, dll) sampai Papua (Dani, Asmat, Amungme, Bgu, Biak, Mawes, dan lain-lain).
Pada awal abad ke-21 ini para ahli hukum adat Indonesia telah mengkaji serta mendskripsi kehbinekaan kebudayaan. Salah seorang diantara ahli-ahli itu yakni C. Van Vollenhoven, telah mengklasifikasikan kebhinekaan itu dalam 19 golongan yang disebutnya 19 adatrechtskrigen atau lingkaran hukum adat (Vollenhoven, 1918: 33). Seorang antropolog Inggris MA. Jaspan menerbitkan daftar sementara terdiri dari 366 sukubangsa yang ada di Indonesia. Sementara itu H. Geertz dalam ikhtisarnya telah menguraikan adanya 111 sukubangsa di Indonesia, yang sebenarnya adalah ke-111 bahasa yang tercantum dalam peta bahasa-bahasa daerah di Indonesia (susunan J. Esser dalam Atlas van Tropisch Nederland, Atlas 1938). Kemudian dalam buku FM. LeBar, Ethnic Groups of Insular Southeast Asia, Volume I: Indonesia (1972), memuat ikhtisar singkat tentang 962 sukubangsa di Indonesia.
Sehingga dapat disimpulkan betapa banyaknya komunitas adat yang ada di Indonesia, mungkin selama ini kita hanya mengenal sukubangsa yang mempunyai populasi besar seperti sukubangsa Jawa, Sunda, Batak, Minang, Melayu, Bugis, dan sebagainya. Untuk itu sangat perlu adanya penelitian-penelitian yang berkaitan dengan komunitas adat, khususnya yang belum banyak dikenal secara luas. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Bandung, dalam hal ini sangat perludi dengan keberadaan komuntias adat yang ada di wilayah kerjanya. BPSNT Bandung memiliki peneliti bidang nilai tradisional/kebudayaan, sehingga diharapkan keberadaan komunitas adat bisa diangkat, diperkenalkan/disosialisasikan eksistensinya, agar masyarakat luas mengenal, mengetahuinya. Karena keberadaan komunitas adat ibarat laboratorium hidup, di mana kita bisa melihat, mengkaji berbagai pengetahuan tradisional, kearifan tradisional di tengah gemburah arus modernisasi yang lebih banyak merusak alam daripada melestarikannya.
B. Peneliti dan Eksisten Komunitas Adat
Makalah ini disampaikan dalam kegiatan Festival Komunitas Adat, yang mengambil tema: Merawat Tradisi Memelihara Kelangsungan Alam dan Harmoni Sosial, yang diselenggarakan di Sumedang tanggal 13 Juli 2010, bertempat di gedung Sri Manganti – Museum Prabu Geusan Ulun.
Pihak panitia telah menentukan judul makalah yang harus disampaikan, yakni tentang Peneliti dan Eksisten Komunitas Adat, itulah yang menjadi batasan materi dalam makalah ini. Kalau berbicara mengenai peneliti, dalam hal ini saya sebagai peneliti di BPSNT Bandung, tentunya sesuai dengan job description mengenai peranan peneliti, tugasdan kewajiban peneliti, serta tanggungjawab peneliti, yang selama ini dilaksanakan. Dalam makalah ini kemudian dipersempit lagi mengenai penelitian di komunitas adat, karena di Indonesia terdapat ratusan komunitas adat, maka saya hanya mengambil beberapa komunitas adat yang pernah saya teliti. Adapun dalam makalah ini saya akan memberikan gambaran tentang kehidupan mereka dalam memandang lingkunga alam di sekitarnya, yang terwujud dalam kearifan tradisional yang sampai saat ini masih mereka pertahankan.
