Monumen Kebulatan Tekad Rengasdengklok, di Kampung Bojong, Desa Rengasdengklok Utara, Jawa Barat. Sebuah patung berbentuk kepalan tangan kiri, adalah tanda kebulatan tekad Bung Karno dan Bung Hatta membuat Indonesia merdeka.
Ruang kosong berukuran 2,5 x 1,5 meter itu terasa hampa. Tidak ada jejak peninggalan atau bukti sejarah apapun. Konon, ruang kosong dengan tembok kokoh berterali besi itu pernah ditempati Presiden Republik Indonesia pertama, Soekarno.
Ya, ruangan itu memang salah satu sel di Penjara Banceuy, tempat pertama Soekarno menerima hukuman dari Pemerintah Belanda. Tepatnya, pada 30 Desember 1929, Soekarno bersama dua rekannya Gatot Mangkupradja dan Maskun Soemadiredja masuk dalam penjara Banceuy. Sejak 18 Agustus 1930, Soekarno menempati sel nomor 5 blok F itu.
Meskipun terkurung di penjara, Soekarno terbukti masih bisa membuat naskah pledoi yang dikenal sebagai Indonesia Menggugat. Bermodal selembar kertas dan pena selundupan, Soekarno bisa menuliskan harapan dan keinginannya untuk Indonesia merdeka.
Soekarno yang dikenal dengan sebutan Bung Karno, adalah Bapak Proklamator Indonesia. Semasa hidupnya, pria kelahiran Blitar, 6 Juni 1901 itu, tidak pernah berhenti memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Penjara Banceuy, menjadi kenangan pahit bagi Bung Karno. Sel kecil dengan lebar 1,5 meter itu, ditempati selama delapan bulan oleh Soekarno. Saat ini, kondisi Penjara Banceuy kurang terpelihara. Bahkan bisa dibilang, tempat tersebut bukan lagi sebuah penjara yang terdiri dari puluhan atau ratusan sel.
Faktanya, penyelu- suran selama tiga hari ke tempat bersejarah di Karawang dan Bandung, pada 14-16 Oktober 2008, berbuah kekecewaan. Tempat yang pernah menjadi persinggahan Soekarno itu, benar-benar sel mati bisu. Hampir tidak ada bukti keberadaan Soekarno, yang pernah tinggal di sana.
Penjara Banceuy tidak lagi pantas disebut penjara. Saat ini, hanya satu sel yang masih berdiri kokoh di antara pertokoan di Kota Bandung. Tidak ada bukti reruntuhan atau benda sejarah, untuk menguatkan keberadaan Penjara Banceuy. Hanya sebuah sel nomor 5, yang masih dipertahankan oleh pemerintah daerah setempat. Tidak ada tulisan atau tanda apa pun yang menyatakan sel tersebut adalah bekas Penjara Banceuy.
Masyarakat awam yang berkunjung ke lokasi tersebut, kemungkinan tidak menyadari ruang kosong tersebut adalah sel penjara Bung Karno. Terlebih lagi, pagar yang melindungi sel berfungsi ganda menjadi tempat jemuran warga sekitar.
Kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) wilayah Jawa Barat, Toto Sucipto menuturkan, Penjara Banceuy yang terletak di tengah Kota Bandung itu belum resmi terdaftar sebagai tempat bersejarah. Sampai saat ini, prosesnya masih diusahakan.
Tidak terpeliharanya lokasi sekitar Penjara Banceuy, menjadi alasan utama sulitnya proses pendaftaran. Warga sekitar penjara, bahkan tidak peduli pada keberadaan tempat bersejarah tersebut. Penjara yang awalnya terdiri dari ratusan sel, kini berubah menjadi pertokoan dan pasar.
“Kami masih mengusahakan agar sel tempat Bung Karno ditahan bisa masuk dalam daftar tempat bersejarah. Nantinya, akan diberikan jupel (juru pelihara) khusus untuk sel nomor 5 ini,” ujar Toto.
Sel yang sempit itu memang tidak meninggalkan bukti-bukti fisik keberadaan Bung Karno. Satu-satunya bangunan yang masih berdiri kokoh selain sel nomor 5, yakni menara pengawas Belanda. Menara tersebut berbentuk bangunan seluas tak lebih dari 20 meter persegi. Tinggi menara, empat meter dengan bangunan dua lantai.
Ruang tamu rumah tinggal Djiaw Kie Siong berisi foto-foto Bung Karno dan sebuah altar sembahyang. Rumah tinggal Djiaw Kie Siong, menjadi bukti sejarah perjuangan Bung Karno dan Hatta membuat naskah teks proklamasi.
istimewa
Blok Timur, tempat sel Bung Karno berada. Sel bertuliskan TA 01 berada di pojok kiri Blok Timur Penjara Sukamiskin.
Penjara Sukamiskin
Penjara Banceuy bukanlah satu-satunya tempat mengurung raga Bung Karno. Setelah melewati proses pengadilan, pada 22 Desember 1930, Presiden RI pertama tersebut resmi dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Ia menghabiskan waktu dua tahun dalam penjara, yang terletak di Jalan AH Nasution, Sukamiskin, Bandung itu.
Penjara Sukamiskin, sejak zaman pemerintahan Belanda menjadi tempat tahanan kelas satu bagi penjahat politik. Saat itu, Bung Karno dianggap penjahat kelas satu yang membahayakan Belanda. Ia mendekam di ruangan seluas 2,2 x 3 meter. Dalam ruangan dua pintu tersebut, Bung Karno ditemani sebuah tempat tidur lipat, kursi, meja kayu, dan kloset duduk.
