Oleh
Nidya Meidhyana P.Utami
SMA
Negeri 1 Palimanan
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sejarah masuknya Islam ke tanah Jawa dibawa oleh
para wali yang terkenal dengan sebutan Wali Sanga. Proses Islamisasi di tanah
jawa dan sekitarnya berlangsung cepat. Di Jawa Barat khususnya Cirebon, proses Islamisasi
dibawa oleh Syekh Syarif Hidayatullah yang dikenal dengan sebutan Susuhunan
Gunung Jati atau Sunan Gunung Jati dan pantai Cirebon dijadikan sebagai pusat Islamisasi
dan dikenal sebagai pusat penyebaran suluk Pesisiran. Wilayah Cirebon juga
disebut sebagai wilayah yang paling cepat menerima proses Islamisasi. Ini
terlihat dari kemampuan Sunan gunung Jati dalam menyebarkan agama Islam.
Identitas Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati ( SGJ ) sering kali mengundang polemik. Di dunia pendidikan, para
siswa dan bahkan para guru kebingungan ketika menjelaskan identitas Sunan
Gunung Jati. Nama Sunan Gunung Jati sering kali dikaitkan dengan Fatahillah atau
Faletehan.
Permasalahan di atas mendasari penulis untuk
mengungkapkan identitas Syekh Syarif Hidayatullah yang sebenarnya.
Syekh Syarif Hidayatullah adalah seorang kelahiran
Mesir, 12 Rabiul Awal 1448 M putra dari Nyai Rarasantang dan Maulana Mahmud
Syarif. Setelah berumur 20 tahun ia berangkat menuju pulau Jawa, singgah
sebentar di Gujarat, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Pasai untuk belajar
agama Islam. Setelah belajar dua tahun lamanya, ia berangkat ke tanah Jawa dan
singgah di Banten. Tahun 1470 Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang
bergelar Insan Kamil menyebarkan agama Islam di Cirebon.
Polemik ini berawal pada tahun 1913, ketika Hoesein
Djajadiningrat menarik kesimpulan bahwa Faletehan sama dengan Sunan Gunung Jati
yang artinya dua nama tersebut ditujukan untuk satu orang yang sama.
Faletehan seorang yang lahir di Pasai tahun 1490,
pada tahun 1521 ia pergi ke Mekkah dan kembali lagi ke Pasai setelah dua atau
tiga tahun. Tetapi ia segera pergi ke Jepara lalu meneruskan ke Banten. Setelah
berhasil merebut Sunda Kelapa dari Ratu Pajajaran tahun 1527 lalu ia ikut dalam
serangan Demak terhadap Pasuruan tahun 1546. setelah itu ia lalu pindah dan
menetap di Cirebon hingga akhirnya wafat tahun 1570 dan dimakamkan di Gunung
Jati sehingga ia pun disebut Sunan Gunung Jati salah satu anggota Wali Sanga
yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Padahal sejatinya nama Faletehan
dan Sunan Gunung Jati dalah dua nama yang berbeda untuk dua orang yang berbeda
pula.
1.2
Identifikasi Masalah
1.2.1. Siapakah
sebenarnya Sunan Gunung Jati dan Faletehan ?
1.2.2. Apakah
Sunan Gunung Jati dan Faletehan itu sama ?
1.2.3. Mengapa
Sunan Gunung Jati identik dengan Fatahillah atau Faletehan ?
1.2.4. Hal Apakah
yang Mendasari Peng-identikan Sunan Gunung Jati dengan Faletehan?
1.3.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah :
1.3.1. Untuk
mengetahui siapa sebenarnya Sunan Gunung Jati dan Faletehan.
1.3.2.
Menjawab kontroversi yang ada dalam masyarakat.
1.3.3.
Mengembangkan bakat menulis di kalangan pelajar.
1.3.4.
Sebagai bahan pembelajaran dan pengetahuan.
1.4.
Metode Penulisan
Penulisan karya tulis ilmiah ini menggunakan metode
komparatif dan studi pustaka.
1.5.
Sumber Data
Sumber data untuk karya tulis ilmiah ini berasal
dari :
- Buku-buku tentang Sunan Gunung Jati dan
Faletehan.
- Buku Babad Tanah Sunda.
- Buku sejarah Nasional Indonesia.
- Diktat PASKIBRA.
BAB II PERKEMBANGAN PERJUANGAN SUNAN GUNUNG JATI
2.1.
Keberadaan Sunan Gunung Jati
Setelah menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana
berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman dan Rarasantang namanya menjadi Hajjah
Syarifah Mudaim. Di Mekkah Hj. Syarifah Mudaim menikah dengan Maulana Mahmud
Syarif Abdullah putra Ali Nurul Alim penguasa kota Ismailiyah suatu Negara
bagian Mesir. Dari pernikahannya tersebut, keduanya dikaruniai seorang bayi
laki-laki yang lahir pada 12 Rabiul Awal 1448 M yang diberi nama Syarif
Hidayatullah.
