WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Selayang Pandang Museum di Bandung

Oleh:
Drs. T. Dibyo Harsono, M.Hum
Wawan Suhawan, SE, M.Hum
Zulkifli Harto, M.Hum

Syarif, M.Hum

Pendahuluan
Pasal 1, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum, mengatakan: “Museum adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan benda-benda bukti materiil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa”.

Definisi di atas menyebutkan tentang pemanfaatan yang mengandung pengertian bahwa salah satu tujuan museum adalah mengkomunikasikan benda-benda, terutama meliputi benda yang bernilai sejarah alam dan budaya. Upaya ini sejalan dengan program pemerintah untuk melindungi dan melestarikan kekayaan budaya bangsa guna pengembangan kebudayaan nasional. Berkaitan dengan itu, peran museum adalah perlindungan dan pelestarian terhadap materi alam dan budaya (benda cagar budaya), baik yang telah punah maupun bertahan di tengah masyarakat untuk kepentingan pendidikan, pengetahuan, dan kesenangan. Dengan demikian, benda atau disebut koleksi merupakan komponen yang penting bagi suatu museum.

Sejalan dengan tujuan tersebut, dapatlah diartikan bahwa koleksi yang disimpan dan dirawat itu tidak sembarang, tetapi memiliki kriteria-kriteria tertentu. Sebelum disajikan kepada masyarakat, koleksi perlu dikaji secara baik dan benar. Kegiatan ini erat kaitannya dengan dokumentasi koleksi yang cakupannya meliputi penjelasan benda (katalog), hubungan antar benda, latar belakang sejarah, dan lainnya. Istilah dokumentasi yang dimaksud diartikan pula sebagai intellectual collection. Dengan demikian dokumentasi merupakan titik awal kegiatan museum dalam menyajikan informasi, baik yang dibutuhkan oleh staf museum, peneliti, pelajar, maupun masyarakat luas.

Media komunikasi utama antara publik dengan museum adalah melalui pameran. Dalam penyajian materi pameran, tidak pula diartikan sebagai benda atau kumpulan benda yang dijajarkan begitu saja tanpa menghiraukan kaidah-kaidah keilmiahan, serta keindahan. Pameran harus dipandang sebagai sebuah penataan yang mengandung interpretasi, yang menggambarkan dan mengungkapkan suatu hal. Dalam arti, tidak dipikirkan sebagai obyek tunggal, melainkan ungkapan interpretasi dari sebuah subyek atau sekelompok benda yang ditentukan oleh suatu tema.

Pada masa lalu, pameran memang tidak mengindahkan kepada kepentingan pengunjung, apalagi mempertimbangkan prinsip-prinsip keilmiahannya. Tujuan utama dalam pengumpulan koleksi dan pameran lebih ditekankan pada materi yang bernilai seni tinggi dan eksotis. Adapun pandangannya terhadap museum sebagai pelestari budaya leluhur tidak menjadi arti penting bagi publik dalam mempersepsi museum. Museum pada waktu itu masih terbatas pada kalangan tertentu yang selalu mendorong keingintahuan orang. Sebab itu, museum populer disebut sebagai “Cabinets of Curiosities” yang dapat diartikan tempat barang-barang langka. Sebutan lainnya, adalah galery yakni tempat menyimpan patung dan lukisan. Di Jerman disebut Naturalienkabinett, khususnya untuk koleksi pengetahuan alam (natural science).

Ada perubahan pandangan sejak masa Renaissance (abad ke-15), museum adalah ensiklopedi pengetahuan. Sampai akhir abad ke-18, masyarakat baru memandang museum sebagai sebuah bangunan yang digunakan untuk menyimpan dan memamerkan benda-benda sejarah. Sejak itu pulalah muncul kesadaran bahwa museum memiliki arti penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Orang-orang Eropa kemudian merintis dengan apa yang disebut public museum, seperti di Oxford Inggris berdiri The Ashmolean (1683) yang kemudian disusul British Museum (1759), dan Louvre di Perancis (1793) yang sampai kini dikenal dengan lukisan Monalisa karya Leonardo Da Vinci.

