Oleh : Nandang Rusnandar 2003
no matter what country we are from,
no matter what religion we belong to,
no matter what colour skin has,
no matter what political system we belong to,
bamboo is our friends and, therefore we are all friend
“Wolfgang Ebertz”
Gambaran bagaimana kehebatan awi (bahasa : Sunda) atau bambu (bahasa : Indonesia) mampu mempersatukan seluruh manusia tanpa melihat latar belakang, dari mana asal, agama yang dianutnya, warna kulit, politik yang dipahaminya, sehingga bambu menjadi alat pemersatu yang cukup tangguh. Demikian Wolfgang Ebertz memberikan janjinya pada seluruh masyarakat bambu (khususnya) di dunia. Bambu, adalah tumbuhan purba yang sangat penting artinya bagi kehidupan manusia. Sehingga, awi ‘bambu’ tidak saja dikenal di Indonesia, malahan di belahan dunia lain, seperti di India, bambu dikenal sebagai The wood of the poor ‘kayu untuk orang miskin’. Orang Cina menyebutnya sebagai The friend of the people ‘kawan bagi manusia’, dan orang Vietnam menyebutnya sebagai The brother ‘saudara’. Bagaimana lekatnya ikatan antara awi dengan manusia Sunda dalam kehidupan sehari-hari dapat dirasakan dalam kesehariannya. Masyarakat Sunda (Jawa Barat) yang hidup di pedesaan, di mana lingkungan alam sekitarnya masih merupakan panorama alam yang asri, banyak ditumbuhi berbagai jenis pohon. Manusia dan alam lingkungannya ada saling ketergantungan. Manusia hidup karena alam dan alam memberikan maknanya karena sentuhan tangan kreatif manusia itu sendiri. Keadaan itu menunjukkan suatu nuansa kehidupan yang sangat resiproks, karena adanya ikatan dan kaitan antara manusia dengan alamnya. Interaksi di antara keduanya membentuk suatu untaian ketergantungan secara alamiah yang serasi, sehingga alam menjadi karibnya yang selalu menemani kehidupan sehari-hari. Keterikatan dan keterkaitan antara manusia dengan alamnya telah digambarkan dalam ungkapan titinggal karuhun Sunda, yang tertanam sejak lama. Hal itu terbukti dengan ucapan karuhun yang tertera dalam sebuah Lontar Ciburuy ‘naskah kuno’ yang berbunyi /... sarwo tumuwuh wong sarwo sato karuhun ikang janma siwong .../ ‘...bahwa karuhun atau nenek moyang manusia itu adalah hewan dan tumbuhan ...’ (Nandang Rusnandar, dalam Laporan Penelitian, BKSNT, Edisi 10 / April 1996 : 253). Keterangan tersebut lahir jauh sebelum Darwin yang memberikan teori evolusinya yang sangat termashur itu.Masyarakat Sunda, dalam kesehariannya tak pernah melepaskan diri dari alam lingkungannya. Mereka selalu menyelaraskan diri dan mengakrabinya demi keseimbangan yang diharapkan. Hubungan erat antara manusia dengan alamnya merupakan sikap wajar yang dicerminkan dalam perilaku kesehariannya.
Mengapa hal itu terjadi ? Disebabkan karena adanya keterkaitan dan keterikatan antara manusia dengan alamnya, sehingga tercipta keselarasan, keterpaduan, dan keharmonisan di antara keduanya.Kesadaran akan keselarasan, keterpaduan, dan keharmonisan dengan lingkungannya adalah sikap hormat yang mereka terapkan berdasarkan amanat dari karuhunnya. Di samping amanat karuhun yang tertera di atas, amanat lain tercantum pula dalam sebuah kitab kuno Siksa Kanda Ng Karsian, yang berbunyi /... ini byaktana, ngaranya, ya panca byapara, sanghyang pretiwi, apah teja, bayu mwang akasa, eta kabeh drebya urang../ ‘... ini kenyataannya, yang bernama lima byapara ‘selubung’ ialah tanah, air, api, cahaya, dan angkasa. Semua milik kita’. Di dalam naskah tersebut dikatakan pula, manusia Sunda sangat mempercayai bahwa kelima selubung atau tempat-tempat tersebut ada yang mendiaminya secara magis; yaitu tanah didiami oleh Sang Mangukuhan, air didiami oleh Sang Katungmaralah, Cahaya didiami oleh Karungkalah, angin didiami oleh Sangdanggreba, dan angkasa didiami oleh Sang Wretikendayun. Pandangan seperti ini menandakan bahwa setiap unsur mempunyai nyawa yang menempati dan harus dihormati.
