WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Model Budaya Banten


Model Budaya Banten : Refleksi Sejarah
Makalah disampaikan dalam Dialog Budaya Banten di Kabupaten Lebak, 2007
yang diselenggarakan oleh BPSNT Bandung



DR. Moh. Ali Fadillah


A. Pendahuluan
Banten, sebagai kategori geografi-budaya, merupakan salah satu les lieux de memoire yang penting di dunia (Ensering, 1995). Dari dimensi waktu Banten seperti juga sebagian besar daerah di Nusantara menjalani pengalaman sejarah yang relative sama. Sejak zaman nirleka, Hindu-Budha, perkembangan Islam, sampai masa kolonial Belanda dan jepang, termasuk didalamnya revolusi sosial dan perang kemerdekaan. Ingatan kolektif orang Banten tidak begitu saja sirma oleh gerakan modernisasi yang demikian menyeluruh.
Demikian pula dari dimensi ruang; Banten merupakan sphere of interaction berbagai model budaya, tempat bertemunya kelompok-kelompok pembawa indentitas, baik berbasis agama, etnik atau ras maupun status sosial. Dalam pandangan kesetaraan regional, analogi Prof. Denys Lombard (1990) untuk membandingkan kepulauan Indonesia dengan lautan Mediteranea yang tidak akan berhenti menjadi titik persilangan berbagai peradaban dunia, bias jadi menempatkan Banten berada di dalam kawasan strategis itu bagi pencapaian kemajuan adab manusia.
Peradaban itu, seperti dikatakan Amold Toynbee (1972), selalu melintasi lingkaran: muncul, berkembang dan mundur. Spekulasi siklus ini dapat membandingkan zaman di mana kita hidup sekarang dengan zaman yang telah lewat dan merenungkan kembali di mana tempat kita pada siklus muncul, berkembang dan mundur. Berdasarkan akumulasi sementara data arkeologi, sejarah, etnografi, tutur dan sumber-sumber yang telah diterbitkan, fase-fase siklus itu dapat dirinci secara garis besar seperti di bawah ini.

B. Masyarakat Petani
Sumber-sumber sejarah umumnya diberikan oleh data arkeologi dan etnografi (Garna, 1987). Komunitas Banten pada periode ini telah mengenal system ekonomi Struktur masyarakat masih sederhana dan prinsif-prinsif hidup yang egaliter dengan mengutamakan kegotong-royongan dalam aktivitas ekonomi, social dan budaya. Organisasi sosial dilakukan berdasarkan prinsip primus inter paras yang dipresentasikan oleh model kepemimpinan kharismatik yang ditentukan oleh pengetahuan dan keahlian mistik dan spiritualnya di bidang pertanian dan ramalan akan kesuburan.
Entitas budaya terpenting dibangun oleh komunitas-komunitas yang mengokupasi lereng-lereng pegunungan subur di antara sugai-sugai kecil di sekitarnya. Pada tempat-tempat tertentu terdapat pusat-pusat suci tempat melakukan ritual keagamaan (Fadillah, 2001). Penemuan prasasti Purnawarman di Cindanghyang belum memberikan indikasi bahwa masyarakat telah mengenal system tukisan Palawa dan bahasa Sanskerta, oleh karena itu akhir abad V Masehi dapat dikatakan bahwa masyarakat masih berada dalam era transisi dari Prasejarah (belum mengenal tulisan) ke Sejarah sampai berdirinya sebuah pemukiman besar di pesisir-pesisir utara Banten.