Setelah Syarif Hidayatullah berumur 20 tahun, ia
berniat dengan sunggu-sungguh untuk menjadi guru agama Islam. Karena itu, ia
lalu berangakat ke Mekkah, belajar kepada Syekh Tajuddin al-Kubri selama dua tahun:
lalu belajar kepada Syekh Ata’ullahi Sadzili-pengikut Imam Syafii selama dua
tahun. Kemudian ia pergi ke Bagdad untuk belajar tasauf, dan setelah selesai ia
kembali ke negerinya. Di negerinya, Pamannya yang bernama Raja Onkah yang pada
saat itu memegang kekuasaan di Mesir, bermaksud menyerahkan kekuasaanya pada
Syarif Hidayatullah. Namun Syarif Hidayatullah sama sekali tidak berniat untuk
menjadi raja, karena itu kedudukannya diserahkan kepada adiknya, Syarif
Nurullah yang lahir dua tahun setelah Syarif Hidayatullah.
Syarif Hidaytullah kemudian berangkat menuju Pulau
Jawa, dan singgah sebentar di Gujarat, kemudian melanjutkan perjalanan menuju
Pasai. Di Pasai, ia tinggal di pondok bersama
Sayyid Iskak yang pernah menjadi guru agama Islam di Blambangan. Setelah
belajar dua tahun, ia berangkat ke tanah Jawa dan singgah di Banten. Di Banten
pada saat itu telah banyak pemeluk agama Islam atas upaya Sayyid Rahmat yang
kemudian menjadi Susuhunan Ampel di Gresik.
Di Ampel Denta Gresik berkumpul para guru agama Islam,
yang lebih dikenal dengan sebutan Wali. Dari sinilah kemudian Syarif
Hidayatullah mengawali penyebaran agama Islamnya.
2.1.1.
Pendiri Daerah Cirebon
Sejarah lisan Cirebon terdiri dari beberapa jenis
yang fiksional yang didominasi oleh unsur keyakinan dan memiliki kekhasan
tersendiri. Cerita tradisi Cirebon yang tergolong fiksi pun kemudian diyakini
bukan cerita khayalan yang terjadi.
Diceritakan bahwa dari pernikahan Prabu Siliwangi
dengan Nyai Subang Larang dikaruniai tiga orang anak yaitu Pangeran
Walangsungsang, Nyai Rarasantang, dan Raja Sengara. Setelah Nyai Subang Larang
meninggal dunia, ketiganya mendapat perlakuan kurang baik dari kerabat keraton.
Sampai pada suatu hari Pangeran Walangsungsang
bermimpi bertemu dengan Kanjeng Nabi Muhammad SAW, lalu ia diberi wejangan
supaya memeluk agama Islam. Keesokan harinya, Pangeran Walangsungsang
mengutarakan mimpinya pada Prabu Siliwangi serta memohon izin untuk memeluk
agama Islam. Namun niatnya itu tidak mendapat restu dari Prabu Siliwangi.
Akhirnya Pangeran Walangsungsang pergi ke arah
timur meninggalkan Keraton Pakuan Pajajaran. Dalam perjalanannya, ia bertemu
dengan Ki Gedeng Danuwarsih dan berguru padanya. Setelah beberapa lama, ia pun
akhirnya memperistri Nyai Endang Geulis putri Ki Gedeng Danuwarsih. Lalu
keduanya berangkat ke Gunung Amparan dan bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi.
Mereka akhirnya berguru pada Syekh Datuk Kahfi selama tiga tahun. Oleh Syekh
Datuk Kahfi, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah dan diperintahkan
untuk membuka hutan ke arah selatan Gunung Amparan Jati. Atas keberhasilannya
ia dijuluki Pangeran Cakrabuana yang lalu mendirikan pedukuhan di kebun
pesisir.
Atas bantuan Ki Danusela yang bergelar Ki Gedeng
Alang-alang yang pada saat itu menjadi Kuwu Cirebon, adik Syekh Datuk Kahfi,
Pangeran Cakrabuana mengembangkan daerah pesisir yang kemudian dikenal dengan
sebutan Lemahwungkuk. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, kedudukan sebagai
kuwu Cirebon digantikan oleh Pangeran Cakrabuana.