1. Komunitas Adat Lampung Pepadun
Kampung-kampung penduduk asli (tiyuh) pada dasarnya belum berubah, masih menurut polanya yang lama yakni satu kampung dibagi dalam beberapa bagian yang disebut bilik, tempat kediaman suku yaitu tempat kediaman bagian klen yang disebut buway atau juga kadang-kadang gabungan buway seperti terdapat pada tiyuh-tiyuh masyarakat adat Pubiyan. Di setiap bilik terdapat rumah besar yang disebut nowou menyanak atau rumah besar, rumah kerabat. Kemudian ada lagi beberapa rumah keluarga lainnya yang menurut adat masih merupakan dalam satu hubungan rumah besar tadi. Maka dalam perkembangannya di dalam stu tiyuh akan terdapat rumah kerabat yang tertua tadi. Kadang-kadang terjadi nowou menyanak dari bagian klen yang lain datang kemudian masuk menjadi warga kampung dengan jalan mewari (diangkat sebagai saudara) pada kerabat tertua pendiri kampung. Baik kerabat yang berasal dari nowou menyanak semula maupun yang datang belakangan, mengakui bahwa kepala kerabat yang tertua itu adalah pemimpin mereka. Oleh sebab itu kepala kerabat semula yang tadinya adalah penyimbang suku tertua menjadi penyimbang bumi atau sebagai penyimbang marga. Untuk mengatur jalannya pemerintahan kampung maka penyimbang bumi membentuk dewan kampung, yang merupakan suatu kerapatan adat dimana anggota-anggotanya terdiri dari para penyimbang-penyimbang suku (bilik) masing-masing. Kerapatan adat dipimpin oleh penyimbang bumi (penyimbang tiyuh) sebagai orang pertama diantara yang sama. Penyimbang bumi dapat bertindak mewakili kampung terhadap dunia luar (masyarakat luar), namun ke dalam tidak berwenang mengatur kerabat suku lainnya, kecuali sukunya sendiri, suku-suku lain dipimpin sendiri oleh masing-masing kepala sukunya. Sebelum tahun 1928 pemerintah Belanda meganggap para penyimbang bumi sebagai kepala kampung, setelah tahun 1928 dengan dibentuknya pemerintahan marga teritorial, maka kepala kampung diangkat atas dasar calon yang didukung oleh kepala-kepala kerabat (penyimbang) di dalam tiyuh yang bersangkutan dengan memperhatikan keutrunan kepenyimbangannya serta kecakapan dan kemampuannya untuk menjadi kepala kampung. Beberapa kampung yang merupakan kesatuan berasal dari satu marga asal (buway asal) digabungkan menjadi satu ke dalam suatu ikatan marga yang dikepalai oleh kepala marga yang diangkat Belanda berdasarkan calon-calon yang diajukan oleh penyimbang dari keturunan marga yang bersangkutan. Demikianlah semenjak tahun 1928 yang dinamakan sebagai marga adalah kesatuan dari beberapa kampung, dan satu kampung meliputi kediaman kecil di daerah pertanian sekitarnya yang disebut dengan umbul. Suatu umbul dikepalai oleh kepala keluarga yang tertua dari umbul bersangkutan. Penduduk Kabupaten Lampung Timur sampai dengan tahun 2002 berjumlah 896.500 orang, di bawah ini adakan ditampilkan tabel penduduk menurut jenis kelamin dan kelompok umur.
Terbentuknya kesatuan hidup masyarakat Lampung di daerah Sukadana pada umumnya didasarkan pada kesamaan sumber mata pencaharian, baik dalam mengusahakan ladang, kebun maupun menangkap ikan. Oleh karena adanya ikatan kekerabatan adat kampung, maka lambat laut mereka mempertahankan ikatan adat, baik karena hubungan ikatan pertalian darah maupun karena perkawinan.
Secar umum masyarakat adat Lampung Timur adalah masyarakat adat pepadun, yang terkenal dengan istilah Abung Siwo Mego dan Pubian Telu Suku, kalaupun ada masyarakat adat peminggir hanya beberapa desa/kampung saja. Upacara-upacara adat pada umumnya nampak atau terlihat pada acara-acara perkawinan atau pernikahan, di mana perkawinan/pernikahan tersebut dilakukan menurut tata cara adat tradisional disamping kewajiban memenuhi hukum Agama Islam.
