Oleh: Drs. Suwardi Alamsyah P. (BPNB BANDUNG)
Makalah dalam kegiatan Penayangan Film dan Diskusi Kebudayaan yang diselenggarakan oleh BPNB Bandung pada tanggal 23 Mei 2015 di Aula SMA Negeri 11 Garut
PENDAHULUAN
Seni tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, seni tidak selalu diwujudkan dalam bentuk seni musik, seni rupa, seni vocal ataupun bentuk-bentuk pengekspresian lainnya, melainkan lebih bersentuhan dengan aspek rasa. Dalam seni terkandung rasa keindahan, yang terkait langsung dengan kebutuhan batiniah. Unsur seni inilah yang jelas membedakan manusia dengan mahluk-mahluk lainnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Rosyadi (2010: 1), bahwa salah satu kelebihan manusia dari jenis-jenis mahluk lainnya di muka bumi ini ialah di samping manusia dikaruniai akal fikiran, manusia juga dikaruniai rasa keindahan.
Dalam konteks kebudayaan, kesenian merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dari kebudayaan manusia. Bakan, dalam pandangan sempit, tidak jarang orang mengartikan dan mengidentikkan kebudayaan sebagai kesenian. Kesenian dalam konteks kebudayaan merupakan ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri. Ia menciptakan, memberi peluang untuk bergerak, memelihara, menularkan, mengembangkan untuk kemudian menciptakan kebudayaan baru lagi (Koentjaraningrat, 1981/1982). Berkesenian adalah salah satu kebutuhan hidup manusia dalam bentuk pemenuhan kebutuhan akan rasa keindahan.
Dalam konteks kemasyarakatan, jenis-jenis kesenian tertentu memiliki kelompok-kelompok pendukung tertentu. Demikian pula kesenian bisa mempunyai fungsi yang berbeda di dalam kelompok-kelompok manusia yang berbeda. Perubahan fungsi dan perubahan bentuk pada hasil-hasil karya seni, dengan demikian dapat pula disebabkan oleh dinamika masyarakat. Di sisi lain, tata masyarakat dan perubahannya turut pula menentukan arah perkembangan kesenian.
Era modernisasi dan globalisasi membawa dua sisi dampak bagi keberadaan kesenian-kesenian tradisional. Di satu sisi, modernisasi dan kemajuan iptek membawa dampak negatif bagi keberadaan kesenian tradisional. Berbagai jenis kesenian tradisional yang pada masanya dulu sempat “berjaya”, seiring dengan semakin derasnya arus kebudayaan dan kesenian asing, eksistensi kesenian tradisional pun terancam. Ia mulai terpinggirkan dan tersisihkan oleh kesenian-kesenian baru yang belum tentu sesuai dengan nafas budaya bangsa kita. Tidak jarang pula terjadi proses “pendangkalan” terhadap kesenian-kesenian tradisional. Padahal sesungguhnya ekspresi kesenian yang merupakan bagian integral dari kesenian itu sendiri telah sering kali membanggakan kita ketika bangsa lain di dunia mengaguminya.
Kondisi ini banyak dialami oleh kesenian-kesenian tradisional, sehingga tidak jarang kesenian-kesenian tradisional, khususnya yang ada di daerah-daerah kini tengah mengalami krisis, bahkan ada beberapa di antaranya yang sudah mulai punah. Yang berkembang dan banyak diminati oleh masyareakat adalah justru kesenian-kesenian yang telah mengalami “proses pendangkalan”, dan mengikuti selera pasar.
Kondisi semacam ini dialami juga oleh beberapa jenis kesenian tradisional Sunda yang ada di Kabupaten Subang. Beberapa jenis kesenian tradisional Sunda kini tengah ada dalam kondisi kritis, sementara tidak sedikit pula yang bahkan telah punah. Namun ada juga beberapa jenis kesenian tradisional Sunda yang hingga kini tetap bertahan. Keberadaan kesenian-kesenian tradisional Sunda di Kabupaten Subang ini, tidak lepas dari peranserta para senimannya yang menaruh perhatian penuh terhadap keberadaan kesenian tradisional.
