WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Sekilas Tentang Karakteristik Media Audiovisual dan Bahasa Visual

Oleh Hadi Purnama

Memahami Komunikasi Visual
Menurut Stephen W. Littlejohn ”komunikasi merupakan sebuah terminologi yang sulit untuk didefinisikan, mengingat kompleksitas dan karakteristiknya yang multidisiplin” (Littlejohn, 1978:23). Namun upaya untuk mendefinisikan komunikasi – meski pun tidak mungkin dibangun melalui definisi tunggal, menyeluruh, dan final – merupakan sebuah langkah awal untuk memahami objek formalnya agar lebih mudah mudah menjelaskan ruang lingkup kajian komunikasi.

Littlejohn memandang komunikasi bukan sebuah peristiwa tunggal (singular event), melainkan suatu proses yang kompleks yang terdiri atas serangkaian peristiwa psikologis dan sosial yang melibatkan interaksi simbolik. Peristiwa psikologis dan sosial ini terjadi didalam dan diantara individu dalam konteks antarpribadi, kelompok, organisasi dan massa. Selain itu peristiwa komunikasi berlangsung dalam suatu rangkaian proses pengodean (coding), pemaknaan (meaning), berpikir (thinking), informasi (information), dan persuasi (persuasion) (Littlejohn,1978:376).

Selain mengacu pada penjelasan Stephen W.Littlejohn, Richard West dan Lynn H. Turner dalam buku Introducing Communication Theory: Analysys and Application, berupaya mendefinisikan komunikasi sebagai, ”Proses sosial dimana individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk men-ciptakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka (West dan Turner, 2010:5).

Menurut West dan Turner terdapat lima istilah kunci yang membangun definisi komunikasi yaitu: social (social), proses (process), symbol (symbol), makna (meaning) dan lingkungan (environment), sebagaimana terlihat pada gambar berikut ini.

Istilah Kunci dalam Komunikasi

Sumber: West dan Turner (2010:5)

Pertama, komunikasi dipandang sebagai suatu peristiwa sosial karena melibatkan manusia dan interaksi sosial, dimana di dalamnya terlibat berbagai perhatian, motivasi dan kemampuan. Kedua, komunikasi sebagai suatu proses karena berlangsung terus menerus dan tidak berujung. Komunikasi dipandang sebagai sesuatu yang dinamis, kompleks, dan terus-menerus berubah, termasuk perubahan dalam pemaknaan.

Ketiga, komunikasi kerap diasosiasikan dengan simbol sebagai suatu label atau penanda yang arbitrer (manasuka) atau representasi fenomena. Simbol-simbol yang digunakan dalam komunikasi dapat berupa lambang verbal maupun non-verbal, atau adanya pelibatan simbol konkret (concrete symbols) yang merepresentaasikan suatu objek, dan simbol abstrak (abstract symbols) yang merepresentasikan suatu pikiran atau gagasan.

Keempat, terkait dengan proses dan simbol, maka makna dipandang sebagai pusat dari definisi komunikasi. Makna, menurut West dan Turner, ”adalah apa yang dipahami individu dari suatu pesan” (what people extract from a message). Padahal, dalam suatu persitiwa komunikasi, pesan dapat memiliki lebih dari satu makna, bahkan memiliki makna yang bertingkat atau berlapis (multiple layers of meaning). Kata kuncinya, dalam komunikasi disyaratkan adanya kesamaan dalam memaknai pesan, bila tidak akan menemui kesulitan dalam memahami pesan meskipun ada kesamaan bahasa, atau dalam menafsirkan peristiwa yang sama. Makna tidak hadir begitu saja dari suatu teks, melainkan dapat dipengaruhi oleh suatu konteks budaya dan sosial tertentu. Bahkan, menurut Stewart dan Kowaltzke, suatu teks dapat dimaknai berbeda oleh mereka yang berasal dari budaya. Lebih jauh Stewart dan Kowaltzke menjelaskan bahwa suatu teks memiliki serang-kaian informasi yang kaya yang lebih mirip sebuah sekumpulan bangunan. Sehing-ga kebanyakan orang akan menggunakan serangkaian blok bangunan tadi untuk memahaminya sebagai sesuatu yang mirip, padahal setiap orang memiliki gagasan yang tidak persis sama. Perbedaan dalam mengontruksi makna dari suatu teks dapat dipengaruhi berbagai faktor diantaranya berasal dari perbedaan pengalaman hidup (life experiences), jender, etnik atau ras, hingga kelas sosial (Stewart dan Kowaltzke, 2008:6).

