Oleh: Dra. Lasmiyati
Abstraksi.
Pada tahun 1864 terjadi pemindahan kantor karesidenan dart Cianjur ke Bandung. Rombongan pejabat karesidenan yang pindah adalah (tahun 1864), atas kepala kantor yaitu Residen Van der Moore sendiri, seorang sekeretaris, seorang komis, seorang mantri kesehatan, seorang guru, dan seorang notaris. Menurut para sesepuh Sunda perpindahan tersebut sesuai dengan cacandran atau tanda-tanda jaman, seperti yang tertulis dalam ramalan Bandung (uga Bandung) yang berbunyi: Bandung heurin ku tangtung, Cianjur katalan¬juran, Sukabumi tinggal resmi, Sumedang ngarangrangan, Sukapura ngadaun ngora, Galunggung ngadeg Tumenggung. Artinya: Bandung padat penduduknya, Cianjur cuma kelewatan, Sukabumi cuma nama resmi, Sumedang tinggal meranggas, Sukapura akan maju ekonominya, Galung¬gung mengambil penman (Haryoto Kunto: 1984: 19).
Ungkapan sesepuh Sunda tersebut pada kenyataan sekarang mengandung makna bahwa, Kota Bandung dewasa ini yang heurin ku tcmgtung artinya dengan segala aktivitas, penuh sesak, jalan macet oleh kendaraan dan penduduknya padat Dengan demikinan, Bandung yang semula sepi telah berubah menjadi Bandung dengan penduduk yang padat. Hal ini mungkin disebabkan adanya migrasi, baik migrasi dart desa ke kota (kota kecil seperti Garut, Ciamis, ke Bandung) atau migrasi dart luar provinsi seperti Jawa Tengah dan Jawa Tirnur. Para migran itulah yang akhirnya menempati beberapa daerah di Kota Bandung ini.
Pendahuluan.
pada hulan Januari tahun 2000 ini, masyarakat Islam merayakan hari kemenangan ldul Fitri,. sebagian masyara¬kat Indonesia, khususnya yang ada di Pulau Jawa dan sebagian Sumatra, dalam menyambut hari Idul Fitri tidak lepas (tali tradisi, "Pulang Mudik". Sebagian kala¬ngan mengatakan mudik sudah menjadi budaya mereka. Tradisi mudik merupakan akibat dari me¬reka yang melakukan migrasi. Migrasi yang bagi para migran sering diartikan sebagai meran¬tau, sebagai mudik lebih diang gap sebagai keharusan Dari tahun ke tahun pelaku tradisi mudik selalu mengalami peningkatan Berkaitan dengan mudik ini. Gubernur DK1 Jakarta bebetapa waktu lalu, pernah menghimbau para pemudik dari Jakarta agar melakukan balik ke daerah rantau (Jakarta khususnya) tidak membawa sanak keluarga atau teman kerabatnya, yang tidak mempu¬nyai KTP DKI atau keahlian khu¬sus. Sebab pendatang yang tidak mempunyai dua ketentuan tersebut, akan merepotkan pihak pe¬merintah daerah setempat, selain tidak mempunyai tempat tinggal, mereka pun tidak mempunyai pekerjaan.
Perilaku budaya mudik tidak hanya dominan warga Jakarta, tetapi juga Bandung. Para pemudik dari Bandung dapat dilihat pada, saat menjelang lebaran, di dua terminal bus, baik Cicaheum maupun Leuwipanjang. Belum lagi mereka yang menggunakan jasa kereta api dan kendaraan pribadi baik roda empat maupun dua, jalur jalan Rancaekek-Para¬kan Muncang (jurusan Tasik¬malaya / Garut menuju Jawa Tengah /Jawa Timur).
Situasi dan kondisi para perantau (migran) di Bandung yang mudik ke kota-kota di Jawa, ba¬nyak diliput Barat atau luar pro¬vinsi Jawa. media massa, cetak dan elektronik sedangkan mere¬ka merantau (migrasi), apa Tatar belakang dan sebab-sebab me¬rantau (migrasi) masih sangat ter¬batas pada kenyataan ini.
Akan dibahas tentang Bandung pada abad ke 19 - 20, Bandung sebagaitempat Migrasi Para Pemudik”.
Bandung Sebagai Tujuan Kaum Migran
Kepadatan dan distribusi penduduk di Indonesia, antara sa¬tu daerah dengan daerah lainnya tidak seimbang, Ada daerah yang luas, dan kurang penduduknya ada daerah yang sempit tapi padat penduduknya. Adanya per-bedaan kepadatan penduduk ter¬sebut menyebabkan ada kecen¬derungan penduduk di daerah padat untuk pindah kedaerah yang tingkat kepadatan pen¬duduknya relatif rendah. Pada kenyataannya, malah sebaliknya justru penduduk daerah kosong beramai-ramai pindah ke daerah padat dengan alasan untuk mencari pekerjaan. Pada dasarnya perpindahan penduduk mempunyai sifat, yaitu perseorangan, dan kelompok. Sifat perseorangan dapat disebabkan faktor ekonomi, pekerjaan dan pendidikan, sedangkan perpindahan secara ke¬lompok dapat disebabkan adanya bencana alam, kondisi alam yang tandus, dan lain-lain.
Migrasi adalah perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain untuk menetap (BBI : 582). Orang yang melakukan migrasi disebut migran. Usman Pelly dengan mengambil contoh suku Minangkabau menyebabkan satu model migrasi rakyat dari Minangkabau yang sering di sebut merantau adalah perpindahan tradisional. Perpindahan ini tidak berarti ada komitmen untuk berdiam seterusnya di da¬erah rantau . Para perantau yang kembali biasanya membawa ke¬kayaan, kekuasaan, serta prestise barn (Usman Pelly, 1994: 8-9).
Proses migrasi sebenarnya berkaitan erat dengan daya tarik daerah tujuan dan sarana tranfortasi. Pembukaan jalur kereta api yang menghubungkan Kali¬saat dan Banyuwangi pada (tahun 1901), menjadi salah satu pen¬dorong migrasi dari Jawa Tengah ke Ujung Jawa sebelah Timur yang masih kosong. Sejak awal abad itulah maka daerah Kedu, Yogyakarta, Madura, Kediri, dan Madiun adalah daerah yang melepaskan migran-migran ke daerah lain. (Marwati Djoened, 1990: 115).
Daerah tujuan para migran umumnya kota-kota besar, seperti Jakarta dan Bandung. Beberapa faktor atau alasan para migran incmilih migrasi ke Bandung, adalah karena Beberapa faktor yang menjadikan Bandung sebagai salah satu tujuan kaum migran adalah :
a. kondisi Alam
Kedatangan datangnya tiga orang Eropa yaitu Pieter Engelhard, Dr An dries de Wilde, dan Fanz Wilhelm Junghuhn. Pada awalnya ada seorang bangsa Ero¬pa yang bernama Piter Engelhard menanam kopi di lereng gunung, tangkuban (sekitar Jalan Setiabudi Bandung sekarang). Ternyata hasil penanaman kopi tersebut sangat memuaskan. Oleh karena bibit kopi Piter Engelhard dianggap sangat bagus, akhirnya menyebar ke Gunung Patuha, Mandalawangi, Galunggung, dan Gunung Malabar. Sejak saat itu penduduk pribumi Priangan ba¬nyak yang berpindah pekerjaan dari bidang pertanian menjadi pekerja perkebunan, sebab bekerja di perkebunan hasilnya lebih memuaskan daripada bekerja di sektor pertanian. Orang Eropa lainnya yang menempati Kota Bandung adalah Andries de Wilde, seorang tuan tanah per-tama di Priangan. Ia yang pernah menjalin hubungan dengan Raffles, diangkat oleh Daendels sebagai asisten Residen di Ban¬dung. Jabatan ini tidak lama dipegangnya sebab kemudian ia ditugaskan sebagai pengawas kebon kopi di Tarogong Garut. Semula Andries mempunyai tanah di Bogor, tetapi ia berkeinginan untuk menukarkan tanah¬nya dengan tanah di daerah Ban¬dung. Keinginannya terkabul, ia mendapat tanah ganti di daerah Kabupaten Bandung (sekarang), yang meliputi Cimahi di barat sampai Cibeusi di timur (sebelah utara dibatasi Gunung Tangkuban Perahu dan di sebelah selatan jalan raya pos). Andries de Wilde kemudian menikah dengan wanita Priangan dan menempati daerah Banong (Dago Atas), mungkinkah nama Banong itu adalah Bandung? Orang ketiga adalah Franz Wilhelm Junghuhn yang dikenal sebagai penebar biji kina di daerah Bandung.