DESKRIPSI KESENIAN SISINGAAN
Penamaan
Sisingaan adalah nama sebuah jenis kesenian tradisional yang lahir dan berkembang di daerah Kabupaten Subang. Kesenian Sisingaan ini pun telah menjadi icon Kabupaten Subang, serta telah mengangkat dan mengharumkan nama Kabupaten Subang, bukan hanya di dalam negeri, melainkan juga telah dikenal di dunia internasional.
Penamaan kesenian Sisingaan diambil dari alat utama kesenian ini, yaitu “sisingaan”, suatu benda yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai wujud seekor singa. Kata “sisingaan” itu sendiri adalah kata jadian dalam bahasa Sunda yang kata dasarnya adalah “singa”, kemudian diberi imbuhan berupa awalan “si” dan akhiran “an”. Dalam bahasa Sunda, kata jadian yang dibentuk oleh pengulangan suku kata awal dari suatu kata dasar dan diberi akhiran ”an” mempunyai arti menyerupai. Contohnya: “me-meja-an”, “bu-buku-an”, “a-anjing-an”, “ma-manuk-an”, “ku-kuda-an”, “si-singa-an”, yang artinya tiruan dari kata dasarnya atau bukan yang sebenarnya. Jadi dalam kesenian Sisingaan, alat utamanya bukan singa yang sesungguhnya, melainkan singa tiruan yang terbuat dari kayu.
Banyak penamaan atau sebutan yang diberikan pada kesenian ini; ada yang menyebutnya kesenian Gotong Singa, Kuda Ungkleuk, atau Singa Ungkleuk, Odong-odong, Singa Depok, Pergosi, dan Sisingaan. Nama-nama tersebut memang merujuk pada unsur-unsur yang menonjol dari penampilan kesenian tersebut. Karena penamaan atau istilah yang ditujukan pada kesenian ini masih simpang siur, Bupati Subang yang pada masa itu dijabat oleh Ir.Sukanda Kartasasmita (1978-1988), menginstruksikan agar diadakan seminar yang salah satu tujuannya adalah untuk mencari kesepakatan dan pembakuan nama kesenian ini. Berdasarkan hasil seminar yang diselenggarakan pada tahun 1989 di kota Subang, maka ditetapkanlah nama seni pertunjukan ini adalah Kesenian Sisingaan.
Asal-usul Kesenian Sisingaan
Perihal asal-usul Kesenian Sisingaan, ada beberapa pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa lahirnya kesenian Sisingaan terkait erat dengan situasi sosial politik pada masa kolonial, yaitu ketika wilayah Subang dijajah dan diduduki oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan selanjutnya ketika wilayah Subang menjadi daerah perkebunan yang dikuasai secara bergantian oleh para penguasa tuan tanah berbangsa Belanda dan Inggris.
Edih AS – seorang pakar kesenian Sisingaan – sampai pada kesimpulan bahwa kesenian sisingaan ini mulai berdiri pada tahun 1857 dan pendirinya adalah Demang Mas Tanudireja. Pendapatnya ini didasarkan pada penelaahan berdirinya Kademangan Ciherang (kira-kira 5 Km dari Kota Subang), di mana Ciherang oleh beberapa ahli kesenian ini dianggap sebagai asal daerah kesenian Sisingaan.
Sebelum tahun 1860 Ciherang telah berdiri sebagai sebuah kademangan. Demangnya adalah Mas Tanudireja yang diangkat dengan besluit tahun 1857. Bahan lainnya yang dijadikan dasar pengambilan kesimpulan oleh pakar ini adalah hasil penelitian yang telah dilakukannya dari tahun 1981 sampai dengan tahun 1985. Dari hasil penelitian itu diperoleh keterangan mengenai orang-orang atau para pejabat setempat yang pernah menggelarkan kesenian ini, serta keterangan mengenai waktunya sebagai berikut:
Pada tahun 1910 Lurah Sayung yang terpilih sebagai lurah yang ketiga di Desa Cigadung, diarak keliling desa menunggang sisingaan dengan perangkat keseniannya sebagai luapan rasa kegembiraan masyarakat dan dirinya sendiri atas terpilihnya sebagai lurah.
Tahun 1920, Patih Oman, pensiunan Pemda Kabupaten Subang mengakui bahwa pada masa kanak-kanaknya ia dikhitan dan diarak keliling kampung dengan menunggang sisingan.