Kelima, elemen lain dalam komunikasi adalah lingkungan (environment), yang dikenal juga sebagai situasi atau konteks dimana komunikasi berlangsung. Ada beberapa unsur konteks komunikasi, diantaranya adalah waktu, tempat atau lokasi, periode sejarah (historical period), hubungan (relationship), dan latar belakang budaya partisipan komunikasi (speaker’s and lisener’s cultural background). Lingkungan komunikasi juga dapat berlangsung melalui media (termasuk pelibatan media massa dan nirmassa), atau dengan bantuan teknologi komunikasi seperti surat elektronik (e-mail), chat rooms, maupun media jejaring sosial. Tentu saja dalam lingkungan komunikasi bermedia ini akan mempengaruhi komunikasi diantara individu, mengingat dalam interaksi secara elektronik para partisipan tidak dapat memantau komunikasi nonverbal (West dan Turner, 2010:8).

Mengapa Komunikasi Visual?
Selain komunikasi verbal (lisan dan tertulis/tercetak) dan nonverbal, juga dikenal komunikasi visual. Komunikasi visual merupakan sebah terminologi yang digunakan sebagai “payung” dari berbagai kegiatan komunikasi yang menggunakan unsur rupa (visual) pada berbagai media, seperti percetakan (grafika), media luar ruang (markagrafis, papan reklame), televisi, film /video, internet dan lain-lain, yang bersifat dua dimensi maupun tiga dimensi, baik yang statis maupun bergerak (time based).

Menjadi penting untuk memahami pesan komunikasi yang bersifat visual (dan audio visual), mengingat fungsi dan kekuatan besar (greatest power)dalam menyampaikan informasi (to inform), mendidik, dan mempersuasi suatu individu maupun budaya (Lester, 2006:vii). Dalam mengkaji komunikasi visual, peran pesan dalam bentuk kata-kata (verbal) juga mejadi tidak kalah penting dibanding pesan dalam unsur rupa (visual). Karena, seperti ditegaskan oleh Lester, “the most powerful, meaningful, and culturally important messages are those that combine words and pictures equally and respectfully” (Lester, 2006:vii).

Menjadi penting ketika memahami komunikasi visual bahwa terdapat banyak cara menyampaikan pesan secara audiovisual di era masyarakat yang sarat media (media-rich society) tidak semata hanya melalui pendekatan teknis, semisal dari aspek tipografis, grafis, infografis, gambar diam maupun bergerak (still and moving images). Lebih dari itu, diperlukan pemahaman dari perspektif personal, historis, teknik, etis, cultural dan kritis, agar bisa memahami pesan visual secara lebih komprehensif.

Menggunakan Media Audiovisual
Media audiovisual (AV atau A/V) biasanya merujuk pada perangkat komunikasi yang disampaikan untuk indera penglihatan dan pendengaran, dan biasanya ditujukan untuk khala-yak banyak. (sumber: http://www.eionet.europa.eu/gemet/concept?ns=1&cp=658, 3/2/2014). Televisi dan film merupakan dua contoh media audiovisual yang memiliki kesamaan sekaligus perbedaan sifat. Mengutip Marshall McLuhan dalam buku Understanding Media: The Extension of Man (1964), media dapat dibedakan berdasarkan sifatnya, yakni hot media dan cool media. Hot media merujuk pada media yang membutuhkan keterlibatan penggunanya secara penuh, khususnya menekankan pada salah satu indera (misalnya penglihatan atau pendengaran). Dalam kategori ini diataranya radio, film, dan fotografi. Sebaliknya cold media, yang tidak terlalu membutuhkan keterlibatan penggunanya, sehingga tidak bertumpu pada salah satu indera saja, dan televisi merupaka salah satu contoh cold media.