Dari sikap hidup seperti inilah maka pada akhirnya melahirkan konsep hidup yang diambil dari alamnya dan merupakan gambaran bahwa manusia Sunda mampu mengadaptasikan dirinya menjadi bagian dari alam sekitarnya (makrokosmos dan mikrokosmos). Makrokosmos merupakan lambang dari mikrokosmos atau sebaliknya. Dan keduanya saling melambangkan sehingga konsep kehidupannya pun banyak terlahir dan tercipta dari gerak alam, di mana gambaran alam nyata dipadukan dengan sifat dan gerak manusia itu sendiri. Hal tersebut merupakan konsep manusia Sunda untuk dapat hidup terus ‘Survive’. Alam sering dijadikan lambang bagi kehidupan manusia, baik secara etik maupun estetik. Alam dijadikan tempat pengandaian atau perumpamaan bagi tabiat dan perilaku manusia melalui ungkapan-ungkapan dalam bentuk bahasa perbandingan, kiasan, atau metafora. Hampir semua kata bersifat simbolik yang mengungkapkan berbagai macam benda yang ada di lingkungan sekitarnya. Hal itu dapat dilihat bagaimana gambaran yang mengungkapkan adanya hubungan antara manusia dengan unsur alam tadi, seperti air, tanah, pohon, hutan, gunung, dan berbagai nama tempat (toponimi; medan yang mempunyai sejarah) menunjukkan tempat orang Sunda tinggal (Suwarsih , 1987 :245). Untuk memenuhi kebutuhan hajat hidupnya, manusia selalu akan bersandar dari alam sekitar. Alam adalah suatu kekayaan yang tak ternilai harganya. Flora dan fauna adalah karib setia yang selalu menemani manusia pedesaan dalam kesehariannya. Unsur-unsur alam adalah bagian dari kehidupan dan manusia tidak dapat hidup tanpa hadirnya unsur-unsur tersebut. Unsur-unsur alam itu, mempunyai sifat-sifat spesifik yang dapat memberikan manfaat yang berbeda-beda bagi manusia khususnya dan alam sekitar pada umumnya. Setiap jenis dari flora yang tumbuh di sekitar lingkungan manusia akan memberi manfaat dan fungsi yang berbeda-beda. Salah satu contohnya adalah sifat khusus dari sebuah jenis pohon ‘awi’ bambu yang dapat memberikan manfaat bagi manusia sebagai bahan baku untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dan berfungsi sebagai pengendali ekosistem. Di samping itu dengan makin majunya pola pikir dan budaya manusia, bambu ini pun dapat pula dijadikan salah satu objek pariwisata (agro wisata). Bambu, yang tumbuh secara berumpun memiliki daya tarik wisata, di samping memiliki fungsi dalam mengendalikan dan membersihkan pencemaran udara dan air. Secara geologis lingkungan, dapuran awi ‘rumpun bambu’ merupakan tumbuhan yang amat berguna dalam mencegah erosi, mencegah gerakan tanah, pembersih / penyaring air tanah, peredam silau dan panas matahari, penghambat kecepatan angin, peredam suara, dan sebagainya.
‘Awi’ bambu, sebagai tumbuhan memiliki nilai fisik yang sangat berguna bagi kehidupan manusia, di samping itu, bambu bagi masyarakat Sunda memiliki nilai filosofis yang dalam, memiliki nilai magis, dan memiliki daya pikat dan ikat sehingga banyak dijadikan perlambang atau simbol-simbol kehidupan. Bahwa ‘awi’ bambu memiliki manfaat yang besar bagi manusia, bukanlah hal baru. Beberapa bukti sejarah (seperti situs rumah bambu, tribal art, dan lain-lain) membuktikan betapa akrabnya bambu dalam kehidupan manusia. Bambu telah mendorong manusia pemakainya memasuki perkembangan budaya. Sebagai bahan bangunan ‘awi’ bambu merupakan matrial yang dibutuhkan, untuk alat-alat rumah tangga, alat pertanian, sarana perhubungan, dan lain-lainya, bahkan ‘awi’ bambu dijadikan senjata. Sebagai bahan bangunan, ‘awi’ bambu bisa memenuhi seluruh kebutuhan bahan bangunan mulai dari lantai sampai atap. Konstruksi ‘awi’ bambu merupakan konstruksi yang sangat kuat, lentur, dan tahan gempa. Sehingga konstruksi ini akan sangat bermanfaat untuk daerah rawan gempa.‘Awi’ bambu sebagai bahan bangunan ternyata mampu bertahan sampai ratusan tahun, ini dibuktikan dengan masih tetap utuhnya situs rumah dari ‘awi’ bambu di Lebakwangi di Kabupaten Bandung. Di samping itu, juga rumah orang Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya, di kampung-kampung adat lainnya, atau di rumah-rumah penduduk di pelosok daerah Jawa Barat yang belum mengenal bahan material tembok. Rumah mereka banyak yang sudah berumur puluhan tahun dan dalam keadaan masih laik huni. ‘Awi’ bambu juga merupakan bahan utama untuk alat-alat rumah tangga, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Beberapa alat rumah tangga yang terbuat dari bahan ‘awi’ bambu, seperti aseupan ‘kukusan’, boboko ‘bakul’, hihid ‘kipas’, cutik, ayakan ‘saringan’ dan lain-lainnya. Bahkan dijadikan alat masak nasi leumeung.
Dengan banyaknya manfaat dan fungsi dalam kehidupan manusia Sunda, sehingga ‘awi’ bambu tidak saja mempunyai nilai fisik. ‘Awi’ bambu dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat Sunda dapat berfungsi dan bermakna filosofis yang dijadikan pedoman hidupnya. Kesadaran akan manfaat ‘awi’ bambu dalam kehidupan masyarakat Sunda, sebetulnya sudah tumbuh sejak dahulu, namun referensi mengenai ‘awi’ bambu itu sendiri masih kurang dan sangat sedikit. Sesuai dengan permasalahan yang telah diuraikan dan atas dasar anggapan di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan memahami bagaimana dinamika ‘awi’ bambu yang dipergunakan oleh masyarakat Sunda, baik dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dilihat dalam nilai fisik dan dinamika bambu sebagai falsafah hidup.
Penelitian mengenai Bambu dalam Keseharian Masyarakat Sunda, mencakup dua aspek, yaitu bambu dilihat sebagai material atau nilai fisik yang dipergunakan sehari-hari dan bambu yang dipergunakan sebagai filosofis nilai-nilai kehidupan manusia. Penekanan dalam penelitian lebih dititkiberatkan pada filosofi bambu nilai-nilai kehidupan manusia, baik nilai filosofis yang menunjukkan pada gambaran hubungan hidup manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan masyarakat.
a. Nilai.
Pola tindak suatu masyarakat telah diatur dalam tatanan yang bersifat abstraks yang ada dalam alam pikiran manusianya itu sendiri. Tatanan tersebut tercermin dalam nilai-nilai yang secara umum dapat kita sebut tata nilai budaya. Nilai budaya yang terkonsep dalam suatu konsepsi abstraksi, pada kenyataannya konsep nilai ini berfungsi sebagai pedoman hidup tertinggi bagi kelakuan manusia. Nilai-nilai budaya itu diwujudkan dalam bentuk adat istiadat, tata krama, sopan santun, aturan-aturan, norma-norma, hukum adat, dan falsafah hidupnya (pandangan hidupnya).