Nama Cirebon sendiri berasal dari kata cai dan
rebon. Cai dalam bahasa Sunda artinya air, dan rebon adalah udang kecil. Pada
saat itu Ki Kuwu Cirebon di sela-sela waktu luangnya menyempatkan diri untuk
berlayar menangkap ikan, diantaranya mendapat udang kecil dalam jumlah banyak yang
diproses menjadi terasi. Sementara itu, dari daerah Pasundan, disamping membeli
terasi juga membeli air rebon yang rasanya sangat sedap, sehingga ramailah
mereka membicarakan cairebon, dengan demikian dikenal dengan nama Cirebon, kata
cairebon yang oleh masyarakat sering diucapkan secara cepat, sehingga terdengar
Cirebon.
2.2.
Polemik Nama Sunan Gunung Jati dan Fatahillah atau Faletehan
Nama Sunan Gunung Jati dan Fatahillah atau
Faletehan bukanlah nama yang asing lagi bagi kita. Oleh Hoesein Djajadiningrat,
Filolog yang meraih gelar doktor dalam bidang sastra, nama Sunan Gunung Jati
dan Fatahillah atau Faletehan itu ditujukan untuk satu orang yang sama.
Kesimpulan tersebut diperoleh setelah ia membca beberapa catatan kuno Portugis
dan menelitinya pada abad ke-16.
Sementara itu, tahun 1950-an dari Keraton kasepuhan
Cirebon muncul tokoh Suleman Sulendraningrat yang sangat peduli terhadap
sejarah Cirebon. Dalam upaya menyikapi polemik tentang nama Sunun Gunung Jati
dan Fatahillah atau Faletehan, ia menyelenggarakan seminar di Jakarta, tetapi
sayangnya belum ada titik terang. Masing-masing individu masih bertahan pada
argumentasinya.
Upaya yang dilakukan Pangeran Sulaeman
Sulendraningrat dalam meluruskan sejarah Cirebon mendapat sanggahan kembali
setelah munculnya sejarahwan-sejarahwan dalam buku seri Sejarah Nasional
Indonesia tahun 1976 yang cenderung mendukung pendapat Hoesein Djajadiningrat.
Tapi Pangeran Sulaeman Sulendraningrat tetap gigih memperjuangkan kebenaran
tentang polemik yang terjadi pada masyarakat.
2.2.1.
Sunan Gunung Jati Identik dengan Fatahillah atau Faletehan
Seperti yang telah dibahas pada pembahasan
sebelumnya, bahwa orang yang pertama kali menyebutkan bahwa Sunan Gunung Jati
identik dengan Fatahillah atau Faletehan adalah Hoesein Djajadiningrat. Hoesein
mengatakan bahwa nama Fatahillah atau Faletehan adalah nama untuk satu orang
yaitu Sunan Gunung Jati. Ia sangat yakin dengan penelitiannya itu. Karena
menurutnya, penelitian itu ia dapatkan dari sumber yang dapat dipercaya dan ia
pun melakukan penelitian tersebut sampai berulang-ulang kali. Ia mendapatkan
keterangan tersebut bukan hanya dari naskah kuno milik Portugis saja. Tapi juga
dari naskah tentang sejarah Banten yang sangat erat kaitannya dengan Sunan
Gunung Jati dan Faletehan.
2.2.2.
Kontroversi Nama Sunan Gunung Jati dan Fatahillah atau Faletehan
Nama Gunung Jati sampai saat ini masih menjadi
kontroversi, antara pendapat yang mengatakan Sunan Gunung Jati identik dengan
Faletehan, dengan pendapat yang mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati berbeda
dengan faletehan. Hoesein Djajadiningrat seorang yang bersikukuh pada
pendiriannya yang didasari teori Brandes mengatakan dengan tegas bahwa Sunan
Gunung Jati itu sama dengan Faletehan. Terlebih lagi nama Faletehan dan Sunan
Gunung Jati sering dikaitkan dengan sejarah Banten yang disipkan cerita singkat
seorang laki-laki dari Pasai yang gagah berani menuju tanah Cirebon. Yang di
sana diterima dengan baik oleh raja negeri itu yang kemudian menyerahkan
daerahnya kepada pemuda tersebut. Dari uraian tersebut jelas sekali bahwa yang
mereka maksud pada cerita itu adalah Faletehan seorang kelahiran Pasai yang
diidentikan dengan Sunan Gunung Jati karena pada saat itu Faletehan datang
sambil menyebarkan agama Islam.
R.A. Kern seorang Belanda yang bertugas menjadi
penasihat untuk urusan Bumi Putra berpendapat yang sama seperti Hoesein, bahwa
Sunan Gunung Jati itu identik dengan Faletehan. Ia juga melakukan hal yang sama
dengan Hoesein yaitu meneliti naskah-naskah kuno milik Portugis. Dari
naskah-naskah inilah R.A. Kern menarik kesimpulan bahwa Sunan Gunung Jati itu
adalah Faletehan. Padahal jika diteliti lebih lanjut lagi, naskah-naskah
kepunyaan Portugis itu sebenarnya belum
pasti kebenarannya karena orang yang mencatat kebenaran tentang kebenaran
tersebut tidak dapat ditemukan.