Seiring dengan adanya daerah-daerah perkebunan di kota Bandung mulailah dibuka, maka jalur lintas kereta api yang meng¬hubungkan Jakarta-Surabaya, ya¬ng rampung dibangun pada tahun 1894. Jalur tersebut dihubungkan pula dengan jalur Bandung-Bata¬via yang melewati Purwakarta yang selesai dibangun pada tahun 1900. Perkembangan selanjutnya, Bandung yang dikenal sebagai daerah perkebunan dipercaya sebagai tuan rumah penyeleng¬garaan "Konggres Tuan Gula" pada tahun 1896. Konggres ini dihadiri para pengusaha perkebunan gula baik dari Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Pelaksanaan kongres berjalan lancar, bahkan dengan adanya acara tersebut. Bandung kemu¬dian mendapat julukan "Kota Kembang".
Kota Bandung yang terletak di ketinggian 721m di atas permukaan laut, memiliki angka rata- rata per tahun : curah hujan 1.961 mm, lama hujan 143,9 hari de¬ngan temperatur 22,5° C. Akibat¬nya hawa Kota Bandung terasa nyaman, segar, dan sehat. Dengan kondisi alam seperti itu, apalagi tanahnya yang subur, Bandung sangat cocok dan ideal buat bertanam bunga atau pohon¬-pohonan. (Haryoto Kunto, 1994: 117). Sehingga orang-orang Ero¬pa merasa semakin betah tinggal di Bandung,
b. Pendidikan
Sekitar abad 19, Bandung telah dikenal sebagai kota pendidikan. Para orang tua di Tatar Sunda banvak yang mengimpikan agar dapat menyekolahkan putra¬-putranya ke Bandung. Hal itu terungkap dalam lirik lagu Sunda berikut ini:
Neleng neng kung
Neleng neleng neng gung
Geura gede geura jangkung
Geura sakola ka Bandung
Dalam bahasa Indonesia dapat diartikan :
Cepatlah besar, cepatlah dewasa, lekaslah sekolah ke Bandung. Penjabaran dari lirik itu terkandung makna bahwa betapa pentingnya lembaga sekolah di Kota Bandung. Sesuai dengan konsep awal bahwa Bandung akan dijadikan kota pendidikan, Prof. Dr. E. C Godee Molsbergen (Kepala Arsip Negara) di Batavia, pada tanggal 24 April 1820 mengadakan inspeksi ke Kota Bandung. Tujuannya adalah ingin mendirikan sekolah. Dalam pen¬jajagan tersebut ia sempat ber¬temu dan melakukan pembica¬raan dengan bupati dan penghulu Bandung. Dan hasil jajak pen¬dapat tersebut, tiga tahun kemu¬dian di Kota Bandung telah ber¬diri 4 sekolah gubernemen pemerintah/negeri), yaitu sekolah dasar Bumi Putera di Karang Pamulang (belakang terminal Kebon Kelapa sekarang), sebuah Frobelschool (taman kanak-ka¬nak), sekolah dasar khusus bagi orang-orang Eropa (lokasinya ter letak di sekitar patung badak putih di halaman Balai Kota Bandung sekarang ini), dan sekolah pertukangan.
Berdirinya sekolah-sekolah tersebut ternyata kurang mendapat sambutan dari masyarakat Bandung, karena sebagian dari mereka menganggap bahwa rak-yat biasa tidak perlu sekolah. Mereka berpikir, tak ada peluang bagi mereka untuk diangkat menjadi orang berpangkat, karena sekolah hanya diperuntukan bagi kaum bangsawan. Rakyat kecil lebih baik memilih pesantren. Adanya anggapan masyarakat yang keliru seperti itu berakibat sekolah menjadi kekurangan murid (Haryoto Kunto, 1986, 153). Meskipun demikian, dari tahun ke tahun perkembangan masalah pendidikan di daerah Priangan mengalami kemajuan. Seperti yang terjadi pada masa pemerin-tahan Bupati R.A Martanegara (1893-1918). Di Tatar Bandung terdapat enam sekolah dasar buat penduduk pribumi (yaitu di dae¬rah Cibadak, Ujungberung, Cica¬lengka, Ciparay, Majalaya, dan Kopo). Adapun di wilayah Pri¬angan terdapat 22 buah Sekolah Dasar Pribumi.
Dengan didirikannya Sekolah Dasar di beberapa tempat ter¬sebut, masyarakat Bandung tam¬paknya mulai berantusias untuk bersekolah. Untuk menampung masyarakat yang ingin bersekolah pihak sekolah, tidak membatasi umur. Seperti halnya ketika DK. Ardiwinata memulai mengajar ia mendapatkan murid-muridnya berusia dewasa, bahkan ada juga yang sudah berkeluarga, padahal waktu itu ia sedang menginjak di kelas III (Haryoto Kunto, 1986: 154).
Setelah Belanda datang ke Indonesia, di Jawa Barat yang terdiri atas 5 karesidenan yaitu Ban- ten, Batavia (Jakarta), Karawang, Priangan, dan Cirebon, masing¬masing memiliki satu Sekolah Dasar (Edy S Ekadjati, 1986: 44). Tetapi kenyataannya program pendidikan tersebut lebih diprioritaskan untuk sekolah anak-anak Belanda, sedangkan anak-anak pribumi dinomor duakan. Belanda sengaja menciptakan lembaga pendidikan yang panjang, baik diklasifikasi sesuai dengan ting¬kat derajat seseorang maupun tingkat keahlian. Tujuan sebenar¬nya menciptakan pendidikan tersebut antara lain Belanda ingin menjadikan bangsa pribumi sebagai warga negara yang me-ngabdi pada kepentingan pen¬jajah. Jenis pendidikan yang di¬dasarkan pada jenjang (derajat), diantaranya (kelas): - Bangsa Eropa (ELS) dan pendidikan Menengah Lanjutan. Belanda menyelenggarakan jenis pendi¬dikan buat golongan bumi putera adalah untuk mendapatkan tenaga terdidik dengan biaya murah, sebab andaikata Belanda menda¬tangkan tenaga kerja dari dae-rahnya (Belanda) tentu raja akan menelan biaya yang .mahal. Untuk itu bagi kelompok bumi putera, Belanda juga mendirikan Sekolah Dasar Bumi Putera yang dibagi menjadi 2 bagian:
Sekolah Dasar Kelas Satu
(De Scholen der Eerste Klasse), yaitu sekolah yang didi¬rikan di ibukota karesidenan, kabupaten, kawedanaan, atau yang sederajat. Murid yang diterima di sekolah ini adalah anak-anak golongan masyarakat atas, seperti anak anak bangsawan, tokoh-tokoh ter¬kemuka, dan orang-orang bu¬mi putera yang terhormat. Lulusan sekolah ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan administrasi kepemerintahan, perdagangan, dan perusahaan. Sekolah ini kemudian berkembang menjadi HIS.