C. Masyarakat urban transisional
Menjelang abad X Masehi, komunitas Banten tertentu telah mengenal system pertanian padi sawah tetapi belum seluruhnya menerapkan teknik ini. Struktur masyarakat masih sederhana tetapi status sosial mulai tampak dengan adanya tipe kerajaan yang bercorak Hindu (Friederich, 1855; Guillot et.al. 1994). Entitas utama terfokus pada eksistensi Kerajaan Sunda Hindu yang berpusat di Banten Girang dalam kendali beberapa kerajaan dominan seperti: Mataram Kuna, Sriwijaya, dan akhirnya Kerajaan Sunda di Pajajaran. Pada tahap awal (antara Abad IX-XV) dengan latar belakang Gunung Karang sebagai sumber mata air dan hasil hutan atau perkebunan lada.
Kepentingan ibukota menjadi pusat politik perlu dijaga untuk kesinambungan perdagangan. Oleh karena itu keberadaan ibukota Banten Girang perlu didukung oleh lingkungan berbenteng beserta dengan relic-relik: gua petapaan, punden berundak bagi terpeliharannya kehidupan religius dan spiritual. Pusat suci kerajaan itu sesungguhnya ada di lereng gunung Pulasari. Beberapa artefak seperti sejumlah arca Hindu dan Genta pendeta serta tungku tanah liat di Mandalawangi dan lainnya menunjukan tingkat perkembangan yang tinggi dari agama Hindu dan Budha yang dianut masyarakat Sunda pada masa ini.

D. Ke arah budaya kosmopolitan
Pada penghujung abad XV, setelah kebudayaan Hindu Budha mengalami kebekuan, Islam dating sebagai agen pembaharuan. Entitas budaya utama berbasis pada politik kekuasaan Jawa Islam atas perairan utara dan barat Jawa serta Sumatra Selatan. Periode ini berlangsung dari tahun 1525 sampai 1619, yang ditandai oleh penaklukan Banten Girang oleh semangat Pax Islamica Demak sampai kedatangan orang Belanda pertama ke Banten. Momentum penting dicirikan oleh pendirian ibukota di delta Cibanten dan dilanjutkan dengan penaklukan pusat kerajaan Sunda di Pajajaran (bogor) (Djajadiningrat, 1983: Ambary,1977;Guillot, Ambary, Dumarcay, 1990).
Komunitas sepanjang DAS Cibanten mengalami transisi agama dari Hindu ke Islam, dan berlakunya kota perdagangan dengan peradaban yang mengacu pada gaya hidup istana, didukung oleh model perkampungan (cluster) di dalam kota sebagai tempat yang ideal bagi perkembangan peradaban kota seperti Negara-kota lainnya di kepulauan. Kehidupan bangsawan dengan segala tingkatan hierarki (status social) dalam masyarakat mulai ditempatkan. Perdagangan lada telah menarik minat bangsa-bangsa Erapa untuk melakukan interaksi social melaui kegiatan perdagangan.

E. Kemakmuran berfluktuasi
Kensultanan Banten baru mengalami era keemasan antara 1619 – 1682 dengan entitas utama terfokus pada persaingan ekonomi politik antara Banten, Mataram dan VOC sebagai tiga kekuatan seimbang di Laut Jawa. Esensi kemajuan terletak pada beberapa momentum penting seperti : ekspor besar-besaran lada, impor besar keramik, gangguan oleh politik monopoli Belanda dengan blokade laut, kerja pengairan (irigasi) dengan membentuk sugai-sungai besar di Banten untuk membuka lahan pesawahan baru dan transmigrasi penduduk Banten ke DAS.

F. Cisadane, Cipalisian, Cidurian, dan Ciujung
Struktur birokrasi pemerintahan paling lengkap yang membagi kekuasaan ke dalam dua kelompok kepentingan; Kebangsawanan warisan (menempati pos-pos administrasi internal). Pola hubungan dengan pedagang asing dan hubungan diplomatic dengan Inggris dipromosikan sebagai artanatif politik dagang. Kelemahan struktur tampak pada system ekonomi ketergantungan pada lada dan suksesi kekuasaan yang menyebabkan perang sipil semasa pemerintahan sepeninggal Pangeran Muhammad sampai Sultan Ageng Tirtayasa (Guilot, 1992). Matearitas arkeologi ditampakan oleh kemegahan masjid, keraton , istana Tirtayasa, yang mendukung berlangsungnya system peradilan, beacukai, pendidikan dan pengajaran islam, di bawah bayang-bayang kemajuan Batavia yang telah dibangun sejak 1612.

