Gerakan gadis yang kira-kira masih duduk di Sekolah Dasar itu melenggok luwes namun juga gagah. Diarahkannya wajahnya mengikuti musik, sedang tangan menyokong gerakannya.
Topeng randegan-nya yang merah menyala itu dilepaskan. Digantikan senyuman cerah dari penarinya.
“Ibu Yayah, sang maestro, mengingnkan lebih banyak lagi anak muda yang tertarik mempelajari tari topeng Randegan. Lebih jauh lagi, bukan sekadar belajar untuk mengenal gerakan saja, tapi dapat menjadi penari yang mumpuni,” kata Ria Intani, peneliti topeng Randegan, saat ditemui di Balai Penelitian Nilai Budaya Jawa Barat, Ujungberung, Bandung, baru-baru ini.
Tari Topeng Randegan adalah salah satu kesenian yang berkembang di Desa Randegan, Kecamatan Gegesik, Majalengka, Jawa Barat. Tari Topeng Randegan merupakan turunan dari tari topeng Cirebon. Terdapat persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Persamaannya adalah dalam tampilannya terbagi atas bagian-bagian atau yang diistilahkan dengan babakan. Sedangkan perbedaannya terletak pada urutan babakan dan pada topeng randegan ada gerakan sepak soder (menyibakkan selendang dengan kaki). Pewaris paling akhir, Yayah Tarsiah (50), telah membawa dan mengembangkan tari topeng ini.
Pada mulanya. hanya ada tari topeng Cirebon. Di Cirebon, Jawa Barat, tari topeng Cirebon dibawa ke Desa Beber, Kecamatan Ligung, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, oleh seseorang yang dijuluki sebagai Mbah Sontendibawa. Topeng Beber pun diturunkan oleh Esoh kepada Rini, selanjutnya oleh Dapeng diturunkan kepada Andet Suwanda, dari Andet Suwanda diturunkan kepada Iyat Suryati.
Dari Iyat Suryati diturunkan ke Rohati dandarid Ibu Rohati diturunkan kepada Yayah Tarsiah.
Dalam perjalanan waktu, Yayah berpindah dari Desa Beber ke Desa Randegan Weta. Dari nama desa itulah kemudian tari topeng yang dikembangkan di Desa Randegan Wetan dinamai topeng randegan.
Berdasarkan tuturan dari Noerdin M. Noer (2016: 23), tari topeng Cirebon—yang menurunkan dari topeng beber dan kemudian topeng randegan, dalam kesenian ini terdiri atas lima tarian dengan lima jenis topeng. Kelimanya menggambarkan perwatakan manusia, yang meliputi: panji, samba, rumyang, temenggung, dan klana (rahwana).
Ada pula falsafah keilahiannya sehingga pertunjukan kesenian ini tak hanya berupa tontonan, tapi juga tuntunan. Tari topeng berisikan ajakan ibadah. Sebagain besar gerakan tari topeng selalu membentuk rentangan kedua tangan ke atas.
Tari topeng Randegan, seperti tari topeng Cirebon juga menggambarkan watak manusia sejak lahir hingga dewasa. Edin Jajuli (2015: 2) mengatakan bahwa, tari topeng terbagi atas lima tarian yang masing-masing menggambarkan tiap-tiap fase dalam kehidupan manusia. Lima gerakan tersebut adalah: tari panji, tari samba (parmindo), tari tumenggung atau patih, tari jingga anom, dan tari rahwana.
Kelima fase kehidupan manusia itu memiliki karakter pada tiap fasenya selain digambarkan melalui gerakan tari, tapi juga digambarkan dengan warna topengnya. Topeng untuk kesenian in dibuat oleh Hadi Suhadi, suami Yayah sendiri.
Kecintaan Yayah akan kesenian Tari Topeng Randegan mendorongnya untuk mendirikan Sanggar Langgeng Budaya. Sanggarnya yang berdiri menyatu dengan rumah tinggalnya dinamai Sanggar Langgeng Budaya. Nama yang mengandung doa-doa Yayah agar tari topeng yang senantiasa ia jaga agar tetap lestari oleh generasi setelahnya.
Sebagian besar muridnya adalah anak-anak. Namun, menurut Yayah, kebanyakan muridnya hanya mau mempelajari satu jenis tarian yang dianggap mudah dan dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Alasan yang mendorong mereka pun karena tugas sekolah. Selepas tugasnya itu berlalu, mereka tak datang lagi.
“Gerakan panji yang paling mudah, tapi kebanyakan lemah di bagian kuda-kuda. Kebanyakan murid lemah dalam hal ini. Selain itu, herakkan tari panji yang sangat minimalis, sangat pelan, dan lemah gemulai, tidak membuat sadar para murid,” cerita Ria.
Memang tak ada patokan pasti tentang bagaimana petunjuk menarikan tari topeng Randegan dengan benar. Standarisasi biasanya berlaku kalau ada kurikulumnya (pembelajaran yang sifatnya formal). Bagi penari tradisional, tidak ada istilah standarisasi. Kalau diistilahkan barangkali hanya ada istilah “bisa” dan “mumpuni”.
“Bisa” artinya hafal gerakan, sedangkan “mumpuni” adalah mereka yang sudah bisa menyatukan antara gerakan dan jiwa. Dengan demikian setiap gerakan terlihat ada ruhnya. Sudah tentu Ibu Yayah Tarsiah dan pengajar tari manapun menginginkan bahwa belajar tari bukan sekadar menghafal gerakan akan tepai harus dapat memberikan ruh pada setiap gerakan.
Di antara ratusan murid yang hampir tiap hari memenuhi Sanggar Langgeng Budaya, hanya ada empat orang yang sungguh-sungguh menekuni tari topeng Randengan—untuk konteks mereka yang bercita-cita menjadi penari. Mereka sudah belajar menari sejak duduk di bangku Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama dan ada pula yang menari sejak Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas.
Waktu yang ditempuh tentu akan menghasilkan kualitasnya sebagai penari pula. Menurut Yayah, pada umumnya, seorang murid dapat membawakan tari topeng Randegan dalam kisaran waktu satu sampai tiga bulan. Dalam waktu itu, Yayah, sang maestro, baru dapat ‘melahirkan’ seseorang yang bisa menari saja. Kecepatan dan ketepatan untuk menjadi penari ‘sempurna’ memang harus dipupuki dengan minat.
Ada baiknya agar tari topeng Randegan dimasukkan dalam mata pelajaran muatan lokal di sekolah mulai dari tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. “Memang Ibu Yayah sedih karena kebanyakan muridnya belajar hanya karena tugas sekolah, tapi lebih baik mereka mengenal dulu. Nah, jangka panjangnya, dengan sinergi pemerintah dapat melaksanakan workshop dan festival tari topeng tiap tahunnya,” kata Ria.
Dengan demikian para siswa dapat termotivasi untuk bisa menari lebih baik lagi dari waktu ke waktu. (ded/ded)
Sumber: https://student.cnnindonesia.com