Sekolah Dasar Kelas Dua
(De Scholen der Tweede Klasse), sekolah ini dibuka untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi masyarakat umum. Dengan kata lain sekolah ini didirikan untuk anak-anak bumi putera dengan tujuan untuk mendidik calon-calon pegawai rendah. Sejalan dengan lahirnya Poli tik Etis, yaitu garis politik kolo nial baru, yang pertama-tama di harapkan secara resmi oleh Van Dedem sebagai anggota parlemen Belanda adalah adanya upaya pemerintah kolonial. Untuk memisahkan keuangan Indonesia dari Negeri Belanda. Harapan itu di kemukakan dalam pidatonya tahun 1891 di depan anggota parlemen. Keharusan adanya pemisahan pengelolaan keuangan ter sebut ia perjuangkan guna kemajuan dan kesejahteraan rakyat serta ekspansi yang pada umum¬nya menuju ke suatu politik yang konstruktif (Edy S Ekadjati, 1986: 54). Politik Etis ini telah mengubah pandangan dalam po¬litik kolonial, sehingga pemerin¬tah Belanda beranggapan bahwa Indonesia tidal( lagi sebagai Wingewest (negara yang me¬nguntungkan), tetapi menjadi daerah yang periu dikembangkan. Pengembangan yang terjadi, khususnya dalam sistem pendi¬dikan, antara lain :
kesempatan-kesempatan untuk belajar bahasa Belanda diperbanyak, serta kesempa¬tan masuk HIS pun diperluas.
Sekolah-sekolah untuk orang Indonesia mulai diperbaiki (sarana atau sistemnya ?).
Mulai didirikan sekolah-sekolah untuk anak perempuan.
Berdirinya beberapa sekolah di Bandung, tak lepas dan upaya¬upaya para pengajar asal Jawa Barat sendiri, Dewi Sartika (pendiri sekolah Raden Dewi Sar¬tika), Rd Ayu Lasminingrat, Ny. Rd. Siti Jenab. Merekalah yang telah mengupayakan adanya se¬kolah-sekolah untuk anak perem¬puan.
Perkembangan selanjutnya sekitar tahun 1943 dibuka 2 buah SMT di Bandung yang dipimpin oleh Ir. Abdul Karim. Sekolah ini mempunyai sifat pengajaran umum ditujukan untuk menyiapkan para pelajar yang akan me-lanjutkan pada Sekolah Tinggi.
Siswa yang dapat diterima pada SMT ini ialah mereka yang telah lulus ujian penghabisan negeri SM Pertama. Selain itu sekolah ini menampung murid-murid AMS, baik negeri maupun swasta, dan murid-murid kelas IV dan V HBS dengan lama belajar 3 tahun. Sehubungan dengan pre¬dikat baru "Bandung sebagai Kota Pelajar", maka dibentuklah beberapa .percetakan dan pener-bitan. Hal itu dilakukan sebagai upaya penyediaan sarana penya¬luran kreatifitas pelajar dalam menuangkan ide/tulisannya. Saat itu muncullah berbagai maja¬lah/surat kabar (bentuk pener¬bitan). Penerbit dan percetakan paling tua di Bandung adalah NV Mij Vorkin (TB Sinar Bandung sekarang) yang didirikan tahun 1896. Melalui percetakan itu terbitlah surat kabar dengan nama "Preanger-bode". Terbitan perdana tertanggal 6 Juli 1896 de¬ngan redakturnya Tuan J.H.L.E Meeverden, dengan uang lang¬ganannya sebesar f. 250 untuk 1/2 tahun. Percetakan lain-nya adalah Firma A.C.NIX (yang kemudian jadi NV Masa Baru) yang di¬dirikan tahun 1901, kemudian menyusul penerbit/percetakan Vi¬sser, de kleine dan van dorp di Jalan Braga. Selain Preanger¬bode, terbit pula mingguan "De Indische Post", Harian bahasa Melayu "Kaoem Moeda", dan minggium de School" dengan bulanan "Ititertnediair" (sebuah media eetak dari "Kadin" Ilan- dung tempo doeloe (Handels vereeniging to Bandoeng) (Haryoto Kunto, 1984: 190).
Dengan tersedianya sarana sekolah serta, didukung pula adanya penerbitan dan percetakan, akhirnya Bandung mantap mendapat sebutan sebagai Kota Pendidikan. Apalagi kemudian didirikan Sekolah Guru (Kweek-school) atau yang lebih dikenal dengan sekolah raja, yang letak¬nya di Jalan Merdeka sekarang dan Sekolah Osvia atau yang lebih dikenal dengan Sekolah Menak karena sebagian besar pelajarnya adalah anak para menak, seperti Bupati, patih, dan wedana. Lengkaplah sudah Kota Bandung sebagai Kota Pendidikan dengan sarana untuk berbagai jenjang pendidikan, mulai dan taman-kana-kanak atau Froberschool, sekolah guru taman kanak-kanak (Opleidings¬shool voor Frobelonder wijzeres¬sen), Van deventershool (sekolah putri), sekolah dasar Belanda (HIS), SLP (MULO), SLA (AMS) dan sekolah-sekolah swasta milik zending Kristen dan China. Bahkan tahun 1916 pun telah dibuka Hoogerere Burger- school (HBS) di J1. Belitung, dan Wain 1922 telah dibuka HBS Katholik beserta asrama khusus bagi siswa putri di J1. Merdeka. Dan yang lebih penting lagi adalah dibukanya Technische Hoogeschool (TH) tanggal 3 Juli 1920. Dari lembaga inilah kemudian lahir tokoh-tokoh nasional, bahwa hal itu membuktikan kemampuan inlelektual bangsa pribumi ternyata bisa disejajarkan dengan orang barat Eropa lainnya.
c. Pembukaan Jalur Kereta Api.
Sebagian para menak dari luar Bandung yang bersekolah di Bandung, menggunakan sarana angkutan kereta api. Dan bila diamati lebih jauh, ternyata setelah dibukanya jalur kereta api yang menghubungkan kota Ban-dung dengan kota-kota kecil lain¬nya, menurut "Nota Kepala Dinas Kereta Api dan Trem Ne¬gara (Het Hoofd van den Dients der Staattspoor end Tramwegen), bahwa lebih dari 80% penum¬pangnya yang turun di stasiun kereta api Bandung adalah para penumpang yang datang dari kota-kota kecil yang tujuannya antara lain berdagang dan ber¬belanja (Haryoto Kunto, 1984: 107). Mereka dinamakan pe¬dagang musiman.
