Penulis: Irfan Teguh
Tubagus Hasanuddin dan Anton Charliyan menjadi satu-satunya pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur (cagub dan cawagub) yang diusung satu partai yakni PDI Perjuangan.
Tubagus Hasanuddin lahir di Majalengka pada 8 September 1952. Ia anggota DPR dari Fraksi PDIP Dapil Jawa Barat IX yang terpilih sejak tahun 2009, dan duduk di Komisi I bidang pertahanan, intelejen, luar negeri, komunikasi dan informatika. Sebelum aktif di legislatif, ia seorang anggota TNI dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal.
Sementara pasangannya, Anton Charliyan, lahir di Tasikmalaya pada 29 November 1960. Anton adalah mantan perwira tinggi Polri dengan jabatan terakhir sebagai Wakil Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri. Mantan Kapolda Jabar ini adalah lulusan Akademi Kepolisian tahun 1984.
Nama Hasanuddin sempat disebut kasus dugaan suap pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat. Nofel Hasan, terdakwa kasus tersebut, dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibacakan oleh Jaksa KPK, mengungkapkan peran Tb Hasanuddin dan koleganya di Komisi I DPR Fayakhun.
“Kepala Bakamla (Arie Soedewo) menyampaikan bahwa habis bertemu Tb Hasanuddin dan membicarakan tentang Fayakhun yang tidak sejalan dengan Tb Hasanuddin. Dalam mengusulkan kegiatan satmon (proyek satelite monitoring) ini menggunakan kekuatan dua orang, orang legislatif tersebut yaitu Tb Hasanuddin dan Fayakhun,” kata Jaksa Kiki saat membacakan BAP Nofel Hasan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.
Menanggapi fakta sidang tersebut Hasanuddin bersikap santai. Menurut Calon Gubernur Jabar dari PDIP itu, seperti diberitakan Tribun, pertemuan tersebut merupakan pertemuan biasa dan bersifat terbuka ketika rombongan Komisi I yang dipimpinnya melakukan kunjungan ke kantor Bakamla, yang saat itu lembaga tersebut baru masuk menjadi mitra Komisi I DPR.
Tb Hasanuddin Keponakan Komandan Hizbullah?
Jelang Pilgub Jabar 2018, Tb Hasanuddin berhasil menemukan makam uaknya di Taman Makam Karoeng, Kota Tasikmalaya, yang telah lama ia cari. Saat itu ia tak bisa menahan air mata saat menemukan makam Haeruman, uaknya yang gugur dalam pertempuran di Indihiang, Kota Tasikmalaya, pada tahun 1954 saat menjadi Komandan Batalion Hizbullah.
“Saya sengaja berziarah setelah sekian lama mencari tempat pemakamannya. Beliau kakak ibu saya yang gugur sebagai Komandan Batalion Hizbullah pada tahun 1954, waktu saya masih berumur 2 tahun. Dan setelah saya dewasa dapat amanah dari ibu saya untuk mencarinya,” ujarnya.
Namun benarkah pada tahun 1954 Laskar Hizbullah masih eksis di Priangan dan terlibat dalam sejumlah pertempuran?
Galun Eka Gemini dan Kunto Sofianto dalam Peranan Laskar Hizbullah di Priangan 1945-1948 (Jurnal Patanjala Vol. 7 No. 3, September 2015)—Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya yang diterbitkan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat, menerangkan bahwa pada 3 Juni 1947 secara resmi Tentara Republik Indonesia (TRI) dan badan-badan perjuangan bergabung ke dalam TNI pimpinan Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid III (1947) yang disusun oleh Pramoedya Ananta Toer, dkk., hal ini diperkuat dalam penetapan Berita Negara No. 24 tahun 1947, yang salah satu poinnya berbunyi, “Segenap anggota angkatan perang dan segenap Lasykar-Lasykar bersenjata mulai saat ini dimasukkan ke dalam Tentara Nasional Indonesia.” (2001: 181)
Laskar Hizbullah Priangan terbagi dua dalam menanggapi keputusan ini, ada yang setuju bergabung dengan TNI, ada pula yang tidak sepakat. Perbedaan ini semakin meruncing ketika hasil Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 mengharuskan TNI meninggalkan Jawa Barat. Laskar Hizbullah yang kontra pemerintah menolak keputusan tersebut dan menggelar konferensi pada 10-11 Februari 1948 di Pangwedusan, Cisayong, Tasikmalaya, yang dihadiri juga oleh beberapa perwakilan organisasi Islam di Jawa Barat.
Keputusan terpenting dari konferensi tersebut adalah terbentuknya Tentara Islam Indonesia (TII) dari unsur Hizbullah dan organisasi Islam lainnya.
“Sejak dibentuknya Tentara Islam Indonesia (TII) berdasarkan hasil Konferensi Cisayong pada 10-11 Februari 1948, maka berakhirlah eksistensi Laskar Hizbullah di Priangan,” tulis Galun Eka.