G. Kesultanan di bawah rejim Belanda
Masyarakat Banten berhadapan dengan perubahan radikal dalam sistem politik ekonomi, dari independesi kesultanan ke dependensi Belanda melalui maskapai dagang VOC. Berlangsung antara 1682-1811 di mana seluruh tanah Banten berada di bawah kendali Batavia. Banten menjadi kurang penting dibandingkan dengan Batavia. Kehilangan kedaulatan penuh atas tanah Banten menyebabkan perubahan ruang kota, arsitektur, dan kelangkaan aktivitas di ibukota Banten. Tetapi beberapa Sultan Banten masih memiliki kekuasaan intermediasi di Lampung dan Bengkulu dalam bisnis lada di bawah kendali Belanda (Valentijn, 1724-1726, Stavorius, 1798). Berbagai bangunan yang tidak signifikan sisa-sisa kemakmuran keraton, berjayanya benteng Speelwijk yang didirikan di atas puing benteng kota, dan semakin meluasnya garis pantai karena pengendapan, menjadikan Banten kehilangan fungsinya yang penting sebagai pusat politik dan pedagangan. Sebaliknya pada masa ini, banyak elit Banten mengalihkan kehidupan pada pendalaman agama dengan menerapkan berbagai cabang tasawuf.

H. Reputasi Keagamaan
Entitas sejarah terpenting sesudah jatuhnya Banten (1811-1832) terungkap sebagai implikasi perang Napoleon Bonaparte dengan menugaskan Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal berkedudukan di Batavia Kejatuhan Banten dimotivasi oleh politik koloniaisme bangsa-bangsa Eropa atas bangsa-bangsa di Asia Tenggara sebagai sumber perekonomian yang startegis bagi Eropa. Tekanan politik , sosial dan budaya yang melampui batas telah menimbulkan resistensi tinggi orang Banten. Berbagai pemberontakan mulai muncul ke permukaan secara sporadic (Bruinessen, 1989).
Momentum paling penting adalah ditinggalkannya Banten lama untuk selamanya sebagai pusat pemerintahan, penghapusan kesultanan, dan dibangunnya Karesidenan Banten berpusat di Serang. Kota Serang yang dulu sebagai areal pesawahan paling subur yang dibangun Maulana Yusuf disulap menjadi ibukota Banten modern yang ditandai dengan berdirinya bangunan bergaya Eropa di kota Serang. Stuktur pemerintahan, social dan gaya hidup Eropa mulai menampak kuat di Serang, yang awalnya dikenal sebagai “ Banten Baru “, menggantikan peran Surasowan yang sejak itu disebut Banten Lama. Gambaran fisik kehidupan kota colonial tampak disituasikan oleh pertumbuhan kota Serang, dengan berbagai aktivitas urban yang baru, lengkap dengan bangunan-bangunan pemerintahan, keagamaan dan bangunan umum seputar alun-alun kota Serang.

