WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Tarling, Musik Khas Indramayu Tentang Ketabahan dalam Penderitaan

Oleh Galih Pranata

"Mang Sakim mulai memainkan gitar dan menguji kesamaan nada dengan musik gamelan Cirebon," tulis Ivan Setiawan. Ia mengisahkan sosok Sakim yang berupaya mewujudkan seni musik anyar di wilayah Indramayu.

Ivan menuliskan kisah Sakim pada Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat, dalam artikelnya berjudul Tarling, Seni Tradisional Pantura, yang dipublikasikan pada tahun 2018. Sakim saat itu diminta oleh seorang Belanda untuk menyetel gitarnya.

"Saat itu, sekitar tahun 1931, di Desa Kepandean, Indramayu, seorang komisaris Hindia-Belanda meminta pada warga sekitar untuk memperbaiki gitarnya," tambahnya. Hal tersebut kemudian dimanfaatkan oleh Sakim untuk mengulik lebih jauh tentang gitar. Wajar saja, tak mudah bagi pribumi mendapat gitar pada zamannya.

"Mang Sakim merupakan ahli gamelan Cirebon. Sampai gitar seorang komisaris Belanda itu berhasil di perbaiki, ia tak juga mengambil gitarnya," lanjut Ivan. Sakim kemudian memiliki waktu lebih banyak lagi dalam mempelajari nada-nada gitar sekaligus membandingkan nada-nada pentatonis gamelan.

Kemudian upaya Sakim dilanjutkan oleh anaknya, Sugra. Ia bereksperimen dengan memindahkan nada-nada pentatonis gamelan ke dawai-dawai gitar yang bernada diatonis. Agaknya, ia telah berhasil menciptakan genre musik baru dengan perpaduan-perpaduan itu.

"Karenanya, kiser (tembang-tembang) Dermayonan (Indramayu) dan Cerbonan (Cirebon) yang biasanya diiringi dengan gamelan, bisa menjadi lebih indah dengan iringan petikan gitar," tambahnya. Keindahan itu, menjadi semakin lengkap setelah petikan dawai gitar diiringi dengan suling bambu yang mendayu-dayu.

Alunan gitar dan suling bambu yang menyajikan kiser Dermayonan dan Cerbonan itu pun mulai mewabah sekitar 1932-an. "Kala itu, anak-anak muda di berbagai pelosok desa di Indramayu dan Cirebon, menerimanya sebagai suatu gaya hidup," tulis Ivan.

Pada tahun 1935, alunan musiknya mulai dilengkapi dengan kotak sabun yang berfungsi sebagai kendang, dan kendi sebagai gong. Kemudian pada 1936, alunannya diiringi dengan alat musik lain, berupa baskom dan ketipung kecil yang berfungsi sebagai perkusi.

"Nama tarling baru diresmikan saat Radio Republik Indonesia sering menyiarkan jenis musik ini dan oleh Badan Pemerintah Harian (saat ini DPRD). Tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1962, melalui siaran RRI, nama Tarling mulai dikenal sebagai nama resmi jenis musik tersebut," terang Ivan.

GAYA MUSIK TARLING DARI PENGARUH GEOGRAFISNYA
Suwarjono, seorang bapak berusia 53 tahun, duduk di serambi rumahnya, tengah bersantai sambil menikmati musik tarling dari radionya. "Sudah sejak kecil saya mendengar tarling dari radio," ungkapnya kepada National Geographic Indonesia. Ia merupakan penikmat setia musik tarling.

Ia berasal dari wilayah pesisir utara Subang, tepatnya di daerah Pusakajaya, dekat dengan Pantai Patimban. "Mulai dari Indramayu, Cirebon, sampai Subang bagian Pantura, pasti kenal sama yang namanya tarling," ungkap Suwarjono.

Kesenian tarling lebih populer di daerah Indramayu dan Cirebon, serta beberapa wilayah lain seperti wilayah Pantai Utara Subang juga turut dalam tren musik tarling. Wilayah geografis pesisir utara lantas memengaruhi gaya musik tarling.

"Masyarakat di daerah pesisir, seperti contohnya orang-orang di sepanjang wilayah Pantura, lebih terbuka dan suka mengungkapkan perasaannya langsung secara omongan (verbal)," jelas Suwarjono berdasar pengamatannya.
Tarling adalah salah satu bentuk kesenian yang berkembang di wilayah pesisir pantai utara Jawa Barat, terutama wilayah Cirebon dan Indramayu. Nama tarling diidentikkan dengan nama instrumen sitar dan suling serta istilah 'Sing nelatar kudu eling, Eling kepada Tuhan Yang Maha Esa, Eling terhadap tanah kelahirannya.'

Hal tersebut dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan Rijal Abdillah dan Koentjoro dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), dalam tulisannya yang dimuat pada jurnal Psikologika, berjudul Nilai dan Pesan Moral Tarling Menurut Perspektif Pelaku Kesenian Tarling Cirebon: Studi Psikologi Budaya, terbit pada 2015.

"Pola interaksi yang diturunkan sejak nenek moyang dalam perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Pesisir Utara Jawa, utamanya di Cirebon, mengubah watak penduduknya menjadi terbuka dan berbicara teus terang (apa adanya) dalam mengutarakan perasaannya," tulisnya.

Oleh karena itu, nilai dan makna yang terkandung dalam seni Tarling lebih diarahkan pada segi hiburan, namun disertai dengan syair-syair yang menceritakan ketabahan dalam menghadapi penderitaan. "Itu jadi gaya yang disukai oleh orang-orang Pantura, mulai dari nelayan sampai petani, karena lebih mengena (melalui syair-syairnya)," ujar Suwarjono.

Syairnya ditulis dengan menggunakan basa Cêrbon atau bahasa Cirebon. Salah satu contoh kutipan syair dari lagu berjudul Diusir Laki ciptaan Almin Said.

Apa nasibe badan (Bagaimana nasib diri)
Laki doyan demenan (Suami suka pacaran)
Sekien kawin maning (Sekarang menikah lagi)
Ning kula ora eling (Tapi aku tidak tahu)

Kula kien diusir (saya sekarang diusir)
Ning laki konkong nyingkir (sama suami disuruh pergi)
Megat tanpa lantaran (Cerai tanpa alasan)
Bli eman keturunan (Tidak sayang keturunan/anak-anak)

Lirik dan syairnya begitu menyayat hati, keluar dari perasaan penggubahnya. Gaya bahasa yang digunakan sangat terbuka dan apa adanya. Itu menjadi identitas tersendiri bagi musik tarling, yang tentunya dipengaruhi kondisi geografis dan masyarakat pendukungnya.

Sumber: https://nationalgeographic.grid.id/read/132920869/tarling-musik-khas-indramayu-tentang-ketabahan-dalam-penderitaan?page=all

Popular Posts