Selain pedagang musiman yang berasal dari kota-kota kecil di daerah sekitar Bandung, Kota Bandung pun didatangi orang¬orang dari daerah lain, yang lama-lama mereka membentuk suatu kampung. Mereka hidup secara berkelompok dan menem¬pati suatu daerah. Temp at tinggal mereka biasanya dinamakan se¬suai dengan asal mereka datang, seperti Kampung Bogor. Peng¬huni Kampung Bogor adalah kaum migran yang datang dari Bogor ke Bandung sekitar abad 19, yaitu ketika dibukanya jalur kereta api. Mereka berprofesi sebagai buruh bengkel kereta api yang ikut membangun jaringan rel kereta api dari Bogor ke Bandung. Migran dari Bogor yang kira-kira berjumlah 400 orang ini menempati sebuah kampung yang tidak jauh dari stasiun kereta api. Mereka menamakan kampungnya dengan nama Kampung (Babakan) Bo¬gor, (sekarang dikenal dengan nama Kebon Kawung). Migran¬-migran lain datang dari Garut, Ciamis, mereka pun membentuk suatu perkampungan dan dinamakannya Babakan (Kampung) Tarogong, dan Babakan Ciamis. Para migran tidak hanya datang dari kota-kota di Jawa Barat, juga Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Migrasi yang datang dari Jawa Tengah menempati daerah sekitar Kiara Condong dan menamakan huniannya dengan nama Kampung Jawa (Tito Setiato, 1996/1997:55). Akan halnya kaum migran yang datang dari Surabaya (Jawa Timur). Awalnya datang ketika teijadi pemindahan Instalasi Militer pabrik mesiu di Ngawi Jawa Timur dan Artillerie Constructia Winkel (ACW) atau yang disebut Pabrik Senjata (sekarang bernama Pindad) di Sura-baya dipindahkan ke Bandung. Pemindahan yang dilakukan pada tahun 1898 ini, dalam rangka pemantapan pertahanan militer kolonial Belanda. Pemindahan tersebut bukan hanya mesiu dan peralatannya, melainkan juga kru yang terdiri atas teknisi dan karyawan beserta seluruh keluarganya. Mereka pun menempati daerah yang sekarang masuk ke Desa Kiara Condong dengan nama Kampung (Babakan) Sura¬baya. Pusat kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang berasal dari Jawa Tengah adalah di Pasar Kosambi (Pasar Cicadas dan Kiara Condong waktu itu belum ada), maka di Pasar Kosambi inilah dapat ditemui makanan (masakan) khas Jawa Tengah seperti gudeg, pecel, rujak cingur, botok, buntil, gatot, tiwul, bahkan jamu-jamuan seperti jamu candring, binteng jahe sampai rokok, (Haryoto Kunto, 1984: 165).
Sekitar tahun 1919 Ambtenaar asal Jawa yang agak ter¬pandang hanya ada 26 orang, dengan pangkat komis, dan "Kierk" dari Jawatan Negara seperti P.T.T, S.S, B.O.W, dan Pegadaian Negeri. Kemudian dalam bilangan yang belum men¬capai ribuan, orang Jawa yang ada di Bandung di antaranya menjadi militer, guru, palajar, dan pedagang (pada umumnya pedagang batik). Selain profesi ter¬sebut, masyarakat Jawa Tengah yang bermigrasi ke Bandung me¬letakkan pilihannya di sektor pertanian. Sekelompok masya¬rakat ini kebanyakan berasal dari Brebes Jawa Tengah. Mereka pergi meninggalkan daerahnya karena lidak tahan menanggung derita atas keria paksa yang ditetapkan Daendels dalam pembangunan jalan dari Anyer sam¬pai Pamanukan di Bandung, daerah yang dituju adalah Cicalengka (Rancaekek) Kabupaten Bandung.
Selain para migran dari daratan Pulau Jawa, orang asing dari negeri China pun turut ber¬datangan ke Bandung. Sekitar tahun 1874, di Bandung telah tinggal migran asal China. Mereka tinggal bersama keluar¬ganya. Waktu itu migran asal China masih sedikit, kira-kira 6 umpi/keluarga. Orang China pertama yang tinggal bernama Tam Long, yang kemudian namanya diabadikan menjadi Tamblong. Kedatangan China berikutnya ke Bandung, dengan cara semacam koloni (menge¬lompok) dengan dipimpin oleh seorang Wijkmeester. Wijkme¬ester China untuk daerah Sunia¬raja pada tahun 1914 adalah Thong Pek Koey dan untuk daerah Citepus Tan Nyim Coyt, dan di daerah ini pula mereka menamakan jalan dan gang dengan nama China, seperti Gang Gwan An dan Jap Lim. Bahkan kelornpok China berikutnya ada yang menempati kawasan tertentu dan menamakan daerah huniannya dengan nama Pacinan.
Adapun para migran yang datang dari kawasan Pulau Su¬matra adalah dari Palembang.. Salah satunya adalah Tamim, seorang niagawan yang sukses dalam usahanya di Bandung, Ia migrasi bersama temannya yang bernama Encek Aziz, Aschari, dan Asep Berlian. Nama orang-orang asal Palembang ini juga akhirnya diabadikan sebagai nama jalan.
Kembali Ke Fitrah
Setelah sekian lama, orang¬orang migrasi ke Bandung, suatu ketika mereka akan ingat pada kampung halamannya. Apalagi di kampung halamannya masih terdapat banyak kerabat dan sanak saudara mereka. Moment yang paling penting bagi mereka untuk menemui kerabatnya tersebut adalah pada saat Idul Fitri. Idul Fitri dapat dijadikan momen¬tum untuk bersilaturahmi, yaitu kunjung mengunjungi sanak ke¬luarga dan tetangga guna memin¬ta maaf dan memaafkan. Sebenar¬nyaiah silaturahmi dapat mem¬buka pintu rejeki dan pahala dari Allah, silaturahmi dapat memper¬erat persaudaraan antar seseorang, begitulah sabda Rasulullah SAW; tidak masuk surga orang yang memutuskan tali kekeluargaan (HR Bukhari dan Muslim).
Penutup
Awal masyarakat luar
Bandung melakukan migrasi ke Bandung kira-kira abad ke-19, yaitu ketika dibukanya jalur ke¬reta api yang menghubungkan Bandung dengan kota-kota kecil di sekitar Bandung, dan Bandung dengan daerah-daerah lain seperti Yogyakarta (Jawa Tengah), dan Surabaya (Jawa Timur). Hal ter¬sebut juga dapat dipastikan sebab dengan adanya kampung (baba¬kan) Bogor yang terletak di dekat Stasiun Bandung, berarti me mungkinkan bahwa merekapun pemakai sarana angkutan kereta api.
Sejalan dengan upaya pemekaran kota, pemerintahan kolonial mulai melakukan pembenahan¬-pembenahan sarana umum, se¬perti ke arah timur dibangun Pasar Kosambi, Pasar Cicadas, dan Pasar Kiaracondong. Begitu pula untuk Bandung barat dibangun Pasar Andir, Pasar Ciroyom, sedangkan ke arah se¬latan dibangun Pasar Tegallega dan Pungkur. Kemudian untuk mengurangi kepadatan penum¬pang kereta api yang turun di stasiun Bandung, dibangunlah pemasangan jalur rel kereta api serta penentuan halte baru. Secara berturut-turut dibangunlah halte Andir, untuk pengunjung Pasar Andir, halte Ciroyom untuk pengunjung Pasar Ciroyom, halte Cikudapateh untuk pengujung Pasar Kosambi, dan halte Kiara¬condong untuk pengunjung Pasar Kiaracondong.
Dan pemaparan di atas, temyata para migran mengambil tempat tinggalnya tidak jauh dari halte-halte kereta api tersebut, seperti Babakan Surabaya dan Babakan Jawa lebih dekat ke halte Kiaracondong, Babakan Bogor dan Babakan Ciamis lebih dekat dengan stasiun kereta api Bandung. Begitu pula dengan tempat tinggal H. Tamim, Aziz Asmi, dan komplek Suniaraja tempat komunitas China lokasi¬nya tidak jauh dari stasiun kereta api Bandung.
Daftara Pustaka
Edy S Ekadjati, Sejarah Kota Bandung 1945-1979, Depdikbud, Direktorat Jenderal Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek IDSN, Jakarta, 1985
--------- , Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, sampai dengan
tahun 1950, Depdikbud, Proyek IDKD, 1986
Haryoto Kunto, Wajah Bandung Tempo Doeloe, PT Granesia, Bandung, 1984
------------, Semerbak Bunga di Bandung Raya, PT Granesia, Bandung, 1986.
Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Marwati Djoened. Poesponegoro, dkk, Sejarah Nasional Indonesia, jilid V, Depdikbud, Balai Pustaka
Tito Setiato, Drs, dkk, Toponimi di Kotamadya Bandung, Laporan Penelitian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Kajian Jarahnitra Bandung, 1996-1997.
Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi, Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, LP3ES, Jakarta, 1994.
Sumber :
Jurnal Ilmiah Sejarah dan Budaya Buddhiracana Volume 11 Nomor 10 Januari 2000. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
Abstraksi.
