WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Mengenali Kembali Permainan Tradisional Anak-Anak

Oleh: Rosyadi

I PENDAHULUAN
Wacana tentang kebudayaan lokal atau kebudayaan suku bangsa dewasa ini nampaknya tenggelam, tersisihkan oleh wanana-wacana yang lebih populer seperti wacana tentang dunia politik, ekonomi, dan hukum. Terbukti dengan sangat sedikitnya sosialisasi, publikasi, maupun tayangan-tayangan di media elektronik yang berani menampilkan wacana kebudayaan lokal ketimbang wacana politik, ekonomi, dan hukum. 

Keadaan ini terkait erat dengan kondisi budaya masyarakat dewasa ini yang lebih memunculkan konsep-konsep modernisasi, sehingga segala sesuatu yang berbau tradisi, adat-istiadat ataupun kebudayaan dipandang tidak bermutu, tidak rasional, dan jalan di tempat. Berbicara tentang adat istiadat seolah tidak lagi memberikan manfaat dan kontribusi bagi kemajuan, dan kehidupan di masa kini dan ke depan. Wacana tentang kebudayaan lokal pun akhirnya hanya bergulir di antara para pemerhati dan peminat kebudayaan saja, dan sangat kurang menarik fihak lain untuk ikut ambil bagian di dalamnya. Ironisnya, mereka yang peduli dengan kebudayaan lokal ini umumnya adalah yang termasuk golongan atau generasi tua, Sangat jarang generasi muda yang tertarik dan meminati kebudayaan lokal. Itulah fenomena kebudayaan yang kita dapati sekarang ini. 

Salah satu kegiatan yang perlu dilakukan dalam rangka upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan nasional adalah mensosialisasikan berbagai unsur kebudayaan lokal atau kebudayaan etnik yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu unsur kebudayaan yang hingga kini masih ada adalah permainan tradisional, atau lazim juga disebut permainan rakyat, yang merupakan bagian dari folklor. 

Menurut Alan Dundes, folklor memiliki ciri-ciri pengenal sebagai berikut:
a) penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan;
b) bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau standar, dan telah beredar sedikitnya selama dua generasi;
c) terdiri atas berbagai versi atau varian;
d) bersifat anonim;
e) biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola;
f) mempunyai kegunaan bagi kehidupan kolektif pendukungnya;
g) menjadi milik bersama kolektif tertentu;

Pada umumnya permainan tradisional sangat menonjolkan fungsi sosial. Ini dapat dilihat dari sifat-sifat permainan tradisional yang biasanya dilakukan di luar rumah atau di tempat terbuka dengan pelaku yang lebih dari satu orang. Demikian pula nilai-nilai sosialnya cukup menonjol, seperti nilai kerjasama, sportifitas, dan kompetitif. Karena sifatnya yang harus dimainkan di luar rumah, maka biasanya untuk melakukan permainan tradisional diperlukan halaman yang cukup luas atau tanah lapang. Dulu prasarana berupa tanah lapang ini masih cukup banyak tersedia. Namun kini, sejalan dengan perkembangan zaman dan pertambahan penduduk yang sangat pesat, mengakibatkan luas lahan yang tersedia untuk bermain menjadi semakin berkurang.

Hal lain yang mempengaruhi keberadaan permainan tradisional adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan iptek bukannya memperkokoh keberadaan permainan tradisional, akan tetapi sebaliknya malah semakin menyisihkan keberadan permainan tradisional. Kini permainan tradisional semakin jarang dikenali oleh anak-anak. Mereka, khususnya di daerah perkotaan memiliki jenis-jenis permainan baru melalui media komputer, dengan berbagai jenis gamesnya. Melalui jenis-jenis permainan baru ini, tanpa harus keluar rumah, dan tanpa harus ada teman, mereka bisa melakukan permainan di dalam rumah. 

Ada beberapa perbedaan yang sangat mendasar antara jenis-jenis permainan tradisional dengan permainan modern. Kalau permainan tradisional lebih menonjolkan nilai-nilai sosial, maka permainan modern lebih bersifat individualis, karena mereka tidak memerlukan teman bermain untuk melangsungkan permainan ini. Permasalahannya adalah dengan semakin terpinggirkannya permainan tradisional, akankah nilai-nilai sosial dan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam permainan tradisional ikut musnah? Hal ini pula yang melatarbelakangi pentingnya dilakukan kegiatan perekaman audio-visual mengenai permainan tradisional.