Tata cara da upacara perkawinan adat pepadun pada umumnya menurut garis keturunan patrilineal dari adanya jujur yakni berupa pemberian sejumlah uang dari pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai wanita, dan adanya sesan yakni berupa alat-alat rumah tangga komplit sebagai bawaan mempelai perempuan untuk menuju hidup baru bersama suaminya. Sesan tersebut akan diserahkan pihak keluarga mempelai wanita kepada pihak keluarga mempelai laki-laki pada saat upacara perkawinan berlangsung yang sekaligus sebagai penyerahan formal (secara adat) mempelai wanita dari keluarganya kepada pihak keluarga mempelai pria. Dengan demikian secara hukum adat maka putus pula hubungan secara adat (bukan secara kekeluargaan) antara mempelai wanita dari adat keluarganya. Upacara perkawinan adat pepadun bisa berupa upacara adat besar (gawei besar ibal serbou, bumbang aji, intar wawai, dan sebumbang, bisa pula berupa gawei kecil). Prinsip-prinsip dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan suatu corak keaslian yang khas dalam hubungan sosial antarmasyarakat Lampung yang disimpulkan dalam 5 prinsip yakni:
Piil Pesenggiri, berasal dari bahasa Arab Fiil yang berarti perilaku, dan pesenggiri maksudnya keharusan bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu diri, serta tahu kewajiban. Pada filsafat piil tampak nilai-nilai yang tersirat begitu luhur seperti tercantum dalam kitab hukum adat Kuntara Abung dan Kuntara Raja Niti, kedua kitab tersebut banyak berisi aturan perikelakuan seseorang, cara berpakaian, aturan perkawinan, serta hukum pidana adat dan hukum perdata adat.
Sakai Sambayan, mengandung makna dan pengertian yang luas, termasuk diantaranya tolong menolong, bahu membahu, dan saling memberikan sesuatu kepada pihak lain yang memerlukan dalam hal ini tidak terbatas pada sesuatu yang sifatnya materi saja, tetapi juga dalam arti moral termasuk sumbangan tenaga, pemikiran, dan lain sebagainya.
Nemui Nyimah, berati bermurah hati dan ramah tamah terhadap semua pihak terhadap orang dalam satu klan maupun di luar klan dan juga terhadap siapa saja yang berhubungan dengan mereka. Jadi selain bermurah hati dengan memberikan sesuatu yang ada padanya kepada pihak lain, juga sopan santun dalam bertutur kata terhadap tamu mereka.
Nengah Nyappur, adalah tata cara pergaulan masyarakat Lampung dengan sikap membuka diri dalam pergaulan masyarakat umum, agar berpengetahuan luas dan ikut berpartisipasi terhadap segala sesuatu yang sifatnya baik dalam pergaulan dan kegiatan masyarakat yang dapat membawa kemajuan dan selalu bisa menyesuaikan diri terhadap perkembangan zaman.
Bejuluk Beadek, adalah didasarkan kepada titei gemattei yang diwarisi secara turun temurun secara adat dari zaman nenek moyang dahulu, tata cara ketentuan pokok yang selalu dipakai diikuti (titei gemattei) diantaranya adalah ketentuan seseorang selain mempunyai nama juga diberi gelar sebagai panggilan terhadapnya dan bagi seseorang baik pria maupun wanita jika sudah menikah diberi adek (beadek) yang biasanya pemberian adek ini dilakukan atau dilaksanakan didalam rangkaian upacara atau waktu pelaksanaan perkawinan/pernikahan.
Bentuk kesatuan hidup (community) yang berdasarkan hidup bertetangga di kampung-kampung penduduk setempat (asli) pada umumnya didasarkan pada hubungan teritorial dan genealogis. Kerukunan kampung dibagi dalam beberapa bilik, mengikuti aliran sungai atau jalan lalu lintas umum. Beberapa bilik dapat merupakan penerus perintah kepada kampung, dan tidak berkah untuk mengatur hubungan kekerabatan seorang penduduk atau somah. Terbentuknya kesatuan hidup sekampung atau hidup mengelompok disebabkan karena sumber mata pencaharian yang pada mulanya sama, misalnya dalam mengusahakan ladang, kebun atau menangkap ikan. Pada mulanya mereka berbeda dalam asal-usul keturunan, tetapi kemudian bersatu karena adanya ikatan kekerabatan adat kampung. Lambat laun mereka mempertahankan ikatan adat (pepadun) itu baik karena hubungan ikatan pertalian darah maupun karena perkawinan dan adat mewari (saling mengangkat menjadi saudara).