Tahun 1927, O.Suparno Pensiunan Kantor Veteran Kabupaten Subang mengakui pula bahwa pada waktu dikhitan ia diarak keliling kampung dengan kesenian sisingaan.
Dari sumber-sumber itulah pakar tersebut sampai pada kesimpulan bahwa kesenian Sisingaan sudah ada sebelum tahun 1910; dan dari telaahan sejarahnya mengenai Kademangan Ciherang dan diangkatnya Demang Mas Tanudireja (1857), ia menyatakan bahwa kesenian ini mulai ada pada tahun 1857, dan penciptanya adalah Demang Mas Tanudireja.
Pendapat kedua, mencoba menelusuri asal-usul lahirnya kesenian Sisingaan melalui rekonstruksi sejarah penguasaan daerah Subang oleh pihak swasta asing (Inggris dan Belanda) dengan menggambarkan situasi-situasi yang berlangsung pada setiap periode. Armin Asdi dalam sebuah makalahnya yang berjudul “Seni Sisingaan dan Perkembangannya”, mengelompokkan masa perkebunan itu menjadi 3 periode, yaitu:
Tahun 1812 – 1839 daerah Subang (P and T Land) dikuasai oleh orang Inggris.
Tahun 1840 – 1911 daerah Subang dikuasai oleh orang Belanda.
Tahun 1911 – 1954 daerah ini dikuasai lagi oleh orang Inggris.
Pada periode pertama, daerah Subang dikuasai oleh orang-orang Inggris yaitu J.Sharpnell dan Muntinghe yang kemudian Mutinghe menjual tanahnya kepada J.Sharpnell dan Skelton. Ketika itu perkebunan P and T Land belum begitu berarti. Daerah pantainya berawa-rawa, datarannya dipenuhi semak-semak dan daerah gunungnya merupakan hutan belantara. Daerah ini ketika itu tidak dikelola secara sungguh-sungguh. Penghasilan tuan tanah hanyalah dari pajak bumi penduduk yang masih sangat jarang. Dengan kondisi yang seperti itu kecil sekali kemungkinannya untuk dapat melahirkan suatu karya seni yang besar dan penuh makna seperti kesenian Sisingaan.
Periode kedua yaitu masa penguasaan pihak swasta Belanda atas perkebunan P and T Land. Semenjak tahun 1840 ketika keluarga Hoffland menjadi pemilik P and T Land, mulailah daerah ini secara ekonomis mempunyai arti. Perkebunan mulai dikelola secara sungguh-sungguh dan menghasilkan komoditi tanaman yang laku keras di pasaran dunia, seperti teh, coklat, karet, kina, dan merica. Suasana kehidupan mulai ramai dan mulai berdatangan orang-orang secara besar-besaran, khususnya dari daerah Kuningan dan Majalengka yang kemudian menetap di daerah Subang. Pada waktu itu kehidupan di daerah ini sudah jauh lebih baik dibanding masa sebelumnya. Keluarga Hoffland menjadi sangat terkenal sebagai orang yang mampu memajukan P and T Land dan sekaligus memperbaiki kehidupan rakyat.
Dalam suasana masyarakat yang demikian mungkin sekali lahir suatu karya seni yang besar. Tetapi kalau dihubungkan dengan zaman pertuanan pada masa itu, kemungkinan besar kreasi seni yang lahir cenderung bersifat kegembiraan, pemujaan, sanjungan bahkan mungkin pengkultusan. Kalaulah kesenian sisingaan lahir pada zaman ini tentunya kesenian ini termasuk seni pujaan, sanjungan terhadap penguasa P and T Land yang dianggap membawa kemakmuran pada waktu itu. Tentunya nuansa kegembiraan yang menonjol sebagai ungkapan terimakasih kepada penguasa. Namun pada kenyataannya kesenian sisingaan ini dipersepsikan oleh banyak kalangan sebagai suatu bentuk kesenian yang mengekspresikan perlawanan dan pemberontakan, serta rasa ketidakpuasan terhadap penguasa (tuan tanah dan pemerintah Hindia Belanda).