I. Dalam Konflik berkepanjangan
Entitas utama dari fase sejarah mulai pertengahan abad XIX, dipentaskan oleh perubahan global setelah dibukanya terusan Suez dan penemuan kapal uap yang memungkinkan banyak orang Banten pergi ibadah haji. Perjalanan ke Mekah telah membawa gagasan baru tentang konsep ketuhanan, kekuasaan dan kehidupan bermasyarakat. Kembalinya kiai dan haji ke Banten dan mendirikan banyak pesantren di pelosok-pelosok desa menjauhi keramaian kota colonial (Brunessen, 1989).
Fase ini dipenuhi gerakan proses atas kewenangan pemerintah kolonial dan yang terkenal adalah pemberontakan petani Banten di Cilegon serta pemberontakan dalam skala kecil hampir di seluruh Banten. Pemerintahan Kolonial memang tidak runtuh karena pemberontakan, tetapi pengunduran diri beberapa Residen Belanda mengindikasikan betapa tidak mudah menghadapi resistensi orang Banten (Ensering, 1995).
Perubahan yang sedikit radikal terjadi antara 1926 sampai beberapa tahun sesudah proklamasi kemerdekaan. Entitas utama periode ini diisi oleh gerakan social setelah masuknnya para elit Banten ke dalam organisasi politik pertama yang bertahap nasional dalam wadah Syarikat Islam dan bahkan juga Partai Komunis Indonesia (Wiliams, 1990). Kompfik banyak terjadi mengawali pemerintahan sipil oleh Pribumi dan pergulatan ideology politik yang berkepanjangan. Menurunnya para pejabat birokrasi warisan Belanda dan naiknya peran birokrat dari organisasi politik dan militer.

J. Menuju Sebuah Provinsi
Setelah selama separuh abad lebih Banten dalam naungan Republik Indonesia, entitas ruang terpenting ditunjukan oleh situasi Banten sebagai medan pergulatan ideology Negara, kemunculan pemimpin pribumi, keterbelakangan pembangunan, kelambanan pelayanan pendidikan dan kelangkaan lapangan kerja di tengah hinggar-bingar industri berat dan manufaktur di sepanjang pesisir utara Banten. Dalam keprihatinan yang panjang, masyarakat Banten menemukan momentum untuk menentukan nasibnya dalam era repormasi.
Entitas utama sesudah jatuhnya rejim Orde Baru adalah gerakan reformasi yang melanda Banten. Menaiknya ketidakpuasan dan memunculkan ide membangun propinsi sendiri untuk wilayah Keresidenan Banten. Sejarah dan Kebudayaan Banten memberi gagasan utama pembentukan propinsi.

K. Kearifan Sejarah
Memang sulit menolak pendapat bahwa sebelum industrialisasi, beberapa kota di daerah Banten masih rural (Pedesaan); dan betapa penduduk masih merasa berat unruk beradaptasi dengan perubahan ekonomi yang terjadi di sekelilingnya. Namun perlu dikritisi bahwa ukuran sebuah masyarakat berkatagori rural atau urban bukan semata-mata ditentukan oleh besaran ruang dan bentuknya, tetapi yang lebih esensial adalah fungsinya dalam konteks histories regional. Berpegang pada prinsip ini, maka sesungguhnya transisi kota banten telah muncul jauh sebelum era kesultanan.
Penelitian arkeologi di Banten Girang telah memberi bukti kongkrit stuktur kota berbenteng sebagai pusat pemerintahan kerajaan pra- islam. Sejumlah besar arfefak yang di temukan berupa benda-benda lux yang diimpor dari negeri Cina sedini abad X Masehi, menjadi jejak awal kegiatan perdagangan internasional. Dengan penemuan itu, sebenarnya komunitas Banten sebelum jaman Islam telah melakukan kontak intensif dengan masyarakat, di luar budayannya. Jika budaya luar dianggap sebagai unsur dominant bagi modernisasi Banten, sesungguhnya Banten telah lama, bahkan berkali-kali mengalami era Globalisasi berbagai bukti sejarah telah membuktikan bahwa orang Banten telah memiliki resistensi sendiri, bahkan mampu menunjukan taraf adaptasi yang proaktif melalui inovasi dalam aspek-aspek kehidupan tertentu.
Oleh karena itu, mempelajari sejarah menjadi penting, bukan hanya karena korelasi kuat dengan etnisitas Banten, tetapi yang lebih penting adalah karena sejarah Banten mengandung nilai-nilai kearifan; tempat kita menemukan kebali jatidiri dalam kerangka membangun self-conscience. Kepentingannya terletak pada proposisi bahwa jauh sebelum mondernisasi Barat menampak di bumi Banten sejak awal abad XIX, orang Banten telah mengalami dan sekaligus melewati berbagai perubahan globaldalam tradisi budayanya sendiri.
Derngan demikian, mau tidak mau, belajar pada sejarah harus dianggap sebagai kewajiban ketika kita harus menghadapi gempuran modernisasi dengan segala fragrnatisme politik dan ekonomi; yang konon membawa nilai-nilai universal, tetapi sesungguhnya universalisme itu hanya pembaratan masyarakata tradisional. Maka mengungkapkan elemen modernitas dari budaya lokal sesungguhnya kita mencoba bercermin apakah kita telah melakukan pembaharuan sendiri pada setiap periode sejarah, lantas mempertanyakan apakah cermin sejarah itu memantulkan berbagai gagasan dan perilaku masyarakat Banten yang menilai positif bagi pengembangan etos kerja generasi sekarang dan nanti.