Pimpinan kesatuan hidup tersebut terbentuk melalui proses musyawarah dan mufakat yang diketahui oleh seorang kepala keluarga dari keturunan kerabat utama, atau keturunan orang yang pertama kali mendirikan kampung (mendirikan pepadun bagi masyarakat adat pepadun). Dewan musyawarah dan mufakat tidak selamanya harus dipimpin oleh seorang tetau tetapi boleh juga dilakukan oleh juru bicara (pelaksana acara) yang bertindak atas nama ketua. Pimpinan demikian itu berlaku tidak saja di dalam musyawarah orang tua-tua kepala-kepala keluarga, tetapi juga berlaku dalam kesatuan mulei menganai (bujang gadis) dalam acara. Hubungan kemasyarakatan antara anggota yang satu dan anggota yang lain didasarkan atas kerukunan kekeluargaan, tolong menolong, dan persaudaraan. Kunjung mengunjungi, saling memperhatikan, saling memberi serta harga menghargai, merupakan inti keakraban diantara mereka. Keakraban ini akan bertambah kuat apabila mereka terikat pula oleh sesuatu tujuan mata pencaharian yang sama, baik dalam pembukaan ladang bersama, atau dalam membuka kebun atau tanaman keras secara bersama-sama, dalam pembuatan kolam ikan dan penangkapan ikan secara bersama, serta kegiatan lainnya.
2. Komunitas Adat Lio
Masyarakat Lio mendiami wilayah bagian tengah Pulau Flores, mereka dalam berkomunikasi sehar-hari mempergunakan bahasa Sara Lio (bahasa Lio). Bahasa ini masuk ke dalam kelompok bahasa Bima-Suma. Mayoritas orang Lio bermatapencaharian sebagai petani lahan kering, yang menanam jenis padi-padian dan ubi-ubian untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kehidupan sosial dan ekonomi mereka terpusat di sekitar siklus agrikultural tahunan yang sangat tergantung pada musim hujan dan panas. Oleh sebab itu, faktor tanah pertanian dan bertambahnya jumlah anggota keluarga adalah unsur-unsur dasar dalam kehidupan sosial. Tanah pertanian dimiliki secar komunal oleh keluarga patrilineal (garis keturunan ayah). Pada masa lalu, pelapisan sosial terbagi atas tiga kelompok hirarkis. Kelompok pertama adalah mosalaki/riabewa (pemangku adat), kelompok kedua adalah faiwalu/anahalo (orang biasa/orang kebanyakan), kelompok ketiga adalah ataho’o rowa (para hamba dan budak). Pelapisan sosial mempunyai kaitan yang tak bisa dipisahkan dengan masalah kepemilikan tanah. Jadi secara hukum adat masyarakat Lio, Mosalaki/riabewa adalah pemilik tanah, sementar itu para faiwalu/anahalo adalah sekedar penggarap tanah. Masyarakat Lio mengalami persentuhan yang luas dan intensif dengan dunia luar baru pada awal abad ke-20. Meskipun demikian tidak bisa diabaikan bahwa Ata Paga (orang-orang Lio yang mendiami wilayah bagian timur, yang berbatasan dengan wilayah Sikka sudah lebih awal berhubungan dengan misionaris Barat. Tahun 1621, orang Lio Paga sudah memiliki seorang imam Katolik yakni Joao Baptista da Fortalezaa. Tahun 1873 datang lagi seorang imam Jesuit yaitu Pater Omtizig yang menetap di stasi Sikka, namun juga menyebarkan agama Katolik ke wilayah Lio Paga. Wilayah Lio bagian tengah dan barat baru mengalami persentuhan dengan para misionaris pada awal abad ke-20. Penyebaran agama Katolik baru dilaksanakan setelah Propaganda Fide menyerahkan wilayah misi Kepulauan Sunda Kecil dari ordo Misioner Jesuit kepada Societas Verbi Divini (Serikat Sabda Allah) yang terjadi pada tahun 1914. Ada dua hal yang perlu dikemukakan dalam kaitannya dengan persentuhan atau interaksi masyarakat Lio dengan dunia luar yang lebih luas, dan juga pengaruh dari luar. Pertama adanya pembukaan isolasi fisik, yang ditandai dengan pembuatan jalan lintas Flores sepanjang 620 kilometer yang dikerjakan semenjak tahun 1915, dan diresmikan penggunaannya mulai tahun 1925. Dengan adanya akses jalan ini merupakan suatu babak baru bagi masyarakat Lio, karena secara de fakto masyarakat Lio hidup secara terisolir di tanah persekutuan masing-masing.
