WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Ubrug, Teater Tradisional Khas Masyarakat Banten

Oleh Yudi Putu Satriadi

Apakah Ubrug ?
Masyarakat diluar Banten akan asing mendengar istilah Ubrug, apalagi jika Ubrug dikaitkan dengan nama sebuah kesenian khas daerah tertentu. Untuk mulai berkenalan dengan kata tersebut, penulis jelaskan bahwa Ubrug adalah seni teater tradisional khas milik masyarakat Banten.

Untuk sampai pada pemahaman Ubrug secara menyeluruh kita lihat mengapa kesenian tersebut disebut Ubrug. Beberapa pendapat terlontar tentang Ubrug. Kata Ubrug berarti sebagai bangunan darurat, tempat bekerja sementara untuk beberapa hari saja, misalnya untuk kepentingan hajatan atau pesta. Pendapat ini diasumsikan mungkin karena pada masa lalu pemain Ubrug suka berpindah-pindah tempat dan membuat bangunan sementara manakala mereka mengadakan pertunjukan.

Kemungkinan lain nama Seni Ubrug muncul akibat onomatopea “brug”. Dalam Kesenian Ubrug, suara gendang yang mengeluarkan bunyi : brug … brug… brug, sangat dominan dan terdengar keras. Bahkan dari jarak jauh pun bisa terdengar sayup-sayup : brug …. brug, mengalahkan suara alat musik lainnya.

Lain halnya dengan pendapat Mutia Kasim (dalam Walidat, 1997), yang menyebutkan bahwa ubrug diambil dari kata sagebrug. Dalam pertunjukan Ubrug, semua pemain, baik laki-laki maupun perempuan, tua muda, beserta para penonton sama-sama menempati satu tempat pertunjukan atau sagebrug (bahasa Sunda).

Pendapat lainnya dari seorang pelaku kesenian ini, bahwa kata Ubrug dipakai karena para pemaun kesenian ini sering pulang usai mentas pada dini hari. Mata yang berat karena kantuk serta badan yang penat sehabis perjalanan jauh, menyebabkan mereka tertidur tanpa aturan, sagebrug antara pemain laki-laki, perempuan, tua, muda dan nayaga. Terlepas dari pendapat-pendapat tersebut mengenai asal kata tersebut, kini, orang-orang akan langsung menujukan pikirannya kepada seni pentas semacam sandiwara yang berasal dari daerah Banten yang diiringi dengan iringan waditra.

Kesenian Ubrug memadukan unsur komedi, gerak/tari, musik, sastra (lakon), dengan pola permainan longgar. Pada dasarnya kesenian Ubrug terbagi atas empat bagian/babak yang istilahnya bisa jadi agak berbeda untuk beberapa wilayah di Banten. Salah satunya adalah pembagian babak dengan istilah tatalu, nandung, bodoran, dan lalakon. Tatalu berasal dari kata talu yang artinya tabeuh, yaitu permainan instrumentalia atau gendingan sebelum pertunjukan dimulai, tatalu dimaksudkan untuk mengumpulkan penonton. Nandung, adalah menarikan tarian sambil mengeluarkan kata-kata (lagu) nandung. Bodoran ‘lawakan’ yakni menampilkan tokoh “pelawak”. Tokoh ini menjadi ikon grup yang bersangkutan dan karenanya nama panggung alias julukan tokoh pelawak yang bersangkutan sekaligus menjadi nama grup. Lalakon, merupakan inti pementasan, yakni membawakan cerita sesuai judul. Judul yang dibawakan terlebih dahulu dimusyawarahkan oleh para aktornya sesaat sebelum pentas. Tujuan atau target lalakon tidak lain penonton bisa terhibur dan memahami jalan cerita yang dibawakan.

Dalam perkembangannya, pementasan ubrug saat ini sering tidak sesuai pakem. Artinya, pementasan Ubrug dapat menghilangkan satu bagian pementasan dan dapat pula diselipi musik modern untuk lebih menyesuaikan pada keinginan penonton. Hal ini merupakan salah satu cara agar kesenian Ubrug tetap diminati. Dengan cara ini, konon grup-grup Ubrug mampu menjaga kapasitas jumlah penonton dan bahkan mampu menambah jumlah pementasan.

Musik Pengiring
Pertunjukan Ubrug tidak dapat dilepaskan dari musik pengiring atau waditra karena pengantar bahkan pengatur laku dari pemain diarahkan oleh dalang yang memegang kendang. Dengan musik pula penekanan pada suasana tertentu menjadi lebih kena.

Selintas, waditra yang mengiringi penampilan Ubrug sama dengan pengiring pada pertunjukan wayang golek. Waditra atau perlatan yang mengiringi Ubrug terdiri atas kendang indung (gendang besar) dan dua buah kulanter ( gendang kecil); dua buah saron; sebuah gambang, rebab, goong, dan kecrek. Di antara waditra tersebut, gambang paling memperlihatkan ciri waditra wayang golek. Peralatan yang paling sulit dikuasai adalah rebab. Menurut para pemain, rebab merupakan peralatan yang memainkannya mengandalkan unsur perasaan. Tidak mengherankan jika pemain rebab sangat sulit diperoleh, begitu juga dengan regenerasinya.

Persiapan Pementasan Ubrug
Sebuah pementasan Kesenian Ubrug tidak dapat dilepaskan dari persiapan yang harus dilakukan sebelum pementasan. Persiapan yang dilakukan sangat berpengaruh kepada kelancaran pementasan.

Persiapan yang yang mendukung pementasan Ubrug telah dilakukan sehari menjelang pertunjukan. Persiapan yang dilakukan sehari sebelum pertunjukan adalah mendirikan panggung beserta dekorasinya, sedangkan persiapan yang dilakukan pada siang hari menjelang pertunjukan adalah pemasangan sound system dan perangkat gamelan. Kedua peralatan tersebut harus dipersiapkan sejak siang hari karena akan digunakan untuk pementasan Jaipongan dan lagu-lagu yang diiringi oleh organ tunggal yang digelar secara bergantian dari siang hingga malam hari.

Setelah Magrib, persiapan yang menjurus ke arah pementasan Ubrug baru dilaksanakan. Sesaji mulai diberi doa disertai pembakaran kemenyan; para penari wanita berdandan; para pemain mulai berembug untuk menentukan cerita. Sesaji yang telah lengkap ditempatkan di dekat gong, selanjutnya orang yang telah biasa berdoa melaksanakan tugasnya. Bersamaan dengan itu, di atas panggung di belakang layar para penari wanita, beberapa di antaranya akan bermain Ubrug berdandan dan berias. Pemain pria tampak lebih santai dibandingkan dengan pemain wanita. Mereka tidak perlu berias melebihi pemain wanita dan dapat berias dan berganti kostum mendekati waktu tampil. Oleh sebab itu, pemain pria biasanya mengisi waktu dengan berbincang-bincang mengenai lakon yang akan dibawakan. Dalam perbincangan tersebut terjadi pembagian peran serta garis besar dialog dan laku yang harus dikerjakan. Rembugan tidak pernah lama karena lakon yang akan dibawakan merupakan lakon ulangan yang sudah beberapa kali dipentaskan. Mereka sudah hafal betul akan peran dan dialog yang harus dikerjakan.

Terdapat ritual/upacara yang dilakukan pada saat setelah Magrib. Upacara tersebut berupa pembakaran kemenyan di dekat sesaji yang telah ditempatkan sejak siang hari. Pada upacara tersebut, orang yang telah biasa melakukan upacara akan melakukan doa kepada Tuhan dan para wali serta leluhur yang telah meninggal. Isi doa di antaranya berupa pengutaraan maksud keramaian serta permohonan agar acara berjalan lancar sampai akhir dan para pemain selamat dari berbagai gangguan.

Sesaji merupakan perangkat atau barang kelengkapan upacara yang dianggap sakral. Kesakralan tersebut terdapat dalam hal penempatan sesaji, kelengkapan sesaji, dan orang yang berdoa di hadapan sesaji. Sesaji harus ditempatkan di antara dua gong tidak boleh ditempatkan di sembarang tempat. Kelengkapan sesaji harus terdiri atas, kopi pahit dan kopi manis, rokok dua batang, beras putih, tujuh macam bunga, panggang ayam yang dapat digantikan oleh ayam hidup. Jika kelengkapan tersebut tidak utuh, pendoa tidak berani memaksakan berdoa. Dia akan meminta orang yang punya hajat untuk melengkapi sesaji sesuai dengan ketantuan. Pendoa merupakan orang yang biasa melakukan tidak boleh digantikan oleh orang lain. Orang tersebut telah dinilai mampu membacakan doa serta mantera.

Jika terdapat tata cara dalam hal sesaji maka akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan misalnya pementasan terhambat karena pemain tidak lancar berperan; pemain mendapat kecelakaan yang diakibatkan oleh berbagai penyebab; atau kejadian lain yang tidak dikehendaki. Konon jika panggang ayam digantikan oleh ayam hidup, ayam hidup tersebut tidak akan bertahan lama hidup karena sebenarnya nyawa ayam tersebut telah diambil oleh yang gaib.