L. Penutup
Model-model budaya dari fase-fase sejarah Banten itu menunjukan beberapa tipe modernitas yang dapat digali dan dikembangkan dalam menghadapi dominasi budaya asing di era globalisasi sekarang. Sayangnya elemen-elemen modernitas itu sekarang hamper membeku, bahkan nyaris terlupakan ibarat sebuah permata ia adalah intan yang perlu diasah kembali jika kita ingin melihat kualitasnya.
Sampai pada hari ini, belum ada kajian yang mendalam tentang aspek-aspek mondernitas itu dalam sejarah Banten Banyak sumber sejarah bias dieksploitasi untuk berbagai kajian multidisipliner, banyak pula kesaksian-kesaksian material seperti manuskrip, karya arsiktektural, tinggalan artefaktual belum menjadi sumber acuan yang komprehensif. Lantas bagaimana orang Banten dapat mengenal sejarahnya, bagaimana orang Banten dapat membangun kesadaran untuk menemukan jati dirinya, dan terakhir bagaimana kita bisa menyemaikan semangat kebudayaan itu dari generasi ke generasi?
Semua pertanyaan itu semestinya menjadi bahan renungan kita untuk menetapkan bagwa kebudayaan merupakan sumberdaya pembangunan. Maka ketiga actor pembangunan (pemerintah, masyarakat dan cendikiawan) harus mengupayakan Cultural Resources Management (CRM) untuk menggali berbagaik kearifan local Banten itu diaktualisasikan secara proporsional dalam konteks kekinian.

M. Rekomendasi
Dengan pendekatan manajemen itu, pengembangan kebudayaan dapat dioperasionalkan melalui empat kerangka kerja sebagai berikut.
  1. Academic achievement: ditujukan untuk menemukan dan memperoleh pemahaman tentang nilai, pengetahuan dan symbol budaya melalui serangkaian tindakan penggalian dan pengkajian baik budaya material maupun perilaku social yang terkandung pada berbagai peninggalan arkeologi, sejarah, adapt-istiadat dan kehidupan tradisional lainnya.
  2. Standard preservation, conservation, restoration : diarahkan untuk memenuhi kebutuhan kognitif, sens of belonging dan sens of pride pada kebudayaan sendiri melalui kegiatan perlindungan, pemugaran dan pelestarian berbagai hasil kebudayaan Banten, baik yang tangible maupun intangible.
  3. Education and transmission : difokuskan untuk memberikan pelayanan infarmasi dan advokasi budaya sekaligus memperluas muatan nilai budaya, pengetahuan local dan kearifan teknologi-ekonomi serta karya-karya kebudayaan lain kepada seluruh lapisan masyarakat, melalui serangkaian kegiatan berupa publikasi hasil kajian, karya seni dan hasil budaya lainnya, pameran, kunjungan budaya, perayaan event budaya, perayaan music day, museum day, bulan bahasa, pertival budaya, termasuk pemberian anugerah seni atau penghargaan kebudayaan.
  4. Marketing dan promotion: ditujukan untuk memberikan corak pada pencitraan dalam rangka memberi makna baru pada hasil-hasil kebudayaan sehingga dapat diapresiasi dan dihargai oleh masyarakat luas melalui serangkaian kegiatan pariwisata budaya. Dampak dari kegiatan pariwisata itu dapat membantu dan memperluas fungsi simbolik dan praksis (social-ekonomi) warisan budaya baik bagi pengkajian dan pelestarian itu sendiri maupun bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat sekitarnya.