Topografi dimana masyarakat Lio menetap memang berbukit-bukit, dan bergunung terjal, sehingga banyak menghambar arus persentuhan atau interaksi antara tanah persekutuan dengan tanah persekutuan yang lain, juga dengan dunia luar. Adanya intervensi kultural melalui pembukaan sekolah-sekolah (Standarscholl dan Vervolgschool) di daerah Lio pada awal tahun 1900, hasil dari adanya kerjasama antara Misi Katolik dengan Pemerintah Kolonial Belanda. Sebelum itu masalah pendidikan anak-anak adalah tugas orang tua dalam keluarga. Pembukaan sekolah rakyat atau sekolah dasar merupakan sebuah terobosan yang sangat besar di bidang kebudayaan, dalam artian semenjak saat itu dimulainya intervensi sistem pendidikan dan persekolahan modern. Hal tersebut bagi orang Lio merupakan suatu yang sangat berarti dalam kehidupan mereka, adanya suatu peralihan atau transisi dari tradisi lisan menuju ke tradisi tertulis. Akhirnya bisa dicatat tentang sistem politik, mosalaki/riabewa adalah pemimpin tertinggi pada setiap wilayah tanah persekutuan. Secara sosial, politik, dan ritual orang-orang Lio hidup secara merdeka di kampung-kampung, yang merupakan kelompok kekerabatan dan pusat dari suatu tanah persekutuan. Para mosalaki/riabewa adalah pemimpin di bidang politik, sosial, dan religious. Peran para pemangku adat tersebut mulai mengalami kemunduran ketika pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan pengelompokan wilayah dan sistem kepemimpinan politis kerajaan dan swapraja dengan kebijakan zelfbestuur sesudah menaklukkan pemimpin adat Lio pada tahun 1907. Pada waktu itu secara politis wilayah Lio dibagi menjadi tujuh wilayah swapraja. Pada tahun 1917 Belanda membagi wilayah Lio ke dalam dua kerajaan yakni Kerajaan Tanah Kunu Lima di bagian timur, dan Kerajaan Ndona di bagian barat. Seiring dengan perkembangannya, pusat-ppusat swapraja dan kerajaan menjadi pusat politik, pendidikan, dan agama Katolik. Kedua wilayah kerajaan tersebut di atas disatukan pada tahun 1924, dengan nama Kerajaan Lio. Sementara itu kehadiran para misionaris Kristen yang disusul dengan pembentukan wilayah-wilayah gerejani memperlemah posisi para pemimpin tradisional.