Peralatan yang berupa perangkat gamelan dan peralatan pendukung lainnya tidak perlu dipersiapkan secara khusus. Gamelan telah dipersiapkan sejak siang hari karena akan digunakan untuk pertunjukan Jaipongan. Peralatan pendukung seperti kursi disediakan secara mendadak karena mudah disediakan. Jika dipasang dari awal akan mengganggu pementasan Jaipongan dan pementasan nyanyian.

Jalannya Pertunjukan
Waktu pertunjukan atau pementasan Ubrug dilaksanakan setelah lewat tengah malam lebih kurang pukul 00.30 hingga dini hari. Pementasan Ubrug dimulai setelah selesai pertunjukan Jaipongan dan lagu-lagu.

Pertunjukan Ubrug diawali dengan instrumentalia musik. Nada yang dimunculkan oleh alat musik itu disebut tatalu. Maksud dari bunyi-bunyian ini adalah untuk memanggil dan memberitahukan bahwa pementasan Ubrug akan dimulai. Durasi tatalu tidak begitu lama hanya sekitar sepuluh menit dan mereka tidak perlu menunggu penonton datang seluruhnya.

Selesai tatalu musik berubah menjadi musik pengiring untuk membuka acara. Pada saat itu, dalang yang memegang kendang, memberikan pengantar mengenai lakon yang akan dibawakan oleh kelompok Ubrug. Ketika musik pembukaan berlangsung masuklah seorang pemain yang membawakan gerakan tari dan monolog yang lucu. Ucapan pemain tersebut tidak selamanya monolog, sesekali terjadi juga dialog antara pemain tersebut dengan dalang atau dengan nayaga. Pada tahap ini yang tampil adalah bodor andalan yang sangat disenangi oleh penonton. Terkadang saking lucunya, pemain ini menghabiskan waktu cukup lama untuk berperan. Selain menampilkan lawakan yang menyegarkan, tokoh ini terkadang melakukan monolog yang menjadi pemancing cerita.

Tahapan selanjutnya adalah tahapan preposisi. Pada tahapan ini akan dikenalkan tokoh-tokoh. Identitas tokoh dapat diketahui dari pakaian yang dikenakan, nama panggilan, atau bahkan dipertegas oleh pengakuan yang keluar dari mulut pemain tersebut. Para tokoh memperkenalkan peran satu per satu. Cara mereka keluar untuk mengenalkan dirinya, mereka keluar dari sebelah kiri di balik layar dan keluar dengan cara masuk kembali ke belakang layar melalui celah sebelah kanan layar. Dalam memperkenalkan diri, seorang pemain dapat melakukan monolog atau berdialog dengan dalang. Dengan demikian perkenalan menjadi lengkap dan jenis situasi yang sedang dialami oleh sang tokoh menjadi jelas. Pada tahapan ini pun tergambar karakter antagonis dan protogonis. Setelah semua pemain memperkenalkan diri, terdapat jeda. Jeda diisi dengan musik selingan dan dalang memberi pengantar tentang cerita yang akan berlangsung pada tahapan berikutnya.

Pada tahapan selanjutnya yang dapat disebut sebagai tahapan konflik atau tahapan puncak, semua tokoh dengan karakter masing-masing mulai melakukan interaksi, termasuk bodor andalan yang telah tampil di muka. Pada tahapan ini mulai terlihat arah alur cerita karena para pemain atau tokoh dengan karakternya masing-masing mulai berinteraksi. Tokoh yang berkarakter protogonis mulai bertentangan dengan tokoh antagonis. Pada tahapan ini alur cerita atau plot merupakan jalan cerita yang paling panjang. Pada tahapan ini pula puncak kelucuan akan muncul karena semua tokoh dengan berbagai karakter muncul menjadi satu. Pada tahapan ini inti permasalahan mulai terkuak dan arah penyelesaian cerita mulai terlihat.

Tahapan selanjutnya adalah tahapan resolusi. Tahapan ini merupakan tahapan penyelesaian masalah. Penyelesaian masalah ditandai dengan munculnya tokoh yang berkarakter trigonis. Tokoh ini akan menengahi konflik yang terjadi antara tokoh yang berkarakter protogonis dan antagonis. Tokoh yang berkarakter trigonis akan menggiring semua tokoh ke arah penyelesaian alur cerita. Akhir cerita ditandai dengan satu pemenangan pada salah satu tokoh. Biasanya tokoh yang dimenangkan adalah tokoh yang berkarakter protogonis. Cara ini dimaksudkan untuk memberikan aspek moral yang baik serta tidak mengajarkan kesan buruk pada penonton.

Pada seluruh alur cerita, dari awal hingga akhir kisah peran dalang sangat menonjol untuk mengatur jalan cerita. Pengaturan jalan cerita tidak langsung sebagai sebuah instruksi melainkan disampaikan melalui dialog dengan para tokoh, dan para tokoh akan bertindak sesuai dengan perintah yang terdapat dalam dialog antara dalang dengan dirinya.

Selain dalang, para nayaga cukup berperan penting dalam mendukung jalan cerita. Dukungan mereka berupa penciptaan warna musik yang sesuai dengan situasi yang terjadi. Mereka akan menabuh atau memainkan alat musiknya dengan melihat adegan yang terjadi. Sebagai contoh ketiga adegan berlangsung seru, semua alat musik akan ditabuh riuh, sebaliknya jika situasi adegan lirih atau memilukan, alat musik rebab sangat menonjol. Jadi, dalam satu pementasan kesenian Ubrug terjadi harmonisasi tiga komponen, yaitu kelompok pemain, dalang, dan nayaga termasuk sinden. Pembentukan harmonisasi dari ketiga komponen tersebut terjadi karena seringnya mereka bermain bersama dan masing-masing pemain telah mengerti akan tugas yang harus dilakukannya.

Menjelang akhir penampilan musik pengirim menurunkan tempo gamelannya. Sebelum dalang berbicara untuk menutup acara, para pemain keluar dari belakang layar dan selanjutnya membuat barisan di atas panggung sambil menghadap ke arah penonton. Dalang menutup acara pergelaran dengan mengatakan kesimpulan cerita sambil meminta maaf kepada seluruh penonton jika terdapat kata-kata yang tidak berkenan, diikuti oleh para pemain yang memberikan penghormatan dengan cara membungkukan badan.

Tahapan-tahapan tersebut sekalipun bukan merupakan aturan yang secara tegas diterapkan, namun seluruh pemain terutama dalang memiliki keyakinan bahwa tahapan-tahapan tersebut akan memuluskan jalan cerita serta penonton akan dengan mudah menikmati pertunjukan.

Dalam setiap pergelaran, pada tema atau judul yang berbeda, pemain yang ditampilkan dengan peran berbeda pula, tergantung kepada tokoh yang harus diperankan oleh pemain. Tanpa disadari setiap pemain memiliki kekhususan untuk memerankan satu atau dua orang tokoh. Pemain yang tidak pernah berganti adalah pemain yang masuk ke dalam arena pertunjukan sebagai pembuka pergelaran. Pemain ini dituntut untuk bisa ngigel dengan gerakan lucu dan dialog yang lucu. Kemampuan ngigel yang lucu adalah memadukan gerak seluruh anggota badan dengan musik pengiring. Dialog atau monolog yang lucu adalah ucapan yang mengundang gelak tawa penonton. Kalimat yang diucapkan bisa berasal dari kata-kata yang dipelesetkan atau mengambil kata-kata yang sedang popular yang diucapkan menggunakan logat daerah, dan lain sebagainya. Mengingat kemampuan yang diperlukan untuk pemain ini sangat banyak dan memerlukan keterampilan khusus, maka pemain ini tidak dapat digantikan oleh pemain lain. Lagi pula pemain ini dijadikan primadona oleh perkumpulan Ubrug, penonton menyenangi dia karena sosoknya sebagai orang lucu yang dapat menghibur.

Pembentukan karakter pemain lainnya terbentuk karena seringnya seorang pemain memainkan satu peran. Seringnya memainkan peran tersebut karena tingkah laku dan ucapan pemain tersebut telah sesuai dengan karakter seseorang. Contohnya seorang pemain yang berperan sebagai juragan, akan dipakai terus sebagai pemain yang berperan sebagai juragan karena ucapan dan tingkah lakunya sebagaimana seorang juragan. Contoh lain peran anak, akan dimainkan oleh pemain yang memiliki ukuran tubuh seperti anak-anak. Peran ini dipercayakan kepadanya karena baik ucapan dan tingkah lakunya sebagaimana layaknya seorang anak. Para pemeran yang sudah terbentuk untuk memerankan satu tokoh, sulit untuk memerankan tokoh lain. Resiko dari penentuan peran tersebut, seorang pemain tidak akan digunakan apabila dalam lakon tidak terdapat tokoh tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1977, Makalah, Pekan Teater Tradisional bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta.