2.3.
Sunan Gunung Jati dalam Proses Isalamisasi
Sunan Gunung Jati yang mempunyai nama asli Syarif
Hidayatullah bukanlah nama yang asing lagi bagi kita. Ia adalah salah satu
anggota Wali Sanga yang gigih menyebarkan agama Islam di tanah Jawa yaitu Jawa
Barat khususnya daerah Cirebon. Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Gunung
Jati menggunakan berbagai macam cara yang sangat bersahabat dengat masyarakat
sekitar. Sehingga masyarakat pun menyukai keberadaan Sunan Gunung Jati.
Banyak cara yang dilakukan masyarakat Cirebon dan
sekitarnya untuk mengenang keteladanan dan nilai-nilai kejuangan Sunan Gunung
Jati, seperti muludan yang acara puncaknya tanggal 12 Rabiul awal atau yang
sering disebut Panjang Jimat oleh masyarakat Cirebon. Bukan hanya itu, nama
Sunan gunung Jati pun diabadikan menjadi nama sebuah rumah sakit, nama jalan,
masjid, dan lain-lain oleh masyarakat Cirebon.
2.3.1.
Perjuangan yang Dilakukan
Sebagai salah satu anggota Wali Sanga, Sunan Gunung
Jati dalam menyebarkan agama Islam dikatakan cukup bersahabat dengan masyarakat
sekitar. Ia sangat gigih dalam menyebarluaskan agama Islam. Berbagai cara yang
dilakukan dalam meng-Islam-kan daerah-daerah tertentu dengan cara yang berbeda
sesuai dengan adat istiadat yang berlaku di daerah tersebut. Selain dengan
berdakwah, Sunan Gunung Jati mendirikan pesantren dan menerapkan dua kalimat
syahadat sebagai persyaratan masuk Islam yang diterapkan dalam proses jual beli
dengan meminta para pembeli untuk mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut secara
ikhlas saat membeli terasi.
Sunan Gunung Jati yang menjadi kuwu Cirebon pada
saat itu juga menjadi pemimpin pasukan perang dalam melawan tentara asing
maupun melawan tentara kerajaan yang hendak merebut daerah Cirebon. Sunan
Gunung Jati juga menggunakan Pantai Cirebon sebagai pusat penyebaran agama Islam.
Sebagai seorang yang menyebarkan agama Islam, ia melakukannya tanpa pamrih.
Sebelum bermukim di tanah Jawa, Sunan Gunung Jati, yang lahir di Mekkah tanggal
12 Rabiul awal, pernah tinggal di tanah Arab.
2.3.2.
Menyebarkan Agama Islam
Tidak dapat kita pungkiri bahwa Sunan Gunung Jati
mempunyai kesamaan dengan Faletehan dalam menyebarkan agama Islam. Sunan Gunung
Jati dan Faletehan kedua tokoh tersebut sama-sama berjasa dalam menyebarkan agama
Islam di Demak. Sunan Gunung Jati juga terlibat langsung dalam
menumbuhkembangkan Kesultanan Demak. Posisinya saat itu adalah sebagai
penasihat sultan. Sementara itu, Faletehan datang ke Kesultanan mengabdi kepada
Sultan Demak yang ketiga, Sultan Trenggana yang lalu menyebarkan agama Islam
juga.
Selain di Demak, Sunan Gunung Jati dan Faletehan
pun menyebarkan agama Islam di Banten. Saat di Banten, Sunan Gunung Jati sempat
menikah dengan putri Ki Gede Kawungaten. Ini dilakukan sebagai bentuk
penyebaran agama Islam. Dengan menikahi putri Ki Gede Kawungaten, secara tidak
langsung ia telah meg-Islamkan Ki Gede Kawungaten dan putrinya. Karena syarat
untuk menikah dengan Sunan Gunung Jati adalah mengucapkan dua kalimat syahadat
yang tak lain adalah syarat utama untuk masuk dan menjadi seorang muslim.
Sunan Gunung Jati dan Faletehan adalah Sultan
Kesultanan Cirebon. Sunan Gunung Jati resmi diangkat sebagai penguasa sekaligus
Raja Kerajaan Cirebon tahun 1479. Tahun 1550 karena usianya yang sudah tua,
kedudukan sebagai Sultan Cirebon diserahkan kepada putranya yaitu Pangeran
Pasarean. Karena Pangeran Pasarean masih terlalu muda, kebijakan banyak
dikendalikan oleh Faletehan sehingga akhirnya pada tahun 1552 ia resmi menjadi
Sultan Cirebon atas persetujuan Sunan Gunung Jati.
