1. Pendahuluan
Sufwandi Mangkudilaga berpendapat, di Indonesia agama dan kebudayaan merupakan unsur yang saling mengisi. Agama, kini memberi landasan bagi suatu kebuda-yaan untuk berkembang. Se-mentara itu, sisa-sisa religi (ke-budayaan agama) sebagai suatu unsur universal dari kebudayaan keberadaannya banyak dipenga-ruhi agama yang ada. Cukup banyak contoh fenomena sepert itu yang dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah kepercayaan akan terkabulnya suatu keingi-nan bila berziarah ke makam seseorang yang dianggap suci atau keramat oleh masyarakat pendukungnya.
Sampai saat ini, tradisi ziarah ke makam-makam keramat masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Di Jawa Barat sendiri, cukup banyak ma-kam yang dianggap keramat. Tentu saja, derajat pengakuan terhadap makam keramat itu berlainan antara satu dan lain-nya. Ada makam yang hanya dipandang keramat oleh komu-nitas setempat, ada pula yang mendapat pengakuan lebih luas lagi. Artinya, tidak hanya masya-rakat setempat yang mengke-ramatkan makam tersebut, me-lainkan juga masyarakat di luar itu.
Salah satu makam keramat yang sering didatangi peziarah dari berbagai daerah adalah Makam keramat Godog, di De-sa Lebak Agung, Kecamatan Karang Pawitan, Kabupaten Ga-rut. Tidak kurang dari 100 pezia-rah datang ke tempat tersebut setiap hari. Apalagi pada hari dan bulan yang dipandang baik untuk berziarah, jumlah peziarah yang datang ke sana akan ber-lipat ganda. Bulan Maulud misal-nya, merupakan waktu yang paling istimewa untuk melaku-kan ziarah ke makam-makam keramat. Pada saat itu, komplek Makam Keramat Godog pun tampak begitu ramai, baik siang maupun malam.
Kedatangan mereka biasa-nya akan disambut dan dilayani oleh penduduk setempat yang dikenal sebagai juru kunci. Jum-lah juru kunci di tempat tersebut tidak hanya satu tetapi banyak. Mereka memasang papan nama sebagai juru kunci di depan ru-mahnya masing-masing. Untuk memperluas relasi, mereka juga membuat dan menyebarkan kar-tu nama. Jika diperlukan, mere-ka dapat dihubungi melalui tele-pon rumah dan telepon geng-gam atau handphone. Kebera-daan juru kunci Makam Keramat Godog memang cukup menarik untuk dikaji lebih jauh, khusus-nya dikaitkan dengan pranata sosial.
2. Pengertian Juru Kunci dan Pranata Sosial
Sebelum lebih jauh mengu-raikan tentang juru kunci Makam Keramat Godog, akan dijelaskan mengenai konsep juru kunci dan pranata sosial. Definisi juru kun-ci menurut Kamus Bahasa Sun-da karangan R. Satjadibrata adalah tukang nyangking kunci atau orang yang memegang kunci. Dalam kamus Umum Basa Sunda dari Lembaga Basa dan Sastra Sunda, definisi juru kunci adalah nu dipercaya nye-kel konci atau yang dipercaya memegang kunci. Dalam kamus tersebut juga disinggung Istilah lain untuk menunjuk hal yang sebetulnya sama dengan juru kunci makam keramat, yakni kuncen atau pakuncen. Di sana dijelaskan, kuncen atau pakun-cen adalah purah tunggu kubu-ran karamat, jsb; nu nyekel kon-ci lawang; sarta purah ngajajap-keun anu jarah ka dinya atau pekerjaan menunggu makam keramat, dan lain-lain; yang me-megang kunci pintu; dan peker-jaan mengantar peziarah ke tempat tersebut.
Istilah pranata sosial merupakan salah satu terjemahan dari social institution. Masih ada istilah lain yang menunjuk pada hal yang sama, yakni lembaga kemasyarakatan, lembaga sosial, atau bangunan sosial. Apa definisi dari pranata sosial ? Cukup banyak yang memberikan penjelasan mengenai hal itu, dan beberapa di antaranya akan dikemukakan di sini.
Koentjaraningrat mendefini-sikan pranata sosial sebagai suatu sistim tata kelakuan dan hubungan yang berpusat ke-pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat (Soekamto, 1982: 191).Sementara itu dalam buku yang sama, Soerjono Soe-kanto menjelaskan, pranata sosial atau lembaga kemasyara-katan adalah himpunan daripada norma-norma dari segala ting-katan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam ke-hidupan masyarakat. Dalam suatu seminar, DR. Ganjar Kur-nia pernah menyinggung tentang pranata sosial yang tak lain merupakan sebuah aturan main.
Dalam buku Tanya Jawab Pengantar Antropologi, terdapat penjelasan mengenai pranata sosial dari R.Firth dan J.O. Hertzler. Menurut pandangan R.Rirth, semua kebudayaan itu tersusun dalam pranata-pranata sosial yang merupakan wujud dari respons-respons yang di-formulasikan dan disistematis-kan daripada segala kebutuhan hidup. Secara individu, pranata sosial terlihat dalam bentuk ke-biasaan, tradisi, dan peraturan. Pendapat tersebut dikemukakan oleh J.Ohertzler.
Pranata sosial dapat terjadi bila memenuhi beberapa per-syaratan seperti berikut (Teguh Meinanda, 1981 : 25) :
Apabila merupakan suatu tata kelakuan yang baku, berupa norma-nor-ma, adat-istiadat;
Kelompok manusia yang melaksanakan norma-norma itu saling berhubungan me-nurut sistem norma-norma tersebut.;
Merupakan pusat aktivitas yang bertujuan untuk memenuhi kompleks – kompleks kebutuhan yang telah disadari oleh kelompok bersangkutan;
Menurut pendapat Summer (Soekanto, 1983: 195), lemba-ga-lembaga tumbuh dari kebia-saan yang menjadi tata kela-kuan (mores) dan bertambah matang apabila diadakan pen-jabaran terhadap aturan dan perbuatan. Selanjutnya, R.M MacIver dan CH Page dalam bukunya berjudul Society mem-bedakan antara lembaga de-ngan asosiasi. Lembaga meru-pakan bentuk-bentuk atau kon-disi-kondisi prosedur yang ma-pan, yang menjadi karakteristik bagi aktivitas kelompok. Kelom-pok yang melaksanakan pato-kan - patokan tersebut disebut asosiasi.