Mengingat kesamaan sekaligus perbedaan yang dimiliki setiap media, maka sudah selayaknya dalam pembuatan materi siaran televisi dan film harus memerhatikan bukan saja karakteristik media-nya, melainkan juga khalayaknya.

Bahasa Visual
Menurut McLuhan, media juga sebuah (sistem) bahasa yang memiliki sistem dan struktur gramatikanya sendiri. Karenanya, media sebagai sebuah bahasa bukn saja dapat dipelajari melainkan memiliki efek yang secara berkelanjutan membentuk dan membentuk kebali cara individu, masyarakat, kebudayaan mempersepsi dan memahami dunia.

Proses visual, menurut Aldous Huxley, melibatkan bukan hanya indera penglihatan (mata) melainkan juga unsur eksternal berupa cahaya, dan proses berpikir (otak). Sehingga Huxley merumuskannya menjadi “Sensing plus selecting plus perceiving equals seeing.” Apa yang dipersepsi meliputi unsur warna, bentuk, kedalaman (depth) dan gerakan.

Warna sebagai bahasa visual memiliki sistem dan gramatikanya tersendiri. Bahasa melalui warna memiliki makna yang tidak sederhana, karena memiliki fungsi: (1) Menarik Perhatian; (2) Menimbulkan; (3) Efek-efek Psikologis; (4) Mengembangkan Asosiasi; (5) Membangun Ketahanan Minat; dan (6) Men-ciptakan Suasana Menyenangkan. Pendek kata, pemilihan warna yang tepat akan sangat berperan pada

keberhasilan komunikasi visual. Sehingga memahami warna sama artinya mampu mengendalikan efektifitas penyampaian pesan komunikasi.

Unsur bentuk dibangun melalui unsur-unsurnya, seperti titik (dots), garis (lines), bentuk (shapes), lingkaran, segitiga dan parallelogram.

Unsur kedalaman dalam bahasa visual merupakan hasil dari kombinasi ruang (space), warna (color), cahaya (lighting), gradasi tekstur (textural gradient), antarposisi (interposition), waktu (time), dan perspektif (perspective).

Sedangkan unsur gerak meliputi gerak sebenarnya (real movement), gerak ilusi (apparent movement), gerak grafis (graphic movement), dan gerak tersirat (implied movement).

Selain unsur bahasa visual seperti telah dipaparkan di atas, masih ada beberapa unsur visual yang juga penting dalam komunikasi visual, salah satunya adalah tipografi. Pemilihan dan penyusunan huruf akan sangat membantu tersampaikannya pesan komunikasi kepada khalayak.

Bahasa Film Dokumenter
Bahasa yang digunakan dalam film dokumenter merupakan perpaduan bahasa audiovisul deng-an jeis film dokumenter. Setidaknya terdapat enam jenis film documenter, yaitu: (1) Fully Narrated; (2) Fly on the Wall; (3) Mixed Documentary; (4) Self-Reflective; (5) Docudrama; dan (6) Docusoap.

Kemampuan menyelaraskan bahasa visual yang bersifat simbolis, dengan unsur bahasa audio yang menguatkan pesan gambar akan sangat menentukan keberhasilan penyampaian komunikasi melalui film dokumenter.

Referensi:
Littlejohn, Stephen W. 1978. Theories of Human Communication. Bell & Howell Company: Columbus.

Lester, Paul Martin. 2006. Visual Communication: Images with Messages. 4th Edition. Thomson Wadsworth: Belmont.

Stewart, Colin dan Adam Kowaltzke. 2008. Media: New Ways and Meaning. John Wiley & Sons Australia:Queensland.

West, Richard & Lynn H. Turner. 2010. Introduction Communication Theory: Analysis ad Aplication. McGraw-Hill: New York.

http://www.eionet.europa.eu/gemet/concept?ns=1&cp=658 (diakses, 3/2/2014)

Sumber:
Makalah pada Kegiatan Pembekalan Teknis Perekaman yang dilaksanakan BPNB Bandung pada tanggal 6 – 7 Februari 2014

Popular Posts