2.3.3.
Perjuangan Mengusir Portugis
Pada masa pemerintahan sultan Demak yang kedua,
Dipati Unus, Faletehan berusaha mengusir Portugis dari Malaka. Keberhasilan
Faletehan tersebut tidak lepas dari campur tangan Sunan Gunung Jati. Sunan
Gunung Jati pada saat itu tidak turun langsung ke medan perang. Ia hanya
memberikan pengarahan strategi kepada Faletehan serta memberikan dukungan
secara moral dan mengutus Dipati Keling Untuk memimpin pasukan perang Cirebon
untuk bergabung dengan pasukan Demak untuk mengusir Portugis.
Akhirnya Faletehan pun berhasil mengusir Portugis.
Atas keberhasilan Faletehan merebut Sunda Kelapa, ia akhirnya diangkat menjadi
Bupati Sunda Kelapa dan atas saran dari Sunan Gunung Jati juga nama Sunda
Kelapa berubah menjadi Jayakarta.
Setelah lama menyebarkan agama Islam dengan cara
berdakwah dan Sunan Gunung Jati yang wafat pada tahun 1568 diusia yang ke-120
tahun dimakamkan pada posisi paling utara sebelah barat, dan Faletehan yang wafat pada usia 80
tahun dimakamkan disebelah timur makam Sunan Gunung Jati. Keduanya dimakamkan
di Bukit Gunung Sembung, kompleks pemakaman Gunung Jati. Sehingga banyak yang
berpendapat Faletehan itu adalah Sunan Gunung Jati. Kesimpulan dan pendapat
tersebut diambil berdasarkan letak makam keduanya yang berdekatan.
2.3.4.
Hubungan Keluarga
Jika dilihat dari silsilah asal-usul keluarga,
Sunan Gunung Jati dan Faletehan masih memiliki hubungan kekerabatan. Disebutkan
bahwa Ayahanda Syarif Hidayatullah adalah saudara sepupu dengan kakek Faletehan
yang bernama Abdil Gofur. Apalagi setelah Faletehan menikah dengan Ratu Ayu,
janda Dipati Unus putra Sunan Gunung Jati, dengan demkian Faletehan adalah menantu dari Sunan
Gunung Jati.
Hubungan
kekeluargaan antara Sunan Gunung Jati dan Faletehan digambarkan dalam
silsilah di bawah ini :
Ratu Ayu putra Syarif Hidayatullah janda Pangeran
Sabrang Lor menikah dengan Fadillah Khan atau Faletehan, maka jelas keberadaan
Faletehan adalah sebagai menentu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati
BAB III PENUTUP
3.1.
Simpulan
Polemik nama Sunan Gunung Jati dan Faletehan yang
masih diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan oleh
masyarakat Cirebon pada khususnya, kini dapat dibilang telah menemukan titik
terang. Dari sekian banyak argumentasi
dan kontroversi yang ada, tokoh Suleman Sulendraningrat-lah yang mengatakan
dengan tegas bahwa Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati bukanlah
Faletehan atau Fadillah Kahn seperti apa yang telah dikatakan oleh Hoesein
Djajadiningrat dan beberapa pendapat lainnya.
Hal ini diperkuat lagi oleh adanya silsilah
keluarga antara Sunan Gunung Jati dan
Faletehan. Jelas tergambar di sana, bahwa Faletehan adalah menentu dari Sunan
Gunung Jati yang menikah dengan Ratu Ayu janda Pangeran Sabrang Lor yang tak
lain adalah putri dari Sunan Gunung
Jati.
Hal lain yang mendasari peng-identikan Sunan Gunung
Jati dengan Faletehan adalah kesamaan keduanya dalam menyebarkan agama Islam
pada tempat yang sama. Bukan hanya itu sepertinya, Sunan Gunung Jati yang
bertindak sebagai Panglima Perang dalam mengusir Porugis dari tanah Jawa sering
kali memberikan kepercayaan kepada Faletehan untuk menggantikan posisinya.
Kebersamaan antara Sunan Gunung Jati dan Faletehan
di Cirebon dan dalam menyebarkan agama Islam sangatlah erat. Apalagi setelah
Sunan Gunung Jati menginjak usia senja. Dan hal yang paling mendasari Sunan
Gunung Jati identik dengan Faletehan adalah keberadaan makam Faletehan yang
tepat berada di sebelah timur makam Sunan Gunung Jati.
Maka jelaslah sudah bahwa Sunan Gunung Jati itu
bukanlah Faletehan seperti apa yang dikatakan oleh beberapa pihak terkait.
3.2 Saran
Kita sebagai warga masyarakat Cirebon berkewajiban
menjaga seluruh peninggalan dari Sunan Gunung Jati. Terutama peninggalan yang
berkenan dengan ajaran agama Islam yang telah disebarkan oleh Sunan Gunung
Jati. Selain menjaga ajaran agama Islam, kita sebagai warga masyarakat Cirebon
juga sudah seharusnya menjaga situs makam Sunan Gunung Jati serta keluarganya
sebagai tanda penghormatan kita. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menjaga
situs makam Sunan Gunung Jati. Salah satunya adalah dengan tertib dan menjaga
keamanan pada saat kita berkunjung ke makam Sunan Gunung Jati. Tidak hanya
menjaga saja kita juga dapat tetap meneruskan perjuangan Sunan Gunung Jati
dalam menyebarkan agama Islam tanpa mengenal lelah. Karena kewajiban
menyebarkan agama Islam bukan hanya dilakukan oleh para ulama atau Kyai saja.
Kepada para pihak yang mempunyai kekuasaan dan
kewenangan terhadap peninggalan sejarah keagamaan di Cirebon, diharapkan bisa
memanfaatkan kewenangannya dalam menjaga dan mengembangkan fungsi dari bukti
sejarah keagamaan tersebut.
Pihak keraton seharusnya bisa mengakomodir para
peziarah, terutama dalam keamanan dan ketentraman di wilayah istana dengan
dibantu oleh aparat.
Daftar Pustaka
Mulyadi, Adi. 2006. Diktat Paskibra SMPN 1
Dukupuntang. Cirebon: CV. SMPN 1 Dukupuntang.
Sulendraningrat, Pangeran Suleman. 1984. Babad
Tanah Sunda Babad Cirebon. Cirebon.
Wardiya, Amin. 2006. Sunan Gunung Jati Bukan
Faletehan. Cirebon : BADKOM BUDPAR.
Yusnidar, dkk. 2000. Ilmu Pengetahuan Sosial Untuk
Sekolah Dasar Kelas IV. Bandung: PT Sarana Panca Karya Nusa.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1
Keterangan Denah Lokasi Situs Makam Sunan Gunung Jati
A. Pintu/Lawang Sanga :
1. Gapura
Pengantren
2.
Lawang
Krapyak
3. Lawang Pasujudan
4. Lawang
Ratnakomala
5. Lawang Jinem
B. Lain-Lain
1.
Masjid
Dog Jumeneng
2.
Karas
/ Lunjuk : Tempat istirahat keluarga Kraton setelah naik Makam Sunan Gunung
Jati.
3.
Pintu
Mergu : Pintu serambi muka bagian barat, tempat ziarah orang Tionghoa.
4.
Kompleks
pemakaman Sultan Raja Sulaiman.
5.
Serambi
muka Pesambangan, tempat petugas / Juru Kunci menerma tamu-tamu peziarah.
6.
Pelayonan
Tempat jenazah keluarga Keraton dishalatkan.
7.
Balemangu
Pajajaran: Sebuah bale-bale besar hadiah dari Prabu Siliwangi sebagai tanda
penghargaan pada waktu penobatan Syarif Hidayatullah sebagai Sultan Kesultanan
Pakungwati.
8.
Gapura
Manglayang: Pintu masuk para peziarah lae serambi muka.
9.
Paseban
Toko: Tempat diselenggarakan permusyawaratan.
10.
Gedung
Jimat: Tempat penyimpanan guci-guci Tiongkok dari berbagai ukuran.
11.
Balemangu
Trusmi: Bale-bale kecil yang sudah ditetapkan perbaikannya oleh rakyat Desa
Trusmi.
12.
Balemangu
Pos Penjagaan.
13.
Gapura
Timur: Pintu masuk pertama pezirah umum.
14.
Balemangu
Majapahit: Bale-bale berundak hadiah dari Demak yang berasal dari Majapahit
sewaktu perkawinan Sunan Gunung Jati dengan nyai Mas Tepasari Putri Ki Ageng
Tepasari bekas pembesar Majapahit.
15.
Paseban
Besar: Pendopo tempat upacara penerimaan tamu-tamu kehormatan.
C. Makam-Makam :
·
Sunan Gunung Jati.
|
· Komp. Raja
Syamsuddin (Sultan Sepuh)
|
·
Tubagus Fatahillah atau faletehan.
|
·
Ki Gede Bungko
|
·
Syarifah Mudaim.
|
·
Komp. Adipati Anom Charbon
|
·
Nyi Ageng Sembung.
|
·
Komp. Sultan Moh. Badrudin
|
·
Nyai Mas Tepasari.
|
·
Komp. Sultan Jamaludin
|
·
Pageran Cakrabuana (Pangeran Walangsungsang)
|
·
Komp. Nyi Mas Rarakerta
|
·
Puteri Nio Ong Tien (Nyia Mas Ratu Rara Sumanding,
istri Kanjeng Sunan)
|
·
Komp. Sultan Moh. Komarudin
|
·
Pangeran Dipati Charbon I (P. Swarga)
|
·
Komp. Panembahan Anom Ratu sesangkan
|
·
Pangeran Jayalelana
|
·
Adipati Awangga (Arya Kemuning)
|
·
Pangeran Pasaman
|
·
Komp.Sulta Mandurareja
|
·
Ratu Mas Nyawa
|
·
Komp. Moh. Tajul Arifin
|
·
Pangeran Sedang Lemper
|
·
Komp. Sultan Nurbuat
|
·
Komp. Sultan Panembahan Ratu
|
·
Sultan Sena Moh. Jamiuddin
|
·
Adipat Keling
|
·
Komp.Sultan Saifudin Matangaji
|
·
Komp. Pangeran Sendang Garuda
|
Lampiran
2
a. Silsilah Sunan Gunung Jati dari Garis Ibu
PSS
|
Dadan
Wildan
|
Atja
|
H. Basari
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1. Nabi adam A.s
2. Nabi Sis A.s
3. Sayyid Anwar/ Nuruhu/ Sanghyang
Nurcahya
4. Sanghyang Nurasa
5. Sanghyang Wenang/ Nubuh
6. Sanghyang Tunggal Sri
Mahapunggung Awal / Jalalu Purba
7. Betara Guru/ Manyikru
8. Betara Brama/ Maridj
9. Bramani Raras
10. Yang trusina
11. Begawan Manomanasa
12. ]Begawan Sambarana
13. Begawan Sukrem
14. begawan Sakri
15. Palasara
16. Bagawan Abiyasa
17. Pandu Dewanata
18. Arjuna Dipati Suryalaga
19. Abimanyu Anom Permadi
20. Parikesit(Purbasenggara)
21. Aji Hudayana
22. Agendrayana
23. Setrayana (Prabu Jayabaya )
24. Jayamijaya
25. Jayamisena
26. Prabu Kusumawicitra
27. Prabu Citrasoma
28. Prabu Pancadriya Linuwih
29. Prabu Angling-driya
30. Raja Selacaya Angling Darma
31. Yang Sri Mahapunggung Akhir
32. Prabu Kendihawan (Dewa
Natacengkar)
33. Resi Keduyunan
|
1. Nabi Adam A.s.
2. Nabi Sis A.s.
3. Sayid Anwar
4. Su’ur (Sanghyang Nurasa)
5. Nubuh (Sanghyang Wenang)
6. Jalalu Purba
7. Manyikeru
8. Maridz (betara-Brahma)
9. Naibramani
10. Hyang Tritusna
11. Begawan Manumayasa
12. Begawan Sambrana
13. Begawan Sukrem
14. Begawan Sakri
15. Begawan Palasara
16. Begawan Abiyasa
17. Pandu Dewanata
18. Janaka
19. Anom Permadi
20. Purba Sengara
21. Aji Hudayana
22. Agendrayana
23. Setyana
24. Jayamisena Gung
25. Jayamisena
26. Prabu Kusumawicitra
27. Prabu Citrasoma
28. Pancadiya Linuih
29. Anglingdriya
30. Raja Selacaya
31. Prabu Hyang Sri Maha Punggung
32. Prabu Kendiawan
33. Resi Kenduyujan
34. Prabu Lembu Amiluhur
35. Prabu Rawis rengga
36. Prabu Adimulya
|
1. Maharaja Galuh
Pakuan, Maharaja adi mulya
2.
Prabu Ciung Wanara
3.
Sri Ratu Purbasari
4.
Prabu Linggahyang
5.
Prabu Linggawesi
6.
Prabu Watu Kencana
7.
Prabu Susuktunggal
8.
Prabu Banyaklarang
9.
Prabu Banyak-wangi
10.
Prabu Mundingkawati
11.
Prabu Anggalarang
12.