Jenis pranata sosial yang terdapat dalam kehidupan ma-syarakat begitu beragam. Pra-nata tersebut sedikitnya muncul untuk memenuhi kebutuhan, kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, bahkan kebutuhan tersier manusia. Beberapa con-toh jenis pranata sosial adalah sebagai berikut.:
Pranata sosial yang ber-tujuan untuk memenuhi ke-butuhan berketurunan, seperti perkawinan dan sistem kekerabatan.
Pranata sosial yang ber-tujuan untuk mencari mata pencaharian hidup, seperti pertanian, berdagang.
Pranata sosial yang ber-tujuan untuk memenuhi ke-butuhan pendidikan, seperti sekolah.
Pranata sosial yang bertu-juan untuk memenuhi kebu-tuhan manusia akan rekre-asi, seperti kesenian, drama.
Pranata sosial yang ber-tujuan untuk menghubung-kan manusia dengan ke-kuatan supranatural atau Tuhannya, seperti upacara dan doa-doa.
Pranata sosial yang ber-tujuan untuk memenuhi ke-butuhan jasmani seperti kedokteran, kecantikan, dan olah raga.
3. Peranan Juru Kunci dalam Kehidupan Masyarakat
Sebelum menguraikan pera-nan juru kunci dalam kehidupan masyarakat, akan dijelaskan se-cara singkat asal-usul juru kunci Makam Keramat Godog. Riwa-yatnya berkaitan dengan per-jalanan syiar Islam Prabu Kian-santang atau Sunan Rohmat Suci bersama para sahabatnya di wilayah Garut. Ketika dia diharuskan bertafakur dan men-dekatkan diri kepada Allah SWT di Gunung Suci-Garut, ada pen-duduk setempat yang ingin me-meluk agama Islam. Dia ber-nama Pager Jaya, dan dialah orang pertama yang di Islamkan oleh Sunan Rohmat Suci di wilayah itu.
Pager Jaya, kemudian men-jadi salah satu dari delapan sahabat Sunan Rohmat Suci. Pada saat itu, dia mendapat tu-gas untuk melayani para tamu yang akan bertemu dengan Sunan Rohmat Suci. Tanpa se-pengetahuan dia, tamu tidak akan diterima oleh Sunan Roh-mat Suci. Tepatnya, dia menjadi juru kunci bagi Sunan Rohmat Suci. Lalu, bagaimana peranan juru kunci dalam kehidupan ma-syarakat saat ini ? Berikut ini akan diuraikan sejumlah akti-vitas juru kunci.
Memelihara Mitologi tentang Makam Keramat Godog
Para juru kunci memelihara sejumlah mitologi tentang mak-am keramat Godog. Ada dua cara yang dilakukan oleh mereka, yakni dengan membukukannya, seperti tentang asal-usul makam keramat Godog; dan menceritakannya secara lang-sung kepada peziarah. Bebe-rapa mitologi yang berhubu-ngan dengan makam keramat Godog adalah seperti tertera pada uraian berikut :
a) Asal-usul Makam Keramat Godog
Makam keramat Godog adalah sebutan lain untuk makam Sunan Rohmat Suci. Siapakah sebenarnya Sunan Rohmat Suci itu? Sunan Rohmat Suci tidak lain adalah Prabu Kiansantang, salah satu putra Prabu Siliwangi dari istri yang bernama Dewi Kumalawangi. Prabu Kiansan-tang lahir di Pajajaran. Dia tum-buh menjadi anak yang gagah dan sakti. Tidak seorang pun di seluruh pulau Jawa yang dapat menandingi kesaktian dan kega-gahannya sampai dia dewasa. Karena penasaran, dia memo-hon kepada ayahnya agar di-carikan lawan yang seimbang untuknya. Hasilnya tetap sama, jangankan untuk mengalahkan-nya, melukainya pun tidak mam-pu, sekalipun telah mengguna-kan senjata tajam.
Mendapati kenyataan ter-sebut, ayah Prabu Kiansantang memanggil dan mengumpulkan seluruh ahli nujum di Keraton Pajajaran. Mereka diminta me-nunjukkan orang yang dapat menandingi anaknya. Tidak satu pun dari mereka yang dapat memenuhi keinginan tersebut. Sementara mereka sedang bi-ngung, tiba-tiba datanglah se-orang kakek. Dia memberi tahu orang yang diinginkan oleh ayah Prabu Kiansantang, yakni Sa-yidina Ali yang berada di Mekah. Sebetulnya, pada waktu itu, orang tersebut telah wafat. Jadi, pertemuan nanti terjadi secara gaib atas kehendak dan kuasa Allah SWT.
Prabu Kiansantang dapat menemui orang tersebut de-ngan beberapa syarat. Perta-ma, dia harus bersemedi dulu di Ujung Kulon. Kedua, dia harus mengganti namanya menjadi Galantrang Setra (Galantrang = berani, dan setra = suci). Diki-sahkan Prabu Kian-santang atau Galantrang Setra telah melak-sanakan kedua syarat itu, ke-mudian dia pergi ke Mekah. Sesampainya di sana, dia ber-temu dengan seorang laki-laki yang tidak lain adalah Sayidina Ali. Dia menanyakan orang yang dicarinya kepada laki-laki itu. Orang tersebut pun bersedia mengantar dia menemui Sayidina Ali.
Sebelum pergi, laki-laki itu menancapkan tongkatnya ke tanah tanpa sepengetahuan Ga-lantrang Setra. Berangkatlah kedua orang tersebut menuju orang yang dicari Galantrang Setra. Baru berjalan beberapa puluh meter, lelaki itu meminta Galantrang Setra kembali untuk mengambil tongkatnya. Semula dia menolak, namun laki-laki itu tidak akan mempertemukannya dengan Sayidina Ali. Dengan terpaksa dia kembali ke tempat semula untuk mengambil tong-kat yang ketinggalan.