Pada tahun 1864 terjadi pemindahan kantor karesidenan dart Cianjur ke Bandung. Rombongan pejabat karesidenan yang pindah adalah (tahun 1864), atas kepala kantor yaitu Residen Van der Moore sendiri, seorang sekeretaris, seorang komis, seorang mantri kesehatan, seorang guru, dan seorang notaris. Menurut para sesepuh Sunda perpindahan tersebut sesuai dengan cacandran atau tanda-tanda jaman, seperti yang tertulis dalam ramalan Bandung (uga Bandung) yang berbunyi: Bandung heurin ku tangtung, Cianjur katalan¬juran, Sukabumi tinggal resmi, Sumedang ngarangrangan, Sukapura ngadaun ngora, Galunggung ngadeg Tumenggung. Artinya: Bandung padat penduduknya, Cianjur cuma kelewatan, Sukabumi cuma nama resmi, Sumedang tinggal meranggas, Sukapura akan maju ekonominya, Galung¬gung mengambil penman (Haryoto Kunto: 1984: 19).
Ungkapan sesepuh Sunda tersebut pada kenyataan sekarang mengandung makna bahwa, Kota Bandung dewasa ini yang heurin ku tcmgtung artinya dengan segala aktivitas, penuh sesak, jalan macet oleh kendaraan dan penduduknya padat Dengan demikinan, Bandung yang semula sepi telah berubah menjadi Bandung dengan penduduk yang padat. Hal ini mungkin disebabkan adanya migrasi, baik migrasi dart desa ke kota (kota kecil seperti Garut, Ciamis, ke Bandung) atau migrasi dart luar provinsi seperti Jawa Tengah dan Jawa Tirnur. Para migran itulah yang akhirnya menempati beberapa daerah di Kota Bandung ini.
Pendahuluan.
pada hulan Januari tahun 2000 ini, masyarakat Islam merayakan hari kemenangan ldul Fitri,. sebagian masyara¬kat Indonesia, khususnya yang ada di Pulau Jawa dan sebagian Sumatra, dalam menyambut hari Idul Fitri tidak lepas (tali tradisi, "Pulang Mudik". Sebagian kala¬ngan mengatakan mudik sudah menjadi budaya mereka. Tradisi mudik merupakan akibat dari me¬reka yang melakukan migrasi. Migrasi yang bagi para migran sering diartikan sebagai meran¬tau, sebagai mudik lebih diang gap sebagai keharusan Dari tahun ke tahun pelaku tradisi mudik selalu mengalami peningkatan Berkaitan dengan mudik ini. Gubernur DK1 Jakarta bebetapa waktu lalu, pernah menghimbau para pemudik dari Jakarta agar melakukan balik ke daerah rantau (Jakarta khususnya) tidak membawa sanak keluarga atau teman kerabatnya, yang tidak mempu¬nyai KTP DKI atau keahlian khu¬sus. Sebab pendatang yang tidak mempunyai dua ketentuan tersebut, akan merepotkan pihak pe¬merintah daerah setempat, selain tidak mempunyai tempat tinggal, mereka pun tidak mempunyai pekerjaan.
Perilaku budaya mudik tidak hanya dominan warga Jakarta, tetapi juga Bandung. Para pemudik dari Bandung dapat dilihat pada, saat menjelang lebaran, di dua terminal bus, baik Cicaheum maupun Leuwipanjang. Belum lagi mereka yang menggunakan jasa kereta api dan kendaraan pribadi baik roda empat maupun dua, jalur jalan Rancaekek-Para¬kan Muncang (jurusan Tasik¬malaya / Garut menuju Jawa Tengah /Jawa Timur).
Situasi dan kondisi para perantau (migran) di Bandung yang mudik ke kota-kota di Jawa, ba¬nyak diliput Barat atau luar pro¬vinsi Jawa. media massa, cetak dan elektronik sedangkan mere¬ka merantau (migrasi), apa Tatar belakang dan sebab-sebab me¬rantau (migrasi) masih sangat ter¬batas pada kenyataan ini.
Akan dibahas tentang Bandung pada abad ke 19 - 20, Bandung sebagaitempat Migrasi Para Pemudik”.
Bandung Sebagai Tujuan Kaum Migran
Kepadatan dan distribusi penduduk di Indonesia, antara sa¬tu daerah dengan daerah lainnya tidak seimbang, Ada daerah yang luas, dan kurang penduduknya ada daerah yang sempit tapi padat penduduknya. Adanya per-bedaan kepadatan penduduk ter¬sebut menyebabkan ada kecen¬derungan penduduk di daerah padat untuk pindah kedaerah yang tingkat kepadatan pen¬duduknya relatif rendah. Pada kenyataannya, malah sebaliknya justru penduduk daerah kosong beramai-ramai pindah ke daerah padat dengan alasan untuk mencari pekerjaan. Pada dasarnya perpindahan penduduk mempunyai sifat, yaitu perseorangan, dan kelompok. Sifat perseorangan dapat disebabkan faktor ekonomi, pekerjaan dan pendidikan, sedangkan perpindahan secara ke¬lompok dapat disebabkan adanya bencana alam, kondisi alam yang tandus, dan lain-lain.
Migrasi adalah perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain untuk menetap (BBI : 582). Orang yang melakukan migrasi disebut migran. Usman Pelly dengan mengambil contoh suku Minangkabau menyebabkan satu model migrasi rakyat dari Minangkabau yang sering di sebut merantau adalah perpindahan tradisional. Perpindahan ini tidak berarti ada komitmen untuk berdiam seterusnya di da¬erah rantau . Para perantau yang kembali biasanya membawa ke¬kayaan, kekuasaan, serta prestise barn (Usman Pelly, 1994: 8-9).
Proses migrasi sebenarnya berkaitan erat dengan daya tarik daerah tujuan dan sarana tranfortasi. Pembukaan jalur kereta api yang menghubungkan Kali¬saat dan Banyuwangi pada (tahun 1901), menjadi salah satu pen¬dorong migrasi dari Jawa Tengah ke Ujung Jawa sebelah Timur yang masih kosong. Sejak awal abad itulah maka daerah Kedu, Yogyakarta, Madura, Kediri, dan Madiun adalah daerah yang melepaskan migran-migran ke daerah lain. (Marwati Djoened, 1990: 115).
Daerah tujuan para migran umumnya kota-kota besar, seperti Jakarta dan Bandung. Beberapa faktor atau alasan para migran incmilih migrasi ke Bandung, adalah karena Beberapa faktor yang menjadikan Bandung sebagai salah satu tujuan kaum migran adalah :
a. kondisi Alam
Kedatangan datangnya tiga orang Eropa yaitu Pieter Engelhard, Dr An dries de Wilde, dan Fanz Wilhelm Junghuhn. Pada awalnya ada seorang bangsa Ero¬pa yang bernama Piter Engelhard menanam kopi di lereng gunung, tangkuban (sekitar Jalan Setiabudi Bandung sekarang). Ternyata hasil penanaman kopi tersebut sangat memuaskan. Oleh karena bibit kopi Piter Engelhard dianggap sangat bagus, akhirnya menyebar ke Gunung Patuha, Mandalawangi, Galunggung, dan Gunung Malabar. Sejak saat itu penduduk pribumi Priangan ba¬nyak yang berpindah pekerjaan dari bidang pertanian menjadi pekerja perkebunan, sebab bekerja di perkebunan hasilnya lebih memuaskan daripada bekerja di sektor pertanian. Orang Eropa lainnya yang menempati Kota Bandung adalah Andries de Wilde, seorang tuan tanah per-tama di Priangan. Ia yang pernah menjalin hubungan dengan Raffles, diangkat oleh Daendels sebagai asisten Residen di Ban¬dung. Jabatan ini tidak lama dipegangnya sebab kemudian ia ditugaskan sebagai pengawas kebon kopi di Tarogong Garut. Semula Andries mempunyai tanah di Bogor, tetapi ia berkeinginan untuk menukarkan tanah¬nya dengan tanah di daerah Ban¬dung. Keinginannya terkabul, ia mendapat tanah ganti di daerah Kabupaten Bandung (sekarang), yang meliputi Cimahi di barat sampai Cibeusi di timur (sebelah utara dibatasi Gunung Tangkuban Perahu dan di sebelah selatan jalan raya pos). Andries de Wilde kemudian menikah dengan wanita Priangan dan menempati daerah Banong (Dago Atas), mungkinkah nama Banong itu adalah Bandung? Orang ketiga adalah Franz Wilhelm Junghuhn yang dikenal sebagai penebar biji kina di daerah Bandung.
