TEMPO.CO, Bandung - Pencatatan warisan budaya di Jawa Barat berjalan lambat. Jumlah hasil pencatatannya pun kini masih sedikit yakni lima warisan budaya per tahun di tiap daerah. Adapun jenis dan bentuk warisan budaya itu sangat banyak, termasuk dongeng hingga cerita tahayul.
Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung Toto Sucipto mengatakan, selama 5 tahun sejak 2009 hingga Desember 2014, jumlah warisan budaya berupa benda dan bukan benda di Jawa Barat tercatat 821 jenis. Karena banyak data pencatatan budaya itu yang tidak lengkap, maka hanya 236 jenis yang memenuhi syarat untuk diajukan. "Untuk mendapat sertifikasi warisan budaya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," kata Toto, Rabu, 25 Maret 2015.
Menurut Toto, pencatatan warisan budaya ini penting, karena beberapa telah punah akibat tidak ada lagi kelompok masyarakat yang memakai atau menampilkannya lagi. Tahun ini, Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung berencana mengajukan 20 karya warisan budaya Jawa Barat, diantaranya sintren, tarawangsa, reak, tarling, dan pencak silat. Adapun di jenis kuliner seperti nasi timbel dan sate maranggi.
"Hambatan awal pencatatan seperti petugas yang malas atau merasa capek melihat formulir pengisian, sekarang kami persingkat," ujarnya.
Kendala lain soal pencatatan di lapangan, yakni kurangnya kerjasama Dinas Budaya dan Pariwisata daerah dengan komunitas atau budayawan, kemudian masih adanya budaya yang disakralkan masyarakat, dan petugas pencatat data karya budaya di daerah belum bekerja secara profesional. "Banyak nama karya budaya yang sama, duplikasi data, atau sejarah dan deskripsi karya budaya tidak lengkap," kata dia.
Beberapa solusi yang ditawarkan, menurut Toto, diantaranya petugas bisa memakai sumber-sumber sekunder seperti hasil penelitian, koran dan majalah. Petugas juga diminta lebih dekat dengan pelaku budaya guna mendapatkan informasi yang lebih mendalam tentang karya budaya yang dicatat. "Untuk menyiasati keterbatasan informasi yang diberikan oleh maestro karya budaya," ujarnya.
Antropolog lulusan Universitas Indonesia, Yophie Septiady, mengatakan jumlah budaya di masyarakat sangat banyak, termasuk budaya bukan benda. Budaya seperti itu misalnya pemaknaan masyarakat tentang motif batik. "Motif parang rusak misalnya tidak pantas dipakai ke pesta perkawinan karena dinilai berpengaruh buruk ke pengantin," katanya.
Beragam dongeng di masyarakat bahkan cerita tahayul yang berkembang di suatu tempat, dinilainya termasuk budaya bukan benda. Pencatatan hal semacam itu selain oleh petugas, bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat lalu diajukan ke dinas. "Di Bali ada yang malu, masak (cerita) setan dicatat segala," katanya. Menurut Yophie, sejumlah mitos itu bisa menjadi bahan untuk dibuktikan secara ilmiah. (ANWAR SISWADI)