Awalnya, Galantrang Setra mencabut tongkat tersebut dengan sebelah tangannya, tetapi tidak berhasil. Dicoba lagi dengan kedua tangannya, tongkat tetap tidak bergerak. Akhirnya, dia harus mengerahkan seluruh ke-mampuan dan kesaktiannya. Itu pun tidak berhasil. Justru kakinya ikut amblas ke dalam tanah hingga tubuhnya pun me-ngeluarkan darah.
Laki-laki itu menyusul Ga-lantrang Setra karena dia tahu apa yang akan terjadi. Dia lang-sung mencabut tongkatnya sam-bil membaca basmalah dan dua kalimat syahadat. Bersamaan dengan itu, darah dan rasa sakit pada tubuh Galantrang Setra pun hilang. Tentu saja Galan-trang Setra heran dan bertanya-tanya dalam hatinya, apakah ini semua terjadi karena kalimat yang diucapkan oleh laki-laki itu? Dia pun meminta kalimat tersebut agar dapat digunakan pada saat berhadapan dengan Sayidina Ali nanti. Laki-laki itu menolak karena Galantrang Se-tra belum masuk dan memeluk agama Islam.
Dikisahkan mereka berdua melanjutkan perjalanannya me-nuju Mekah. Sesampainya di tempat tersebut, seseorang me-nyapa laki-laki yang menyertai Galantrang setra dengan sebu-tan Sayidina Ali. Tentu saja Ga-lantrang Setra terkejut, ternyata orang yang dicari olehnya. Se-dang bersamanya saat itu. Karena merasa malu dan takut, dia memutuskan untuk kembali ke Jawa. Sayang sekali, dia tidak bisa pulang karena ke-saktiannya telah hilang. Dia malah hidup terlunta-lunta tanpa arah dan tujuan. Akhirnya, dia memutuskan kembali ke Mekah menemui Sayidina Ali dan ma-suk Islam, kemudian mendalaminya.
Selama memuntut ilmu di Mekah, dia sempat pulang men-jenguk ayah dan saudara-sau-daranya di Jawa. Kesempatan itu juga digunakannya untuk mengajak ayahnya masuk Islam. Ajakan tersebut ditolak ayahnya. Pada saat itu, dia memang be-lum mampu menyebarkan aga-ma Islam secara sempurna ka-rena pengetahuannya masih terbatas. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk kembali lagi ke Mekah. Di sana, secara khu-sus dia mempelajari agama Islam selama tujuh tahun. Sete-lah merasa cukup ilmunya, dia kembali ke Jawa ditemani sau-dagar Arab yang hendak ber-niaga sambil membantu menye-barkan agama Islam.
Dia kembali ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam. Di lingkungan masyarakat Pajaja-ran, Islam diterima dengan ta-ngan terbuka. Berbeda halnya dengan di lingkungan Keraton Pajajaran. Niat untuk menyebar-kan Islam sudah diketahui ayahnya melalui seorang abdi dalem yang kebetulan bertemu de-ngannya. Daripada harus mengikuti ajakan anaknya, Prabu Sili-wangi beserta pengiringnya lebih memilih meninggalkan ke-raton. Sebelum pergi, dia meng-ubah keraton menjadi hutan belantara agar keberadaannya tidak diketahui anaknya.
Ketika Galantrang Setra kembali ke Pajajaran, dia tidak menemukan keraton melainkan hanya hutan belantara. Tentu saja dia kaget dan bingung. Perlahan-lahan dia sadar, ini adalah perbuatan ayahnya sendiri. Kemudian, dia berdoa memohon dipertemukan dengan ayahnya. Doanya terkabul. Ayah dan para pengikutnya keluar dari hutan menemui Galantrang Setra. Dia menyambut kedatangan mereka serta mengajaknya kembalii ke keraton. Pada saat itu, dia juga mendesak ayahnya agar me-meluk agama Islam. Ayahnya tidak menghiraukan ajakannya, dia justru bertanya siapa yang pantas tinggal di hutan. Menurut Galantrang Setra, yang pantas ting-gal di hutan adalah harimau.
Mendapat jawaban tersebut, Prabu siliwangi beserta pengi-kutnya berubah menjadi hari-mau. Karena mengetahui mere-ka adalah harimau jadi-jadian, Galantrang Setra tetap mende-sak mereka agar masuk Islam. Mereka tetap menolak bahkan kemudian berlari meninggalkan Galantrang Setra dan Keraton Pajajaran. Meski dikejar dan didesak, mereka tetap menolak ajakan Galantrang Setra. Mere-ka lari menuju salah satu pantai di Garut Selatan. Sementara itu, Galantrang Setra menghadang-nya di Laut Kidul. Karena me-reka berkeras menolak ajakan untuk masuk Islam, terpaksa dia menutup jalan lari mereka. Akhirnya, mereka masuk ke sebuah gua (sekarang disebut Gua Sancang Pameungpeuk). Galantrang Setra gagal meng-Islamkan ayahnya sendiri.
Dikisahkan Galantrang Setra dalam perjalanan pulang ke Pajajaran. Dia bertemu dengan seorang laki-laki yang sengaja mencarinya karena ingin masuk Islam. Tentu saja dia senang dan bersedia mengIslamkannya termasuk juga mengkhitannya. Mungkin karena terlalu gembira, dia tergesa-gesa mengkhitan orang tersebut hingga hasafah-nya putus. Laki-laki itu akhirnya meninggal dan dimakamkan di tempat itu pula. Tempat itu di-namakan Islam Nunggal dan sekarang berubah menjadi Sa-lam Nunggal.
Sesampainya di Pajajaran, Galantrang Setra membangun kembali keratonnya tanpa meng-ubah wujud hutan belantara yang diciptakan ayahnya. Hutan itu kini menjadi Kebun Raya Bogor. Dia terus menyebarkan agama Islam ke berbagai pelosok daerah, bahkan hingga ke Galuh Pakuan dibantu oleh sau-dagar Arab sambil berniaga. Laki-laki yang masuk Islam di-khitan sendiri oleh dia.