Desa-desa yang didiami masyarakat Lio dulunya biasa dibangun di atas bukit, hal ini berkaitan dengan alasan keamanan dan pertahanan. Pola perkampungan dari desa-desa kuno tersebut biasanya merupakan suatu lingkaran dengan tiga bagian, yakni bagian depan, bagian tengah, dan bagian belakang. Pada masa lalu, masyarakat Lio hidup terpisah-pisah di tanah persekutuan masing-masing. Kondisi geografis yang kurang bersahabat serta minimnya prasarana lalu lintas membatasi interaksi diantara mereka. Karena letak pemukiman mereka yang terpencil di lereng-lereng gunung, di lembah, di teluk, dan di tanjung yang sulit ditempuk. Kendala geografis tersebut berakibat perkampungan mereka seperti terisolir dari dunia luar. Namun kendala alam tersebut tidak menutup mereka untuk tetap menjalin persahabatan diantara tanah-tanah persekutuan. Persahabatan yang berdasarkan pada tura jaji yaitu perjanjian persahabatan abadi. Tura jaji biasanya diperkuat dengan sumpah yang menyatakan bahwa bagi pelanggarnya akan mengalami suatu bencana/musibah/kebinasaan. Kesepatan ini merupakan sebuah kontrol sosial yang memberikan mereka keamanan, baik dalam hal perdagangan maupun dalam pergaulan. Karena mereka terikat dalam sebuah kesepakatan yang berisi saling menghormati, saling menghargai diantara mereka. Selain menjunjung tinggi persahabatan, mereka juga sangat ramah dalam menerima orang lain, hal ini dilakukan secara spontan, murni dari mentalitas masyarakat agraris orang Lio. Berdasarkan kesepakatan tura jaji, diantara tanah persekutuan satu dengan lainnya tidak akan saling menyerang, melainkan saling membantu dalam menghadapi musuh. Tanah persekutuan yang relatif kecil mempunyai hak ulayat yang juga terbatas. Akan tetapi mereka tetap mengakui sebagai kelompok yang berdiri sendiri, berdasarkan pada keturunan darah dari nenek moyang yang sama. Pada dasarnya tanah persekutuan menginginkan kehidupan yang serasi/harmonis/rukun, taat kepada pemerintahan, taat pada adat istiadat, dan taat pada tata upacara berladang. Sewaktu pembentukan desa-desa model baru seperti ini, beberapa tanah persekutuan genealogis berdasarkan pada turunan dari nenek moyang yang berlainan. Akan tetapi diantara mereka ada kesepakatan untuk menghuni tanah persekutuan yang sama, dengan mematuhi pemerintahan serta adat istiadat yang sama. Pada prinsipnya tanah persekutuan berdasarkan jenis genealogis, namun dalam perkembangannya seiring dengan perkembangan penduduk, bertambahnya penduduk yang datang, membutuhkan tempat tinggal serta lahan garapan, sehingga unusr genealogis lama kelamaan berkurang berganti dengan unsur teritorial. Pemerintahan adat Lio berlandaskan pada dewan mosalaki ria yakni dewan tujuh besar, sebagai pemerintahan adat untuk seluruh masyarakat. Peranan penting ada pada mosalaki puu dan ria bewa, mosalaki puu sebenarnya pelaksana utama dalam dewan mosalaki ria. Ria bewa juga merupakan pelaksana yang penting dengan posisi sebagai pengatur, pelaksana, pengusut, dan pengelola berdasarkan petunjuk/perintah dari dewan mosalaki ria yang bermuara pada mosalaki puu. Mosalaki puu yang didukung atau dibantu oleh dewan mosalaki ria memberikan perintah-perintah atau petunjuk-petunjuk yang akan dilaksanakan oleh ria bewa. Anggota yang lain dari dewan mosalaki ria memegang atau memangku salah satu jabatan fungsionaris di tanah persekutuan. Dewan mosalaki ria merupakan jenis pemerintahan