Pada saat yang bersamaan, bangsa-bangsa di Eropa melakukan perluasan kekuasaan dengan mencari daerah jajahan baru di Afrika, Asia, dan ditemukannya benua Amerika. Pada kesempatan itu dibarengi pengiriman para tenaga ahli di berbagai bidang ilmu pengetahuan untuk mengumpulkan benda-benda (benda yang mempunyai nilai seni, sejarah, budaya), lalu dibawa ke negerinya sebagai bahan penelitian. Dengan banyaknya beragam benda tersebut mendorong mereka untuk merintis pendirian museum atau semacam lembaga ilmu pengetahuan di daratan Asia, diantaranya Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (1778), Singapore oleh Raffles (1823), dan Malaysia dengan museum Taiping di Perak (1886).

Merujuk pada sejarah perkembangan museum, maka perhatian para ahli kini mengalihkan pada bagaimana museum itu berkomunikasi dengan pengunjungnya. Berbagai metode dikembangkan dan pameran merupakan media visual yang dominan disamping acara-acara audio visual, ceramah dan penerbitan. Oleh karena itu, materi dan isi pameran tidaklah disajikan sembarangan, akan tetapi merupakan hasil interpretasi yang ditentukan atas dasar konsepsi tertentu. Dalam mewujudkan ini semua, dibutuhkan sumbangan pikiran dari berbagai cabang ilmu. Pendekatan teknologi pendidikan turut memainkan peranan penting, karena akan menjelaskan alternatif tingkat kemampuan orang menangkap pengetahuan dalam penyejian koleksi dalam pameran.

Museum Negeri Provinsi Jawa Barat “Sri Baduga”
Museum-museum di Indonesia pada dekade ini telah banyak mendapat perhatian dari pemerintah. Hingga kini telah difungsikan 27 museum umum tingkat propinsi. Museum tingkat propinsi yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengumpulkan dan menyajikan khasanah kekayaan sejarah alam dan budaya di wilayah masing-masing. Diantara museum umum itu adalah Museum Negeri Propinsi Jawa Barat “Sri Baduga”, yang berada di kota “kembang” Bandung. Letaknya di ruas jalan BKR, berdekatan dengan lapangan Tegallega, yang juga terdapat Tugu Bandung Lautan Api.

Pendirian gedung dirintis sejak tahun 1974 dengan mengambil model bangunan tradisional Jawa Barat, berbentuk bangunan suhunan panjang dan rumah panggung yang dipadukan dengan gaya arsitektur modern. Tanah seluas 8.415,5 m² dahulunya adalah areal bekas kawedanan Tegallega. Bangunannya sendiri tetap dipertahankan, sekarang dipakai tempat perkantoran. Tahap pembangunan pertama selesai pada tahun 1980, dan peresmiannya dilaksanakan pada tanggal 5 Juni 1980 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan DR. Daoed Joesoef.

Areal seluas itu dibagi menjadi dua bagian, wilayah publik (public area) mencakup gedung pameran dan auditorium, wilayah bukan publik (non public area) yakni ruang perkantoran Kepala Museum, Sub Bagian Tata Usaha, Kelompok Kerja Bimbingan dan Edukasi, Kelompok Kerja Konservasi dan Preparasi, serta Kelompok Kerja Koleksi (termasuk di dalamnya gudang penyimpanan koleksi).

Jumlah koleksi yang terhimpun hingga saat ini (tahun anggaran 1995/1996) sebanyak 4.624 koleksi, terdiri dari jenis koleksi Geologika, Geografika, Biologika, Arkeologika, Historika, Numismatika, Heraldika, Filologika, Keramologika, Seni Rupa, dan Teknologika. Mengingat museum negeri propinsi lebih menampilkan benda-benda budaya daerah, maka koleksi yang dominan adalah Etnografika. Sedangkan dari jumlah itu, koleksi tidak terbatas atas benda realitas saja, tetapi dilengkapi dengan koleksi replika, miniatur, maket, dan offset binatang.