Sementara itu, di sisi kanan, terdapat rak buku dengan 11 buku tentang sejarah perjuangan Bung Karno. Ruangan juga dilengkapi sebuah kursi rotan dan satu kursi kayu lengkap dengan mejanya. Sekilas, ruangan tersebut sangat mewah bagi tahanan politik sekelas Bung Karno. Namun, harus diakui dalam ruangan itu Bung Karno tetap berkarya. Ia mampu menyelesaikan sebuah tulisan yang menjadi buku Mencapai Indonesia Merdeka.
Kepala Seksi Bimbingan Kemasyarakatan Penjara Sukamiskin, Yunianto saat ditemui menuturkan, petugas di Penjara Sukamiskin minim informasi tentang Bung Karno. Kebanyakan dari petugas hanya tahu, Bung Karno pernah mendekam di penjara tersebut. Namun, tingkah laku dan kebiasaan Bung Karno selama di penjara tidak pernah ada yang tahu. “Sampai saat ini kami masih menggali informasi tentang siapa dan bagaimana Bung Karno selama di dalam sel. Jadi, kami bisa memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat,” jelas Yunianto.
Penjara Sukamiskin, merupakan peninggalan pemerintah Belanda. Penjara tersebut dibangun pada 1918 dan baru berfungsi pada 1924. Dalam penjara terdapat 552 sel. Saat ini, penjara dihuni sekitar 480 narapidana. Bangunan asli khas Belanda, kental terlihat di Penjara Sukamiskin. Bahkan, ruang bawah tanah yang dipakai untuk penjahat berbahaya masih tetap dipelihara oleh petugas. Sayangnya, penjara bawah tanah tersebut tertutup untuk umum. “Penjara bawah tanah tidak dipergunakan lagi. Sejak 1945, penjara bawah tanah sudah ditutup. Ruangan tersebut kini dipakai sebagai gudang penyimpanan saja,” kata Yunianto.
Rumah Rengasdengklok
Sepanjang sejarah hidup Bung Karno, Penjara Banceuy dan Sukamiskin berhasil membelenggu raganya. Namun, saat bebas Bung Karno kembali melanjutkan perjuangan. Tempat lain yang juga mengandung nilai sejarah adalah, rumah kediaman Djiaw Kie Siong. Rumah berukuran 9 x 6 meter, di Kampung Bojong Tugu, Desa Rengasdengklok Utara itu, menjadi bukti sejarah kemerdekaan Indonesia. Dalam ruangan bertembok kayu jati tersebut, pada 16 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta menuliskan naskah teks proklamasi.
Kini, rumah tinggal tersebut berada dalam kepemilikan cicit Djiaw Kie Siong, yakni Djiaw Kwin Moi. Keaslian rumah tersebut tetap dipertahankan Kwin Moi. Bagian depan rumah yang pernah dipakai oleh Bung Karno tidak pernah diganti. Bahkan, tempat tidur dan kamar Bung Karno serta Bung Hatta masih sama dengan kondisi tahun 1945-an.
“Ruangan yang pernah dipakai oleh Bung Karno dan Bung Hatta dipelihara oleh negara. Bahkan untuk merenovasi, harus seizin pemerintah setempat. Biasanya pada 17 Agustus, rumah ramai dikunjungi tamu dari luar dan dalam kota. Kebanyakan dari tamu ingin melihat kamar Bung Karno,” cerita Kwin Moi.
Satu lagi pahlawan yang berjasa dalam sejarah kemerdekaan Indonesia dan meninggalkan jejak bersejarah di Jawa Barat, yakni perempuan asal Aceh, Tjut Nja Dhien. Pejuang perempuan tersebut, dikenal dengan sebutan Nyai Prabu, di Desa Sukajaya, Kecamatan Sumedang Selatan. Desa tersebut, merupakan tempat pengasingan Tjut Nja Dhien. Ia diasingkan bersama dengan anak berusia 15 tahun dan seorang pengawal.
Pada 6 November 1908, perempuan berdarah Aceh tersebut meninggal dunia. Sayangnya, sampai akhir hayat, jati diri Tjut Nja Dhien tidak terbongkar. Ia dikuburkan dengan nama Nyai Prabu, guru mengaji bagi warga Sumedang.
Namun, setelah 51 tahun berlalu makam Nyai Prabu akhirnya berganti nama. Saksi hidup, yang tak lain adalah cucu dari Kiai Haji Ilyas dan Hajjah Solehah, bersumpah bahwa Nyai Prabu adalah Tjut Nja Dhien. Akhir-nya, pada 1987, makam tersebut direnovasi menjadi makam pahlawan nasional.
Seluruh makam Tjut Nja Dhien ditutup dengan marmer. Pada sisi kanan dan kiri terdapat tulisan Arab disertai dengan tulisan berbahasa Aceh. Sedangkan, gaya arsitektur khas Aceh, terlihat pada bentuk atap makam.
Nana Sukmana, juru kunci generasi ke-4 makam Tjut Nja Dhien menuturkan, banyak warga Aceh yang mengunjungi makam. Bahkan mantan Kepala Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Muzakir Manaf pernah berkunjung, pada 10 Agustus 2008 lalu. Kebanyakan pengunjung yang datang hanya berdoa sejenak. Selain mantan Panglima GAM, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga sudah dua kali mengunjungi makam. [EAS/N-5]
Sumber: Suara Pembaruan