Mutia Kasim 1977 “Walidat” Jakarta

Mahdiduri dan Yadi Ahyadi. 2010 Ubrug Tontonan dan Tuntunan, dan Tuntunan, Dinas Pendidikan Provinsi Banten bekerja sama dengan Lembaga Keilmuan dan Kebudayaan. Nimus Institute.

Mustappa Abdullah. 2000 Ensiklopedi Sunda, Jakata,: Pustaka Jaya

R. Satjadibrata, 1954, Kamus Basa Sunda, Kementerian PPdan K, Jakarta

Srijono Sispardjo, 1978, Buletin “KAWIT’ No. 20.V.II: Desember, Kebudayaan Jawa Barat

Sumber: Makalah disampaikan dalam Kegiatan Penayangan Film dan Diskusi Kebudayaan di Purwakarta 14 September 2013

Upacara Ngarot (Indramayu)

Menurut sejarah, upacara Ngarot adalah berasal dari seorang tokoh bernama Kapol, seorang saudagar kaya raya dan senang menyelenggarakan pesta untuk muda-mudi. Karena tidak memiliki keturunan, sswah yang sangat luas diserahkan pada pemerintah dengan syarat pesta muda-mudi tetap dilakukan. Seusai pesta, para muda-mudi ini juga menggarap lahannya dan ternyata hasilnya berlimpah. Istilah ngarot dari bahasa Sunda leles yang berarti minum, atau makan minum (pesta). Dalam perkembangannya, upacara ngarot diikuti para remaja putri yang berdandan cantik agar menarik perhatian jejaka. Pada akhirnya menjadi ajang untuk mencari jodoh.

Upacara Ngarot adalah upacara muda-mudi, dimana para pemudi berdandan agar menarik lawan jenis (cari jodoh). Tujuan upacara ngarot adalah mempersatukan para pemuda desa Lelea dan juga menanamkan rasa cinta pemuda pemudi agar cinta bertani (bersawah). Waktu upacara ngarot pada Triwulan terakhir yang jatuh antara bulan Oktober hingga Desember. Hari yang digunakan selalu hari Rabu, yakni hari datangnya Prabu Lelea ke daerah ini. Dilaksanakan sehari semalam dari pukul 09.00 hingga pukul 14.00 dan dilanjutkan kembali pukul 20.00 hingga pukul 3.00 dini hari. Tempat pelaksanaan di Bale Desa dan Balai Adat (rumah Kapol almarhum). Penyelenggara adalah para pamong desa yakni kuwu dan sesepuh desa dan tokoh pemuda.

Prosesi upacara dimulai dari berkumpulnya para bujang dan gadis pada pagi hari sekitar pukul 08.00 dengan mengenakan pakaian khusus upacara. Lalu mereka diarak oleh para pamong desa dan sesepuh serta diiringi kesenian reog menuju rumah kuwu. Mereka disambut dengan kesenian Jidur dan Ubrg. Pukul 10.00, arak-arakan berangkat menuju ke Balai Desa dengan terlebih dahulu berkeliling kampung. Arak-arakan terdiri dari para ibu-ibu pamong desa, pemuda pemudi, dan kesenian Jidur. Tiba di Bale Desa, para gadis dan rombongan duduk sambil menyaksikan kesenian tersebut, khususnya menyaksikan bujang yang sedang menari ronggeng. Para penari memberi nasi tumpeng sebagai lambang kesuburan. Acara berlangsung sampai malam hari dan keesokan harinya melakukan durungan yakni meratakan tanah sawah agar bisa ditanami.

Jejak Tradisi Budaya Lampung

Pendalaman akan seni Budaya Lampung dilakukan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat di Provinsi Lampung dengan melakukan Penggalian Seni Budaya Lampung di Kelurahan Negeri Olok Gading Teluk Betung Barat yang diikuti peserta sebanyak 160 orang terdiri dari Peserta Pelajar Jawa Barat, Provinsi banten dan Lampung yang didampingi oleh para Pembina sekolahnya.

Berbagai materi seni budaya di disajikan dan paparkan oleh nara sumber asal negeri Olok Gading, diantaranya materi tentang Prosesi Kelahiran / Marhabanan pemberian nama dan Gelar, prosesi Parkawinan adat ( Begawi adat ) , Prosesi Pemberian Gelar ( Adok ) keturunan Kebandaran Teluk Betung dan tamu yang dihormati, penyampaian Silsilah Kebandaran sai bathin , proses Tarian Bedana dan tari Sembah ( Sigekh Pengunten ). para pemateri menyampaikan paparan dihadapan peserta yang dibagi menjadi beberapa kelompok yang selanjutnya di peragakan bersama-sama oleh para peserta dengan melakukan gerakan tari bedana.

BPNB Jawa barat bukan saja mendalami tari sembah dan Bedana tetapi juga melakukan praktek pembuatan anyaman dengan berbagai ornament dan bentuk karya anyaman di mesium Lampung seusai menyaksikan berbagai peninggalan adat istiadat daerah Lampung. Hal ini dilakukan BPNB Jawa Barat bertujuan untuk melestarikan sekaligus menjadikan asset sejarah sebagai Warisan Tak Benda yang akan di usulkan ke Unesco .

Salah Seorang pemateri Tari Sigekh Penguten yang akrab disapa Mas Harry dalam keteranganya mengatakan Tari sembah yang di sajikan merupakan hasil rumusan dan kesepakatan pera seniman Lampung dalam menetapkan nama dan ragam gerak serta music tabuhannya secara baku dan telah terdokumentasi baik seara literature maupun visulnya, bahwa tari sembah ( Sigekh penguten) yang telah dibakukan tidak boleh dikembangkan dalam garapan diluar dari vacem yang ada, namun seluruh ragam geraknya bisa saja diadopsi dalam karya garapan tari kreasi lampung yang tidak megunanakan judul tari sigekh pengunten atau tari sembah. Jadi jika ada yang menyajikan tari sembah garapan baru kan jadinya lucu, karena tari sembah ( Sigekh Pengunten ) yang sudah dibakukan ini sudah punya hak paten dan akan dilakukan pengakuan secara international oleh Unesco. ( Hermansyah.GA).

Jetrada BPNB Jabar 2017, Menelaah Tradisi dan Ekspresi Budaya Masyarakat Lampung (Bagian 2)

Sejumlah perempuan muda tengah menari di depan Lamban Dalom Rumah Adat Kebandaran Marga Balak Lampung Pesisir, Bandar Lampung, Jumat (5/5/2017). Di pagi yang cerah itu mereka menampilkan Tari Siger Pengunten untuk menyambut rombongan Jejak Tradisi Daerah Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat (Jetrada BPNB Jabar) 2017 yang berkunjung ke Masyarakat Negeri Olok Gading, Kecamatan Teluk Betung Barat.

Apa yang dilakukan di sana? Ya, tentu saja hendak Mengenal Tradisi dan Ekspresi Budaya Masyarakat Lampung dari banyak aspek.

Mewakili tokoh atau sepuh adat, rombongan diterima secara adat oleh Saibatin Penyimbang Adat Negeri Olok Gading H Zainudin Hasan bergelar Karya Bangsa Ratu dan Johan Purpa Syahputa bergelar Pangeran Jaya Negara. Acara penyambutan dan ramah tamah digelar di Lamban Dalom. Tak lama memang acara itu berlangsung. Namun penyambutan dan penerimaan dari tuan rumah begitu hangat dan penuh kekeluargaan.

Selanjutnya, para peserta melakukan kajian atau meneliti sesuai dengan fokus telaah kelompok masing-masing. Peserta siswa nampak demikian antusias menggali informasi seperti melakukan wawancara dan tanya jawab. Dalam proses itu, masing-masing kelompok dipandu narasumber masyarakat adat setempat. Salah satunya Diandra Natakembahang—adoq batin budaya marga, yang memaparkan perihal arsitektur Lamban Dalom.

Menurut dia, rumah adat Lampung atau lamban secara umum berbentuk panggung dengan bagian ruangan tertentu yang punya sebutan dan fungsi masing-masing. Diandra memaparkan, tipikal rumah adat lampung pada dasarnya diklasifikasikan berdasarkan hierarki seseorang di dalam adat, yaitu kediaman dari kepala adat Saibatin dan Penyimbang atau kediaman warga dan masyarakat adat lainnya.

Lamban Dalom yang dikunjungi rombongan peserta adalah bangunan tradisional yang dibuat Ibrahim Gelar Pemuka ketika dia mendirikan Kampung Negeri. Bangunan terbuat dari kayu dengan siger besar di atasnya. Dalam proses penggalian data di lapangan, nampak peserta di setiap kelompok aktif dan antusias.

Seperti halnya Feriyanto, Siswa SMAN 1 Kasui, Lampung. Meski dia penduduk Lampung, tetapi berkunjung ke Lamban Dalom Rumah Adat Kebandaran Marga Balak Lampung Pesisir, Bandar Lampung, baru kali pertama saat Jetrada ini.