Dikisahkan Galantrang Setra diangkat menjadi Raja Pajajaran menggantikan Prabu Munding Kawati (Prabu Ana Pakem I). Raja ini tidak lama bertahta ka-rena mendapat ilham untuk uzlah, yakni pindah dari tempat ramai ke tempat sepi. Tujuan uzlah adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ada tiga tem-pat yang dipilih untk uzlah, yakni Gunung Ceremai, Gunung Ta-sikmalaya, dan Gunung Suci Garut.
Ketika uzlah dia harus mem-bawa peti berisi tanah pusaka atau tanah yang berasal dari mekah. Keberadaan peti itu akan menjadi petunjuk tempat tafakur nanti. Jika peti itu godeg atau berubah di suatu tempat, itu pertanda dia harus tafakur di sana dan mengganti namanya menjadi Sunan Rohmat Suci. Sebelum uzlah, dia menyerah-kan tahta kerajaan kepada Pra-bu Panatayuda, putra tunggal Prabu Munding Kawati.
Perjalanan uzlah diawali ke Gunung Ceremai. Di tempat itu tidak terjadi apa-apa, meski peti telah diletakkan di atas tanah. Hal serupa juga terjadi ketika dia tiba di tempat kedua, yakni di Gunung Tasikmalaya. Baru di tempat ketiga, yakni di Gunung Suci Garut, peti berubah atau godeg. Itu pertanda dia harus tafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah di tempat itu, serta mengganti namanya menjadi Sunan Rohmat Suci.
Masa tafakur Sunan Rohmat Suci di Gunug Suci Garut ber-langsung selama 19 tahun. Se-lama bertafakur, dia dibantu dan dilayani 8 (delapan) sahabatnya yang terdiri atas : Santowan Marjaya Suci, Sembah Dalem Seureupan Agung, Sembah Da-lem Holipah Agung, Sembah Dalem Serepan Suci, Sembah Dalem Pager Jaya, Sembah Dalem Kuwu Kandang Sakti, Sembah Dalem Syeh Dora, dan Sembah Dalem Kandang He-rang (perempuan).
Sunan Rohmat Suci dan ke-delapan orang terdekatnya wafat dan dimakamkan di lokasi yang sama, yakni di Gunung Suci. Dari kedelapan sahabat tadi, satu di antaranya, yakni Sembah Dalem Pager Jaya, merupakan penduduk asli Gunung Suci. Dia di Islamkan dan dikhitan oleh Sunan Rohmat Suci sendiri. Dia merupakan orang pertama yang di Islamkan di daerah tersebut. Pada saat itu, dia bertugas me-layani tamu yang akan bertemu de-ngan Sunan Rohmat Suci. Tanpa sepengetahuan Sembah Dalem Pager Jaya, tamu tidak akan diterima oleh Sunan Roh-mat Suci. Tepatnya, dia menjadi juru kunci.
b) Cikawedukan
Kisah Cikawedukan erat kaitannya dengan perjalanan Sunan Rohmat Suci dalam me-nyebarkan agama Islam di wila-yah Godog. Dikisahkan pada saat itu, ada penduduk asli Go-dog bernama Pager Jaya ingin masuk Islam. Dia termasuk orang yang sangat sakti karena memiliki ilmu kawedukan atau kekebalan dan kekuatan yang tinggi. Dia kebal dari segala sen- jata tajam, seperti golok dan pisau.
Ketika dia akan masuk Islam salah satu syaratnya adalah ha-rus disunat. Sunan Rohmat Suci mengalami kesulitan ketika akan mengkhitannya. Jangankan di-sunat, rambutnya saja sangat sulit untuk ditembus benda tajam. Mendapati kenyataan tersebut, Pager Jaya hanya bisa pasrah. Kemudian datanglah petunjuk gaib atau wangsit yang meminta agar Pager Jaya ber-semedi dan mandi di suatu su-ngai. Ternyata setelah mandi di sungai tersebut, ilmu kawedukan atau kesaktiannya hilang sehing-ga dia bisa disunat. Dengan de-mikian, sahlah dia sebagai pe-meluk Islam. Sungai yang men-jadi tempat dia bersemedi dan mandi tadi kemudian diberi na-ma Cikawedukan.
c) Cerita – cerita Gaib
Wilayah makam keramat Godog masih terbilang angker. Berbagai peristiwa aneh dan gaib juga kerap terjadi di sana. Ada beberapa kisah di antara-nya yang cukup dikenal masya-rakat, yakni:
Kisah pohon yang tumbang dan peristiwa kebakaran. Konon pada waktu itu ada sebuah pohon tumbang di kawasan makam keramat Godog. Sebagian masyara-kat memanfaatkan kayunya untuk kayu bakar, tanpa minta izin dulu kepada juru kunci. Ternyata hal itu mem- bawa petaka bagi mereka. Musibah kebakaran menim-pa rumah mereka, yang menjadikan potongan kayu dari pohon tersebut menjadi kayu bakar. Peristiwa terse-but terjadi pada siang hari. Anehnya rumah warga ma-syarakat lainnya tidak ikut terbakar, padahal banyak di antaranya yang berdempe-tan dengan rumah-rumah yang terbakar. Sejak saat itu, warga masyarakat tidak berani mengambil kayu bakar dari kawasan makam keramat Godog tanpa sepengetahuan juru kunci.
Kisah pohon yang tumbang di seputar makam keramat Godog. Pohon-pohon besar memang tumbuh subur di tem-pat tersebut. Namun yang menarik, bangunan-bangunan yang ada dt tempat tersebut tidak pernah ada yang tertimpa pohon. Konon biasanya ter-jadi peristiwa aneh di seputar tumbangnya pohon di sekitar bangunan tersebut. Mereka kerap mendengar gemuruh suara di dekat pohon. Setelah mendengar suara tersebut, pohon tadi posisinya sudah terangkat akarnya. Jadi, ma-syarakat dapat dengan mu-dah memotong kayunya tan-pa merusak bangunan yang ada di sekitarnya.
Kisah lainnya berupa pene-muan fenomena seperti ca-haya, binatang, atau makhluk yang tiba-tiba menghilang; Kisah tentang orang-orang yang kesurupan; dan kejadian-keja-dian aneh lainnya akibat pe-langgaran aturan di tempat itu.
