Wilayah Jawa bagian barat menjadi bagian yang terlupakan dalam catatan prasejarah dan sejarah Indonesia. Keberadaannya terbenam di antara kemasyhuran peninggalan di Jawa Tengah dan Jawa Timur tanpa melewati Jawa Barat. Namun, keyakinan itu kini mendapat tantangan dari situs Cikapundung.
Pernyataan para ahli tersebut didukung data berupa tengkorak manusia purba di Sangiran yang berusia jutaan tahun dan temuan lain manusia prasejarah, seperti di Song Gentong di Tulungagung, Jawa Timur (8.760 tahun lalu); Song Terus di Pacitan, Jawa Timur (9.200 tahun lalu); dan Goa Braholo di Gunung Kidul, Yogyakarta (9.780 tahun lalu).
Teori itu sebenarnya membingungkan karena Pulau Jawa terbentuk dari barat ke timur. Dari teori ini seharusnya kawasan Jawa bagian barat dihuni terlebih dahulu pada saat migrasi pertama sebab Jawa Barat adalah yang terdekat dengan Asia.
Baru pada awal 1990-an tabir ini mulai terbuka, antara lain ditandai penemuan beberapa situs purba Jawa Barat, seperti di kawasan Tambaksari, Ciamis, serta sejumlah situs purba di perbatasan antara kawasan Kuningan, Cirebon, dan Brebes (Jawa Tengah).
Untuk kehidupan manusia prasejarah, pada 2003 teori itu juga mulai terbantahkan lewat penemuan tengkorak manusia prasejarah di Goa Pawon, Bandung Barat. Temuan itu setahun kemudian disusul temuan rangka manusia dalam posisi terlipat (flexed) di tempat yang sama di kedalaman 143 sentimeter.
Dari era Hindu-Buddha, dikenal sebagai masa klasik dalam arkeologi Indonesia, Jateng dan Jatim selangkah di depan terkait adanya candi. Penemuan Candi Borobudur di Jateng, Prambanan di Yogyakarta, atau Singasari di Jatim gambarannya. Arkeolog Belanda, Bernert Kempers, sempat membagi masa klasik Jawa hanya ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Jawa Barat ternyata juga memiliki tinggalan percandian. Pada 1984, ditemukan sejumlah candi di Jabar, seperti Batujaya dan Cibuaya di Karawang. Bojongmenje dan Bojongemas di Kabupaten Bandung menyusul pada 2002. Batujaya dikatakan sebagai yang tertua di Jawa dan Candi Bojongmenje dan Bojongemas diyakini berasal dari zaman yang sama dengan candi tua di kompleks Dieng.
Jarang terjadi
Jabar kini boleh berbesar hati. Di sepanjang tepi Sungai Cikapundung ditemukan fenomena arkeologi yang sangat mengagumkan dan jarang ditemui di daerah lain. Aliran Sungai Cikapundung yang melewati Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat ternyata menjadi rumah tiga generasi peradaban berbeda.
Arkeolog Balai Purbakala (Balar) Bandung, Lutfi Yondri, mengatakan, tiga peradaban itu adalah prasejarah, Sunda klasik, dan kolonial. Fenomena alam surutnya Danau Bandung Purba turut memengaruhi. Danau itu terbentuk karena terbendungnya Sungai Citarum Purba oleh erupsi kataklismik yang menghasilkan banjir abu vulkanik.
Lutfi menjelaskan, di daerah hulu Sungai Cikapundung atau kini dikenal dengan Dagopakar, Kota Bandung diperkirakan telah dihuni manusia pendukung budaya dari era paleolitik hingga paleometalik. Di daerah yang diduga tepian Danau Bandung Purba ditemukan alat-alat paleolitik berupa kapak perimbas dan kapak penetak—di daerah lain dipakai manusia purba.
Dari era mesolitik, di lokasi itu juga ditemukan peralatan batu obsidian buatan manusia. Peralatan dari batu yang bahan dasarnya berasal dari Kendan, Nagreg, dan Garut itu diyakini digunakan manusia prasejarah yang tengkoraknya ditemukan di Goa Pawon, Rajamandala, Bandung Barat.
Lapisan kedua adalah masa Sunda klasik, abad ke-4 M hingga ke-16 M, yang secara geografis ada di bawah generasi prasejarah. Lutfi mengatakan, besar kemungkinan dipengaruhi perubahan kondisi lingkungan sekitar Danau Bandung Purba.
Buktinya adalah penemuan Candi Bojongmenje di Cicalengka dan Bojongemas di Solokanjeruk, Kabupaten Bandung. Candi ini sebagian ahli memperkirakan dari abad ke-7 M. Ada juga penemuan arca di sekitar Kebun Binatang Bandung, diduga dari era yang sama.