Jika Laskar Hizbullah di Priangan berakhir pada tahun 1948, mungkinkah badan perjuangan tersebut masih terlibat pertempuran pada tahun 1954 seperti yang dikatakan Tb Hasanuddin?
“Tak Sesuai Fakta Sejarah”, demikian judul surat pembaca yang ditulis H. Usep Romli HM—mantan wartawan Harian Pikiran Rakyat dan pengasuh Pesantren Budaya Raksa Sarakan, Garut. Usep Romli menanggapi kabar serupa yang diwartakan oleh Harian Tribun Jabar, Jumat (1/2/2018, hlm. 10).
Diawali dengan memaparkan fakta-fakta tentang Laskar Hizbullah dari beberapa buku, dan menyebutkan bahwa laskar tersebut sudah tidak ada lagi sejak terjadi peleburan pada tanggal 3 Juni 1947, Usep Romli memperkirakan bahwa Haeruman adalah tentara Siliwangi yang gugur dalam kontak senjata dengan pasukan DI/TII.
“Mungkin saja Letda Haeruman pernah menjadi komandan Hizbullah sekitar tahun 1945. Tapi waktu gugur tahun 1954 sudah bukan komandan Hizbullah. Mungkin komandan salah satu Batalyon/Kompi TNI. Gugur dalam kontak senjata dengan DI/TII yang pada tahun 1949-1962 kuat menguasai beberapa daerah di Jawa Barat, terutama Priangan Timur (Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, dan Garut),” tulisnya.
Anton Charliyan, GMBI, dan Kasus yang Pernah Ditanganinya
Sementara Anton Charliyan, namanya sempat ramai diperbincangkan saat ormas Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) terlibat dalam beberapa bentrokan dengan ormas lain. Anton yang waktu itu tercatat sebagai Ketua Dewan Pembina GMBI, sempat diadukan oleh Front Pembela Islam (FPI) ke DPR RI, terkait kericuhan yang terjadi antara kedua ormas tersebut usai pemeriksaan saksi terlapor Rizieq Shihab di Bandung pada Kamis, (12/1/2017).
17 Januari 2017, Desmond Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI menerima perwakilan FPI di Ruang Rapat Komisi III DPR. Ia menyampaikan bahwa laporan masyarakat termasuk FPI akan diterima Komisi III DPR. Dalam kasus ini, Desmond menambahkan tinggal mengklarifikasi kejadian sebenarnya.
Setelah peristiwa tersebut, Anton Charliyan kemudian dicopot dari posisi Kapolda Jabar dan menempati pos penugasan berikutnya sebagai Wakil Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri sampai Januari 2018.
Sepanjang karirnya di kepolisian, pada tahun 2000 Anton pernah menjadi penyidik dalam kasus pembunuhan Marsinah, buruh pabrik di Sidoarjo, Jawa Timur. Ia juga sempat terlibat dalam penanganan kasus aktivis HAM, Munir.
Pasangan Banteng dalam Pilgub Jabar
Terlepas dari rekam jejaknya, dalam upaya meraih simpati masyarakat Jawa Barat, pasangan ini menawarkan beberapa program kerja unggulan jika mereka berhasil memenangkan kontestasi Pilgub Jabar 2018.
Program unggulan tersebut yaitu: Jabar Seubeh (program di bidang pangan), Sakola Gratis (program di bidang pendidikan), Imah Rempeg (program ketersediaan dan kelayakan tempat tinggal), Jabar Cageur (program kesehatan), Turkamling (infrastruktur, keamanan dan lingkungan), serta Molotot.com (akses pengawasan terhadap transparansi dan kinerja pemerintah)
Dalam sejarah pemilihan langsung Gubernur dan Wakil Gubernur di Jawa Barat yang dimulai pada tahun 2008, pasangan yang diusung oleh PDIP selalu gagal memenangkan kompetisi. Tahun 2008, pasangan yang mereka usung yakni Agum Gumelar (PDIP) dan Nu’man Abdul Hakim (PPP) kalah oleh pasangan Ahmad Heryawan (PKS) dan Dede Yusuf (PAN).
Sementara lima tahun berikutnya, pasangan yang mereka usung (Rieke Dyah Pitaloka dan Teten Masduki) kalah oleh petahana Ahmad Heryawan yang berpasangan dengan Deddy Mizwar.
Pada Pilgub Jabar Jilid 3 kali ini, apakah pasangan yang diusung PDIP mampu mengungguli pasangan lainnya? Kita hitung mundur saja menuju hari pencoblosan pada tanggal 27 Juni 2018 mendatang.
Baca juga artikel terkait PILGUB JABAR 2018 atau tulisan menarik lainnya Irfan Teguh
(tirto.id - Politik)
Reporter: Irfan Teguh & Muhammad Akbar Wijaya
Sumber: https://tirto.id