Menjaga Kawasan Makam Ke-ramat Godog
Kawasan makam keramat
Godog yang dipertahankan dan dipelihara keberadaannya oleh juru kunci keturunan Pager Jaya meliputi area makam keramat Godog berikut peninggalan Su-nan Rohmat Suci dan tempat-tempat keramat lainnya yang berada di luar area makam kera-mat. Meskipun berada di luar, latar belakang tempat keramat itu masih di seputar kisah ten-tang Sunan Rohmat Suci.
Area makam keramat Go-dog menempati lahan yang luas-nya lebih kurang 3 hektar. Lahan tersebut dikelilingi pagar kawat sebagai pembatas dengan lahan milik warga masyarakat lainnya. Pemilik lahan tersebut adalah juru kunci keturunan Sembah Dalem Pager Jaya.
Di dalam kawasan tersebut terdapat sejumlah bangunan yang terdiri atas makam dan bangunan pendukung lainnya. Seperti telah disebutkan sebelumnya, di sana ada 9 makam keramat yang terdiri atas makam Sunan Rohmat Suci dan 8 sahabatnya. Dari kedelapan makam sahabat Sunan Rohmat Suci, empat di antaranya bera-da dalam satu bangunan de-ngan makam Sunan Rohmat Suci, yakni makam Santowaan Marjaya Suci, Sembah Dalem Halifah Agung, Sembah Dalem Seureupeun Agung, dan Sem-bah Dalem Serepan Suci. Se-mentara itu empat makam lagi tersebar di beberapa tempat dalam kawasan tersebut.
Bangunan pendukung lain-nya juga ada di dalam area ma-kam keramat Godog, seperti pos pendaftaran; paseban, yakni bangunan panggung untuk tem-pat beristirahat para peziarah; kandaga sebuah bangunan tem- pat menyimpan beragam benda peninggalan Sunan Rohmat Su-ci; juga mesjid. Selain itu, bebe-rapa bangunan tampak masih dalam proses penyelesaian.
Di antara sejumlah bangu-nan tadi, tumbuh subur pohon-pohon yang besar dan tinggi. Itu terlihat mulai dari pintu gerbang memasuki kawasan makam hingga puncak, yang menjadi tempat makam Sunan Rohmat Suci. Pohon yang mengapit anak tangga menuju makam keramat di antaranya pohon Bunut, Beringin, Kimunding, Han-tap, dan Kijeruk. Diameter ba-tang pohon-pohon tersebut di-perkirakan lebih dari satu meter. Banyaknya pohon tua di tempat tersebut dimungkinkan karena ada larangan untuk menebang pohon tanpa seizin juru kunci. Masyarakat sekitar pun tidak ada yang berani melanggarnya karena takut terjadi sesuatu yang merugikan mereka. Kalaupun di sana terlihat tanaman palawija seperti singkong, itu adalah milik warga masyarakat yang kurang mampu. Juru kunci memang mengizinkan mereka yang kurang mampu mengga-rap lahan kosong di kawasan makam itu.
Tempat yang harus dijaga dan dipelihara oleh juru kunci tidak hanya kawasan makam keramat. Di luar batas pagar kawat, masih ada tiga tempat keramat lainnya, yakni Cikahuri-pan, Cikajayaan, dan Cikawedu-kan. Lokasi tempat keramat tersebut berada di lembah gu-nung, yang berjarak sekitar 300 meter dari makam keramat. Setelah melewati akar-akar po-hon yang besar, menuruni anak tangga, dan melewati sawah sampailah ke tiga tempat kera-mat tadi.
Tempat pertama yang akan dilalui adalah Cikahuripan, yakni mata air yang mengalirkan air ke sawah-sawah di sekitarnya. Ko-non air tersebut berasa agak manis dan terlihat bening. Ba-nyak juga peziarah yang minum air tersebut tanpa harus dimasak dahulu. Tempat keramat berikut-nya yang akan dilewati adalah Cikajayaan, yakni aliran air me-lalui dua pancuran dan dilin-dungi secara sederhana dengan bambu dan atap seng. Pada malam hari, banyak peziarah yang mandi di tempat tersebut dengan berbagai tujuan, seperti untuk mengobati berbagai pe-nyakit. Umumnya, mereka da-tang ke tempat itu setelah men-dapat izin atau petunjuk dari juru kunci. Tempat keramat yang terakhir adalah Cikawedukan. Peziarah yang mandi di Cika-wedukan biasanya laki-laki.
Telah disebutkan sebelum-nya, di kandaga disimpan se-jumlah benda peninggalan Su-nan Rohmat Suci. Benda-benda itu terdiri atas alat-alat untuk bertani, memancing, peralatan rumah tangga, lencana, dan lain-lain. Pada setiap Maulud, juru kunci mengeluarkan benda-benda tersebut dari tempatnya kemudian membersihkannya. Aktivitas tadi dilakukan dalam satu prosesi upacara yang cu-kup semarak, yakni Upacara Ngalungsur Pusaka Makam Keramat Godog. Tujuan upacara tadi adalah untuk mensosiali-sasikan nilai-nilai perjuangan Sunan Rohmat Suci dalam me-nyebarkan agama Islam kepada masyarakat. Pelaksana upacara Ngalungsur Pusaka Makam Keramat Godog adalah juru kun-ci keturunan Sembah Dalem Pager Jaya. Sementara itu, pe-serta yang terlibat dalam upa-cara berasal dari berbagai ele-men masyarakat.
Melayani Peziarah ke Makam Keramat Godog
Menziarahi makam keramat, apalagi disertai tujuan-tujuan ter- tentu biasanya ada aturannya, baik berupa tatacara berziarah maupun pantangan – panta-ngannya.Yang mengetahui atu-ran tersebut tentu saja juru kunci. Oleh karena itu, umum-nya peziarah akan mendatangi juru kunci sebelum mela-kukan ziarah ke makam tersebut. Pe-tunjuk ke arah itu bisa diketahui peziarah ketika akan mengguna-kan kendaraan ojeg ke makam Godog. Pengemudi ojeg biasa-nya akan memberi tahu nama-nama juru kunci yang bisa didatangi para peziarah baru. Kalaupun tidak mendapat infor-masi dari tukang ojeg, papan nama juru kunci bisa dengan mudah ditemukan di lokasi makam keramat Godog.