Dia pun memberi kesan. “Dapat kesempatan ikut Jetrada tentu senang ya. Banyak hal yang kami tahu seperti sejarah rumah adat Lamban Dalom dan mengenal arstekturnya. Selain itu saya dapat bertemu banyak teman dari berbagai daerah,” kata Feriyanto, anggota kelompok 7 yang khusus mengkaji Sistem Teknologi Tradisional dengan fokus telaah pada arsitektur Lamban Dalom.

Selain kajian Sistem Teknologi Tradisional, ada pula kelompok yang mengkaji perihal Sistem Kemasyarakatan atau Organisasi Sosial dengan fokus telah sistem kepemimpinan, Religi dan Sistem Kepercayaan dengan fokus telaah upacara penobatan penyimbang adat, Kesenian dengan fokus telaah Tari Bedana, dan Sistem Pengetahuan dengan fokus telaah pengobatan tradisional.

Kemudian, ada juga kelompok yang meneliti Religi dan Sistem Kepercayaan dengan fokus telaah upacara kehamilan, kelahiran, khitan, perkawinan dan kematian. Kajian lainnya adalah kesenian dengan fokus telaah Tari Siger Penguten.

Kajian dan telaah budaya di Rumah Adat Kebandaran Marga Balak Lampung Pesisir berakhir hingga siang hari. Di akhir kegiatan sejumlah peserta bahkan berkesempatan turut menampilkan Tari Bedana—tarian adat Lampung yang menjadi fokus telaah salah satu kelompok peserta siswa. Kajian selanjutnya dilakukan di Museum Negeri Provinsi Lampung “Ruwa Jurai”. (IA/dtn)*

Jetrada BPNB Jabar 2017, Fokus Telaah Kegiatan di Negeri Olok Gading Bandar Lampung (Bagian 1)

Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat (BPNB Jabar) kembali mengadakan kegiatan rutin Jejak Tradisi Daerah (Jetrada). Tahun ini kegiatan diadakan di Bandar Lampung, 4-6 Mei 2017 lalu dengan tema “Mengenal Tradisi dan Ekspresi Budaya Masyarakat Lampung.”Fokus telaah kegiatan digelar di Negeri Olok Gading.

Jetrada BPNB Jabar 2017 diikuti sebanyak 150 peserta dari kalangan generasi muda yakni siswa Sekolah Menengah Atas atau sederajat yang berada di wilayah kerja BPNB Jabar yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan Lampung. Mereka yang juga turut dalam kegiatan tersebut adalah guru pendamping, pembimbing, dinas terkait dan pers.

Dalam sambutannya, Kepala BPNB Jabar Jumhari SS mengatakan, Jetrada 2017 diadakan untuk memperkenalkan salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia kepada generasi muda khususnya siswa SMA dan sederajat. “Tahun ini yang diperkenalkan khususnya budaya masyarakat Lampung yang ada di Kota Bandar Lampung. Harapannya kegiatan Jetrada ini juga dapat menumbuhkan pemahaman generasi muda tentang keanekaragaman budaya bangsa Indonesia yang punya kekhasan dan keunikan tersendiri,” papar Jumhari, Kamis (4/5/2017).

Dia menambahkan, dari 11 BPNB yang ada di Indonesia (Aceh hingga Papua), BPNB Jabar menekankan pengkajian pada budaya akulturasi. Secara nasional, yakni Jetranas yang rencananya akan digelar Agustus mendatang di Pontianak, perwakilan atau peserta terbaik Jetrada BPNB Jabar 2017 akan turut diikutsertakan.

Lebih jauh Jumhari mengatakan, kegiatan Jetrada BPNB Jabar 2017 adalah sebuah proses kegiatan belajar terutama bagi siswa perihal tradisi dan budaya secara langsung di lapangan. Kajian dan pengenalan hal tersebut tak lagi hanya dilakukan di dalam kelas.

Kegiatan hari pertama diisi dengan pemaparan tentang profil dan objek budaya Lampung yang disampaikan Hari Jayadiningrat dari Disdikbud Provinsi Lampung. Materi lainnya adalah penyuluhan narkoba yang disampaikan Kabid P2M BNN Provinsi Lampung Ahmad Alamsyah, serta profil BPNB Jabar yang dipaparkan langsung Kepala BPNB Jabar Jumhari SS.

Pelaksanaan kegiatan pada hari kedua, ada dua objek yang dikunjungi yaitu Masyarakat Negeri Olok Gading dan Museum Negeri Provinsi Lampung. Di Negeri Olok Gading, peserta dibagi dalam tujuh kelompok untuk menggali materi yang akan diteliti didampingi pembimbing. Setiap kelompok meneliti satu dari tujuh tema kajian yang telah disiapkan.

Dalam Jetrada 2017 ini, imbuh Jumhari, salah satu hal yang ingin dicapai adalah peserta dapat mengetahui dan memahami budaya masyarakat Lampung sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang majemuk.

Eka Mulyana, guru pembimbing dari MAN 1 Tasikmalaya menilai, kegiatan Jetrada memberi dampak positif yang luar biasa kepada peserta didik yang turut serta. “Para siswa begitu antusias mengikuti rangkaian agenda Jetrada. Apa yang mereka peroleh dari pembelajaran ini tentu saja pengetahuan baru yang tidak didapat di sekolah. Siswa langsung datang ke objek yang ditelaah, ini sangat bagus,” katanya. (IA/dtn)*

Jejak Tradisi dan Budaya Lampung Bersama BPNB Jabar di Negeri Olok Gading

Negeri Olok Gading di Bandar Lampung menjadi lokasi kegiatan Jejak Tradisi Daerah (Jetrada) tahun 2017 yang digelar Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat (BPNB Jabar). Kegiatan berlangsung selama tiga hari, Kamis-Sabtu (4-6/5/2017) dengan tajuk “Mengenal Tradisi dan Ekspresi Budaya Masyarakat Lampung.”

Kepala BPNB Jabar Jumhari SS mengatakan, Jetrada 2017 digelar untuk memperkenalkan salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia yakni tradisi dan budaya masyarakat Lampung khususnya kepada siswa. Diikuti sebanyak 150 peserta, seperti Jetrada sebelumnya, peserta yang turut terdiri dari peserta siswa dari berbagai daerah yang menjadi wilayah kerja BPNB Jabar, guru pembimbing, pendamping, dinas terkait dan pers.

“Lampung memiliki keanekaragaman budaya dengan kekhasan dan keunikan tersendiri. Diharapkan, Jetrada ini dapat menumbuhkan pemahaman generasi muda atau siswa sekolah akan nilai tradisi dan budaya masyarakat Lampung,” kata Jumhari SS. Belajar, imbuh dia, tak hanya dilakukan di sekolah tetapi juga dapat dilakukan di lapangan sehingga langsung mengenal objek budaya yang hendak ditelaah.

Di Negeri Olok Gading, tepatnya Lamban Dalom Rumah Adat Kebandaran Marga Balak Lampung Pesisir, Bandar Lampung, Jumat (5/5/2017) pagi hingga siang, peserta dibagi dalam tujuh kelompok untuk menggali materi dengan didampingi pembimbing. Setiap kelompok meneliti satu dari tujuh tema kajian yang telah disiapkan, dipandu narasumber masyarakat adat setempat.

Sebelum melakukan kajian, rombongan peserta Jetrada 2017 disambut tarian adat Tari Siger Pengunten. Rombongan diterima secara adat oleh Saibatin Penyimbang Adat Negeri Olok Gading H Zainudin Hasan bergelar Karya Bangsa Ratu dan Johan Purpa Syahputa bergelar Pangeran Jaya Negara. Acara ramah tamah digelar di Lamban Dalom.

Lamban Dalom yang dikunjungi rombongan peserta adalah bangunan tradisional yang dibuat Ibrahim Gelar Pemuka ketika dia mendirikan Kampung Negeri. Bangunan terbuat dari kayu dengan siger besar di atasnya. Lamban Dalom, dalam kegiatan Jetrada 2017, menjadi salah satu objek yang dikaji dengan fokus telaah arsitektur.

Dalam proses penggalian data di lapangan, nampak peserta di setiap kelompok aktif dan antusias. Ada lima materi yang dikaji dengan tujuh fokus telaah pada masing-masing kelompok. Materi tersebut adalah Sistem Teknologi Tradisional dengan fokus telaah pada arsitektur Lamban Dalom, Sistem Kemasyarakatan atau Organisasi Sosial dengan fokus telaah sistem kepemimpinan, dan Sistem Pengetahuan dengan fokus telaah pengobatan tradisional.

Materi Religi dan Sistem Kepercayaan dibagi dua fokus telaah dan dilakukan oleh dua kelompok yakni fokus telaah upacara penobatan penyimbang adat, dan fokus telaah upacara kehamilan, kelahiran, khitan, perkawinan dan kematian. Pun begitu dengan Kesenian. Ada dua fokus telaah yakni Tari Bedana dan Tari Siger Penguten.