Selanjutnya pada periode ketiga, yaitu tahun 1911 – 1954, P and T Land kembali dikuasai oleh orang Inggris. Situasi masyarakat pada waktu itu tengah dibakar oleh semangat perjuangan yang membara yang disalurkan melalui organisasi-organisasi badan perjuangan. Tahun 1911 tumbuh Sarekat Islam, sebuah organisasi perjuangan yang mudah dan dapat diterima di kalangan rakyat jelata yang pada umumnya mempunyai latar belakang Agama Islam dan persamaan nasib dalam penderitaan akibat tekanan penjajah.
Di daerah Subang sendiri yang waktu itu dikuasai oleh pemilik perkebunan P and T Land menjadi daerah yang aman untuk pelarian tokoh-tokoh politik dari daerah lain, karena pihak P and T Land sendiri kurang memperdulikan masalah-masalah politik selama tidak merugikan perusahaan. Pada waktu itu di daerah Subang banyak timbul pergerakan-pergerakan politik bernafaskan nasionalisme yang pada mulanya bergerak secara terselubung dalam bentuk kegiatan-kegiatan ekonomi, sosial dan pendidikan.
Melihat pada sifat kesenian sisingaan yang sarat dengan pesan-pesan perjuangan, maka mungkin saja kesenian ini berkembang pada periode ini. Namun demikian belum juga dapat dipastikan kapan tepatnya kesenian ini lahir. Kemungkinan besar di antara ketiga periode seperti yang diuraikan di atas, pada periode ketiga inilah lahirnya kesenian sisingaan.
Kedua pendapat ini selama ini menjadi pengetahuan umum dari masyarakat luas, yaitu bahwa Kesenian Sisingaan merupakan simbol perlawanan masyarakat Subang terhadap penjajah yang diekspresikan melalui bentuk aktivitas berkesenian.
Pendapat lain mengenai asal-usul kesenian Sisingaan, dipelopori oleh Mas Nanu Munajar, seorang seniman akademisi yang berasal dari daerah Subang. Ia berpendapat bahwa kesenian Sisingaan berawal dari kesenian Odong-odong yang memiliki fungsi dan makna ritual. Lebih jauh Mas Nanu Munajar mengatakan, bahwa jauh sebelum agama-agama besar masuk, masyarakat di daerah Subang telah memiliki tradisi yang berkaitan dengan aktivitas pertanian, yaitu tradisi “Odong-odong”.Tradisi yang dimaksud adalah kepercayaan yang memuja dan mengagungkan padi dan para leluhur serta kekuatan-kekuatan supranatural. Tradisi Odong-odong ini dilangsungkan dengan cara mengarak sesuatu benda yang dibentuk menyerupai binatang tertentu dan diiringi dengan bunyi “surak” (tepuk tangan berirama). Peniruan bentuk binatang ini adalah ekspresi dari kepercayaan totemisme (kepercayaan dan pemuliaan terhadap hewan tertentu). Odong-odong ini biasa dipertunjukan pada konteks ritual, seperti ritual pertanian, dan upacara Ngaruwat Bumi.
Seiring dengan perkembangan zaman, kesenian Odong-odong ini mengalami perkembangan yang kemudian melahirkan bentuk-bentuk seni pertunjukan dan helaran, seperti Kesenian Mamanukan, Kukudaan atau Kuda Semprani (kukudaan yang diberi sayap), dan Sisingaan. Pendapat yang kedua ini mengatakan bahwa penamaan Kesenian Sisingaan itu sendiri batu muncul pada tahun 1989. Ketika itu, Kabupaten Subang diminta untuk mengirimkan misi keseniannya ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII), sementara para seniman Subang belum memiliki nama yang pas untuk menyebut kesenian Odong-odong. Akhirnya, dalam sebuah forum seminar yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Subang pada tahun 1989, ditetapkanlah nama Kesenian Sisingaan sebagai delegasi kesenian dari Kabupaten Subang untuk dipergelarkan di TMII. Semenjak itu, maka lahirlah Kesenian Sisingaan.