Berbagai kegiatan telah dilaksanakan sebagai upaya menarik pengunjung atau lebih jauh meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap museum. Diantaranya dengan penyelenggaraan pameran khusus, pameran keliling ke daerah-daerah tingkat II (kabupaten), pameran bersama dengan museum propinsi lain, berbagai lomba untuk tingkat pelajar, ceramah, seminar, lokakarya, dan lainnya. Bahkan dilakukan upaya menggalang kerjasama kegiatan yang bersifat lintas sektoral dengan berbagai instansi pemerintah, swasta maupun lembaga dari luar negeri.

Menginjak dasawarsa kedua, Museum Sri Baduga telah melaksanakan renovasi terhadap tata pameran tetapnya secara bertahap selama tiga tahun (1980 – 1992), juga perluasan ruang pameran baru di lantai tiga. Semenjak direnovasi hingga saat ini, penyajian materi ditambah dan disempurnakan. Penyajian koleksi diupayakan agar lebih menarik bagi pengunjung dan dapat memperoleh gambaran tentang perjalanan sejarah alam dan budaya Jawa Barat, corak dan ragamnya, serta fase-fase perkembangan dan perubahannya. Pengelompokan koleksi dibagi menjadi: lantai satu menampilkan koleksi sejarah alam, masa pra sejarah dari masa Hindu-Budha; lantai dua dengan materi koleksi budaya tradisional, budaya yang mendapat pengaruh Islam, kolonial, dan peran serta Jawa Barat dalam sejarah perjuangan bangsa; dan lantai tiga menyajikan aneka wadah, khasanah koleksi kesenian daerah dan keramik asing.

Sampai saat ini hanya sekitar 15% saja dari seluruh jumlah koleksi yang dapat dipamerkan, sehubungan dengan terbatasnya ruang pameran tetap. Demikian pula, koleksi wawasan nusantara belum dapat disajikan, meskipun pengumpulannya telah dirintis sejak awal, dan untuk sementara dipakai sebagai bahan studi koleksi.

Museum Geologi
Berdirinya Museum Geologi sangat erat kaitannya dengan sejarah penyelidikan geologi di Indonesia yang telah dimulai sejak tahun 1850-an, oleh Dienst van het Mijnwezen, yang berkedudukan di Bogor (1852-1866). Lembaga ini kemudian pindah ke Jakarta (1866-1924) dan akhirnya pindah ke Bandung, menempati Gedung Gouvernement Bedrijven (sekarang Gedung Sate).

Para ahli geologi dalam melakukan penyelidikan/penelitian geologi di lapangan selalu membawa contoh batuan, mineral dan fosil untuk diteliti di laboratorium. Mulai tahun 1922 penyelidikan geologi di Indonesia semakin meningkat sehingga contoh batuan, mineral dan fosil yang dikumpulkan dari berbagai daerah di Indonesia semakin melimpah. Berbagai contoh tersebut memerlukan tempat khusus untuk didokumentasikan, sehingga pada tahun 1928 dibangunlah gedung yang diperuntukkan bagi Laboratorium Geologi di Rembrandt Straat (sekarang jalan Diponegoro). Gedung ini dirancang dengan gaya arsitektur art deco oleh arsitek Belanda Ir.H. Menalda van Schouwenburg. Kemudian timbul suatu gagasan untuk memperlihatkan koleksi tersebut kepada masyarakat luas, sehingga pada tanggal 16 Mei 1929 bertepatan dengan Konggres Ilmu Pengetahuan Pasifik ke IV, diresmikanlah gedung tersebut sebagai Museum Geologi dengan nama Geologische Museum. Berbagai koleksi Museum Geologi pada waktu itu disimpan dan ditata di dalam lemari-lemari kaca (vitrin). Setiap koleksi dilengkapi dengan label yang menginformasikan nomor koleksi, nama koleksi, tempat ditemukan, dan kolektornya. Sistem peragaan seperti itu relatif tidak berubah sampai tahun 1998, namun demikian pengunjung yang datang ke Museum Geologi setiap tahunnya terus meningkat, khususnya kalangan pelajar.