Belakangan ini, juru kunci mulai merasa khawatir karena peziarah ku-rang mengindahkan aturan tersebut. Maksudnya, ke-cenderungan peziarah datang ke makam tanpa minta izin ke-pada juru kunci sudah mulai tampak. Umumnya, itu dilakukan oleh peziarah yang datang se-cara berombongan disertai pe-mandunya. Meskipun demikian, juru kunci tidak dapat berbuat banyak karena cukup sulit untuk mengontrolnya. Mereka hanya bisa berharap agar kecende-rungan seperti itu tidak semakin meluas.
Mereka yang menggunakan jasa juru kunci pada saat ber-ziarah ke makam keramat, tentu saja akan dilayani dengan baik. Pelayanan juru kunci terhadap peziarah diawali dengan mena-nyakan tujuannya. Jika tujuan-nya baik, pasti akan diizinkan menziarahi makam keramat. Se-baliknya jika tujuannya dipan-dang kurang tepat, misalnya mencari nomor jitu untuk berjudi, dengan tegas akan ditolak oleh juru kunci. Di antara peziarah ada juga yang datang dengan tujuan khusus, misalnya me-ngupayakan kesembuhan me-lalui pengobatan alternatif, ingin membuka usaha baru, atau mencari jodoh. Untuk tujuan seperti itu, juru kunci biasanya memberikan persyaratan terten-tu, entah itu menyediakan per-lengkapan khusus sesuai de-ngan tujuan peziarah atau mela-kukan ritual khusus. Setelah itu, juru kinci biasanya akan meng-antar peziarah ke makam.
Untuk jasanya melayani pe-ziarah, juru kunci biasanya akan mendapat imbalan. Bentuk dan besaran imbalan tersebut tidak ditentukan, bergantung pada keikhlasan peziarah sendiri. Ada kalanya mereka juga tidak mendapat imbalan dari peziarah, seperti yang pernah dialami oleh salah seorang juru kunci. Dia dengan ikhlas menampung peziarah yang tinggal cukup lama di rumahnya tanpa membawa bekal yang cukup. Mereka akan tetap melayaninya asalkan orang tersebut mengatakan kondisi yang sebenarnya. Bagai-mana pun juga melayani peziarah sudah merupakan tanggung jawab mereka.
Para peziarah yang datang dengan tujuan khusus akan dibimbing penuh oleh seorang juru kunci. Jika dengan bim-bingannya tidak membuahkan hasil peziarah itu biasanya akan mencoba beralih ke juru kunci lain. Satu hal yang dianggap bi-asa, jika hari ini peziarah berada di tangan juru kunci tertentu, esok lusa dia bisa pindah ke juru kunci lainnya. Bagi mereka, itu hanya masalah cocok dan tidak cocok saja. Sebaliknya, jika dengan bimbingan juru kunci itu berhasil mewujudkan cita-citanya, hubungan mereka akan semakin dekat layaknya hubu-ngan persaudaraan. Keterikatan peziarah terhadap juru kunci tersebut akan semakin erat dan kuat.
Peziarah seperti itu biasa-nya tidak datang sekali melain-kan berkali-kali, bahkan keda-tangannya bisa berhari-hari la-manya. Oleh karena itu, dia me-merlukan tempat untuk mengi-nap. Untuk keperluan tersebut, juru kunci juga menyediakan tempat menginap bagi peziarah. Sebaliknya peziarah pun akan bermurah hati dalam memberi imbalan kepada juru kunci yang menjadi pegangannya. Karena kedekatan hubungan tersebut, juru kunci pun tidak merasa sungkan lagi kepada peziarah. Misalnya, ketika organisasi juru kunci akan mengadakan ke-giatan seperti upacara atau me-rayakan HUT IKCI, juru kunci akan menawarkan kepada pe-ziarah kalau-kalau dia akan menyumbang sesuatu.
Kaderisasi Juru Kunci
Saat ini, ada 21 orang ke-turunan Sembah Dalem Pager Jaya yang menjadi juru kunci Makam Keramat Godog. Menu-rut mereka, ini merupakan gene-rasi ketujuh, yang dihitung ber-dasarkan pergantian sesepuh atau pemimpin juru kunci. Yang menjadi sesepuh juru kunci se-karang mendapat estafet ke-pemimpinan pada 1964. Dalam komunitas juru kunci, seseorang yang dijadikan sesepuh biasa-nya akan memimpin seluruh ritual upacara yang berhubu-ngan dengan makam keramat Godog, misalnya ketika ber-langsung upacara Ngalungsur Pusaka Makam Keramat Godog.
Dulu, mereka disiapkan orang tuanya untuk menjadi juru kunci. Sekarang, mereka pun melakukan hal yang sama. Se-tiap juru kunci biasanya akan menyiapkan anak laki-lakinya yang kelak akan menggantikan kedudukannya sebagai juru kunci. Ini dilakukan sebagai wu-jud tanggung jawab terhadap leluhurnya dan peziarah itu sen-diri. Wasiat leluhur juru kunci adalah untuk selalu menjaga makam keramat Godog sampai kapan pun. Sementara itu tang-gung jawab kepada peziarah adalah menjaga agar peziarah senantiasa dapat dilayani oleh para juru kunci sampai kapan pun.
Sejak awal para juru kunci sudah dapat melihat anak laki-lakinya yang berbakat menjadi juru kunci. Anak itu biasanya diajak serta oleh ayahnya ketika sedang bertugas sebagai juru kunci. Untuk memantapkan ke-mampuannya, dia akan dima-sukkan ke pesantren Anur yang ada di Kampung Godog. Di sana dia akan mendapat pendidikan rohani, bertawasul, dan sejarah mengenai leluhurnya.
Kader juru kunci yang ada saat ini sekitar 19 orang. Mes-kipun masih berstatus sebagai calon atau kader, mereka sudah mulai terlibat dalam orga-nisasi Ikatan Juru Kunci Makam Ke-ramat Godog. Sedikitnya mere-ka sudah tercatat sebagai ang-gota dalam organisasi. Ada juga yang sudah mulai mendapat tugas khusus, seperti bertugas di bagian pendaftaran dan lain-lain. Setelah berusia 25 tahun, mereka bisa melaksanakan tu-gas sebagai juru kunci jika ayah-nya sedang sakit atau berha-langan. Setelah orang tuanya meninggal baru dia dapat sepe-nuhnya menjadi juru kunci.