Prabu Siliwangi
|
1. Nabi Adam A.s.
2. Nabi Sis A.s.
3. Anwar (Nurcahya)
4. Sanghyang Nurasa
5. Sanghyang Wenang
6. Sanghyang Tunggal
7. Sanghyang Manik maya
8. Brahma
9. Brahmasada
10. Brahmasatapa
11. Parikenan
12. Manumayasa
13. Sekutrem
14. Sakri
15. Palasar
16. Abiyasa
17. Pandu Dewanat
18. Arjuna
19. Abimanyu
20. Parikesit
21. Yudayana
22. yudayaka
23. Jaya Amijaya
24. Kendrayana
25. Sumawicitra
26. Citrasoma
27. Pancadriya
28. Prabu Suwela
29. Sri Mahapunggung
30. Resi Kandihawan
31. Resi Gentayu
32. Lembu Amiluhur
33. Panji Asmarabangun
34. Rawisrengga
35. Prabu Lelea
36. Mundingsari
37. Mundingwangi
38. Jaka Suruh
39. Prabu Siliwangi
40. Nyai Mas Rarasantang
|
Lampiran
3
b. Silsilah Sunan Gunung Jati dari Garis
Ayah
PSS
|
Dadan Wildan
|
Atja
|
H. Basari
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1. Siti Fatimah binti Muhammad
menikah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
2. Husain Assabati
3. Jaenal Abidin
4. Muhammad Al Bakri
5. Jafar Sadiq
6. Kasim Al Kamil
7. Muhamad an Nagib (idris)
8. Isa al Basri
9. Ahmad al Muhajir
10. Ubaidillah
11. Muhammad
12. Alwi
13. Ali al Gazam
14. Muhamad
15. Alwi Amir Faqih
16. Abdul Malik
17. Abdullah Khan
Nurdin (Amir) Al Amir Ahmad
18. Syekh Jalaldi al Husain
19. Jamaludin al Husain
20. Ali Nurul Alim
21. Syarif Abdullah (sultan Mesir)
22. Syarif Hidayatullah
|
1. Nabi Adam
2. Nabi Sis A.s.
3. Anwas
4. Qinan
5. Makail
6. Yarid
7. Sam
8. Arfakhsyadz
9. Finan
10. Syalikh
11. Abir
12. Urgu
13. Sarug
14. Nakhur
15. Tarikh
16. Nabi Ibrahim
17. Nabi Ismail
18. Haidar
19. Jamal
20. Sahail
21. Binta
22. Salaman
23. Hamyasa
24. Adad
25. Addi
26. Adnan
27. Ma’ad
28. Nizar
29. Mudhor
30. Ilyas
31. Mudrikahah
32. khuzaimah
33. Kinaah
34. Nadhar
35. Malik
36. Fihir
37. Ghalib
38. Lauiy
39. kaab
40. Murrah
41. Kilab
42. Qushay
43. Abdul
44. Abdul Muttalib
45. Abdullah
46. Nabi Muhammad SAW
47. Fatimah Azzahra
48. Sayyid Husain As-Sabti
49. Imam Zaenal Abidin
50. Muhammad Al Bakir
51. Jafarus Saddiq
52. Ali al-Uraidi
53. Kasim al Kamil
54. Muhammad an Naqib Idris
55. Isa Al Basri Al Bakir
56. Ahmad Al muhair
57. Ubaidillah
58. Muhammad
59. Alwi
60. Ali Al-Gazam
61. Muhammad
62. Alwi Amirfakih
63. Maulana Abdulmalik
|
1.
Rasul Muhammad
2.
Sayid Ali yang beristrikan Fatimah
3.
Sayid Husein
4.
Sayid Abidin
5.
Muhammad Bakir
6.
jafar Sadik
7.
Kasim al Malik Idris
8.
Al bakir
9.
Ahmad
10.
Baidillah
11.
Muhammad
12.
Alwi
13.
Abdul Malik
14.
Amir
15.
Jamaludin
16.
Ali Nurul Alim
17.
Syarif Abdullah
|
1. Nabi Adam A.s.
2. Nabi Siswa A.s.
3. Anwas
4. Qinan
5. Makhil
6. Yarid
7. Makhnukh
8. Matusalh
9. Lamiq
10. Nabi Nuh
11. Syams
12. Arfakhsal
13. Finan
14. Syalikh
15. Abir Urgu
16. Sarugh
17. Nakhur
18. Torikh
19. Nabi Ibrahim
20. Nabi Ismail
21. Haidar
22. jamal
23. Sahail
24. Bintah
25. Salaman Hamyasa
26. Adad
27. Addi
28. Adnan Ma’ad
29. Nizar
30. Mudhor
31. Ilyas
32. Mudrikhah
33. Khuzaimah
34. Kinaah
35. Nadhar
36. Malik
37. Fihirn
38. Malik
39. Ghalib
40. Luaiy
41. Kaab
42. Qushay
43. Abdul Mutalib
44. Muhammad SAW
45. Ftimah Azzahra
46. Sayyid Husein
47. Zainal Abidin
48. Zainul Alim
49. Zainul Kubro
50. Zainul Husain
51. Maulana Ishak (Syarif Abdulah)
52. Syarif Hidayatullah
|
Sumber:
Makalah pada Lomba Penulisan dan Diskusi Sejarah Lokal Tingkat SMA/Sederajat yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, tanggal 27 September 2007.