Berbicara masalah nilai, tidak lepas dari ukuran seberapa jauh kesesuaian di alam kenyataan dengan konsepsinya. Sehingga nilai itu sendiri berfungsi sebagai alat untuk mengukur makna yang terkandung di dalamnya. Dan makna ditentukan oleh bentuk kehidupan yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh faktor-faktor sosial, ekonomi, falsafah (pandangan hidupnya), psikologi, kebudayaan, dan sejarah, sehingga pilihan makna bagi seseorang atau entitas, terwujud pada sikap mentalnya. Sikap mental ini pun dibentuk oleh unsur-unsur pengetahuan, pola pikir, kepercayaan, prasangka, harapan, dan perasaan seseorang atau entitas itu sendiri. Kesimpulannya, bahwa seseorang atau suatu entitas-lah yang menentukan pilihan makna, sehingga ke mana arah tujuan dan nuansanya adalah gambaran dari hasil akumulasi pilihan-pilihan tersebut. Aksioma suatu nilai, terbentuk dalam empat ciri, di antaranya, Pertama, ciri yang menunjukkan adanya logika. Karena hubungan antara suatu konsepsi, yaitu definisinya dan petanda-petandanya merupakan jalinan fundamental yang berdasarkan logika. Kedua, ciri yang memaparkan kenyataan bahwa aksiologi formal bersejajar dan setara dengan matematika. Yaitu dengan pengertian adanya pengakuan bahwa predikat nilai diterapkan terhadap konsepsi-konsepsi dan bukan terhadap objek-objeknya. Misalnya dalam hal ini, awi dalam babasan Kudu kawas awi jeung gawirna ‘harus seperti bambu dengan tebingnya’ yang berarti adanya suatu kebersamaan. Ketiga, ciri yang menggunakan hakikat formal, terdiri atas variabel-variabel yang bukan nilai-nilai spesifik melainkan suatu rumus yang menentukan spesifikasi dari segala nilai yang mungkin. Misalnya baik merupakan suatu istilah formal murni yang dapat diterapkan terhadap apa saja. Dan keempat ciri metode yang eksak, artinya aksiologi diuraikan mempergunakan metode yang eksak. Dengan demikian, sesuatu memiliki nilai apabila sesuatu memenuhi definisinya atau pengukuran nilai adalah pengukuran ciri-ciri konseptual.
Pada prakteknya dalam kehidupan sehari-hari, nilai-nilai tumbuh mulai dari sistemik menjadi ekstrinsik dan kemudian menjadi instrinsik. sebagai contoh awi , mempunyai nilai sistemik dalam struktur flora sebagai bahan baku yang paling baik, mempunyai nilai ekstrinsik dalam perekonomian, dan mempunyai nilai intrinsik sebagai bahan penelitian para ahli.
b. Budaya
Diungkapkan bahwa fungsi dari unsur-unsur kebudayaan dan institusi sosial adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Adapun fungsi dari unsur-unsur kebutuhan menurut salah seorang ahli : bahwa aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kebudayaannya, seperti kesenian dan ilmu pengetahuan timbul karena kebutuhan naluri untuk tahu (Malinowski dalam Koentjaraningrat, 1982 : 171). Sesuai dengan pernyataan bahwa manusia Sunda selalu mengakrabi alamnya, maka sejalan dengan hal tersebut manusia dituntut untuk melestarikan alam lingkungannya. Kewajiban manusia untuk ikut berperan serta dalam melestarikan lingkungan hidup dituangkan dalam Undang-undang Lingkungan Hidup, mulai dari perencanaan, pengelolaan, maupun tahap-tahap pelaksanaan dan penilaian. Dengan ikut berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup ini, muncullah motivasi kuat untuk bersama-sama mengatasi masalah lingkungan hidup dan mengusahakan keberhasilannya pengelolaan lingkungan hidup (Koesnadi Hardjaksoemantri, 1990 :15) Kondisi lingkungan memberikan pengaruh terhadap kebudayaan, jadi keberadaan flora yang ada di sekitar lingkungan hidupnya, seperti halnya dengan pohon bambu dapat berpotensi untuk menghasilkan kreasi bagi manusia pendukungnya. Jadi di sini bambu dapat memunculkan budaya spesifik yaitu budaya bambu. Tetapi kondisi lingkungan bukan satu-satunya yang mempengaruhi, yang tak kalah pentingnya adalah faktor manusia, kerena dia mempunyai akal pikiran dan perasaan. Kenyataan ini ditunjang oleh beberapa ahli seperti : Morgan (1984), Netting (1977), Darling (1976), Vayda & Rappaport (1968), Moegelef (1968), yang menyatakan bahwa “keadaan lingkungan alam menentukan corak kebudayaan’. Oleh karena itu gejala kebudayaan hanya dapat dijelaskan dan dianalisis berdasarkan pengaruh lingkungan (Adimihardja, 1989 :6). Dengan demikian keadaan lingkungan yang banyak ditanami pohon bambu menentukan corak kebudayaannya. Dengan lahirnya konsep di atas, Emil Salim (Mentri Lingkungan Hidup) melihat bahwa orang Sunda lebih akrab dengan pohon bambu, sehingga melahirkan konsep budaya bambu. Mengatakan bahwa apabila ingin menghancurkan orang Sunda, maka terlebih dahulu harus membinasakan pohon bambunya (Dalam Mangle). Pandangan mengenai corak kebudayaan yang ditimbulkan oleh kondisi lingkungan ini mungkin dapat bersifat diterministik, oleh karena itu perlu dilengkapi dengan pengaruh manusia, karena kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa karsa, dan karya manusia. Pembentukkan faset budaya bambu merupakan kebutuhan naluri manusia dipengaruhi oleh apresiasi manusianya sendiri terhadap bambu. Semakin rendah apresiasi masyarakat terhadap bambu, semakin rendah pula penghargaan terhadap alam lingkungannya.
Bambu sebagai tumbuhan bukan saja memiliki nilai fisik, melainkan juga nilai philosofis, bahkan bambu memiliki pula kekuatan magis, daya pikat dan daya ikat sehingga bambu banyak dijadikan sebagai perlambang atau simbol. Hal itu dapat dibuktikan dalam kehidupan masyarakat Sunda di daerah-daerah pedesaan yang belum terkontaminasi oleh arus era kesejagatan. Dalam hal ini, bambu bukan saja dikenal oleh masyarakat Sunda, melainkan bangsa-bangsa timur yang terkenal memiliki sifat ketimurannya. Bambu dalam kehidupan manusia, memberikan sangat banyak kemungkinan; bisa memberikan kepuasan hati (estetika), arti (symbol dan etika), dan nilai hidup (value). Maka jadilah bambu sebagai salah satu upaya peningkatan sumber daya manusia, sehingga menghasilkan nilai ekonomis yang tinggi dan dicoba agar mampu meningkatkan kesejahteraan hajat hidup manusia. Konsep nilai hidup banyak terlahir dari alam dan dijadikan falsafah bahkan dijadikan ungkapan sehari-hari dalam hidupnya. Pengambilan konsep ini, disesuaikan untuk kepentingan alam itu sendiri, untuk manusia secara pribadi, dan hubungan manusia dengan manusia sebagai makhluk sosial.
Tata nilai (falsafah hidup) yang terkandung dalam budaya Sunda, banyak jumlah dan ragamnya. Khususnya falsafah yang diambil dari gambaran makna yang tersirat dari bambu, banyak diungkapkan oleh masyarakat Sunda dalam bentuk peribahasa, babasan, sisindiran, atau bahkan dalam bentuk kawih. Di dalamnya makna dan nilai-nilai yang dijadikan falsafah hidup bagi pendukungnya. Gambaran itu merupakan hubungan untuk memahami secara timbal balik antara manusia dengan alamnya. Manusia sangat menyadari bahwa alam sekitarnya adalah seuatu yang mampu dimanfaatkan, sehingga diperlukan daya kreativitas dan daya adaptif dengan alamnya. Bambu sebagai salah satu kekayaan alam yang ada di Tatar Sunda, terbukti telah memberikan aspirasi dalam mengapresiasi alamnya, sehingga bambu dapat pula dijadikan alat-alat bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya, penciptaan alat-alat tersebut mempunyai bentuk, sifat, kegunaan, fungsi, dan karakter tertentu yang berbeda-beda.
Dari alam yang diciptakan oleh manusia sesuai dengan kebutuhan dan fungsinya yang berbeda-beda karakter itu pula manusia Sunda mengapresiasi ciptaannya menjadi sesuatu yang bernilai. Nilai-nilai tersebut kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk kehidupan yang nyata dengan media bahasa sebagai sarananya. Nilai-nilai falsafah hidup yang diungkapkan dalam bentuk bahasa sebagai medianya, ada yang berbentuk peribahasa, babasan, dan syair kawih. Isi pengungkapan di dalamnya mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman hidup manusia Sunda, di mana pengungkapannya disesuaikan dengan karakter, sifat, dan fungsi benda yang diapresiasikan tadi. Tata cara pentransformasiannya ke dalam ungkapan ada beberapa cara, yakni, bentuk personifikasi, bentuk perbandingan, dan bentuk perumpamaan (Nandang Rusnandar, 1993 :5). Dari ketiga cara pentransformasian itu dapat menggambarkan bahwa manusia Sunda mampu mengadaptasi alam sekitarnya dengan kehidupan kesehariannya yang diterapkan pada norma, pandangan hidup dan perilaku manusia itu sendiri. Di sinilah salah satu bukti bahwa manusia Sunda dalam menghadapi alamnya menjadi sesuatu yang perlu diakrabi dan diselaraskan agar keseimbangan terjadi dari kedua belah pihak. Pepatah laukna beunang caina herang ‘mendapatkan ikan tanpa mengeruhi airnya’ bukan saja diterapkan kepada tingkah laku manusia dalam mencari kepuasan materi, dapat pula mengakali alamnya sehingga hubungan antara dirinya dengan alam tidak terjadi ketimpangan dan ada yang dirugikan.
Kreativitas manusia Sunda dalam mengakali alamnya demi memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka menciptakan berbagai alat dengan bentuk dan karakter yang berbeda-beda sesuai dengan fungsinya. Seperti jeujeur, ayakan, boboko, lodong, bilik, bubu, rancatan, nyiru, buleng, tamiang, galah, angklung, aseupan, taraje, dan sebaginya. Alat-alat yang diciptakannya itu, mempunyai fungsi, karakter, dan bentuk yang berbeda-beda. Sehingga dari karakter, fungsi, dan bentuk yang berbeda-beda itu pula, manusia Sunda dengan daya kreativitasnya mentransformasikan ciri-ciri tersebut menjadi nilai-nilai, norma, dan falsafah hidup baik dalam hubungan antar individu, individu dengan masyarakat, atau hubungan manusia dengan alamnya dan hubungan manusia dengan Tuhannya.Adanya hubungan antara manusia dengan alamnya itu, Otto Sumarwoto (1988 :18) mengatakan bahwa manusia terbentuk oleh interaksi antara genotif dengan lingkungan hidupnya. Karena ada mutasi gen dalam kromosom, genotif terus mengalami perubahan. Individu dalam proses seleksi bila tidak sesuai dengan lingkungannya akan terdesak, meninggal, atau kesempatan untuk memproduksinya terbatas. Sebaliknya individu yang sesuai untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya akan tahan hidup dan berkembang. Sedangkan adanya penyelarasan dan daya kreativitas manusia terhadap alamnya, Franz Boas dalam bukunya The Mind of Primitive Man (1910), mengungkapkan bahwa lingkungan menyediakan materi yang oleh manusia dibentuk dan dikembangkan sebagai alat untuk kehidupan sehari-hari.
Profil Kota Sentra Kerajinan
Rajapolah
Rajapolah merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Tasikmalaya yang menjadi sentra kerajinan tradisional. Rajapolah ini pula yang menjadi etelase Kota Tasikmalaya sebagai kota pengrajin kerajinan tradisional yang telah go internasional. Rajapolah adalah kota persimpangan antara Kecamatan Ciawi dengan Tasikmalaya, terletak di tengah-tengah kedua kota tersebut. Kota Rajapolah kini semakin bersinar dengan hasil-hasil kerajinan yang diperdagangkan. Deretan toko yang memanjang sepanjang jalan protokol kota Rajapolah ini pula yang menjadikan para turis baik domestik maupun mancanegara tertarik akan tampilan dari barang-barang antik yang terbuat dari bahan-bahan yang sederhana dan bernilai jual tinggi. Kebutuhan akan kerajinan Rajapolah terus meningkat sepanjang waktu sehingga pasokan barang terus berlangsung ke seluruh daerah. Pesanan datang bukan saja untuk memenuhi keperluan lokal, tapi juga untuk memenuhi keperluan internasional. Sehingga para produsen / pengrajin kewalahan memenuhi pesanan ini karena berbagai alasan.
Berbagai jenis kerajinan yang diperdagangkan itu dipasok dari berbagai daerah dari seluruh Kecamatan yang ada di Kabupaten Tasikmalaya, seperti bordir dari Kecamatan Kawalu, pakaian jadi dari Kecamatan Cikalang dan Kecamatan Tawang Desa Kahuripan, Kelom Geulis dari Kecamatan Cibeureum, Payung dari Kecamatan Cibeureum dan Kecamatan Indihiang, dan kerajinan bambu datang dari berbagai kecamatan, antara lain Kecamatann Leuwisari, Cigalontang, Cikatomas, Salawu dan Cisayong. Belum lagi kerajinan tikar mendong datang dari Kecamatan Cibeureum, Kecamatan Cineam, Kecamatan Karangnunggal, dan Kecamatan Manonjaya, sedangkan kerajinan pandan, ijuk, mebel, sampai kerajinan batu onyx datang dari Cosayong. Pengolahan batu onyx ini baru dikenal beberapa tahun terakhir ini.
Rajapolah sebagai sentra kerajinan dan pemasaran, menjadi kota yang paling efektif dalam bidang promosi dan bisa terjadi transaksi yang langsung dan tidak langsung. Penyebab lainnya karena Rajapolah terletak sangat strategis antara Ciawi dengan Tasikmalaya, hingga toko-toko souvernir yang berada sepanjang jalan protokol yang melewati kedua kota tersebut, bisa dilalui oleh warga yang akan bepergian dari Jawa Barat ke arah Jawa Tengah, dan menjadi jalur utama menuju daerah pariwisata Pangandaran atau Cipatujah.
Sukamaju di Kecamatan Indihiang
Selain Rajapolah, Indihiang juga merupakan salah satu kecamatan yang banyak menghasilkan sentra-sentra kerajinan tradisional. Berbagai desa yang ada di kecamatan ini, seperti Desa Sukamaju Kaler yang terletak kira-kira 3-4 kilometer setelah ibukota kecamatan dan kira-kira 7 - 8 kilometer sebelah baratdaya kota Tasikmalaya.
Desa Sukamaju adalah suatu pedesaan yang menrcerminkan daerah agraris, hal itu dapat dilihat dari letak dan keadaan daerahnya, sehingga hamparan pesawahan merupakan ciri utama di samping tanah yang berdataran tinggi sebagai variasi topografis kontur daerahnya. Dengan ciri demikian, maka hawa segar pegunungan, sungai yang mengalir sepanjang waktu hingga pesawahan di daerah itu tetap dapat digarap dalam setahun penuh. Dalam perbandingan antara tanah yang dipergunakan sebagai tanah hunian yang diperuntukan perkampungan, 25% dari luas keseluruhan dipergunakan untuk perkampungan dan 5% peruntukan tanahnya dipergunakan sebagai usaha pertanian ikan tawar. Dengan kenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebagian penduduknya adalah petani yang mengusahakan pertanian sawah dan pertanian ikan tawar.
Desa Awipari di Kecamatan Cibeureum
Sentra kerajinan lainnya terdapat di daerah Awipari di Kecamatan Cibeureum. Desa ini terletak 3 atau 4 KM dari ibukota kecamatan dan kurang lebih 6 sampai 7 kilometer sebelah timur kota Tasikmalaya. Seperti pada umumnya sebuah pedesaan suasana Desa Awipari pun tak lepas dari warna pedesaan yang menggambarkan sebagian penduduknya beraktivitas sebagai petani. Hal itu dapat dilihat dari data bahwa sebagian luas tanahnya yang hampir 59% dipergunakan sebagai lahan pesawahan.
Kampung Naga
Kampung Naga merupakan sebuah perkampungan yang cukup eksklusif dibanding dengan kampung-kampung lainnya yang ada di Kecamatan Salawu. Kampung Naga ini merupakan salah satu daerah sentra kerajinan yang menghasilkan beberapa kerajinan baik anyaman dari bambu maupun kerajinan yang lainnya. Kampung Naga terletak di sebelah Barat Ibukota Kabupaten Tasikmalaya, jaraknya kurang lebih 15 KM menuju ke arah Ibukota Garut. Sebagaian penduduknya masih memegang teguh adat istiadat Karuhun yang telah diturunkan atau diwariskan secara turun menururn dari generasi ke generasinya. Keutuhan akan adat istiadat itu tercermin dari berbagai tingkah laku yang sangat sederhana dan sangat tukuh akan fatwa kuncen sebagai sesepuh kampung itu.
Keadaan alam Kampung Naga berpenampilan sangat bersahaja, mereka mendiami lahan kurang lebih 1,5 Ha dengan batas wilatahnya ditandai dengan sebuah pagar bambu yang dianggap sangat sakral untuk diganggu. Di tengah perkampungan Kampung Naga terdapat beberapa bangunan yang dianggap suci, di antaranya Bale Patemon sebagai tempat pertemuan dan menerima berbagai tamu yang datang berkunjung ke tempat itu; Bumi Ageung, sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka leluhurnya, dan sebuah mesjid yang dipergunakan sebagai tempat untuk salat Jumat secara berjamaah atau sebagai salah satu tempat dalam sebuah upacara sakral secara tradisional.
Untuk mencapai ke Kampung Naga tidak terlalu susah, karena Kampung Naga terletak di pinggir jalan Propinsi yang menghubungkan Ibukota Kabupaten Tasikmalaya dengan Ibukota Kabupaten Garut. Sarana hubungan dapat dicapai dengan mempergunakan kendaraan roda dua hingga roda empat atau bus. Kampung Naga, terletak di sebuah lembah yang mempunyai kontur tanah berbukit. Adalah suatu ciri khas Kampung Naga dengan tangga yang terbuat dari semen sebanyak kurang lebih 335 anak tangga yang cukup terjal dengan kemiringan 45 derajat.
‘AWI’ BAMBU DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Alam Indonesia (Jawa Barat khususnya) yang subur makmur ditumbuhi oleh berbagai jenis flora (--bambu khususnya--) memberikan inspirasi bagi seorang pemerhati akan tumbuhan yang satu ini Sehingga bagaimana eksistensi bambu yang begitu erat dan lekat dalam segala kegiatan manusia di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, digambarkan dengan jelas tentang fungsi tanaman ini. Bambu dinyatakan oleh Bapak Daeng Sutigna (Bapak Bambu Indonesia) sebagai berikut :
Indonesia is a country where bamboo is found growing everywhere. Bamboo is insparable from our daily life. We build our houses from bamboo, even the floors, walls, furniture, and kitchenuntensils are often made of bamboo. We are often sleep on beds made of this material. Bamboo is also eaten, young bamboo shoots called rebung are esential ingredients of many delicius dishes. And when Indonesians die, the mortal remains are often carried forth in bamboobiers and they are buried in bamboo-graves. And the Indonesian people are also capable in making music instruments from bamboo.
Bambu yang tumbuh subur di mana saja dapat dijadikan bahan baku untuk membuat rumah, mulai dari lantai, dinding, hingga peralatan dapur dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Begitu pula bambu dapat dijadikan bahan makanan, dengan rebungnya yang berkhasiat sebagai obat, dan ketika manusia itu mati, maka tetengger dan padungnya dari bambu. Dan dengan bambu pula manusia Indonesia dapat menciptakan musik.
Karuhun Sunda merupakan satu rumpun bangsa yang tidak dapat menjauhkan diri dari alam lingkungannya, khususnya dari tumbuh-tumbuhan. Untuk memberikan penghormatan kepada manusia yang berilmu atau kepada orang tua, Karuhun Sunda, tidak pernah menyebut dengan bapak atau nama tapi dengan sebutan Kai. Contoh Kai Buyut Aspu, Kai Mujur dan sebagainya. Hal ini berbeda dengan panggilan Ki atau Kiayi dalam bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa Ki atau Kiayi itu mempunyai arti manusia itu sebagai ahli. Contoh Ki Hadjardewantara; begitu pula untuk menyebut barang-barang pusaka seperti keris, gamelan, kereta. Pengertian Kyai atau Ki dalam bahasa Jawa sering dikonotasikan sebagai orang ahli agama. Dalam bahasa Sunda sebutan Kai untuk orang yang berpengertian falsafah yang cukup dalam. Apa itu Kai ? Kai merupakan tumbuhan yang mempunyai multi guna, bisa dipakai untuk berteduh atau mengayomi. Bahkan dalam hakekat kehidupan manusia, kita dapat melihat simbol gunungan dalam pagelaran wayang golek. Setiap ganti episode sang dalang mengeluarkan gunungan sebagai simbolnya. Simbol kehidupan itu adalah kai, sebab dengan kai atau pohon, manusia akan merasa tenang. Pohon dapat menimbulkan keteduhan, memberikan manfaat bagi air tanah. Di samping itu, untuk manusia yang telah banyak pengalaman 'legok tapak genteng kadek' diibaratkan sebuah pohon kayu yang telah memberikan air kehidupan kepada seluruh manusia.. Mengapa awi ? Dan apa hubungannya dengan Awi ‘bambu’ ? Awi , salah satu pengertiannya adalah Ajining Wiwitan Ingsun medal 'ilmu diri yang lahir ke dunia', atau Ajining Wiwitan Ingsun dahar 'ilmu kehidupan'. Jadi kesimpulannya dalam kehidupan adanya hakekat dan sareat. Hakekat dilambangkan dengan awi. Pertama, Dapat dilihat bahwa awi merupakan parungpung 'lubang yang kosong tengahnya' yang melambangkan manusia lahir dengan kekosongan. Maka dengan sareat bambu yang tidak diolah dan direkayasa dengan baik, tidak akan melahirkan bentuk-bentuk estetika. Dan kedua, galeuh awi ‘inti bambu’ merupakan bagian dari bambu yang dilambangkan dengan ilmu.
Terlepas dari semua yang diungkapkan di atas, pembuktian bahwa manusia Sunda selalu lekat dengan kehidupan alam, dapat kita simak sebuah pengalaman hidup yang cukup sederhana, di mana manusia dalam kesehariannya tidak lepas dari bambu. Sebuah pengalaman kecil dari serpihan kehidupan di pedesaan. (Cuplikan Makalah Mang Ujo Ngalagena, 1993)
Semasa masih kecil, 4 meter dari halaman rumah saya terdapat leuweung awi ‘hutan bambu’, yaitu kuburan di bawah dapuran awi ‘rumpun-rumpun bambu’. Di sekitar rumah terdapat kolam dengan pancuran awi ‘pancuran bambu’. Mandi di pancuran tersebut di atas bagbagan awi. Pinggir kolam diseseg dengan bambu, dan terdapat tempat menetaskan ikan-ikan dan lele dari akar-akar awi. Di tengah kolam ada tempat marab 'memberi pakan ikan dari bambu’. Ayah pun membuat sumur, kerembengnya 'pagar kurungan sumurnya' dari seseg ‘bilahan bambu’, ketika akan menimba air selalu menggunakan tali dan ember dari bambu yang diangkat dan diturunkan dengan alat pengungkit bambu yang disebut senggotan. Air sumur dialirkan melalui talang awi ‘bambu gombong besar’ yang dimiringkan pada ujungnya diberi lubang kecil sebagai pancuran 'kran' yang disumbat dengan bambu bulat kecil untuk mandi atau ngisikan 'mencuci beras' dengan boboko ‘bakul bambu’. Kemudian ada sumur siuk 'sumur yang dapat dijangkau dengan gayung bambu', sumurnya diseseg dengan bambu, dan bagbagannya juga dari bambu. Bila buang air kecil dan besar, maka pergi ke pancilingan bambu di atas kolam.
Habis mandi, pergi bermain perang-perangan memakai bebedilan dari bambu kecil dengan sistem dorlok (habis dijedor lalu dicolok), kemudian bermain gatrik dari bambu dan bermain teterelekan dari bambu pula. Bila musim kemarau dan angin besar, membuat kokoleceran dari bambu, tiangnya dari bambu pula, kemudian bermain layang-layang rangkanya dari bambu pula. Sepulang bermain, memasuki pekarangan rumah yang dipagari dengan pager awi ‘pagar bambu’, masuk rumah panggung bambu melalui golodog bambu, saya gegelehean 'tiduran' di atas lantai palupuh awi, kemudian masuk ke kamar yang berdinding bilik dari bambu dan tidur di atas tempat tidur dipannya dari bambu. Dan apabila saya ngangon 'menggembala' domba dituntun dengan tali dari bambu dan dicangcang 'diikat' pada sebuah patok bambu. Eh ... ternyata waktu ibuku pulang mandi dari pancuran, ia ngajingjing 'menenteng' lodong awi berisi air sambil ngelek boboko 'mengepit bakul' dari bambu berisi cucian beras dan piring. Waktu ibu ke dapur, di sana dijumpai ada parako awi dan perabotan dapur, antara lain, aseupan, hihid, boboko, wadah piring bambu, kirwi kongrana (akronim dari cangkir awi bekong ngarana) 'cangkir bambu bekong namanya', nyiru awi, ayakan ‘kalo’ awi, tolombong awi, dan lain-lain. Ketika ayam peliharaan mulai bertelur, sayang hayam 'sarang ayam' terbuat dari bambu diselipkan pada dinding / bilik rumah dari bambu di pinggir rumah, naiknya ke atas untuk mengambil telur pakai taraje / tangga dari bambu pula. Dan ... bila ada yang meninggal, diusung dengan pasaran awi 'keranda bambu' kemudian dikuburkan di bawah rumpun bambu, padungnya dari bambu dan tetenggernya 'nisannya' dari bambu pula. Dan masih 1001 macam lagi kenangan dan kegunanan bambu dalam kehidupan sehari-hari.
Bambu dalam kehidupan manusia memberikan sangat banyak kemungkinan, dapat memberikan kepuasan hati, arti, dan nilai hidup. Hal itu dapat dibuktikan dalam kenyataan dalam keseharian. Maka bambu merupakan salah satu upaya peningkatan sumberdaya alam, sehingga menghasilkan produk yang bernilai ekonomis tinggi dan sangat berkepentingan dalam peningkatan kesejahteraan hidup manusia.
Kegunaan Bambu
Bambu dapat dikatakan banyak manfaat dan fungsi bagi kehidupan manusia, hal itu nampak dalam hasil karya manusia (kebudayaan fisik), mulai dari alat-alat transportasi, kesenian, alat ritual, makanan, dan tempat berlindung.
Bambu sebagai alat musik. Di tanah Sunda, akan banyak ditemui berbagai jenis kesenian tradisional yang menggunakan alat-alat bambu, seperti : Kacapi suling (dalam Tembang Sunda Cianjuran). Nada suling ini dapat begitu menyayat hati, suara klasik yang mengalun dari tiupan seorang peniup suling memberikan nuansa nada yang serasi dengan kecapi maupun penyanyi (mamaos). Bahan baku Suling Sunda ini tidak mungkin dapat diganti dengan alat lain, melainkan hanya dengan bambu tamiang. Suling Sunda pun dapat bermacam-macam, ada yang berlubang 4 dan lebih pendek dari suling Cianjuran (berlubang 6). Keduanya dapat menghasilkan suara dengan dimensi nada yang sangat mendalam. Di Jawa Barat ditemukan suling yang berlubang satu buah yang disebut taleot, suling ini dipergunakan bukan untuk mengiringi lagu, melainkan sebagai alat sandi ’suling pemberi tanda, sebab suaranya dapat menirukan suara burung’.
Angklung, kita mengenal tokoh Mang Ujo Ngalagena dari Bandung dengan Saung Angklungnya yang telah go-internasional -- beliau dikenal bukan saja di Indonesia, melainkan hampir di seluruh dunia --. Ngetopnya Mang Ujo karena 'angklung’ bambunya.