Seiring dengan adanya daerah-daerah perkebunan di kota Bandung mulailah dibuka, maka jalur lintas kereta api yang meng¬hubungkan Jakarta-Surabaya, ya¬ng rampung dibangun pada tahun 1894. Jalur tersebut dihubungkan pula dengan jalur Bandung-Bata¬via yang melewati Purwakarta yang selesai dibangun pada tahun 1900. Perkembangan selanjutnya, Bandung yang dikenal sebagai daerah perkebunan dipercaya sebagai tuan rumah penyeleng¬garaan "Konggres Tuan Gula" pada tahun 1896. Konggres ini dihadiri para pengusaha perkebunan gula baik dari Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Pelaksanaan kongres berjalan lancar, bahkan dengan adanya acara tersebut. Bandung kemu¬dian mendapat julukan "Kota Kembang".
Kota Bandung yang terletak di ketinggian 721m di atas permukaan laut, memiliki angka rata- rata per tahun : curah hujan 1.961 mm, lama hujan 143,9 hari de¬ngan temperatur 22,5° C. Akibat¬nya hawa Kota Bandung terasa nyaman, segar, dan sehat. Dengan kondisi alam seperti itu, apalagi tanahnya yang subur, Bandung sangat cocok dan ideal buat bertanam bunga atau pohon¬-pohonan. (Haryoto Kunto, 1994: 117). Sehingga orang-orang Ero¬pa merasa semakin betah tinggal di Bandung,
b. Pendidikan
Sekitar abad 19, Bandung telah dikenal sebagai kota pendidikan. Para orang tua di Tatar Sunda banvak yang mengimpikan agar dapat menyekolahkan putra¬-putranya ke Bandung. Hal itu terungkap dalam lirik lagu Sunda berikut ini:
Neleng neng kung
Neleng neleng neng gung
Geura gede geura jangkung
Geura sakola ka Bandung
Dalam bahasa Indonesia dapat diartikan :
Cepatlah besar, cepatlah dewasa, lekaslah sekolah ke Bandung. Penjabaran dari lirik itu terkandung makna bahwa betapa pentingnya lembaga sekolah di Kota Bandung. Sesuai dengan konsep awal bahwa Bandung akan dijadikan kota pendidikan, Prof. Dr. E. C Godee Molsbergen (Kepala Arsip Negara) di Batavia, pada tanggal 24 April 1820 mengadakan inspeksi ke Kota Bandung. Tujuannya adalah ingin mendirikan sekolah. Dalam pen¬jajagan tersebut ia sempat ber¬temu dan melakukan pembica¬raan dengan bupati dan penghulu Bandung. Dan hasil jajak pen¬dapat tersebut, tiga tahun kemu¬dian di Kota Bandung telah ber¬diri 4 sekolah gubernemen pemerintah/negeri), yaitu sekolah dasar Bumi Putera di Karang Pamulang (belakang terminal Kebon Kelapa sekarang), sebuah Frobelschool (taman kanak-ka¬nak), sekolah dasar khusus bagi orang-orang Eropa (lokasinya ter letak di sekitar patung badak putih di halaman Balai Kota Bandung sekarang ini), dan sekolah pertukangan.
Berdirinya sekolah-sekolah tersebut ternyata kurang mendapat sambutan dari masyarakat Bandung, karena sebagian dari mereka menganggap bahwa rak-yat biasa tidak perlu sekolah. Mereka berpikir, tak ada peluang bagi mereka untuk diangkat menjadi orang berpangkat, karena sekolah hanya diperuntukan bagi kaum bangsawan. Rakyat kecil lebih baik memilih pesantren. Adanya anggapan masyarakat yang keliru seperti itu berakibat sekolah menjadi kekurangan murid (Haryoto Kunto, 1986, 153). Meskipun demikian, dari tahun ke tahun perkembangan masalah pendidikan di daerah Priangan mengalami kemajuan. Seperti yang terjadi pada masa pemerin-tahan Bupati R.A Martanegara (1893-1918). Di Tatar Bandung terdapat enam sekolah dasar buat penduduk pribumi (yaitu di dae¬rah Cibadak, Ujungberung, Cica¬lengka, Ciparay, Majalaya, dan Kopo). Adapun di wilayah Pri¬angan terdapat 22 buah Sekolah Dasar Pribumi.
Dengan didirikannya Sekolah Dasar di beberapa tempat ter¬sebut, masyarakat Bandung tam¬paknya mulai berantusias untuk bersekolah. Untuk menampung masyarakat yang ingin bersekolah pihak sekolah, tidak membatasi umur. Seperti halnya ketika DK. Ardiwinata memulai mengajar ia mendapatkan murid-muridnya berusia dewasa, bahkan ada juga yang sudah berkeluarga, padahal waktu itu ia sedang menginjak di kelas III (Haryoto Kunto, 1986: 154).
Setelah Belanda datang ke Indonesia, di Jawa Barat yang terdiri atas 5 karesidenan yaitu Ban- ten, Batavia (Jakarta), Karawang, Priangan, dan Cirebon, masing¬masing memiliki satu Sekolah Dasar (Edy S Ekadjati, 1986: 44). Tetapi kenyataannya program pendidikan tersebut lebih diprioritaskan untuk sekolah anak-anak Belanda, sedangkan anak-anak pribumi dinomor duakan. Belanda sengaja menciptakan lembaga pendidikan yang panjang, baik diklasifikasi sesuai dengan ting¬kat derajat seseorang maupun tingkat keahlian. Tujuan sebenar¬nya menciptakan pendidikan tersebut antara lain Belanda ingin menjadikan bangsa pribumi sebagai warga negara yang me-ngabdi pada kepentingan pen¬jajah. Jenis pendidikan yang di¬dasarkan pada jenjang (derajat), diantaranya (kelas): - Bangsa Eropa (ELS) dan pendidikan Menengah Lanjutan. Belanda menyelenggarakan jenis pendi¬dikan buat golongan bumi putera adalah untuk mendapatkan tenaga terdidik dengan biaya murah, sebab andaikata Belanda menda¬tangkan tenaga kerja dari dae-rahnya (Belanda) tentu raja akan menelan biaya yang .mahal. Untuk itu bagi kelompok bumi putera, Belanda juga mendirikan Sekolah Dasar Bumi Putera yang dibagi menjadi 2 bagian:
Sekolah Dasar Kelas Satu
(De Scholen der Eerste Klasse), yaitu sekolah yang didi¬rikan di ibukota karesidenan, kabupaten, kawedanaan, atau yang sederajat. Murid yang diterima di sekolah ini adalah anak-anak golongan masyarakat atas, seperti anak anak bangsawan, tokoh-tokoh ter¬kemuka, dan orang-orang bu¬mi putera yang terhormat. Lulusan sekolah ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan administrasi kepemerintahan, perdagangan, dan perusahaan. Sekolah ini kemudian berkembang menjadi HIS.