Referensi
Ambary, Hasan Muarif. 1977. A preliminary report of the excavation on the urban sites in Banten (West Java) Bulletin of the Research Centre of Archaeology of Indonesia, n 11, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Anderson, B. 1999. Komunitas-komunitas imaginer. Renungan tentang asal-usul dan penyebaran Nasionalisme, Yogyakarta: Insist Press.
Azra, Azyumardi. 2003. Indetitas dan krisis budaya, membangun multikulturalisme Indonesia
Kongres budaya V, Bukit Tinggi
Bruijn, C de. 1725. Voyages de Corneille Le Bruijn, Paris.
Brumund, J.F.G. 1840. Een reisje door de Resindentie Bantam, TNI.th,III,2:687-705
Djajadiningrat, Hoesein. 1983 Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten, Sumbangan bagi pengenalan Sifat-sifat penulisan Jawa, Jakarta, Penerbit Djambatan.
Ensering, Else, 1995 Banten in times of revolution Archipel, 50
Fadilah, Moh. Ali 1999 Etnisitas dan Nasionalisme Indonesia: perspektif arkeologi dalam Henri Chamber-loir dan Hasan Muarif Ambary (ens), Panggung Sejarah Persembahan kepada Prop. Dr. Denys Lombard, Jakarta : EFEO- Puslit Arkenas-Yayasan Obor : 117-137
Fadillah, Moh. Ali 2001 Mitos Gunung Suci di Pandeglang, sebuah Kontemplasi Arkeologis Keragaman Budaya dalam Kajian Akeologi di Lingkungan Balai Arkeologi Bandung.
Friederich, R 1855 Hindoe-oudheden aan de grens van Bantam TBG, III: 32-37
Garna, Judistira. 1987. Orang Baduy Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Guillot, Claude, 1992 Libre enterprise contre economie dirigee, guerres civiles a Banten 1580-1603, Archipel, 43 Paris
Guillot, Claude. Lukman Nurhakim Sonny Wibisono 1994 Banten avant Islam, etude archeologique de Banten Girang 932?-1526, Paris: Ecole Francaise d Extreme-Orient.
Guillot, Claude, Hasan M, Ambary, Jacque Dumarcay. 1990 The Sultanate of Banten, Jakarta: PT Gramedia.
Guillot, C. Snouck. 1889 Mekka II, aus dern heutigen leben, Haag: MN.
Ijzerman, J.W. (ed) 1923. Cornelis Buijsero te Bantam 1616-1618, s-Gravenhage
Lombard, Denys 1990 Le Correfour javanais, essaies d histoire globale, Paris: EFEO
Raillon, Francois. 1995 Boom sur le Detroit de Sonde: le Kabupaten de Serang en proie a I Indonesie, Archipel, 50, Paris
Stavorius, J.S. 1798. Voyage par le Cap de Bonne-esperance Batavia, Batam et au Bengale, Paris
Toynbee, Arnold (1972), A Study of History, London
Valentijn, F 1724-1726. Oud en Niews Oost indien, Dordrecnt Amsterdam.
Wiliams.Michael C. 1990 Communism, religion, and revolt in Banten, Ph.D Thesis, Monographs in International Studies, Southeast Asia Series No. 86. Ohoi University.

Popular Posts