Melakukan Aktivitas Sosial
Juru kunci Makam Keramat Godog memiliki kepedulian ke-pada warga kurang mampu yang ada di lingkungan Kam-pung Godog. Kepedulian terse-but diekspresikan ke dalam se-jumlah aktivitas sosial, di antara-nya mengizinkan warga kurang mampu untuk menggarap lahan kosong di kawasan makam ke-ramat Godog, menyantuni para jompo, memberi bantuan dana pendidikan untuk anak yatim piatu, dan mengadakan khitanan massal.
Teknis pelaksanaan aktivitas sosial tadi tidak bersifat individu, melainkan diakomodasikan da-lam organisasi Ikatan Juru Kunci Makam Keramat Godog. Pengu-rus organisasi memang sengaja membuat program bernuansa sosial, dengan alokasi dana di-ambil dari kas organisasi. Ada beberapa sumber dana untuk mengisi kas tersebut, yakni dari pendaftaran, sumbangan para peziarah, dan dari para juru kun-ci sendiri. Mereka secara khu-sus menyisihkan pendapatannya untuk dimasukkan ke dalam kas organisasi. Besarannya dise-suaikan dengan kemampuan masing-masing.
Aktivitas sosial tadi ada yang dilaksanakan bersamaan dengan HUT organisasi, seperti khitanan massal; bersamaan de-ngan perayaan hari besar Islam, seperti menyantuni kaum jompo pada acara Nuzurul Quran; atau pada kesempatan - kesempatan khusus, seperti membebaskan SPP, memberi seragam, dan ke-perluan sekolah lainnya kepada anak yatim.
Penutup
Apakah juru kunci meru-pakan sebuah pranata sosial? Mengacu pada konsep-konsep yang dikemukakan tadi, juru kunci makam keramat Godog dapat dipastikan merupakan sebuah pranata sosial. Lebih khusus lagi, juru kunci dapat dikategorikan sebagai salah satu pranata religi, karena ber-tujuan untuk memenuhi kebutuhan ma-nusia untuk berhubungan de-ngan kekuatan supranatural. Dalam konteks ini, kekuatan supranatural itu meliputi roh suci dari orang-orang yang telah ber-jasa besar dalam menyebarkan agama Islam, yakni Sunan Rohmat Suci.
Beberapa hal yang dipersyaratkan untuk sebuah pranata sosial memang sudah terpenuhi.
Pertama, juru kunci merupakan suatu tata kelakuan yang baku berupa norma-norma, seperti yang tercermin dalam sejumlah aktivitas yang dilakukan oleh keturunan Sembah Dalem Pager Jaya yang sekarang menjadi juru kunci; Kedua, kelompok manusia, yang melaksanakan norma-norma itu saling berhu-bungan menurut sistem norma-norma tersebut. Kelompok ma-nusia yang ada dalam konteks masalah ini adalah mereka yang menjadi juru kunci dan peziarah; Ketiga, juru kunci merupakan pusat aktivitas yang bertujuan untuk memenuhi kompleks – kompleks kebutuhan yang telah disadari oleh mereka yang men-jadi juru kunci dan para pezi-arah; Sebagai sebuah pranata sosial, juru kunci juga memiliki perlengkapan atau alat berupa sebuah organisasi yang dina-makan Ikatan Juru Kunci (IKCI) Makam Keramat Godog, Garut.
Juru kunci Makam Keramat Godog, di Desa Lebak Agung, Kecamatan Karang Pawitan, Ka-bupaten Garut merupakan salah satu pranata sosial tradisional yang masih bisa bertahan hing-ga saat ini. Pranata tersebut terinternalisasikan baik secara informal dan nonformal di ling-kungan keturunan Sembah Da-lem Pager Jaya. Secara infor-mal, pranata juru kunci terin-ternalisasikan dalam lingkungan keluarga. Sementara itu secara nonformal, pranata tersebut te-rinternalisasikan melalui pendi-dikan para kader juru kunci di pesantren Anur dan di dalam organisasi Ikatan Juru Kunci Makam Keramat Godog (IKCI).
Terbentuknya sebuah aso-siasi yang bernama Ikatan Juru Kunci Makam Keramat Godog ini merupakan bukti, ternyata pranata tradisional ini mampu berkembang menjadi pranata yang lebih modern seperti la-yaknya sebuah organisasi. IKCI memiliki struktur organisasi beri-kut personilnya yang se-muanya merupakan juru kunci dan kader juru kunci keturunan Sembah Dalem Pager Jaya.
Perkembangan atau perlua-san juga terjadi pada cakupan pranata juru kunci Makam Ke-ramat Godog sendiri. Semula, pranata ini hanya terfokus pada masalah religi, yang berhubu-ngan dengan keberadaan ma-kam Sunan Rohmat Suci atau dikenal dengan Makam Keramat Godog. Dalam perkembangan selanjutnya, pranata juru kunci ini telah merambah aspek lain-nya, khususnya aspek yang bersifat sosial.
Singkatnya, saat ini pranata juru kunci bisa dikatakan memi-liki dua dimensi, yakni internal dan eksternal. Pranata juru kun-ci berdimensi internal dicirikan oleh norma-norma yang berhu-bungan dengan makam keramat Godog sendiri. Norma-norma itu terekspresikan dalam aktivitas memelihara mitologi tentang ma-kam keramat Godog; menjaga kawasan makam keramat Go-dog berikut peninggalan Sunan Rohmat Suci; melayani peziarah ke makam Keramat Godog; dan melakukan kaderisasi juru kunci.
Pranata juru kunci berdi-mensi eksternal dicirikan dengan norma-norma yang tidak lagi berhubungan dengan kebera-daan makam keramat godog. Beberapa norma yang termasuk ke dalam kategori ini terekspre-sikan dalam sejumlah aktivitas sosial, yakni menyantuni kaum jompo; membantu dana pendi-dikan untuk anak yatim piatu; mengadakan khitanan masal dan mengizinkan warga kurang mampu menggarap lahan ko-song di kawasan makam kera-mat tersebut.