Sekolah Dasar Kelas Dua
(De Scholen der Tweede Klasse), sekolah ini dibuka untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi masyarakat umum. Dengan kata lain sekolah ini didirikan untuk anak-anak bumi putera dengan tujuan untuk mendidik calon-calon pegawai rendah. Sejalan dengan lahirnya Poli tik Etis, yaitu garis politik kolo nial baru, yang pertama-tama di harapkan secara resmi oleh Van Dedem sebagai anggota parlemen Belanda adalah adanya upaya pemerintah kolonial. Untuk memisahkan keuangan Indonesia dari Negeri Belanda. Harapan itu di kemukakan dalam pidatonya tahun 1891 di depan anggota parlemen. Keharusan adanya pemisahan pengelolaan keuangan ter sebut ia perjuangkan guna kemajuan dan kesejahteraan rakyat serta ekspansi yang pada umum¬nya menuju ke suatu politik yang konstruktif (Edy S Ekadjati, 1986: 54). Politik Etis ini telah mengubah pandangan dalam po¬litik kolonial, sehingga pemerin¬tah Belanda beranggapan bahwa Indonesia tidal( lagi sebagai Wingewest (negara yang me¬nguntungkan), tetapi menjadi daerah yang periu dikembangkan. Pengembangan yang terjadi, khususnya dalam sistem pendi¬dikan, antara lain :
kesempatan-kesempatan untuk belajar bahasa Belanda diperbanyak, serta kesempa¬tan masuk HIS pun diperluas.
Sekolah-sekolah untuk orang Indonesia mulai diperbaiki (sarana atau sistemnya ?).
Mulai didirikan sekolah-sekolah untuk anak perempuan.
Berdirinya beberapa sekolah di Bandung, tak lepas dan upaya¬upaya para pengajar asal Jawa Barat sendiri, Dewi Sartika (pendiri sekolah Raden Dewi Sar¬tika), Rd Ayu Lasminingrat, Ny. Rd. Siti Jenab. Merekalah yang telah mengupayakan adanya se¬kolah-sekolah untuk anak perem¬puan.
Perkembangan selanjutnya sekitar tahun 1943 dibuka 2 buah SMT di Bandung yang dipimpin oleh Ir. Abdul Karim. Sekolah ini mempunyai sifat pengajaran umum ditujukan untuk menyiapkan para pelajar yang akan me-lanjutkan pada Sekolah Tinggi.
Siswa yang dapat diterima pada SMT ini ialah mereka yang telah lulus ujian penghabisan negeri SM Pertama. Selain itu sekolah ini menampung murid-murid AMS, baik negeri maupun swasta, dan murid-murid kelas IV dan V HBS dengan lama belajar 3 tahun. Sehubungan dengan pre¬dikat baru "Bandung sebagai Kota Pelajar", maka dibentuklah beberapa .percetakan dan pener-bitan. Hal itu dilakukan sebagai upaya penyediaan sarana penya¬luran kreatifitas pelajar dalam menuangkan ide/tulisannya. Saat itu muncullah berbagai maja¬lah/surat kabar (bentuk pener¬bitan). Penerbit dan percetakan paling tua di Bandung adalah NV Mij Vorkin (TB Sinar Bandung sekarang) yang didirikan tahun 1896. Melalui percetakan itu terbitlah surat kabar dengan nama "Preanger-bode". Terbitan perdana tertanggal 6 Juli 1896 de¬ngan redakturnya Tuan J.H.L.E Meeverden, dengan uang lang¬ganannya sebesar f. 250 untuk 1/2 tahun. Percetakan lain-nya adalah Firma A.C.NIX (yang kemudian jadi NV Masa Baru) yang di¬dirikan tahun 1901, kemudian menyusul penerbit/percetakan Vi¬sser, de kleine dan van dorp di Jalan Braga. Selain Preanger¬bode, terbit pula mingguan "De Indische Post", Harian bahasa Melayu "Kaoem Moeda", dan minggium de School" dengan bulanan "Ititertnediair" (sebuah media eetak dari "Kadin" Ilan- dung tempo doeloe (Handels vereeniging to Bandoeng) (Haryoto Kunto, 1984: 190).
Dengan tersedianya sarana sekolah serta, didukung pula adanya penerbitan dan percetakan, akhirnya Bandung mantap mendapat sebutan sebagai Kota Pendidikan. Apalagi kemudian didirikan Sekolah Guru (Kweek-school) atau yang lebih dikenal dengan sekolah raja, yang letak¬nya di Jalan Merdeka sekarang dan Sekolah Osvia atau yang lebih dikenal dengan Sekolah Menak karena sebagian besar pelajarnya adalah anak para menak, seperti Bupati, patih, dan wedana. Lengkaplah sudah Kota Bandung sebagai Kota Pendidikan dengan sarana untuk berbagai jenjang pendidikan, mulai dan taman-kana-kanak atau Froberschool, sekolah guru taman kanak-kanak (Opleidings¬shool voor Frobelonder wijzeres¬sen), Van deventershool (sekolah putri), sekolah dasar Belanda (HIS), SLP (MULO), SLA (AMS) dan sekolah-sekolah swasta milik zending Kristen dan China. Bahkan tahun 1916 pun telah dibuka Hoogerere Burger- school (HBS) di J1. Belitung, dan Wain 1922 telah dibuka HBS Katholik beserta asrama khusus bagi siswa putri di J1. Merdeka. Dan yang lebih penting lagi adalah dibukanya Technische Hoogeschool (TH) tanggal 3 Juli 1920. Dari lembaga inilah kemudian lahir tokoh-tokoh nasional, bahwa hal itu membuktikan kemampuan inlelektual bangsa pribumi ternyata bisa disejajarkan dengan orang barat Eropa lainnya.
c. Pembukaan Jalur Kereta Api.
Sebagian para menak dari luar Bandung yang bersekolah di Bandung, menggunakan sarana angkutan kereta api. Dan bila diamati lebih jauh, ternyata setelah dibukanya jalur kereta api yang menghubungkan kota Ban-dung dengan kota-kota kecil lain¬nya, menurut "Nota Kepala Dinas Kereta Api dan Trem Ne¬gara (Het Hoofd van den Dients der Staattspoor end Tramwegen), bahwa lebih dari 80% penum¬pangnya yang turun di stasiun kereta api Bandung adalah para penumpang yang datang dari kota-kota kecil yang tujuannya antara lain berdagang dan ber¬belanja (Haryoto Kunto, 1984: 107). Mereka dinamakan pe¬dagang musiman.
Selain pedagang musiman yang berasal dari kota-kota kecil di daerah sekitar Bandung, Kota Bandung pun didatangi orang¬orang dari daerah lain, yang lama-lama mereka membentuk suatu kampung. Mereka hidup secara berkelompok dan menem¬pati suatu daerah. Temp at tinggal mereka biasanya dinamakan se¬suai dengan asal mereka datang, seperti Kampung Bogor. Peng¬huni Kampung Bogor adalah kaum migran yang datang dari Bogor ke Bandung sekitar abad 19, yaitu ketika dibukanya jalur kereta api. Mereka berprofesi sebagai buruh bengkel kereta api yang ikut membangun jaringan rel kereta api dari Bogor ke Bandung. Migran dari Bogor yang kira-kira berjumlah 400 orang ini menempati sebuah kampung yang tidak jauh dari stasiun kereta api. Mereka menamakan kampungnya dengan nama Kampung (Babakan) Bo¬gor, (sekarang dikenal dengan nama Kebon Kawung). Migran¬-migran lain datang dari Garut, Ciamis, mereka pun membentuk suatu perkampungan dan dinamakannya Babakan (Kampung) Tarogong, dan Babakan Ciamis. Para migran tidak hanya datang dari kota-kota di Jawa Barat, juga Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Migrasi yang datang dari Jawa Tengah menempati daerah sekitar Kiara Condong dan menamakan huniannya dengan nama Kampung Jawa (Tito Setiato, 1996/1997:55). Akan halnya kaum migran yang datang dari Surabaya (Jawa Timur). Awalnya datang ketika teijadi pemindahan Instalasi Militer pabrik mesiu di Ngawi Jawa Timur dan Artillerie Constructia Winkel (ACW) atau yang disebut Pabrik Senjata (sekarang bernama Pindad) di Sura-baya dipindahkan ke Bandung. Pemindahan yang dilakukan pada tahun 1898 ini, dalam rangka pemantapan pertahanan militer kolonial Belanda. Pemindahan tersebut bukan hanya mesiu dan peralatannya, melainkan juga kru yang terdiri atas teknisi dan karyawan beserta seluruh keluarganya. Mereka pun menempati daerah yang sekarang masuk ke Desa Kiara Condong dengan nama Kampung (Babakan) Sura¬baya. Pusat kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang berasal dari Jawa Tengah adalah di Pasar Kosambi (Pasar Cicadas dan Kiara Condong waktu itu belum ada), maka di Pasar Kosambi inilah dapat ditemui makanan (masakan) khas Jawa Tengah seperti gudeg, pecel, rujak cingur, botok, buntil, gatot, tiwul, bahkan jamu-jamuan seperti jamu candring, binteng jahe sampai rokok, (Haryoto Kunto, 1984: 165).