Jalannya Pertunjukan
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa kesenian sisingaan dewasa ini tidak hanya dipergelarkan dalam kaitannya dengan upacara khitanan, melainkan juga kaitannya dengan peristiwa-peristiwa upacara resmi yang bersikap lokal maupun nasional. Namun demikian, oleh karena memang pertunjukkan kesenian ini lebih sering dipergelarkan untuk menghibur anak yang akan dikhitan, maka dalam deskripsi ini pun lebih ditekankan pada jalannya pertunjukkan kesenian ini ketika ditampilkan dalam kesempatan upacara khitanan.
Sehari sebelum anak itu diusung di atas sisingaan untuk diarak keliling kampung/desa, ia dilulur dan dimandikan dengan air kembang oleh dukun rias, yaitu perias pengantin sunat. Keesokan harinya barulah anak itu dirias di tempat khusus, yaitu di sebuah bilik yang khusus dibuat untuk itu secara tidak permanen.
Sebelum mulai dirias, anak yang akan dikhitan itu dimandikan terlebih dahulu. Selesai mandi barulah didandani. Pertama-tama adalah merias muka dengan bedak lulur. Kemudian matanya dipoles dengan eye shadow dan bibirnya dipoles dengan lipstik. Untuk memberi kesan “kejantanan”, di atas bibir anak itu diberi kumis dengan pensil alis (menggambarkan tokoh Gatotkaca). Selanjutnya anak itu didandani dengan seperangkat pakaian khusus yang telah disediakan yang meniru pakaian Gatotkaca. Selesai anak yang akan dikhitan didandani, kemudian dukun rias mendandani anak yang akan mendampingi pengantin sunat. Anak itu didandani mengidentifikasi tokoh Arjuna.
Sementara itu rombongan penggotong sisingaan dan penabuh gamelannya sudah siap di halaman rumah atau di pinggir jalan. Setelah pengantin sunat dan pendampingnya selesai didandani, kedua anak itu dinaikkan ke atas sisingaan. Kemudian alat-alat tabuhan mulai dibunyikan membawakan lagu-lagu yang berirama dinamis. Bersamaan dengan bunyi alat tabuhan, para penggotong sisingaan mulai melakukan gerakan-gerakan tarian masal yang dinamis selaras dengan iringan musiknya. Setiap gerakan mereka lakukan secara bersama-sama, kompak, dan serempak. Dalam gerak-gerak tarian banyak terselip gerakan-gerakan pencak silat.
Pembentukan formasi para penari penggotong sisingaan diatur dan dikomando oleh seorang pemimpin. Melalui aba-aba pemimpin, para penggotong sisingaan mulai membuat formasi untuk menggotong sisingaan. Mereka membagi diri dalam 2 kelompok, masing-masing kelompok terdiri atas 4 orang. Sambil tetap melakukan gerak-gerak tarian, masing-masing kelompok mendekati sisingaan yang akan diusungnya. Mereka pun mulai membuat gerakan-gerakan atraktif dan akrobatis sambil mulai mengangkat sisingaan dan meletakkannya di atas pundak. Masing-masing kelompok mengusung sebuah sisingaan yang ditunggangi oleh masing-masing satu orang anak.
Komposisi gerak tarian yang dibawakan agak berbeda bila kesenian ini dipergelarkan dalam suatu pawai (arak-arakan) dalam kaitannya dengan upacara khitanan, dibanding dengan pergelaran di atas panggung. Susunan gerak tari sisingaan yang dipertunjukkan pada waktu mengarak anak sunat adalah: Ketuk Tilu yang terdiri atas gerakan-gerakan kuda-kuda, jurus, ngayun, jurus, minced, dan gurudugan. Gerakan-gerakan ini diiringi tiupan terompet dalam overtur Arang-arang dan gurudugan, lengkap dengan iringan karawitan. Gerakan selanjutnya adalah ancang-ancang dan najong dalam posisi badan berputar. Gerakan ini diiringi irama lagu Gurudugan. Kemudian disusul dengan gerakan-gerakan eway, minced, solor, minced yang diiringi lagu Kangsreng. Babak selanjutnya adalah atraksi akrobatik yang dilakukan di sepanjang jalan dengan iringan musik dalam irama yang dinamis.