Ada beberapa faktor pe-nyebab terjadinya perluasan cakupan dari pranata juru kunci. Pertama, karena pranata juru kunci dapat diinternalisasikan pada setiap generasi, baik se-cara informal maupun non-formal; Kedua, karena mereka yang menjadi juru kunci mampu mengelola organisasi dengan baik, termasuk di dalamnya mengelola dana yang bersum-ber dari para peziarah. Yang tidak kalah pentingnya adalah luasnya pengakuan terhadap ke-beradaan makam keramat, yang tidak hanya berasal dari dalam Kampung Godog melainkan juga dari daerah lain.
Juru Kunci dalam Dua Dimensi
Saat ini, pranata juru kunci bisa dikatakan memiliki dua di-mensi, yakni internal dan eks-ternal. Yang berdimensi internal adalah norma-norma yang ber-hubungan dengan makam kera-mat sendiri. Sementara itu yang berdi-mensi eksternal adalah norma-norma yang tidak berhu-bungan dengan makam keramat godog. Kedua hal tersebut akan dijelaskan secara rinci pada uraian berikutnya.
a. Juru Kunci dalam Dimensi Internal
Pranata juru kunci berdi-mensi internal dicirikan oleh nor-ma-norma yang berhubungan dengan makam keramat Godog sendiri. Beberapa di antaranya yang akan diuraikan di sini ada-lah memelihara mitologi tentang makam keramat Godog; men-jaga kawasan makam keramat Godog berikut peninggalan Su-nan Rohmat Suci; melayani pe-ziarah ke makam Keramat Go-dog; dan melakukan kaderisasi juru kunci.
Dalam kehidupan masyara-kat saat ini, religi tidak menjadi suatu sistem keagamaan, tetapi menjadi suatu bagian dari ke-buidayaan. Agama di Indonesia mempunyai hubungan yang erat dengan kebudayaan masyara-kat. Agama bukanhanya mela-hirkan kebudayaan baru, akan tetapi juga menyebabkan terja-dinya transformasi kebudayaan yang berlangsung dalam ma-syarakat. (Sufwandi mangkudila- ga Sumbangan Religi sebagai satu wujud kebudayaan bagi perkembangan pariwisata, hal 277).
Contoh fenomena masyarakat di Indonesia tentang kebuda-yaan agama dapat dikemu-kakan hal-hal sebagai beri-kut: yakni kepercayaan akan terkabulnya suatu permoho-nan, harapan bila berziarah ke makam seseorang yang dianggap suci atau keramat oleh masyarakat sekitar atau pendukungnya. (idem, hal 277)
Budaya spiritual menjadi ba-gian integrar dari kehidupan sebagian masyarajkat Indo-nesia. Hal itu, salah satunya tercermin dari kehidpan ma-syarakat Indoensia yang su-ka melaksanakan ziarah ke makam karamat. Berkaitan dengan tradisi tersebut ber-kembang pula pranata-pra-nata so-sial di seputar tradisi berziarah itu tercermin masih hidup pada Masyarakat Indonesia.
Definisi Juru Kunci menurut Kamus Bahasa Sunda Ka-rangan R Satjadibrata, juru kunci adalah tukang nyangking kunci
Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997:
Ada pendapat yang menga-takan bahwa semakin ma-syarakat berproses menjadi masyarakat masa kini, maka salah satu implikasi penting-nya adalah bermunculannya berbagai pranata sosial (so-cial institution) baru yang tadinya brlum ada( Djaka Soehendra dan Yulizar Syafri S dalam judul Meneropong Gejala religi dalam perkem-bangan masyarakat dan ke-budayaan (Hal 260)
Pada masyarakat transisi (dan semakin modern) itu, institusi religi semakin menjadi salah satu institusi sosial (budaya saja. Artinya, banyak aspek kehidu-pan lain kemudian tidak lagi dilandasi oleh institusi relligi. Sementara itu, cakupan penga-turan san pelandasan institusi religi pun semakin menyempit dan terkhususkan pada bidang-bidang kehidupan keagamaan saja. (Idem, hal 261).
Pada berbagai gejala sosial
tertunjukkan bahwa justru religi (yang didukung oleh umat dan berbagai akidah dasar-nya) bisa survive dan mala-han berfungsi lebih efektif dibanding dengan berbagai institusi sosial lainnya dalam masa modern. (Idem hal 64)
Sumbangan religi sangat be-sar dalam proses pembangu-nan yang berkelanjutan. Se-perti yang ditunjukkan oleh Atmaja (1993) bahwa keber-lanjutan pemanfaatan sum-ber daya (alam) dapat ber-langsung manakala keyakinan spiritual masyarakatnya ikut campur tangan, guna memba-ngun suatu mekanis-me kontrol yang menjamin pemanfaatan sumber daya tersebut. (hal 267)
Dalam kehidupan masyara-kat saat ini, religi tidak men-jadi suatu sistem keagamaan, tetapi menjadi suatu bagian dari kebudayaan. Agama di Indonesia mempunyai hubungan yang erat dengan kebudayaan masyarakat. Agama bukan hanya melahirkan kebudayaan baru, akan tetapi juga menye-babkan terjadinya transformasi kebudayaan yang berlang-sung dalam masyarakat. (Sufwandi Mangkudilaga, Sumbangan Religi sebagai satu wujud kebudayaan bagi perkembangan pariwisata, hal 277).
Contoh fenomena masyara-kat di Indonesia tentang ke-budayaan agama dapat dike-mukakan hal-hal sebagai berikut: yakni kepercayaan akan ter-kabulnya suatu permohonan, harapan bila berziarah ke makam seseorang yang diang-gap suci atau keramat oleh masyarakat sekitar atau pen-dukungnya.(idem hal 277)
Di Indonesia agama dan ke-budayaan merupakan unsur yang saling mengisi. Agama, kini memberi landasan bagi suatu kebudayaan untuk ber-kembang. Sedangkan sisa-sisa religi (kebudayaan aga-ma) sebagai suatu unsur universal dari kebudayaan, keberadaannya banyak dipe-ngaruhi agama yang ada. (278) idem