II ANEKA RAGAM PERMAINAN TRADISIONAL ANAK-ANAK
Dunia anak adalah dunia bermain. Tiada hari tanpa bermain, itulah dunia anak-anak. Anak-anak di Desa Banyuresmi - Kabupaten Garut mengenal beberapa jenis permainan tradisional, yang sekali-sekali masih mereka mainkan, seperti permainan panggal (gasing), egrang jajangkungan, egrang batok, perepet jengkol, rorodaan, gampar atau gagamparan, dan beberapa jenis permainan lainnya. Kendatipun permainan-permainan ini kini sudah tidak seperti dulu lagi, khususnya dalam hal intensitas permainannya, akan tetapi beberapa di antaranya masih suka dimainkan oleh anak-anak, sehingga permianan-permainan ini tidak sampai musnah. Kondisi ini adalah berkat inisiatif dan kreatifitas para orang tua yang menghendaki agar permianan tradisional anak-anak yang dulu mereka gemari tidak sampai hilang. Atas dasar pemikiran itu, para orang tua membentuk suatu komunitas yang khusus melestarikan permainan tradisional. 

Selanjutnya, yang juga mendukung upaya pelestarian permainan tradisional ini adalah penyelenggaraan lomba dan festival permainan anak-anak yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, yang dikenal dengan event “Alimpaido”. Pemerintah Daerah Kabupaten Garut sendiri cukup rajin menyelenggarakan event-event semacam ini. Kerjasama yang baik antara masyarakat, budayawan dan pemerintah daerah inilah yang turut mendukung lestarinya permainan tradisional anak-anak di Garut.

1. Permainan Egrang
Egrang atau jajangkungan, yaitu sebuah permainan berjalan menggunakan alat yang terbuat dari bambu. Istilah “egrang “ di samping nama sebutan sebuah permainan, juga sekaligus nama alat yang digunakan untuk permainan tersebut.

Pemain
Permainan egrang dapat dikategorikan sebagai permainan anak-anak. Pada umumnya permainan ini dilakukan oleh anak laki-laki maupun perempuan yang berusia 7- 13 tahun. Permainan egrang kerap diperlombakan. Jenis perlombaannya adalah adu kecepatan dengan melintasi rintangan yang menyerupai jembatan terbuat dari bambu. Peserta perlombaan biasanya adalah anak-anak yang berusia antara 7 - 13 tahun, dengan jumlah pemain 2 - 5 orang.

Tempat dan Peralatan Permainan
Untuk melakukan permainan egrang, tidak dibutuhkan tempat atau lapangan yang khusus, karena permainan ini dapat dimainkan di mana saja seperti di tepi pantai, di tanah lapang atau pun di jalan. 

Peralatan yang digunakan adalah dua batang bambu yang relatif lurus dan sudah tua dengan panjang masing-masing antara 2 - 3 meter. Cara membuatnya adalah sebagai berikut. Mula-mula bambu dipotong menjadi dua bagian yang panjangnya masing-masing sekitar 2 - 3 meter. Setelah itu, dipotong lagi bambu yang lain menjadi dua bagian dengan ukuran masing-masing sekitar 20-30 cm untuk dijadikan pijakan kaki. Selanjutnya, salah satu ruas bambu yang berukuran panjang dilubangi untuk memasukkan bambu yang berukuran pendek. Setelah bambu untuk pijakan kaki terpasang, maka bambu tersebut sudah menjadi egrang, dan siap untuk digunakan.

Jalannya Permainan
Apabila permainan hanya berupa adu kecepatan (lomba lari), maka permainan ini diawali dengan berdirinya 3-4 pemain di garis start sambil menaiki bambu egrangnya masing-masing. Bagi anak-anak yang kurang tinggi atau baru belajar bermain egrang, mereka dapat menaikinya dari tempat yang agak tinggi atau menggunakan tangga, lalu berjalan ke arah garis start. Apabila telah siap, orang lain yang tidak ikut bermain akan memberikan aba-aba untuk segera memulai permainan. Setelah diberikan aba-aba, para pemain segera berlari menuju garis finish. Pemain yang lebih dahulu mencapai garis finish dinyatakan sebagai pemenangnya.

2. Permaianan Egrang Batok
Selain mengenal egrang dari bambu, anak-anak masyarakat Garut juga mengenal egrang batok. Egrang jenis terakhir ini dibuat dari bahan dasar tempurung kelapa (batok kalapa) yang dipadu dengan tambang plastik. Fungsi utamanya adalah alat untuk berjalan yang diciptakan dan dibuat untuk bermain bagi dunia anak. Egrang batok tidak terbatas untuk dimainkan oleh anak laki-laki, tetapi juga kadang dipakai untuk bermain anak perempuan. Permainannya pun cukup mudah, kaki tinggal diletakkan di atas masing-masing tempurung, sementara kedua tangan memegangi talinya. Selanjutnya pemain berjalan di atas tumpuan kedua batok kelapa tersebut. 

Tempurung yang dipakai biasanya berasal dari buah kelapa tua yang telah dibersihkan dari sabutnya. Kemudian tempurung itu dibelah menjadi dua bagian. Isi kelapa dikeluarkan dari tempurung. Tempurung yang terbelah menjadi dua bagian ini kemudian dihaluskan bagian luarnya agar kaki yang berpijak di atasnya bisa merasa nyaman. Masing-masing belahan tempurung kemudian diberi lubang di bagian tengah. Masing-masing lubang tempurung dimasuki tali sepanjang sekitar 2 meter dan diberi pengait. Tali yang digunakan biasanya tali lembut dan kuat, bisa berupa tambang plastik. 

Permainan egrang batok bisa dimainkan secara individu maupun kelompok. Kadang-kadang, permainan, biasa pula dipakai untuk perlombaan. Tentu di sini anak diuji ketangkasan dan kecepatan berjalan di atas egrang batok. Anak yang paling cepat berjalan tanpa harus jatuh dianggap sebagai pemenang.

3. Permainan Rorodaan
Permainan “rorodaan” jenis ini dibuat dari bahan papan dan bambu. “Rorodaan” tidak hanya dimainkan oleh anak laki-laki, tetapi juga dimainkan oleh anak perempuan. Permainannya pun cukup mudah, tinggal duduk di atas “rorodaan”, sementara teman yang lainnya mendorong dari belakang agar “rorodaan” berjalan.

Permainan tradisional yang menggunakan alat seperti permainan “rorodaan” ini, pada umumnya bahan dasarnya banyak diperoleh di sekitar lingkungan anak. Papan yang dipakai biasanya papan albasia tua yang telah diserut dibersihkan dari sabutnya. Kemudian papan itu digergaji berbentuk bundar, fungsinya buat roda. Demikian juga karoserinya (badannya) terbuat dari papan, sedangkan tempat duduknya terbuat dari bambu, pengendali atau stirnya dari bambu dan ranting kayu.

4. Permainan Engkle
Permainan engkle merupakan permainan tradisional lompat – lompatan pada bidang-bidang datar yang digambar di atas tanah. Di beberapa daerah, permainan engkle ini disebut dengan istilah sondah. Pertama-tama dibuat 8 buah kotak berbentuk salib di atas tanah. 

Cara bermainanya sederhana saja, cukup melompat menggunakan satu kaki disetiap petak – petak. Untuk dapat bermain setiap anak harus mempunyai “kojo” yang biasanya berupa pecahan genting, keramik lantai atau pun batu yang pipih. “Kojo” dilempar ke salah satu petak. Petak yang ada “kojo”nya tidak boleh diinjak/ditempati oleh setiap pemain, jadi para pemain harus melompat ke petak berikutnya dengan satu kaki mengelilingi petak- petak yang ada. Saat melemparkannya tidak boleh melebihi kotak yang telah disediakan jika melebihi maka dinyatakan gugur dan diganti dengan pemain selanjutnya. 

Pemain yang menyelesaikan satu putaran terlebih dahulu melemparkan “kojo”nya ke dalam petak dengan cara membelakangi. Di petak mana “kojo”nya itu jatuh, maka petak itu akan menjadi “sawah”nya, artinya di petak tersebut pemain yang bersangkutan dapat menginjak petak tersebut dengan dua kaki, sementara pemain lain tidak boleh menginjak petak itu selama permainan. Peserta yang memiliki “sawah” paling banyak adalah pemenangnya.

5. Gasing dari Garut
Bahasa daerah yang digunakan masyarakat Jawa Barat untuk menyebut gasing adalah Panggal. Dalam lingkup terbatas, ulin panggal, demikian masyarakat Jawa Barat menyebutnya, masih hidup. Namun di beberapa daerah (perkotaan) pengetahuan tentang panggal didominasi oleh kalangan generasi tua. Nyaris generasi muda (baca : anak-anak) tidak lagi mengenalnya.

Sampai tahun-tahun awal kemerdekaan, gasing masih menjadi permainan anak-¬anak, bahkan orang dewasa. Terdapat beberapa jenis gasing dan cara memainkannya. Gasing kayu dimainkan dengan tujuan untuk menikmati putaran dan juga bunyinya, khususnya dalam permainan "babantaan". Permainan-permainan itu menuntut si pemain untuk terampil, khususnya dalam mengukur ketepatan kekuatan yang dipergunakan dan arah yang dituju. 

Masyarakat Sunda di Jawa Barat mengenal dua jenis gasing, yaitu gasing untuk “kalangenan” dan gasing untuk aduan. Gasing untuk “kalangenan” biasa dibuat dari bahan pohon yang lunak atau ringan. Oleh karena pada jenis gasing ini yang dijadikan tujuan adalah menghasilkan bunyi atau suara sekeras mungkin. Tercatat pohon (kayu) galinggem dan waru sering dijadikan bahan untuk jenis gasing kalangenan. Sedangkan jenis adu biasanya terbuat dari pohon (kayu) keras, misalnya jambu klutuk (jambu batu), pohon pete cina (sunda : peuteuy selong).

Bentuk gasing Jawa Barat relatif kecil dan bervariasi. Ada yang berkepala, ada juga yang tidak. Secara umum gasing atau panggal dapat dibagi kedalam tiga (3) bagian, yaitu :
1. Hulu (kepala)
2. Awak (badan)
3. Suku(kaki)

Ciri khas panggal Jawa Barat terletak di samping pada kerampingan bentuknya, juga terletak pada bagian sukunya yang terbuat dari logam (paku). Pada bagian ini pemain sering memipihkan pakunya sedemikian rupa sehingga menghasilkan bentuk seperti kapak. Fungsinya adalah untuk menancapkan sekaligus membelah gasing lawan.

Selanjutnya, guna menambah nilai estetika, baik gasing kalangenan maupun gasing adu, sering diberi cat warna-warni. Tak ada warna khusus atau aturan yang mengatur tentang pewarnaan ini. Biasanya tergantung selera pembuat atau pemilik gasing.

Sebuah gasing atau panggal belumlah bisa dimainkan tanpa disertai dengan tali pemutarnya. Tali ini dibuat (dahulu) dari kain bekas (sunda: samping kebat butut) yang “dirara” (dipilin atau dipintal). Belakangan, tali ini dibuat dari bola kanteh (benang katun). Tali yang baik adalah tali yang tidak berminyak atau licin. Oleh karena itu, guna menghasilkan tarikan yang keras dan cepat tali tersebut sebelum dipakai direndam dalam air beberapa saat. Tujuannya agar tali dapat mengcekram lebih kuat dan tidak licin (sunda : seuseut).

Tempat bermain dapat dilakukan di dua tempat yang sangat bergantung juga pada jenis panggal yang dimainkan. Untuk jenis gasing kalangenan relatif tidak memerlukan tanah lapang yang luas. Cukup dijauhkan dari benda-benda yang mudah pecah, seperti kaca atau barang pecah belah lainnya. Namun untuk gasing adu sebaiknya di tanah lapang datar yang tidak bergelombang agar lebih leluasa dan jauh dari kerusakan benda-benda sekitarnya. Ukuran tidak ditentukan dengan jarak yang pasti, namun lebih dititikberatkan pada kondisi tanah lapangan itu sendiri.

Ada dua jenis permainan yang sering dilakukan (dimainkan). Pertama, palelet-lelet (lama berputar), dan kedua rawatan atau ngadu panggal. Penentuan kalah menang dalam palelet-lelet adalah lamanya berputar yang dihitung dari saat gasing mendarat hingga berhenti dengan sendirinya. Gasing yang lebih awal berhenti adalah gasing yang mati atau kalah. Sementara, gasing yang masih berputar itulah pemenangnya.

Ada dua cara bertanding: pertama, mengadu bunyi; dalam hal ini yang diperlombakan adalah kenyaringan bunyi panggal, yang dalam istilah setempat disebut patarik-tarik sora. Kedua, lomba yang disebut palelet-lelet; dalam hal ini yang diperlombakan adalah lama putaran. Jenis lomba mana yang akan diambil, bergantung pada kesepakatan pemain, apakah akan “mengadu” bunyi (patarik-tarik sora) atau palelet-lelet atau keduanya.

Pada jenis permainan ini sering pula disertai dengan pintonan untuk memperlihatkan kepiawaiannya memainkan gasing. Misalnya, gasing diangkat dengan tali dan diterima dengan telapak tangan atau tidak menutup kemungkinan dimainkan di atas dahi. 

Berbeda dengan palelet-lelet, jenis permainan (Rawatan) adu panggal membutuhkan aturan tersendiri. Prinsip dasarnya adalah memindahkan gasing (panggal) dari kalang kecil ke kalang besar. Jarak antara kalang tersebut disesuaikan dengan kondisi tanah lapang. Kalang biasanya berupa lingkaran kecil dan lingkaran besar.

Sumber: Makalah disampaikan pada acara Penayangan Film dan Diskusi Kebudayaan Subang 2012 yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung.

Popular Posts