Adapun komposisi gerak tari dan lagu kesenian sisingaan yang dipergelarkan di atas panggung adalah Overture Arang-arang yang dialunkan melalui tiupan terompet dan Gurudugan. Selanjutnya adalah lagu Kidung mengiringi gerakan-gerakan: kuda-kuda masang, ngayun, jeblagan. Kemudian lagu Kangsreng mengiringi gerakan-gerakan: eway, minced, solor, minced. Disusul dengan lagu Gondang mengiringi gerakan: bankaret, gebrig, bajing luncat, masang/ancang-ancang, depok. Kemudian lagu Kesenian Sisingaan mengiringi gerak tari Jaipongan. Atraksi selanjutnya adalah atraksi akrobatik dalam gerakan-gerakan putar katak, gendong singa, kait suku, melak cau, dan nincak acak.
PENUTUP
Simpulan
Kabupaten Subang merupakan salah satu daerah lumbung seni di wilayah Tatar Sunda. Hampir semua jenis kesenian Sunda hidup dan berkembang di daerah Subang. Salah satu jenis kesenian Sunda yang sangat melekat dengan daerah Subang adalah kesenian Sisingaan. Kesenian Sisingaan ini telah menjadi icon Kabupaten Subang, serta telah mengangkat dan mengharumkan nama Kabupaten Subang, bukan hanya di dalam negeri, melainkan juga telah dikenal di dunia internasional.
Perihal asal usul kesenian sisingaan terdapat perbedaan pendapat di antara para akhli. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa kesenian sisingaan lahir sebagai simbol perlawanan masyarakat Subang terhadap penguasa perkebunan (P & T Lands), yang secara bergantian dikuasai oleh orang Belanda dan Inggris. Dalam hal ini, sisingaan merupakan simbol penguasa Belanda dan Inggris, sedangkan anak sunat adalah simbol masyarakat Subang yang sedang menundukkan penguasa asing. Pendapat kedua mengatakan bahwa kesenian Sisingaan pada awalnya berkaitan dengan tujuan suci, yaitu untuk upacara bersih desa, kesuburan, dan keselamatan atau tolak bala. Kesenian ini disajikan sebagai bentuk wujud ungkapan syukur masyarakat pada para leluhur, terhindar dari segala macam bahaya, dan syukuran telah dilimpahkan kemakmuran serta kesuburan. Pada setiap upacara, kesenian ini hadir dengan bentuk yang berbeda-beda. Pada awalnya sisingaan bentuknya tidak seperti sekarang ini, wujudnya seperti singa, akan tetapi bentuknya pun berbeda-beda yang menyerupai binatang atau hewan, yaitu berbentuk burung-burungan, seperti burung garuda, elang, gagak, maupun angsa, macan, kuda, dan sebagainya. Kesenian-kesenian yang berbentuk hewan/binatang tersebut oleh masyarakat Kabupaten Subang disebutnya “Odong-odong”. Namun pada perkembangan selanjutnya, bentuk sisingaan yang menjadi berkembang dan hidup di kalangan masyarakat Subang, disajikan untuk upacara hajatan khitanan anak.
Saran-saran
Eksistensi kesenian sisingaan di kalangan masyarakat Subang tidaklah terlalu mengkhawatirkan, karena kesenian ini hingga kini masih tetap hidup dan berkembang serta diminati oleh masyarakat luas. Namun ini tidak berarti bahwa kesenian ini lepas dari perhatian pemerintah ataupun para stakeholder. Upaya-upaya pembinaan, sosialisasi, dan regenerasi tetap harus dilakukan, karena bila tidak, niscaya kesenian ini akan mengalami nasib yang sama dengan beberapa jenis kesenian tradisional yang kini kondisinya sangat mengkhawatirkan.
Adanya perbedaan pendapat mengenai asal-usul kesenian sisingaan perlu disikapi dengan arif. Apa pun pendapat masyarakat atau seniman mengenai asal usul kesenian ini adalah syah-syah saja, karena memang hingga kini belum ada bukti-bukti otentik dan empiris mengenai asal-usul kesenian ini. Adanya perbedaan pendapat ini perlu ditindaklanjuti dengan kegiatan kajian yang mendalam mengenai sejarah asal usul kesenian sisingaan yang didukung dengan data-data yang sahih dan otentik.
Perlu upaya-upaya untuk lebih mengangkat lagi popularitas kesenian sisingaan ke tingkat nasional, bahkan didaftarkan ke UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda milik bangsa Indonesia.