Penemuan terbaru yaitu pada 5 Oktober 2010, yakni prasasti yang ditulis dengan aksara dan bahasa Sunda kuno di tepi aliran Sungai Cikapundung yang termasuk wilayah Kampung Cimaung, Bandung Wetan, Kota Bandung. Nandang Rusnandar, ahli aksara Sunda dari Balai Pelestari Nilai Sejarah dan Tradisi Jabar, Jakarta, dan Banten, memperkirakan, prasasti itu berasal dari abad ke-11 M hingga ke-14 M.
Di atas prasasti batu andesit itu terukir dua baris tulisan Sunda kuno, ”Unggal Jagat Jalma Hedap”, yang terjemahan bebasnya, setiap manusia di muka bumi akan menghadapi sesuatu. Di sisi kiri tulisan ada pahatan telapak tangan dan di kanan pahatan telapak kaki. Tepat di tengah tulisan ada ukiran seperti muka atau bunga.
Nandang mengatakan, ada beberapa kemungkinan tahun pembuatan prasasti itu. Yang pertama, dari abad ke-14 M hingga ke-15 M. Bentuk tulisan serupa ditemukan juga dalam ”Naskah Syang Hyang Siksakandang Kersian” dan ”Amanat Galunggung”.
Teori lain, yaitu abad ke-11 saat Kerajaan Kendan berjaya, terlihat dari kemiripan tulisan dan situs yang ditemukan di aliran sungai lainnya, seperti Candi Bojongmenje dan Bojongemas di Kabupaten Bandung. Kendan adalah salah satu kerajaan tua di Jabar yang berjaya di bawah Raja Manikmaya.
Akan tetapi, arkeolog Universitas Indonesia, Hasan Djafar, mengatakan masih ragu terkait soal asal dan kapan prasasti itu dibuat. Alasannya, bentuk tulisannya berbeda dengan tulisan di prasasti lain yang pernah ditemukan di Jabar. Perkiraan dari abad ke-14 M hingga ke-15 M belum bisa dipercaya sepenuhnya karena aksara Sunda kunonya berbeda dengan prasasti di Kawali, Ciamis, dan Kebanten di Bekasi. Namun, apabila ditarik abad ke-11, sebenarnya di Jabar belum ditemukan aksara Sunda kuno. Hingga kini baru ditemukan akasara Palawa Akhir dari Zaman Sriwijaya yang ada di Prasasti Kebon Kopi, Bogor.
”Kami masih akan melakukan penelitian lebih lanjut. Untuk memastikan dari zaman apa prasasti itu berasal,” ujar Hasan.
Sedangkan lapisan ketiga adalah peradaban Kolonial Belanda hingga kini. Nandang mengatakan, peradaban ini dipengaruhi perpindahan ibu kota Bandung dari Dayeuhkolot ke Kota Bandung pada awal 1809.
Ada dua versi tentang itu. Versi Bupati Bandung saat itu, Wiranatakusumah II, perpindahan dipengaruhi alasan Dayeuhkolot, dasar Danau Bandung Purba, kerap terendam banjir. Versi Kolonial Belanda mengatakan, perpindahan itu atas perintah Gubernur Jenderal Daendels untuk mendekati Jalan Pos Anyer-Panarukan.
Bukti sejarah zaman ini adalah prasasti pembangunan kota, gedung bergaya kolonial, serta munculnya kampung pertama di Bandung. Setidaknya ada lima kampung awal di Bandung, yaitu Kampung Bandung (sekarang Dago), Kampung Bogor (Kebon Kawung), Kampung Balubur Kolot, Alun-alun Bandung, dan Kampung Cipaganti Kolot.
Simpan kekhawatiran
Dengan adanya fenomena tiga generasi peradaban yang berbeda ini, baik Lutfi maupun Nandang meyakini artinya sangat besar bagi sejarah arkeologi nasional, bahkan dunia. Fenomena ini jarang ditemukan di daerah lain. Sungai Cikapundung sejak dahulu memberikan harapan hidup bagi berbagai peradaban berbeda.
”Para peneliti arkeologi kini semakin tertarik menyusuri jejak peradaban manusia yang mungkin dibuat di aliran Sungai Cikapundung,” kata Lutfi yang juga berstatus sebagai Peneliti Utama Balar Bandung ini.
Di tengah kebahagiaan ini, mereka menyimpan kekhawatiran. Alasannya, mayoritas situs vital terkendala pembebasan tanah warga sekitarnya. Nandang mengatakan, beberapa situs itu, antara lain Candi Bojongmenje dan Bojongemas, terhalang tembok pabrik dan permukiman warga serta tergusur karena pembangunan saluran air.
Habitat asli Arca Durga di sekitar areal Kebun Binatang Bandung dan situs prasejarah di Dago terbenam permukiman warga serta Prasasti Cikapundung menjadi fondasi rumah warga. ”Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, pemerintah perlu menyelesaikan pembebasan tanah agar lebih lestari,” ujar Nandang.