Museum Geologi berupaya meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat, dengan rencana pengembangan yang dirintis sejak tahun 1993 atas kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Jepang, meliputi: renovasi, pengembangan sistem dokumentasi koleksi, pengembangan sistem peragaan, pengembangan sistem edukasi, dan pengembangan program penelitian koleksi. Renovasi gedung dan pengembangan peragaan yang pekerjaan fisiknya dimulai pada tanggal 2 November 1998 dapat diselesaikan pada pertengahan Agustus 2000. pada tanggal 22 Agustus 2000, Museum Geologi diresmikan kembali pembukaannya oleh Ibu Megawati Soekarnoputri. Dengan adanya pengembangan ini luas bangunan menjadi 6000 m² dimana sepertiganya sekitar 2000 m² difungsikan sebagai ruang peragaan, sehingga diharapkan Museum Geologi dapat memenuhi kebutuhan pengunjung dan pengguna jasa museum geologi lainnya.

Selasar Sunaryo Art Space
Di salah satu lokasi di kawasan bukit Dago tepatnya di jalan Bukit Pakar Timur nomor 100 Bandung, berdiri sebuah galeri dengan konsep yang unik yakni Selasar Sunaryo Art Space. Galeri ini berada di tengah-tengah komunitas Dago serta menyatu dengan lingkungan di sekitarnya, jauh dari kebisingan kota Bandung. Pembangunan galeri ini memakan waktu 4 tahun, yakni dari tahun 1993 sampai dengan tahun 1997, adapun penggagasnya adalah bapak Sunaryo dan bapak Baskoro Tedjo (keduanya seniman). Selasar Sunaryo Art Space mulai dibuka untuk umum semenjak bulan September 1998. konsep dari galeri ini banyak menampilkan ruang terbuka, antar ruang dihubungkan dengan gang/selasar yang terbuka, hal ini dimaksudkan sebagai ungkapan keterbukaan dalam menerima tamu/pengunjung yang akan menikmati suatu pengalaman unik sambil mengamati karya seni yang dipamerkan. Keberadaan galeri ini merupakan perwujudan dari impian yang cukup lama dari seorang seniman yang mempunyai dedikasi tinggi pada profesinya.

Adapun fasilitas yang tersedia di galeri ini antara lain Ruang Sayap dan Ruang Tengah, sebagai tempat memamerkan berbagai koleksi lukisan, seni instalasi, untuk keperluan pameran temporer, untuk kegiatan workshop, dan penampilan-penampilan seni lainnya. Ruang Ruparungu merupakan ruangan audio visual yang bisa dimanfaatkan untuk penayangan film/video, diskusi, serta seminar. Amphitheater merupakan ruangan terbuka berbentuk lingkaran dengan bagian tengah dipergunakan sebagai tempat pementasan (teater, musik), dan di sekelilingnya untuk para penonton. Joglo Selasar, bisa dimanfaatkan untuk diskusi, lokakarya. Rumah bambu, merupakan contoh bangunan tradisional Sunda yang terbuat dari bambu, bisa dimanfaatkan untuk menginap pengunjung yang datang. Cinderamata Selasar, menyediakan berbagai cinderamata hasil karya seni maupun berbagai buku seni. Kopi Selasar, sebuah kafe yang menyediakan berbagai minuman serta makanan kecil, dengan ruangan yang terbuka.

Rumah Tradisional Sunda
Rumah tradisional masyarakat Sunda adalah rumah panggung dengan suhunan (bubungan rumah) bertipe julang ngapak, perahu nangkub, jolopong/suhunan panjang. Biasanya rumah tradisional terbagi dalam tiga bagian, yakni bagian depan, bagian tengah, dan bagian belakang. Bagian depan dianggap sebagai daerah laki-laki, meskipun kadang-kadang perempuan juga diperbolehkan masuk. Yang disebut bagian depan antara lain ruang tempat menerima tamu dan emper atau bagian rumah yang terletak di depan, yang terbuka untuk menerima pendatang/tamu. Adapun bagian tengah terdiri dari ruang keluarga atau tengah imah. Tengah imah merupakan daerah netral sehingga terbuka untuk semua jenis kelamin dari seluruh anggota keluarga, dan biasanya dipergunakan untuk berkumpul semua anggota keluarga dan tempat dilaksanakannya upacara-upacara seperti syukuran atau hajatan. Kamar (ruang tidur) merupakan kategorisasi dari daerah perempuan. Meskipun suami dapat masuk ke dalam ruangan ini, ruang tidur lebih menggambarkan ciri kewanitaan. Ruang tidur biasanya terletak di sebelah kanan bagian rumah (merupakan hasil pembagian dengan ruang tengah). Bagian belakang yang terdiri atas padaringan (tempat beras atau padi) dan dapur, dikategorikan sebagai daerah wanita. Padaringan adalah ruang khusus untuk wanita, karena beras identik dengan sifat kewanitaan. Laki-laki dilarang masuk ke ruangan ini. Daerah dapur juga merupakan daerah wanita, laki-laki boleh masuk ke dapur namun mereka tidak boleh banyak bicara (berusaha untuk tidak mengobrol) di dapur, kecuali sesama anggota keluarga atau kerabat dekat. Ruang dapur yang berupa sorondoy, umumnya merupakan suplemen dari bangunan utama. Selain berfungsi sebagai ruangan dapur, dimanfaatkan juga untuk gudang dan ruangan kamar mandi. Pada ruangan dapur ini terdapat berbagai perabotan rumah tangga. Kamar mandi hanya merupakan bagian terkecil dan biasanya ditempatkan di sudut dapur yang tidak terlalu memakan tempat. Untuk sebagian penduduk yang kebetulan rumahnya kecil, kamar mandi ini terletak di luar rumah. Pintu masuk rumah terbagi dua, yakni pintu depan dan pintu belakang yang terletak di samping rumah. Apabila diperhatikan, hampir seluruh rumah yang mempergunakan dua pintu atau lebih, tidak meletakkan pintu belakang sejajar dengan pintu depan. Oleh karena itu, pintu belakang diletakkan di samping rumah menjadi pintu samping.

Evaluasi
Museum Negeri Propinsi Jawa Barat “Sri Baduga” (Sri Baduga diambil dari gelar seorang raja Pajajaran sekitar abad XV seperti tercantum dalam prasasti Batutulis), museum ini mulai dirintis pembangunannya semenjak tahun 1974 (diresmikan tanggal 5 Juni 1980), merupakan sebuah museum yang cukup lengkap menyajikan berbagai artefak yang berkaitan dengan kehidupan sosial budaya manusia, khususnya di daerah Jawa Barat.

Museum ini disamping koleksinya yang cukup beragam, bisa dijadikan sebagai obyek penelitian, untuk pendidikan, dan juga sebagai obyek wisata sejarah. Bagi kalangan akademisi, peneliti, sejarawan bisa memanfaatkan museum ini sebagai sumber data apabila ingin mengkaji bidang-bidang yang berkaitan dengan sejarah alam, sejarah budaya, masa pra sejarah, masa klasik, budaya tradisional, teknologi tradisional, transportasi tradisional, adanya pengaruh budaya Islam, pengaruh budaya Barat, kemudian sejarah perjuangan Bangsa Indonesia.

Sementara itu untuk siswa-siswa sekolah (TK, SD, SMP, SMA), paling tidak bisa memperkenalkan kepada mereka benda-benda hasil kebudayaan yang selama ini hanya mereka kenal lewat tulisan saja. Sehingga dengan demikian akan menambah wawasan mereka di bidang sejarah dan kebudayaan.

Sedangkan untuk kalangan umum (awam), bisa memberikan gambaran tentang sejarah, kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa Barat, betapa beragamnya (majemuk) negara kita. Letaknya yang strategis sehingga mudah diakses dari mana saja.

Museum ini dalam segi penataan koleksi, kesannya kurang serius dalam menata semua koleksi yang ada, asal meletakkan atau memajang saja. Seharusnya memasuki sebuah museum ibaratnya kita memasuki sebuah lorong waktu, misalnya saja penataan dimulai dari masa yang paling dahulu (tua) dari sejarah alam/manusia, kemudian berurutan sampai kepada masa kini atau masa sekarang. Sehingga pengunjung akan terbawa larut untuk mengarungi ruang dan waktu, serta membawa imajinasi ke kehidupan masa lalu. Aspek audio visual belum digarap, sehingga terkesan monoton. Promosi kurang digarap secara serius.

Museum Geologi, museum ini diresmikan pada tanggal 16 Mei 1929 dengan nama Geologische Museum. Seperti namanya museum ini menyajikan koleksi yang berkaitan dengan geologi (batuan, mineral, fosil) dari seluruh Indonesia (bahkan ada yang dari luar Indonesia), sehingga hal ini tentunya akan sangat menarik bagi pengunjung.

Museum ini, karena keberadaannya telah lama maka museum ini sangat lengkap dalam memberikan gambaran tentang geologi Indonesia (asal mula bumi, tektonik Indonesia, dunia batuan dan mineral, survei geologi, dan gunung api di Indonesia), sejarah kehidupan (prakambrium, paleozoikum, mesozoikum, dinosaurus, kenozoikum, vertebrata Indonesia, manusia purba), dan geologi untuk kehidupan manusia (pertambangan mineral dan energi, eksplorasi dan eksploitasi, gempa bumi dan gerakan tanah, bahaya dan manfaat gunung api, air dan lingkungan). Pengelolaan atau menejemen sudah cukup profesional, penataan koleksi cukup bagus (sudah diurutkan sesuai dengan masanya), meskipun masih banyak koleksi yang tidak bisa ditampilkan. Semua koleksi bisa dimanfaatkan sebagai obyek penelitian bagi siapa saja (akademisi, peneliti, dunia pendidikan), sehingga hal ini sangat membantu sekali dalam berbagai kegiatan ilmiah. Juga sebagai obyek wisata ilmu pengetahuan geologi, baik untuk kalangan pelajar maupun umum. Para pelajar akan banyak mendapatkan tambahan pengetahuan tentang geologi, tentang berbagai bentuk bebatuan, mineral, serta fosil (tumbuhan, binatang, manusia). Letaknya yang strategis memudahkan didatangi para pengunjung.

Koleksi yang cukup banyak sehingga terkesan museum ini terasa sempit, koleksi seakan dipaksakan berdesakan, sehingga kurang memberikan kesan yang artistik. Aspek audio visual juga belum digarap secara maksimal. Faktor promosi masih kurang ditangani dengan sungguh-sungguh.

Selasar Sunaryo Art Space, dibuka untuk umum pada bulan September 1998 sebuah konsep art gallery yang dikembangkan oleh Sunaryo dan Baskoro Tedjo.

Selasar Sunaryo Art Space mengkhususkan diri pada penyelenggaraan kegiatan yang berkaitan dengan seni, khususnya seni lukis, seni instalasi, seni musik, teater, dan seni penampilan lainnya. Galeri ini memiliki konsep ruangan terbuka (ada ruang Sayap dan ruang Tengah, ada ruang Rupa Rungu/audio visual, Amphitheater, Joglo Selasar, Rumah Bambu), antara ruangan dihubungkan dengan gang (selasar), dengan penataan yang artistik, mengikuti kontur tanah yang memiliki kemiringan sekitar 20º sampai dengan 40º sehingga ada ruangan yang dihubungkan dengan tangga naik/turun, diselingi dengan banyak pepohonan. Mempunyai fasilitas audio visual yang cukup lengkap, menyediakan barang-barang cinderamata (benda-benda seni). Setelah puas berkeliling, kita bisa santai sambil minum kopi beserta makanan kecil di Kopi Selasar. Secara keseluruhan sangat menarik, dengan pengelolaan yang profesional.

Koleksi yang terasa masih kurang banyak dan kurang variatif. Letak yang agak jauh dari pusat kota, sehingga khalayak banyak yang belum tahu keberadaan Selasar Sunaryo, apalagi kurang didukung adanya promosi yang rutin serta akses yang kurang menunjang.

Untuk pemandu museum di Sri Baduga dan Museum Geologi, seperti halnya pada semua instansi pemerintah (merasa sebagai pegawai negeri), sehingga terkesan dalam memandu pengunjung masih kurang optimal dan maksimal. Apalagi person pemandu tidak dipilih/diseleksi, sehingga terasa kurang menarik (seharusnya sebagai pemandu harus menarik, memberi penjelasan yang menarik). Untuk museum Geologi sudah mulai merekrut pegawai dari luar (non PNS), dipilih yang menarik, ramah, banyak senyum dan profesional, hal ini akan sangat membantu dalam menyedot pengunjung.

Untuk pemandu di Selasar Sunaryo sudah sangat profesional, mereka benar-benar dipilih dan sangat tepat sebagai pemandu. Pemandu yang menarik, ramah, banyak senyum, sudah menunggu kita di pintu masuk, memberikan sambutan, dan mempersilahkan kita masuk, serta memberikan penjelasan dengan menarik, sehingga pengunjung benar-benar merasa diterima sepenuh hati. Hal ini bisa ditiru oleh kedua museum di atas (Sri Baduga dan museum Geologi).

Museum Sri Baduga, bisa dikatakan bahwa semua koleksi memiliki saling keterkaitan yang erat. Sehingga apabila ditata (diorganisir) dengan baik akan menjadi suatu rangkaian peristiwa sejarah yang sangat menarik bagi para pengunjung, hal ini memenuhi syarat sebagai museum yang baik. Kemudian mengenai unsur pelabelan juga sudah diperhatikan, hal ini terbukti dengan pengelompokan koleksi sesuai dengan masanya, sehingga hal tersebut mempermudah pengunjung dalam memahami/membaca suatu rangkaian peristiwa, dan ini sangat menarik. Keberagaman koleksi, variasi benda-benda yang dipamerkan juga sangat menonjol. Hal ini terlihat dari paparan koleksi dari rentang waktu yang sangat panjang, sehingga menimbulkan keingintahuan pengunjung untuk melihat secara keseluruhan. Adanya koleksi prasasti (baik yang tertulis di batu, di lempengan logam, di atas lontar/kertas) dan naskah-naskah kuno, bagi saya masih menyisakan sebuah tanda tanya, karena sampai saat ini koleksi-koleksi tersebut masih belum banyak digali/dikaji apa sebenarnya yang diinginkan dari keberadaan/latar belakang pembuatan/tujuan pembuatan prasasti/naskah kuno tersebut. Sehingga hal ini memberikan daya tarik orang untuk mengetahuinya (mengkaji, meneliti, menulis suatu interpretasi).

Museum Geologi, semua koleksi yang ada memiliki tingkat keterkaitan yang tinggi. Karena semua terkait dengan awal keberadaan alam beserta seluruh isinya, hal ini sangat menarik bagi pengunjung untuk mengetahuinya. Pengelompokan yang runtut berdasarkan waktu/masa maupun jenis artefak, memudahkan pengunjung dalam mencerna informasi yang disampaikan. Meskipun sebatas dalam bidang geologi namun koleksi yang ada sangat lengkap, bervariasi, sehingga hal ini juga merupakan daya tarik museum ini. Dari beragam koleksi tersebut, pengunjung seolah diajak untuk berimajinasi merasakan kehidupan masa lalu dengan kondisi flora dan fauna pada masa itu (masa pra sejarah, masa ratusan tahun lalu).

Selasar Sunaryo, untuk ruang lingkup seni (seni lukis, teater, seni instalasi, seni musik) hampir semua unsur untuk menarik pengunjung ada dan memenuhi syarat. Mungkin inilah perbedaan antara instansi pemerintah dan swasta, pengelola Selasar Sunaryo Art Space adalah swasta murni. Sehingga mereka harus profesional apabila ingin menarik pengunjung, yakni dengan penggarapan yang serius, benar-benar memperhatikan unsur artistik dari sebuah galeri. Sumber daya manusia yang memadai, memberikan nilai plus karena pengunjung (siapa saja, dari latar belakang apa saja) mendapatkan pelayanan dan sambutan yang prima.

Popular Posts