Kajian dan telaah tradisi dan budaya di Rumah Adat Kebandaran Marga Balak Lampung Pesisir berakhir hingga siang hari. Sekira 2 jam para peserta menggali data lapangan di sana. Selain melakukan pencatatan, mereka pun berdiskusi dengan narasumber hingga wawancara guna beroleh data detail sebagai bahan pemulisan laporan. (IA)*

Festival Multikultur Tari Tradisional Dan Kreasi Nusantara Meriah

PONTIANAK – Festival Multikultur Tari Tradisional dan Tari Kreasi Nusantara melibatkan peserta dari BPNB se-Indonesia dilaksanakan pada 12 – 13 Mei 2017, bertempat di Area Rumah Radakng, Pontianak, Kalimantan Barat.

Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada kesempatan ini menjadi tuan rumah pada pelaksanaan Kegiatan

Instansi BPNB se-Indonesia tersebut terdiri dari 11 satuan kerja yang terbagi di seluruh Indonesia dengan per-wilayah kerja di masing-masing instansinya, antara lain; BPNB Aceh (Wilayah Kerja Aceh dan Sumatra Utara), BPNB Sumatra Barat (Wilayah Kerja Sumatra Barat, Bengkulu dan Sumatra Selatan), BPNB Kepulauan Riau (Wilayah Kerja Riau, Kepulauan Riau, Jambi dan Bangka Belitung), BPNB Jawa Barat (Jawa Barat dan Lampung), BPNB DI Yogyakarta (Wilayah Kerja D I Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur), BPNB Bali (Wilayah Kerja Bali, NTT, NTB), BPNB Sulawesi Selatan Wilayah Kerja Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara), BPNB Sulawesi Utara (Wilayah Kerja Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo), BPNB Maluku (Wilayah Kerja Maluku dan Maluku Utara), BPNB Papua (Wilayah Kerja Papua dan Papua Barat), dan BPNB Kalimantan Barat (Wilayah Kerja Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur).video tron

Kegiatan yang bertema ‘Harmoni dalam Kebhinekaan: Menjaga Ketahanan Budaya Bangsa Melalui Ekspresi Seni’ ini mempunyai beberapa tujuan, antara lain; 1) Untuk menggali kembali nilai-nilai budaya yang terkandung dalam Seni Budaya yang ada di bumi Indonesia tercinta ini; 2) Merekatkan sendi-sendi kebhinekaan melalui kegiatan berkesenian khusunya seni tari; 3) Memupuk rasa kebersamaan dalam rangka menuju kebersamaan dalam bingkai keberagaman.; 4) Sebagai strategi pembinaan dan pengembangan nilai budaya bagi masyarakat terlebih kepada generasi muda; dan 5) Untuk mengetahui hakekat dan fungsi Seni dalam kehidupan masyarakat. (gardo)

Kreativitas Musik dalam Tantangan Visual

Oleh Ismet Ruchimat

"The trouble with life is that, unlike movies, it doesn't have background music, we never know how we're suppose to feel"
Lewis Gardner, 1985

Saat mata terpejam, manusia masih mampu mendengar, saat menutup telinga, bunyi tetap menyisakan gema. Jauh sebelum kata atau isyarat memberi arti, bunyi mengkontekskan komunikasi fikiran dan batin dan pada intinya manusia tidak dapat berhenti mendengar.

Tulisan ini diawali pengalaman penulis saat diminta menjadi direktur musik oleh salah seorang sutradara di Toronto Canada untuk membuat musik film berjudul Chinlon: The Mystical Ball (2004), yaitu film dokumenter tentang olah raga tradisional Takraw pada masyarakat Burma di Myanmar.

Yang menarik dari peristiwa ini saat sang sutradara memilih saya menjadi komposer, sementara tampilan visual dan karakteristik film yang ada memiliki latar belakang budaya yang sama sekali berbeda. Pemikiran "kontradiktif" atas pilihan dan keputusan sang sutradara terhadap referensi musikan yang beradal dari luar lingkungan budaya musikan Burma tenti tidak dihasilkan dari subyektifitas keterikatan dia terhadap karya-karya saya selama ini. Namun realitas kreativitas nampak menjadi pertimbangan utama atas pilihan artistik sutradara. Di sini perlu upaya penyadaran bahwa sang sutradara tentu memiliki stereoskopik vision yang tajam dalam menentukan berbagai gagasan lisan yang kemudian tertuang menjadi aspek atau elemen musik.

Tantangan awal dari sang sutradara adalah memahami detail atau substansi visual yang ingin disampaikan. Kemudian pada ranah peristiwa sosial, pembacaan terhadap aspek dinamika kehidupan lokalitas masyarakat setempat menjadi benang merah secara keseluruhan. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah tampilan segmen musik lokal yang menjadi bagian integral dalam permainan sepak takraw tersebut.

Dari pengalaman dan tantangan ini kita menyadari bahwa tugas seorang komposer lebih memiliki keutamaan tanggung jawab dalam design bunyi saat menentukan konsep artistik film dari atmosfer aural dari seluruh produksi seni (film). Karena itu kemungkinan kreatifitas menjadi semu dan kenyataannya kreatifitas hanya bisa dikondisikan.

Pengalaman di atas akhirnya menuntun kita menjadi nominator film dokumenter terbaik pada festival film Toronto Canada tahun 2005. Kami menyadari bahwa hal ini merupakan hasil orientasi kreeatif dan pendekatan objektif dari tuntutan visual ke dalam bahasa bunyi.

Musik film memiliki keutamaan untuk menciptakan mood, sebuah komponen penting untuk merangsang respon penonton. Di samping itu musik film dapat mengkonflikan perasaan audience.

Secara khusus pengalaman di atas memberikan suatu wacana bahwa olah kreatif musik pada bentuk dokumentasi visual dapat dipahami melalui beberapa ciri-ciri sebagai berikut, yaitu:
1. Asmofirik
2. Reality show
3. Light tension
4. Wildlife
5. Background
6. War documentary
7. Dokudrama
8. International/ethnic
9. Science and technology

Model, jenis, atau perbedaan genre film dokumenter di atas merupakan basis umum dari pilihan pada keputusan-keputusan menentukan atau melakukan pendekatan elemen artistik musikan, baik sarana maupun prasarananya.

Dalam tradisi budaya Sunda yang cenderung memiliki landasan budaya folklorik, sifat keumuman golongan masyarakat etnik semacam ini bisa ditandai oleh dinamika musik masyarakat dengan berbagai varian irama

II
Dalam konteks tradisi, wujud atau bentuk kreativitas terbagi ke dalam hal sebagai berikut: sarana garap, materi garap, piranti garap, pertimbangan garap, penentu garap.

Sarana garap berhubungan dengan aspek-aspek fisik (instrument) musik. Materi garap merupakan substansi atau konvensi musik. Piranti garap tidak ubahnya seperti software. Pertimbangan garap adalah untuk menentukan tujuan garap. Sedangkan yang terakhir penentu garap memiliki fungsi menentukan sejauh mana karya itu dibuat serta untuk mengkaji sejauh mana kualitas kreatifitas kita memiliki respon masyarakat.

Dalam konteks kreativitas, garap musik film memiliki fungsi untuk:
1. Menentukan mood
2. Pemilihan musik sebagai pesona atau daya tarik
3. Menkonfidensi olah kreatif terhadap aspek-aspek bunyi atau musikal yang bersifat embien atau bahwa silence
4. Menciptakan tensi (pace) terhadap aspek tematik

Kreativitas musik adalah proses estetikasinasi bunyi atau suara dalam pengalaman indrawi seseorang, dan oleh karenanya besar kemungkinan tampilan wujud musik atau bunyi sangat dipengaruhi oleh sejauhmana kemampuan sang kreator menciptakan kondisi music atau bunyi pada pelbagai aspek sehingga substansi viasual menjadi lebih hidup.

III
Orientasi kreatif musik tidak selamanya menciptakan verbalitas musikal. Karena sebetulnya seorang penata suara/atau musik tidak terlalu tertuntut oleh adanya satu keharusan akan kemampuan (ability) musik secara praktis. Metoda semacam ini juga kerap dilakukan di berbagai negara. Umumnya metoda ini dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kedisiplinan hak cipta, jika seorang sutradara atau film editor melakukan pekerjaannya tanpa mengikutsertakan seorang composer atau arranger, maka kewenangan akan bergantung pada keputusan sutradara atau film editor.

Kita tahu bahkan harus bisa membedakan mana ngawawaas dan mana ngonsep. Saat kita tertantang untuk membuat klasifikasi dari sebuah genre sejarah misalnya, tentu hal ini membutuhkan riset secara detail untuk memahami aspek-aspek visual yang disampaikan secara diakronik. Karena dalam konteks sejarah musik juga berperan mengabsahkan suatu peristiwa dalam sebagai ilustrasi perjalanan waktu.

Konsep atau bentuk musik dokumenter yang memiliki latar kultural spesifik misalnya dengan mengambil setting pada pelbagai konteks solidaritas masyarakat adat sebaiknya mengacu pada kepentingan etik, estetik, dan pedagogik. Etik mengacu pada tingkat kehati-hatian dalam memilih tonalitas dan musikalitas, terutama masih mengacu pada kesatuan visual. Estetik mengambil moment natural dari segala aspek kultural. Pedagogik bertujuan memberi daya hidup pada substansi visual memiliki kadar kualitas informasi secara intelektual serta mengandung unsur edukasi yang besar.

Jangan takut silence--kepentingan untuk menghadirkan ruang berisikan aspek bunyi yang bersifat spacing atau bahkan tanpa menghadirkan suasana bunyi apapun merupakan bagian dari keputusan estetis. Pemahaman akan prinsip semacam ini terkadang memberi impresi yang kuat terhadap penguatan visual yang disampaikan. Saat Embi C Noor merancang berbagai karakter embiance pada film penghianatan G 30 PKI merupakan suatu keberhasilan sebagai seorang komposer. Bahkan baru-baru ini terdapat karya sutradara Garin Nugroho yang menyajikan film bisu berjudul "Setan Jawa" dengan komposer Rahayu Supanggah.

Umumnya konsep scoring untuk mengusung tema-tema music scifi masih belum banyak digeluti para komposer tanah air. Hal ini kemungkinan besar sangat berhubungan dengan berbagai kondisi kultural yang masih belum banyak menampilkan karakteristik visual yang memiliki tema semacam itu. Sehingga jarang dihadirkan atau dibuat film-film yang memberikan aspek cerita yang bersifat abstrak dengan kaidah absurditas melalui bantuan teknologi tinggi (science).

Keragaman tema sosial yang diangkat dalam film di Indonesia umumnya kerap lebih banyak ditampilkan lebih frekuentif dibanding tema visual yang bertemakan antropologis. Dengan begitu aspek musikan kerap ikut terdorong pada budaya musikan yang "populis" oleh karena dorongan industri film tanah air juga sangat berperan besar membentuk "habit" semacam ini. Oleh karena frekuensi kreatifitas seperti ini lebih banyak dan cenderung masiif, maka bentuk-bentuk musik lebih banyak diproduksi secara instant, salah satunya adalah sinetron.

Namun begitu elaborasi untuk menghadirkan suasana sosial dalam arti sebenarnya (reality show) masih belum menunjukkan makna edukatif dalam pengertian sosio musikal. Makna yang kerap terjadi dari konteks bermusik dalam dunia industri semacam ini lebih banyak menekankan bahwa aspek musikan selalu terdorong untuk mengilustrasikan objek penderita. Sebagai contoh ilustrasi potret kemiskinan masyarakat dan lain-lain.

Karena itu musik harus difahami dari aspek substansi kreatifitas dalam arti memiliki kandungan intelektual tinggi, dan oleh karena itu kedudukan seorang direktur musikal menempati posisi yang kurang lebih hampir sama dengan sutradara. Terlebih lagi apabila yang dihadirkannya dalam bentuk film musikal contohnya. Tentu hal ini membutuhkan banyak keputusan final dari sang komposer atau direktur musik. Bahkan tidak mengherankan film musikal memberi inspirasi ganda dalam proses kreativitasnya.

Daftar Pustaka
Andrew Hugill, Digital Musicians, Routledge Taylor & Francis Group, New York-London: 2007

Kathryn Kalinak, Music Film, A Very Short Introduction, Oxford Press, New York: 2010.

Rahayu Supanggah, Bothekan Garap Karawitan, The Rich of Interpretation in Javanese Gamelan Music, Isi Press in Collaboration with Garasi Seni Banawa Surakarta, Surakarta: 2011.

Sumber:
Makalah disampaikan dalam kegiatan Pembekalan Teknis Perekaman yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat tahun 2017

Festival Film Pendek dan Dokumenter 2017

Untuk melestarikan nilai-nilai budaya  maka Pemerintah Jawa Barat mengadakan festival Film Pendek dan Dokumenter tingkat SMA/SMK sederajat Se Jawa Barat.

Festival Film pendek bertujuan Memilih film dokumenter yang berkualitas. Dan tema dalam festival ini adalah “Citra Dewangga Keragaman Budaya dan Sejarah Jawa Barat”

Teknik pelaksanaan kegiatan yang dikemas dalam bentuk festival ini mensyaratkan setiap peserta untuk mengirimkan satu atau lebih film dokumenter berdurasi singkat hasil kreasi sendiri. Film-film yang difestivalkan dinilai oleh juri untuk menentukan pemenang.

Persyaratan Peserta adalah sebagai berikut :
  1. Peserta tidak dipungut biaya pendaftaran.
  2. Peserta wajib mengisi formulir pendaftaran dan persyaratan Festival Film Dokumenter BPNB Jabar 2017 yang dapat diunduh di sini.
  3. Peserta adalah pelajar kelas X dan XI Tingkat SMA/SMK/MA/sederajat se-Jawa Barat.
  4. Peserta merupakan sebuah tim terdiri dari tiga orang siswa berasal dari sekolah yang sama, serta mendapat persetujuan dari pihak sekolah dengan disertai surat pernyataan dan kesediaan dari guru pendamping.
  5. Melampirkan surat ijin dari kepala sekolah dan fotokopi kartu pelajar atau KTP.
  6. Peserta Wajib like/follow salah satu account social media BPNB Jabar (Facebook, Instagram, Twitter, Youtube).

Ketentuan Karya yang Harus di patuhi oleh Peserta adalah :
  1. Hak cipta karya ada pada peserta
  2. Film yang dibuat harus mencantumkan logo kemdikbud
  3. Film yang dikumpulkan merupakan film dokumenter, bukan film pendek fiksi
  4. Data film menggunakan format .avi, .mpg, .mov, atau .mp4 dengan resolusi HDV 1280 x 720
  5. Menyertakan sinopsis film, maksimal 200 kata.
  6. Durasi film dokumenter maksimal 30 menit.
  7. Film Dokumenter yang menggunakan bahasa selain Bahasa Indonesia wajib menyertakan subtitle.
  8. Sumber materi film seperti musik, scoring, footage, yang berasal dari hasil karya orang lain wajib mengikuti ketentuan yang berlaku agar tidak melanggar hak cipta.
  9. Segala gugatan terkait hak cipta di luar tanggung jawab panitia Festival Film Pendek dan Dokumenter BPNB Jawa Barat 2017.
Ketentuan Pengiriman yang harus di ketahui oleh peserta lomba yakni:
  1. Batas akhir penyerahan film dokumenter tanggal 31 Juli 2017 (cap pos).
  2. Peserta akan mendapat konfirmasi melalui e-mail jika film dokumenter beserta berkas kelengkapannya sudah diterima oleh panitia Festival Film Dokumenter BPNB jabar 2017.

Pengiriman berkas dapat dilakukan dengan menggunakan dua cara:

Secara Online :
  1. Data film Anda diunggah pada Dropbox, Google Drive, atau link lainnya dengan format
  2. nama datanya JUDUL_NAMA KETUA TIM
  3. Kirim link data film Anda ke email filmfest.bpnbjabar@gmail.com

Secara Offline :
  1. Data film di-burn ke dalam DVD (dalam format yang sudah ditetapkan) dengan ketentuan nama file adalah JUDUL_NAMA KETUA TIM
  2. Kirim DVD beserta Alamat pengiriman formulir, pernyataan, dll ke alamat Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat Jln. Cinambo No. 136 Ujungberung, Bandung – 40294
Ketentuan Pemenang:
Total hadiah yang diperebutkan berjumlah Rp. 36.000.000,00

Kriteria pemenang ditentukan dengan melakukan seleksi berdasarkan :
  1. Ide dan Kreativitas
  2. Substansi Sejarah dan Nilai Budaya Tradisional
  3. Teknik Pengambilan Film
  4. Teknik Penyampaian Cerita
  5. Kesesuaian Alur Cerita (Skenario)

Peringkat pemenang terdiri dari :
  1. Juara 1
  2. Juara 2
  3. Juara 3
  4. Pilihan Netizen (Like Youtube, Viewer Youtube Nominasi terbaik)

Pemenang pada peringkat Pilihan Netizen ditentukan dari jumlah Penonton terbanyak yang mencentang tanda Like di Youtube. Film yang masuk 10 Nominasi terbaik akan diunggah di kanal youtube resmi BPNB Jawa Barat untuk diikutsertakan pada kategori film pilihan Netizen.
Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat.

Demikianlah informasi tentang festival Film Pendek dan dokumenter tahun 2017. Lebih lengkapnya untuk informasi silahkan hubungi  Contact Person Andika (813-2829-9139), Rizki (0812-2250-5882) dan Titan (0896-5549-6544). Semoga Informasi ini bermanfaat.

Mengenali Kembali Permainan Tradisional Anak-Anak

Oleh: Rosyadi

I PENDAHULUAN
Wacana tentang kebudayaan lokal atau kebudayaan suku bangsa dewasa ini nampaknya tenggelam, tersisihkan oleh wanana-wacana yang lebih populer seperti wacana tentang dunia politik, ekonomi, dan hukum. Terbukti dengan sangat sedikitnya sosialisasi, publikasi, maupun tayangan-tayangan di media elektronik yang berani menampilkan wacana kebudayaan lokal ketimbang wacana politik, ekonomi, dan hukum. 

Keadaan ini terkait erat dengan kondisi budaya masyarakat dewasa ini yang lebih memunculkan konsep-konsep modernisasi, sehingga segala sesuatu yang berbau tradisi, adat-istiadat ataupun kebudayaan dipandang tidak bermutu, tidak rasional, dan jalan di tempat. Berbicara tentang adat istiadat seolah tidak lagi memberikan manfaat dan kontribusi bagi kemajuan, dan kehidupan di masa kini dan ke depan. Wacana tentang kebudayaan lokal pun akhirnya hanya bergulir di antara para pemerhati dan peminat kebudayaan saja, dan sangat kurang menarik fihak lain untuk ikut ambil bagian di dalamnya. Ironisnya, mereka yang peduli dengan kebudayaan lokal ini umumnya adalah yang termasuk golongan atau generasi tua, Sangat jarang generasi muda yang tertarik dan meminati kebudayaan lokal. Itulah fenomena kebudayaan yang kita dapati sekarang ini. 

Salah satu kegiatan yang perlu dilakukan dalam rangka upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan nasional adalah mensosialisasikan berbagai unsur kebudayaan lokal atau kebudayaan etnik yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu unsur kebudayaan yang hingga kini masih ada adalah permainan tradisional, atau lazim juga disebut permainan rakyat, yang merupakan bagian dari folklor. 

Menurut Alan Dundes, folklor memiliki ciri-ciri pengenal sebagai berikut:
a) penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan;
b) bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau standar, dan telah beredar sedikitnya selama dua generasi;
c) terdiri atas berbagai versi atau varian;
d) bersifat anonim;
e) biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola;
f) mempunyai kegunaan bagi kehidupan kolektif pendukungnya;
g) menjadi milik bersama kolektif tertentu;

Pada umumnya permainan tradisional sangat menonjolkan fungsi sosial. Ini dapat dilihat dari sifat-sifat permainan tradisional yang biasanya dilakukan di luar rumah atau di tempat terbuka dengan pelaku yang lebih dari satu orang. Demikian pula nilai-nilai sosialnya cukup menonjol, seperti nilai kerjasama, sportifitas, dan kompetitif. Karena sifatnya yang harus dimainkan di luar rumah, maka biasanya untuk melakukan permainan tradisional diperlukan halaman yang cukup luas atau tanah lapang. Dulu prasarana berupa tanah lapang ini masih cukup banyak tersedia. Namun kini, sejalan dengan perkembangan zaman dan pertambahan penduduk yang sangat pesat, mengakibatkan luas lahan yang tersedia untuk bermain menjadi semakin berkurang.

Hal lain yang mempengaruhi keberadaan permainan tradisional adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan iptek bukannya memperkokoh keberadaan permainan tradisional, akan tetapi sebaliknya malah semakin menyisihkan keberadan permainan tradisional. Kini permainan tradisional semakin jarang dikenali oleh anak-anak. Mereka, khususnya di daerah perkotaan memiliki jenis-jenis permainan baru melalui media komputer, dengan berbagai jenis gamesnya. Melalui jenis-jenis permainan baru ini, tanpa harus keluar rumah, dan tanpa harus ada teman, mereka bisa melakukan permainan di dalam rumah. 

Ada beberapa perbedaan yang sangat mendasar antara jenis-jenis permainan tradisional dengan permainan modern. Kalau permainan tradisional lebih menonjolkan nilai-nilai sosial, maka permainan modern lebih bersifat individualis, karena mereka tidak memerlukan teman bermain untuk melangsungkan permainan ini. Permasalahannya adalah dengan semakin terpinggirkannya permainan tradisional, akankah nilai-nilai sosial dan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam permainan tradisional ikut musnah? Hal ini pula yang melatarbelakangi pentingnya dilakukan kegiatan perekaman audio-visual mengenai permainan tradisional.

II ANEKA RAGAM PERMAINAN TRADISIONAL ANAK-ANAK
Dunia anak adalah dunia bermain. Tiada hari tanpa bermain, itulah dunia anak-anak. Anak-anak di Desa Banyuresmi - Kabupaten Garut mengenal beberapa jenis permainan tradisional, yang sekali-sekali masih mereka mainkan, seperti permainan panggal (gasing), egrang jajangkungan, egrang batok, perepet jengkol, rorodaan, gampar atau gagamparan, dan beberapa jenis permainan lainnya. Kendatipun permainan-permainan ini kini sudah tidak seperti dulu lagi, khususnya dalam hal intensitas permainannya, akan tetapi beberapa di antaranya masih suka dimainkan oleh anak-anak, sehingga permianan-permainan ini tidak sampai musnah. Kondisi ini adalah berkat inisiatif dan kreatifitas para orang tua yang menghendaki agar permianan tradisional anak-anak yang dulu mereka gemari tidak sampai hilang. Atas dasar pemikiran itu, para orang tua membentuk suatu komunitas yang khusus melestarikan permainan tradisional. 

Selanjutnya, yang juga mendukung upaya pelestarian permainan tradisional ini adalah penyelenggaraan lomba dan festival permainan anak-anak yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, yang dikenal dengan event “Alimpaido”. Pemerintah Daerah Kabupaten Garut sendiri cukup rajin menyelenggarakan event-event semacam ini. Kerjasama yang baik antara masyarakat, budayawan dan pemerintah daerah inilah yang turut mendukung lestarinya permainan tradisional anak-anak di Garut.

1. Permainan Egrang
Egrang atau jajangkungan, yaitu sebuah permainan berjalan menggunakan alat yang terbuat dari bambu. Istilah “egrang “ di samping nama sebutan sebuah permainan, juga sekaligus nama alat yang digunakan untuk permainan tersebut.

Pemain
Permainan egrang dapat dikategorikan sebagai permainan anak-anak. Pada umumnya permainan ini dilakukan oleh anak laki-laki maupun perempuan yang berusia 7- 13 tahun. Permainan egrang kerap diperlombakan. Jenis perlombaannya adalah adu kecepatan dengan melintasi rintangan yang menyerupai jembatan terbuat dari bambu. Peserta perlombaan biasanya adalah anak-anak yang berusia antara 7 - 13 tahun, dengan jumlah pemain 2 - 5 orang.

Tempat dan Peralatan Permainan
Untuk melakukan permainan egrang, tidak dibutuhkan tempat atau lapangan yang khusus, karena permainan ini dapat dimainkan di mana saja seperti di tepi pantai, di tanah lapang atau pun di jalan. 

Peralatan yang digunakan adalah dua batang bambu yang relatif lurus dan sudah tua dengan panjang masing-masing antara 2 - 3 meter. Cara membuatnya adalah sebagai berikut. Mula-mula bambu dipotong menjadi dua bagian yang panjangnya masing-masing sekitar 2 - 3 meter. Setelah itu, dipotong lagi bambu yang lain menjadi dua bagian dengan ukuran masing-masing sekitar 20-30 cm untuk dijadikan pijakan kaki. Selanjutnya, salah satu ruas bambu yang berukuran panjang dilubangi untuk memasukkan bambu yang berukuran pendek. Setelah bambu untuk pijakan kaki terpasang, maka bambu tersebut sudah menjadi egrang, dan siap untuk digunakan.

Jalannya Permainan
Apabila permainan hanya berupa adu kecepatan (lomba lari), maka permainan ini diawali dengan berdirinya 3-4 pemain di garis start sambil menaiki bambu egrangnya masing-masing. Bagi anak-anak yang kurang tinggi atau baru belajar bermain egrang, mereka dapat menaikinya dari tempat yang agak tinggi atau menggunakan tangga, lalu berjalan ke arah garis start. Apabila telah siap, orang lain yang tidak ikut bermain akan memberikan aba-aba untuk segera memulai permainan. Setelah diberikan aba-aba, para pemain segera berlari menuju garis finish. Pemain yang lebih dahulu mencapai garis finish dinyatakan sebagai pemenangnya.

2. Permaianan Egrang Batok
Selain mengenal egrang dari bambu, anak-anak masyarakat Garut juga mengenal egrang batok. Egrang jenis terakhir ini dibuat dari bahan dasar tempurung kelapa (batok kalapa) yang dipadu dengan tambang plastik. Fungsi utamanya adalah alat untuk berjalan yang diciptakan dan dibuat untuk bermain bagi dunia anak. Egrang batok tidak terbatas untuk dimainkan oleh anak laki-laki, tetapi juga kadang dipakai untuk bermain anak perempuan. Permainannya pun cukup mudah, kaki tinggal diletakkan di atas masing-masing tempurung, sementara kedua tangan memegangi talinya. Selanjutnya pemain berjalan di atas tumpuan kedua batok kelapa tersebut. 

Tempurung yang dipakai biasanya berasal dari buah kelapa tua yang telah dibersihkan dari sabutnya. Kemudian tempurung itu dibelah menjadi dua bagian. Isi kelapa dikeluarkan dari tempurung. Tempurung yang terbelah menjadi dua bagian ini kemudian dihaluskan bagian luarnya agar kaki yang berpijak di atasnya bisa merasa nyaman. Masing-masing belahan tempurung kemudian diberi lubang di bagian tengah. Masing-masing lubang tempurung dimasuki tali sepanjang sekitar 2 meter dan diberi pengait. Tali yang digunakan biasanya tali lembut dan kuat, bisa berupa tambang plastik. 

Permainan egrang batok bisa dimainkan secara individu maupun kelompok. Kadang-kadang, permainan, biasa pula dipakai untuk perlombaan. Tentu di sini anak diuji ketangkasan dan kecepatan berjalan di atas egrang batok. Anak yang paling cepat berjalan tanpa harus jatuh dianggap sebagai pemenang.

3. Permainan Rorodaan
Permainan “rorodaan” jenis ini dibuat dari bahan papan dan bambu. “Rorodaan” tidak hanya dimainkan oleh anak laki-laki, tetapi juga dimainkan oleh anak perempuan. Permainannya pun cukup mudah, tinggal duduk di atas “rorodaan”, sementara teman yang lainnya mendorong dari belakang agar “rorodaan” berjalan.

Permainan tradisional yang menggunakan alat seperti permainan “rorodaan” ini, pada umumnya bahan dasarnya banyak diperoleh di sekitar lingkungan anak. Papan yang dipakai biasanya papan albasia tua yang telah diserut dibersihkan dari sabutnya. Kemudian papan itu digergaji berbentuk bundar, fungsinya buat roda. Demikian juga karoserinya (badannya) terbuat dari papan, sedangkan tempat duduknya terbuat dari bambu, pengendali atau stirnya dari bambu dan ranting kayu.

4. Permainan Engkle
Permainan engkle merupakan permainan tradisional lompat – lompatan pada bidang-bidang datar yang digambar di atas tanah. Di beberapa daerah, permainan engkle ini disebut dengan istilah sondah. Pertama-tama dibuat 8 buah kotak berbentuk salib di atas tanah. 

Cara bermainanya sederhana saja, cukup melompat menggunakan satu kaki disetiap petak – petak. Untuk dapat bermain setiap anak harus mempunyai “kojo” yang biasanya berupa pecahan genting, keramik lantai atau pun batu yang pipih. “Kojo” dilempar ke salah satu petak. Petak yang ada “kojo”nya tidak boleh diinjak/ditempati oleh setiap pemain, jadi para pemain harus melompat ke petak berikutnya dengan satu kaki mengelilingi petak- petak yang ada. Saat melemparkannya tidak boleh melebihi kotak yang telah disediakan jika melebihi maka dinyatakan gugur dan diganti dengan pemain selanjutnya. 

Pemain yang menyelesaikan satu putaran terlebih dahulu melemparkan “kojo”nya ke dalam petak dengan cara membelakangi. Di petak mana “kojo”nya itu jatuh, maka petak itu akan menjadi “sawah”nya, artinya di petak tersebut pemain yang bersangkutan dapat menginjak petak tersebut dengan dua kaki, sementara pemain lain tidak boleh menginjak petak itu selama permainan. Peserta yang memiliki “sawah” paling banyak adalah pemenangnya.

5. Gasing dari Garut
Bahasa daerah yang digunakan masyarakat Jawa Barat untuk menyebut gasing adalah Panggal. Dalam lingkup terbatas, ulin panggal, demikian masyarakat Jawa Barat menyebutnya, masih hidup. Namun di beberapa daerah (perkotaan) pengetahuan tentang panggal didominasi oleh kalangan generasi tua. Nyaris generasi muda (baca : anak-anak) tidak lagi mengenalnya.

Sampai tahun-tahun awal kemerdekaan, gasing masih menjadi permainan anak-¬anak, bahkan orang dewasa. Terdapat beberapa jenis gasing dan cara memainkannya. Gasing kayu dimainkan dengan tujuan untuk menikmati putaran dan juga bunyinya, khususnya dalam permainan "babantaan". Permainan-permainan itu menuntut si pemain untuk terampil, khususnya dalam mengukur ketepatan kekuatan yang dipergunakan dan arah yang dituju. 

Masyarakat Sunda di Jawa Barat mengenal dua jenis gasing, yaitu gasing untuk “kalangenan” dan gasing untuk aduan. Gasing untuk “kalangenan” biasa dibuat dari bahan pohon yang lunak atau ringan. Oleh karena pada jenis gasing ini yang dijadikan tujuan adalah menghasilkan bunyi atau suara sekeras mungkin. Tercatat pohon (kayu) galinggem dan waru sering dijadikan bahan untuk jenis gasing kalangenan. Sedangkan jenis adu biasanya terbuat dari pohon (kayu) keras, misalnya jambu klutuk (jambu batu), pohon pete cina (sunda : peuteuy selong).

Bentuk gasing Jawa Barat relatif kecil dan bervariasi. Ada yang berkepala, ada juga yang tidak. Secara umum gasing atau panggal dapat dibagi kedalam tiga (3) bagian, yaitu :
1. Hulu (kepala)
2. Awak (badan)
3. Suku(kaki)

Ciri khas panggal Jawa Barat terletak di samping pada kerampingan bentuknya, juga terletak pada bagian sukunya yang terbuat dari logam (paku). Pada bagian ini pemain sering memipihkan pakunya sedemikian rupa sehingga menghasilkan bentuk seperti kapak. Fungsinya adalah untuk menancapkan sekaligus membelah gasing lawan.

Selanjutnya, guna menambah nilai estetika, baik gasing kalangenan maupun gasing adu, sering diberi cat warna-warni. Tak ada warna khusus atau aturan yang mengatur tentang pewarnaan ini. Biasanya tergantung selera pembuat atau pemilik gasing.

Sebuah gasing atau panggal belumlah bisa dimainkan tanpa disertai dengan tali pemutarnya. Tali ini dibuat (dahulu) dari kain bekas (sunda: samping kebat butut) yang “dirara” (dipilin atau dipintal). Belakangan, tali ini dibuat dari bola kanteh (benang katun). Tali yang baik adalah tali yang tidak berminyak atau licin. Oleh karena itu, guna menghasilkan tarikan yang keras dan cepat tali tersebut sebelum dipakai direndam dalam air beberapa saat. Tujuannya agar tali dapat mengcekram lebih kuat dan tidak licin (sunda : seuseut).

Tempat bermain dapat dilakukan di dua tempat yang sangat bergantung juga pada jenis panggal yang dimainkan. Untuk jenis gasing kalangenan relatif tidak memerlukan tanah lapang yang luas. Cukup dijauhkan dari benda-benda yang mudah pecah, seperti kaca atau barang pecah belah lainnya. Namun untuk gasing adu sebaiknya di tanah lapang datar yang tidak bergelombang agar lebih leluasa dan jauh dari kerusakan benda-benda sekitarnya. Ukuran tidak ditentukan dengan jarak yang pasti, namun lebih dititikberatkan pada kondisi tanah lapangan itu sendiri.

Ada dua jenis permainan yang sering dilakukan (dimainkan). Pertama, palelet-lelet (lama berputar), dan kedua rawatan atau ngadu panggal. Penentuan kalah menang dalam palelet-lelet adalah lamanya berputar yang dihitung dari saat gasing mendarat hingga berhenti dengan sendirinya. Gasing yang lebih awal berhenti adalah gasing yang mati atau kalah. Sementara, gasing yang masih berputar itulah pemenangnya.

Ada dua cara bertanding: pertama, mengadu bunyi; dalam hal ini yang diperlombakan adalah kenyaringan bunyi panggal, yang dalam istilah setempat disebut patarik-tarik sora. Kedua, lomba yang disebut palelet-lelet; dalam hal ini yang diperlombakan adalah lama putaran. Jenis lomba mana yang akan diambil, bergantung pada kesepakatan pemain, apakah akan “mengadu” bunyi (patarik-tarik sora) atau palelet-lelet atau keduanya.

Pada jenis permainan ini sering pula disertai dengan pintonan untuk memperlihatkan kepiawaiannya memainkan gasing. Misalnya, gasing diangkat dengan tali dan diterima dengan telapak tangan atau tidak menutup kemungkinan dimainkan di atas dahi. 

Berbeda dengan palelet-lelet, jenis permainan (Rawatan) adu panggal membutuhkan aturan tersendiri. Prinsip dasarnya adalah memindahkan gasing (panggal) dari kalang kecil ke kalang besar. Jarak antara kalang tersebut disesuaikan dengan kondisi tanah lapang. Kalang biasanya berupa lingkaran kecil dan lingkaran besar.

Sumber: Makalah disampaikan pada acara Penayangan Film dan Diskusi Kebudayaan Subang 2012 yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung.

Popular Posts