Sekitar tahun 1919 Ambtenaar asal Jawa yang agak ter¬pandang hanya ada 26 orang, dengan pangkat komis, dan "Kierk" dari Jawatan Negara seperti P.T.T, S.S, B.O.W, dan Pegadaian Negeri. Kemudian dalam bilangan yang belum men¬capai ribuan, orang Jawa yang ada di Bandung di antaranya menjadi militer, guru, palajar, dan pedagang (pada umumnya pedagang batik). Selain profesi ter¬sebut, masyarakat Jawa Tengah yang bermigrasi ke Bandung me¬letakkan pilihannya di sektor pertanian. Sekelompok masya¬rakat ini kebanyakan berasal dari Brebes Jawa Tengah. Mereka pergi meninggalkan daerahnya karena lidak tahan menanggung derita atas keria paksa yang ditetapkan Daendels dalam pembangunan jalan dari Anyer sam¬pai Pamanukan di Bandung, daerah yang dituju adalah Cicalengka (Rancaekek) Kabupaten Bandung.
Selain para migran dari daratan Pulau Jawa, orang asing dari negeri China pun turut ber¬datangan ke Bandung. Sekitar tahun 1874, di Bandung telah tinggal migran asal China. Mereka tinggal bersama keluar¬ganya. Waktu itu migran asal China masih sedikit, kira-kira 6 umpi/keluarga. Orang China pertama yang tinggal bernama Tam Long, yang kemudian namanya diabadikan menjadi Tamblong. Kedatangan China berikutnya ke Bandung, dengan cara semacam koloni (menge¬lompok) dengan dipimpin oleh seorang Wijkmeester. Wijkme¬ester China untuk daerah Sunia¬raja pada tahun 1914 adalah Thong Pek Koey dan untuk daerah Citepus Tan Nyim Coyt, dan di daerah ini pula mereka menamakan jalan dan gang dengan nama China, seperti Gang Gwan An dan Jap Lim. Bahkan kelornpok China berikutnya ada yang menempati kawasan tertentu dan menamakan daerah huniannya dengan nama Pacinan.
Adapun para migran yang datang dari kawasan Pulau Su¬matra adalah dari Palembang.. Salah satunya adalah Tamim, seorang niagawan yang sukses dalam usahanya di Bandung, Ia migrasi bersama temannya yang bernama Encek Aziz, Aschari, dan Asep Berlian. Nama orang-orang asal Palembang ini juga akhirnya diabadikan sebagai nama jalan.
Kembali Ke Fitrah
Setelah sekian lama, orang¬orang migrasi ke Bandung, suatu ketika mereka akan ingat pada kampung halamannya. Apalagi di kampung halamannya masih terdapat banyak kerabat dan sanak saudara mereka. Moment yang paling penting bagi mereka untuk menemui kerabatnya tersebut adalah pada saat Idul Fitri. Idul Fitri dapat dijadikan momen¬tum untuk bersilaturahmi, yaitu kunjung mengunjungi sanak ke¬luarga dan tetangga guna memin¬ta maaf dan memaafkan. Sebenar¬nyaiah silaturahmi dapat mem¬buka pintu rejeki dan pahala dari Allah, silaturahmi dapat memper¬erat persaudaraan antar seseorang, begitulah sabda Rasulullah SAW; tidak masuk surga orang yang memutuskan tali kekeluargaan (HR Bukhari dan Muslim).
Penutup
Awal masyarakat luar
Bandung melakukan migrasi ke Bandung kira-kira abad ke-19, yaitu ketika dibukanya jalur ke¬reta api yang menghubungkan Bandung dengan kota-kota kecil di sekitar Bandung, dan Bandung dengan daerah-daerah lain seperti Yogyakarta (Jawa Tengah), dan Surabaya (Jawa Timur). Hal ter¬sebut juga dapat dipastikan sebab dengan adanya kampung (baba¬kan) Bogor yang terletak di dekat Stasiun Bandung, berarti me mungkinkan bahwa merekapun pemakai sarana angkutan kereta api.
Sejalan dengan upaya pemekaran kota, pemerintahan kolonial mulai melakukan pembenahan¬-pembenahan sarana umum, se¬perti ke arah timur dibangun Pasar Kosambi, Pasar Cicadas, dan Pasar Kiaracondong. Begitu pula untuk Bandung barat dibangun Pasar Andir, Pasar Ciroyom, sedangkan ke arah se¬latan dibangun Pasar Tegallega dan Pungkur. Kemudian untuk mengurangi kepadatan penum¬pang kereta api yang turun di stasiun Bandung, dibangunlah pemasangan jalur rel kereta api serta penentuan halte baru. Secara berturut-turut dibangunlah halte Andir, untuk pengunjung Pasar Andir, halte Ciroyom untuk pengunjung Pasar Ciroyom, halte Cikudapateh untuk pengujung Pasar Kosambi, dan halte Kiara¬condong untuk pengunjung Pasar Kiaracondong.
Dan pemaparan di atas, temyata para migran mengambil tempat tinggalnya tidak jauh dari halte-halte kereta api tersebut, seperti Babakan Surabaya dan Babakan Jawa lebih dekat ke halte Kiaracondong, Babakan Bogor dan Babakan Ciamis lebih dekat dengan stasiun kereta api Bandung. Begitu pula dengan tempat tinggal H. Tamim, Aziz Asmi, dan komplek Suniaraja tempat komunitas China lokasi¬nya tidak jauh dari stasiun kereta api Bandung.
Daftara Pustaka
Edy S Ekadjati, Sejarah Kota Bandung 1945-1979, Depdikbud, Direktorat Jenderal Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek IDSN, Jakarta, 1985
--------- , Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, sampai dengan
tahun 1950, Depdikbud, Proyek IDKD, 1986
Haryoto Kunto, Wajah Bandung Tempo Doeloe, PT Granesia, Bandung, 1984
------------, Semerbak Bunga di Bandung Raya, PT Granesia, Bandung, 1986.
Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Marwati Djoened. Poesponegoro, dkk, Sejarah Nasional Indonesia, jilid V, Depdikbud, Balai Pustaka
Tito Setiato, Drs, dkk, Toponimi di Kotamadya Bandung, Laporan Penelitian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Kajian Jarahnitra Bandung, 1996-1997.
Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi, Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, LP3ES, Jakarta, 1994.
Sumber :
Jurnal Ilmiah Sejarah dan Budaya Buddhiracana Volume 11 Nomor 10 Januari 2000. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung