Oleh Ismet Ruchimat
"The trouble with life is that, unlike movies, it doesn't have background music, we never know how we're suppose to feel"
Lewis Gardner, 1985
Saat mata terpejam, manusia masih mampu mendengar, saat menutup telinga, bunyi tetap menyisakan gema. Jauh sebelum kata atau isyarat memberi arti, bunyi mengkontekskan komunikasi fikiran dan batin dan pada intinya manusia tidak dapat berhenti mendengar.
Tulisan ini diawali pengalaman penulis saat diminta menjadi direktur musik oleh salah seorang sutradara di Toronto Canada untuk membuat musik film berjudul Chinlon: The Mystical Ball (2004), yaitu film dokumenter tentang olah raga tradisional Takraw pada masyarakat Burma di Myanmar.
Yang menarik dari peristiwa ini saat sang sutradara memilih saya menjadi komposer, sementara tampilan visual dan karakteristik film yang ada memiliki latar belakang budaya yang sama sekali berbeda. Pemikiran "kontradiktif" atas pilihan dan keputusan sang sutradara terhadap referensi musikan yang beradal dari luar lingkungan budaya musikan Burma tenti tidak dihasilkan dari subyektifitas keterikatan dia terhadap karya-karya saya selama ini. Namun realitas kreativitas nampak menjadi pertimbangan utama atas pilihan artistik sutradara. Di sini perlu upaya penyadaran bahwa sang sutradara tentu memiliki stereoskopik vision yang tajam dalam menentukan berbagai gagasan lisan yang kemudian tertuang menjadi aspek atau elemen musik.
Tantangan awal dari sang sutradara adalah memahami detail atau substansi visual yang ingin disampaikan. Kemudian pada ranah peristiwa sosial, pembacaan terhadap aspek dinamika kehidupan lokalitas masyarakat setempat menjadi benang merah secara keseluruhan. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah tampilan segmen musik lokal yang menjadi bagian integral dalam permainan sepak takraw tersebut.
Dari pengalaman dan tantangan ini kita menyadari bahwa tugas seorang komposer lebih memiliki keutamaan tanggung jawab dalam design bunyi saat menentukan konsep artistik film dari atmosfer aural dari seluruh produksi seni (film). Karena itu kemungkinan kreatifitas menjadi semu dan kenyataannya kreatifitas hanya bisa dikondisikan.
Pengalaman di atas akhirnya menuntun kita menjadi nominator film dokumenter terbaik pada festival film Toronto Canada tahun 2005. Kami menyadari bahwa hal ini merupakan hasil orientasi kreeatif dan pendekatan objektif dari tuntutan visual ke dalam bahasa bunyi.
Musik film memiliki keutamaan untuk menciptakan mood, sebuah komponen penting untuk merangsang respon penonton. Di samping itu musik film dapat mengkonflikan perasaan audience.
Secara khusus pengalaman di atas memberikan suatu wacana bahwa olah kreatif musik pada bentuk dokumentasi visual dapat dipahami melalui beberapa ciri-ciri sebagai berikut, yaitu:
1. Asmofirik
2. Reality show
3. Light tension
4. Wildlife
5. Background
6. War documentary
7. Dokudrama
8. International/ethnic
9. Science and technology
Model, jenis, atau perbedaan genre film dokumenter di atas merupakan basis umum dari pilihan pada keputusan-keputusan menentukan atau melakukan pendekatan elemen artistik musikan, baik sarana maupun prasarananya.
Dalam tradisi budaya Sunda yang cenderung memiliki landasan budaya folklorik, sifat keumuman golongan masyarakat etnik semacam ini bisa ditandai oleh dinamika musik masyarakat dengan berbagai varian irama
II
Dalam konteks tradisi, wujud atau bentuk kreativitas terbagi ke dalam hal sebagai berikut: sarana garap, materi garap, piranti garap, pertimbangan garap, penentu garap.
Sarana garap berhubungan dengan aspek-aspek fisik (instrument) musik. Materi garap merupakan substansi atau konvensi musik. Piranti garap tidak ubahnya seperti software. Pertimbangan garap adalah untuk menentukan tujuan garap. Sedangkan yang terakhir penentu garap memiliki fungsi menentukan sejauh mana karya itu dibuat serta untuk mengkaji sejauh mana kualitas kreatifitas kita memiliki respon masyarakat.
Dalam konteks kreativitas, garap musik film memiliki fungsi untuk:
1. Menentukan mood
2. Pemilihan musik sebagai pesona atau daya tarik
3. Menkonfidensi olah kreatif terhadap aspek-aspek bunyi atau musikal yang bersifat embien atau bahwa silence
4. Menciptakan tensi (pace) terhadap aspek tematik
Kreativitas musik adalah proses estetikasinasi bunyi atau suara dalam pengalaman indrawi seseorang, dan oleh karenanya besar kemungkinan tampilan wujud musik atau bunyi sangat dipengaruhi oleh sejauhmana kemampuan sang kreator menciptakan kondisi music atau bunyi pada pelbagai aspek sehingga substansi viasual menjadi lebih hidup.
III
Orientasi kreatif musik tidak selamanya menciptakan verbalitas musikal. Karena sebetulnya seorang penata suara/atau musik tidak terlalu tertuntut oleh adanya satu keharusan akan kemampuan (ability) musik secara praktis. Metoda semacam ini juga kerap dilakukan di berbagai negara. Umumnya metoda ini dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kedisiplinan hak cipta, jika seorang sutradara atau film editor melakukan pekerjaannya tanpa mengikutsertakan seorang composer atau arranger, maka kewenangan akan bergantung pada keputusan sutradara atau film editor.
Kita tahu bahkan harus bisa membedakan mana ngawawaas dan mana ngonsep. Saat kita tertantang untuk membuat klasifikasi dari sebuah genre sejarah misalnya, tentu hal ini membutuhkan riset secara detail untuk memahami aspek-aspek visual yang disampaikan secara diakronik. Karena dalam konteks sejarah musik juga berperan mengabsahkan suatu peristiwa dalam sebagai ilustrasi perjalanan waktu.
Konsep atau bentuk musik dokumenter yang memiliki latar kultural spesifik misalnya dengan mengambil setting pada pelbagai konteks solidaritas masyarakat adat sebaiknya mengacu pada kepentingan etik, estetik, dan pedagogik. Etik mengacu pada tingkat kehati-hatian dalam memilih tonalitas dan musikalitas, terutama masih mengacu pada kesatuan visual. Estetik mengambil moment natural dari segala aspek kultural. Pedagogik bertujuan memberi daya hidup pada substansi visual memiliki kadar kualitas informasi secara intelektual serta mengandung unsur edukasi yang besar.
Jangan takut silence--kepentingan untuk menghadirkan ruang berisikan aspek bunyi yang bersifat spacing atau bahkan tanpa menghadirkan suasana bunyi apapun merupakan bagian dari keputusan estetis. Pemahaman akan prinsip semacam ini terkadang memberi impresi yang kuat terhadap penguatan visual yang disampaikan. Saat Embi C Noor merancang berbagai karakter embiance pada film penghianatan G 30 PKI merupakan suatu keberhasilan sebagai seorang komposer. Bahkan baru-baru ini terdapat karya sutradara Garin Nugroho yang menyajikan film bisu berjudul "Setan Jawa" dengan komposer Rahayu Supanggah.
Umumnya konsep scoring untuk mengusung tema-tema music scifi masih belum banyak digeluti para komposer tanah air. Hal ini kemungkinan besar sangat berhubungan dengan berbagai kondisi kultural yang masih belum banyak menampilkan karakteristik visual yang memiliki tema semacam itu. Sehingga jarang dihadirkan atau dibuat film-film yang memberikan aspek cerita yang bersifat abstrak dengan kaidah absurditas melalui bantuan teknologi tinggi (science).
Keragaman tema sosial yang diangkat dalam film di Indonesia umumnya kerap lebih banyak ditampilkan lebih frekuentif dibanding tema visual yang bertemakan antropologis. Dengan begitu aspek musikan kerap ikut terdorong pada budaya musikan yang "populis" oleh karena dorongan industri film tanah air juga sangat berperan besar membentuk "habit" semacam ini. Oleh karena frekuensi kreatifitas seperti ini lebih banyak dan cenderung masiif, maka bentuk-bentuk musik lebih banyak diproduksi secara instant, salah satunya adalah sinetron.
Namun begitu elaborasi untuk menghadirkan suasana sosial dalam arti sebenarnya (reality show) masih belum menunjukkan makna edukatif dalam pengertian sosio musikal. Makna yang kerap terjadi dari konteks bermusik dalam dunia industri semacam ini lebih banyak menekankan bahwa aspek musikan selalu terdorong untuk mengilustrasikan objek penderita. Sebagai contoh ilustrasi potret kemiskinan masyarakat dan lain-lain.
Karena itu musik harus difahami dari aspek substansi kreatifitas dalam arti memiliki kandungan intelektual tinggi, dan oleh karena itu kedudukan seorang direktur musikal menempati posisi yang kurang lebih hampir sama dengan sutradara. Terlebih lagi apabila yang dihadirkannya dalam bentuk film musikal contohnya. Tentu hal ini membutuhkan banyak keputusan final dari sang komposer atau direktur musik. Bahkan tidak mengherankan film musikal memberi inspirasi ganda dalam proses kreativitasnya.
Daftar Pustaka
Andrew Hugill, Digital Musicians, Routledge Taylor & Francis Group, New York-London: 2007
Kathryn Kalinak, Music Film, A Very Short Introduction, Oxford Press, New York: 2010.
Rahayu Supanggah, Bothekan Garap Karawitan, The Rich of Interpretation in Javanese Gamelan Music, Isi Press in Collaboration with Garasi Seni Banawa Surakarta, Surakarta: 2011.
Sumber:
Makalah disampaikan dalam kegiatan Pembekalan Teknis Perekaman yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat tahun 2017