bersama/kolektif, sehingga setiap putusan diambil berdasarkan suatu musyawarah untuk mencapai kesepakatan. Pada masyarakat Lio pemerintahan terdiri dari tujuh anggota atau tujuh besar, inilah yang disebut sebagai semacam pemerintahan Sapta Tunggal. Persoalan tanah persekutuan merupakan ikatan kewilayahan berdasarkan keturunan darah, dan tempat tinggal atau tanah kelahiran yang sama. Dua hal inilah yang menetukan tata kehidupan dan tata aturan penduduknya, mereka dilahirkan, dibesarkan, bekerja mencari nafkah, menikah, serta mati dan dimakamkan di sana/di tanah persekutuan. Apabila sampai terjadi seseorang meninggal di luar tanah persekutuan, maka hal tersebut merupakan suatu pertanda yang tidak baik, bisa juga dianggap sebagai kutukan nenek moyang. Bagi masyarakat Lio keturunan berdasarkan darah (genealogis) dan tempat/tanah tumpah darah/tanah kelahiran, merupakan hal yang sangat penting. Berbagai tanah persekutuan di daerah Lio selatan memiliki kondisi geografis yang terjal berbukit-bukit, namun di daerah ini malahan penduduknya relatif cukup padat. Penduduk yang bermukim di pemukiman atau perkampungan besar di Lio selatan sangat taat pada adat istiadat serta pemerintahan adat Lio. Masyarakat Lio di daerah ini tersebar mulai dari kali Ndona di bagian barat, sampai ke kali Wajo di bagian timur, lokasi pemukiman relatif berdekatan. Saat ini hambatan geografis sudah tidak menjadi penghalang lagi, karena adanya jaringan transportasi yang relatif baik. Meskipun kondisi geografis yang begitu sulit, namun masyarakat Lio di bagian selatan sangat terbuka dalam menerima pengaruh dari luar. Meskipun mereka hidup dalam kelompok-kelompok yang terpisah, akan tetapi suku bangsa atau masyarakat Lio memiliki bahasa, kebudayaan, tata hidup, adat istiadat yang relatif sama dan tetap seragam. Masyarakat Lio adalah masyarakat agraris, ikatan hidup di kampung-kampung adalah ikatan hidup yang berlandaskan genealogis.
Namun saat ini kebanyakan desa-desa sudah banyak meninggalkan pola seperti itu, kebanyak desa-desa masyarakat Lio sekarang berada di lereng-lereng yang cukup landai, berdekatan dengan sumber air, dan ladang-ladang atau kebun mereka. Apabila dahulu suku bangsa Lio hidup berkelompok dan terpisah-pisah di tanah persekutuan masing-masing, namun saat ini seiring dengan perkembangan pembangunan daerah, desa-desa sudah banyak yang terhubung dengan daerah lain. Jalan-jalan sudah cukup baik, menghubungkan desa satu dengan desa lainnya, meskipun kondisi geografis masih menjadi hambatan utama. Perkampungan masyarakat Lio biasanya terletak di cekungan bukit, di daerah yang agak landai. Sebagai perlindungan biasanya warga menanam pohon beringin (kiara), dadap, kapuk randu, nangka, dan pohon-pohon besar lainnya. Penanaman pohon-pohon besar untuk perlindungan tersebut disebut bhaku nua (perisai kampung), juga ditanam berbagai pohon buah-buahan seperti pisang baranga, jeruk, mangga, kelapa, pinang, sirih, kelengkeng, markisa, dan lain-lain. Ladang yang tidak jauh dari kampung adalah ladang milik komunitas (marga) disebut dengan uma ngenda, ladang keluarga (ura aje). Ladang-ladang biasanya terletak di lereng-lereng bukit, di celah-celah bukit, karena memang kondisi daerahnya tidak memungkinkan berladang di tanah datar, rata-rata ladang diberi pagar bambu untuk mencegah hewan masuk (babi hutan masih menjadi musuh utama yang merusak tanaman).
