Rahwana, Raja Alengka itu, gandrung bukan kepalang kepada Dewi Sinta. Di Keraton Kanoman, Cirebon, Jawa Barat, pekan lalu, Rahwana kembali berulah. Walaupun sudah diceritakan mati dalam ratusan kali pentas lantaran tubuhnya diimpit dua gunung, malam itu Rahwana membuktikan kedahsyatan aji Pancasona dari Subali. Ia hidup kembali!
Dikisahkan, langit yang teduh mendadak menjadi kebyar-kebyar saat Rahwana ngebet demi melihat Dewi Sinta yang cantik ditinggalkan suaminya, Rama, berburu. Lingkaran sakti yang dibuat adik iparnya, Laksmana, akhirnya jebol oleh Rahwana yang beralih rupa.
Dewi Sinta pun melawan dengan beberapa kali mengibaskan selendangnya ke arah muka Rahwana. Satu-dua kali kibasan selendang itu mengena. Si Raja raksasa yang tak kuasa membendung hasratnya itu pun murka. ”Aduh, Rahwana dikepret, jeh. Priben sih!” teriaknya.
Ratusan penonton yang menyaksikan drama tari Rama-Sinta itu pun terpingkal-pingkal mendengarkan komentar Rahwana. Ia masih bergulat dengan Sinta yang tak pantang menyerah. Beberapa kali ia mengelus kumis dan menahan diri agar tak sampai marah dan melukai pujaan hatinya. Akhirnya, setelah selendang bisa digenggam Rahwana, Sinta pun diboyong ke Taman Asoka, tempat ia dijaga oleh Dewi Trijata, keponakan Rahwana.
Penampilan apik drama tari Rama-Sinta yang dibawakan oleh Sanggar Puser Langit Cirebon itu membuat betah penonton Cultural Evening. Acara itu digelar oleh Yayasan Prima Ardian Tana di Alun-alun Keraton Kanoman.
Penonton paling banyak berasal dari Jakarta, Bali, dan Bandung, dan sebagian di antaranya turis asing yang menikmati liburan di Indonesia. Tiga Sultan Cirebon beserta keluarganya, yakni Sultan Kasepuhan XIV PRA Arief Natadiningrat, Sultan Kanoman XII Raja Muhammad Emiruddin, dan Sultan Kacirebonan PRA Abdul Gani Natadiningrat, juga menonton pergelaran seni itu. Berkumpulnya saudara sedarah yang berbeda keraton ini jarang terjadi.
Untuk meramaikan acara, Yayasan Prima Ardian Tana bekerja sama dengan Win Tours and Travel menyusun paket wisata agar turis bisa singgah di Keraton Kanoman menyaksikan pergelaran budaya itu. Hingga pukul 23.00, penonton makin dibuat geerr oleh aksi Indrajit, anak Rahwana, yang ditampilkan kurus kering dan banyak omong.
”Lho, ini ada kewan kok bisa omong. Kirik sira!” (Lho, ini ada hewan kok bisa omong. Anjing kamu)!” umpat Indrajit kepada Anoman, kera putih, yang menjadi utusan Rama untuk membebaskan Sinta. ”Ya, bisa! Sira kuh aja omong bae (Kamu itu jangan banyak bicara)!” ungkap Anoman.
Keduanya lantas saling menjejak, memukul, berkelit, bergulung, dan roboh. Lampu merah menyoroti pergumulan keduanya. Panggung dari kayu pun bergetar. Akhirnya, penonton tertawa kembali karena kumis Indrajit nyaris copot.
Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bandung Toto Sucipto menimpali, ”Drama ini Cirebon banget. Dari beberapa kali saya menyaksikan drama tari Rama-Sinta, barang kali ini yang gayanya paling dinamis.”
Warisan budaya
Namun, tak sekadar tertawa dan bertepuk tangan menyaksikan drama itu, BPNB Bandung pun merasa pertunjukan drama tari Cirebonan kurang diangkat ke permukaan. ”Sebenarnya tak hanya drama tari ini. Banyak kesenian Cirebon yang terancam punah. Tahun 2014, kami mencoba mengusulkan tari topeng Cirebon menjadi warisan budaya dunia,” katanya.
Wali Kota Cirebon Ano Sutrisno mengakui, selama ini seni dan budaya Cirebon kurang dieksplorasi. Padahal, kota itu memiliki banyak potensi. ”Tahun 2014, kami akan mulai menggelar pertunjukan seni secara rutin. Tempatnya bisa di keraton secara bergantian atau di alun-alun Kota Cirebon,” ujarnya lagi.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Cirebon mencatat, 27 kesenian dari sekitar 40 kesenian tradisi di wilayah itu hampir punah atau tak lagi berkembang di masyarakat. Hal ini, antara lain, disebabkan ketiadaan penerus kesenian dan kian jarangnya kesenian itu dipertontonkan di masyarakat.
Kondisi ini memiriskan sebab Kota Cirebon menargetkan dirinya menjadi daerah tujuan wisata. Kenyataannya, potensi seni dan budaya justru belum diperhatikan. (Rini Kustiasih)
Sumber: http://lipsus.kompas.com