Pola perkampungan masyarakat Lio biasanya berpusat pada bangunan rumah adat (keda kanga), yakni kompleks rumah adat yang merupakan kompleks dimana diselenggarakan acara-acara religius, ritual, yang terdiri dari satu rumah tidak berdinding, sebuah pelataran/lapangan, sao keda yaitu rumah adat dimana ditempatkan patung-patung kayu nenek moyang suami isteri (ana deo). Keda kanga merupakan pusat tanah persekutuan (puse nua) dan tempat ini disakralkan serta dianggap keramat, angker. Biasanya tempat ini juga diakui sebagai daerah atau tempat asal-usul/kampung asal (nua puu) mereka. Sao keda juga dimanfaatkan sebagai tempat musyawarah anggota dewan musalaki (ketua adat), dan tempat disiapkannya sesaji/sesajen untuk pelaksanaan upacara ritual saat akan dimulainnya penggarapan ladang, mulai masa kerja di ladang. Kemudian ada kanga yakni pelataran/tanah lapang tempat dipentaskannya sebuah tandak atau tarian hiburan. Keda kanga juga berfungsi sebagai tempat untuk menyelesaikan urusan-urusan penting, urusan upacara ritual, hal yang berkaitan dengan keselamatan tanah persekutuan, permasalahan penduduk, masalah persengketaan/konflik, masalah perang (zaman dulu), masalah perdamaian, pembahasan masalah perjanjian persahabatan abadi (turajaji), penyelesaian masalah pelanggaran adat (misalnya masalah kawin incest). Kemudian di tengah pelataran (kanga) terdapat batu asal-usul (musu mase) yakni batu yang ditancapkan oleh nenek moyang, sebagai lambang pemersatu warga masyarakat Lio, juga sebagai lambang alat pengikat dari tanah persekutuan satu dengan tanah persekutuan lainnya. DI tempat ini biasanya diletakkan sesaji/sesajen yang ditujukan untuk Penguasa Langit dan Bumi (Dua Nggae), serta untuk Ular Bumi (Niparia) yang merupakan lambang kesuburan tanah persekutuan dan suku bangsa. Biasanya di belakang sao ria (rumah besar/rumah pokok) terdapat makam batu atau sarkofagus atau dalam bahas Lio dikenal dengan istilah bhaku, berupa peti batu yang berisi tulang belulang dari para leluhur/nenek moyang, para pahlawan, para pendiri tanah persekutuan, makam dan batu nisan para tetua adat ini (musalaki, riabewa) berada di sekeliling kedakanga.
C. Penutup
Peneliti, khususnya peneliti BPSNT Bandung mempunyai tanggungjawab moral untuk ikut menjaga kelestariannya, mengkaji, menyebarluaskan keberadaan keberadaan Komunitas adat yang ada di wilayah kerjanya. Kontribusi peneliti terhadap keberadaan komunitas adat adalah berusaha mensosialisasikan keberadaan mereka dengan memberikan gambaran/deskripsi tentang kehidupan mereka, memfasilitasi kepentingan mereka dalam memperjuangkan keberadaan mereka, melalui tulisan-tulisan hasil penelitian. Salah satunya adalah mengusulkan mereka menjadi warisan dunia (world heritage) ke UNESCO, misalnya saja Taman Nasional Way Kambas, tarian Melinting, Tarian Sigeh Penguten, Komunitas Adat Lio yang tidak terpisahkan dengan Kelimutu.
Komunitas adat ibaratnya merupakan benteng terakhir dalam pelestarian lingkungan alam, merupakan penjaga lingkungan alam yang konsisten, tidak tergoyahkan oleh kaum kapitalis. Meskipun hal tersebut merupakan pekerjaan yang sangat berat, penuh tantangan, serta membutuhkan ketekunan, ketabahan, dan keberanian.
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat, dkk. Masyarakat Terasing di Indonesia. Gramedia Pustaka utama. Jakarta. 1993.
Yuniarti, Fandri, dkk (editor). Ekspediai Tanah Papua. KOMPAS. Jakarta. 2007.
Saifuddin, Achmad Fedyani. Antropologi Kontemporer, Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2006.
Anwar, Syaiful. Naskah Seni tari Lampung Pesisir Daerah Lampung. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Pusat Pengembangan Kebudayaan Lampung. Bandar Lampung. 1979.
Syani, Abdul. Kebudayaan Daerah Setempat Sangat Berarti Bagi Pembentukan Jatidiri Bangsa. Makalah, disampaikan dalam forum Penyuluhan Kebudayaan Daerah Lampung dalam rangka Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Daerah Lampung, di Balai Penataran Guru. Bandar Lampung. 1996.
Syani, Abdul. Peranan Pemimpin Formal dan Nonformal bagi Pengembangan Kebudayaan Nasional. Makalah, Penyuluhan Budaya, di Balai Penataran Guru. Bandar Lampung. 1997.
Orinbao, P. Sareng. Tata Berladang Tradisional dan Pertanian Rasional Suku Bangsa Lio. Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero. Nita- - Flores. 1992.
Sumber:
Makalah disampaikan dalam Kegiatan "Festival Komunitas Adat" yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung tanggal 13 Juli 2010 di Sumedang