Dahulu angklung biasa dipakai di mana-mana dikenal dengan nama Angklung Bandung, terdiri atas 9 buah instrumen ditambah dengan 2 buah dogdog dan satu tarompet. Lain lagi di Sumedang, yaitu 12 angklung ditambah 4 dogdog.
Calung, sebagai salah satu jenis kesenian tradisional Sunda, telah berkembang dan memasyarakat di kalangan anak muda, sehingga pada tahun 1970-an anak-anak mahasiswa dari Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran terkenal dengan calung kontemporernya (Calung Jingjing). Ada beberapa macam calung yang tersebar di beberapa daerah, yaitu :Calung Gambang (Calung renteng), Calung Gamelan, di Sumedang disebut Calung Salentrong, 3. Calung Jingjing, dalam calung Jingjing ini dibawa oleh 4 orang penabuh, di antaranya adalah a. Calung Melodi (10 nada), b. Calung Pangiring (6 nada), c. Calung Jenglong, dan d. Calung Besar 'Goong'. 4. Calung renteng ( di Banten)
Ada lagi yang disebut kohkol ‘kentongan’ yang umumnya sebagai alat komunikasi, namun di Kampung Rongga Desa Cihampelas Kabupaten Bandung, kohkol ini pun dapat menjadi alat musik yang dapat mengiringi lagu / nyanyian. Demikian pula dengan Kang Nano S yang telah menciptakan bentuk seni PRAKPILINGKUNG, akronim dari kekeprak ‘terbuat dari bambu’ kacapi, dan angklung. Kesenian ini muncul di TVRI dahulu, tapi kini tenggelam lagi.
Yang sekarang sudah kurang nampak di masyarakat tetapi memiliki arti tersendiri adalah karinding. Alat musik ini diberi gema suara dari mulut. Karinding, pada waktu dahulu dipergunakan oleh para remaja untuk menyatakan cinta kasih kepada gadis yang digandrunginya. Biasanya malam hari seorang jejaka meniup karinding di seberang jendela kamar si gadis sebagai rayuan, apabila rayuan tersebut diterima, maka si gadis akan membukakan sedikit daun jendelanya. Sedangkan apabila si gadis menolak atau dalam bahasa Sunda disebut ditolak sapajodogan ‘ditolak seketika itu juga’, maka daun jendelanya pun tetap rapat tidak terbuka. Alat musik lain yang sudah dan kurang memasyarakat adalah celempung. Celempung ini terbuat dari belahan bambu dan cara memainkannya dipukul halus dengan telapak tangan atau dengan alat lain seperti karet.
Bambu sebagai alat Ritual. Di tanah Sunda ada sebuah tradisi ritual yang berhubungan dengan bambu, yaitu tujuh bulanan, khitanan, dan Rengkong 'upacara pengambilan padi'. Bambu sebagai makanan, di tatar Sunda khususnya, bambu dimanfaatkan sebagai makanan. Inilah yang disebut rebung atau iwung. Kadar gizi yang dikandung dalam rebung bila dibandingkan hampir sama dengan gizi yang dikandung dalam bawang Bombay. Ada tatacara mengambil rebung untuk dijadikan bahan makanan. Orang biasanya memetik rebung ketika matahari sedang redup, agar terhindar dari sengatan matahari (biasanya bila rebung dipetik dan terkena sinar matahari, rasanya akan pahit). Lalu untuk menghilangkan rasa pahit, rebung terlebih dahulu direndam atau direbus, setelah itu dapat langsung dimasak 'disayur' lodeh.
Bambu sebagai bahan Kertas. Perhatian terhadap bambu sebagai bahan untuk pulp kertas ini sebenarnya sudah lama. India, Tiongkok, Jepang, dan Inggris sejak lama telah mengadakan penelitian mengenai jenis bambu yang paling baik untuk menghasilkan kertas. Bambu dapat dicampur dengan Ground wood atau pulp berasal dari kayu dan daun untuk membuat kertas berkualitas baik dan kuat. Indonesia sendiri sudah melakukan penelitian bahwa bambu duri dan apus sangat baik untuk bahan kertas.
Bambu sebagai tanaman hias. Daya tarik dari pohon bambu ini ialah bentuknya sendiri dengan tajuk yang rimbun dan warna buluhnya. Di Indonesia cukup banyak terdapat jenis bambu tanaman hias ini.
Bambu sebagai penahan erosi. Bambu dengan sistem perakarannya yang kuat dan lebat dapat menahan erosi dan longsor yang diakibatkan tanah gundul.
Bambu sebagai bahan seni. Disadari atau tidak, manusia tidak dapat melepaskan dirinya dari rasa estetika. Dengan bahan baku bambu, manusia-manusia bertangan terampil dapat mengekespresikan rasa seninya melalui media bambu tersebut. Lihat (salah satu contoh) masyarakat Kampung Naga dan masyarakat Rajapolah Kabupaten Tasikmalaya, mereka dapat membuat berbagai benda seni (cendramata) dari bambu, mulai dari peralatan dapur, hingga benda-benda kerajinan lainnya. seperti kursi, meja, kap lampu, vas bunga, dan lain-lain
Bambu sebagai bahan bangunan rumah. Seperti diungkapkan sebelumnya, bahwa ketika sebuah rumah tradisional Sunda hampir semua materialnya terbuat dari bambu, mulai dari golodog, sampai ke tempat tidur. (lihat beberapa contoh rumah tradisional di Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya, Kampung Dukuh Kabupaten garut, Kampung Pulo Kabupaten Garut, Kampung Kuta Kabupaten Ciamis, Kampung Baduy Kabupaten Pandeglang, Kampung Mahmud Kabupaten Bandung, dan sebagainya). Dan kini restoran-restoran di kota-kota besar mempergunakan material bambu sebagai daya tariknya dan ciri khasnya.
Sebagai alat pertanian bambu juga memegang peranan yang tidak kalah pentingnya, seperti tolombong, rancatan, tangkai garu, tampir, nyiru, busang / oblog, geribig, dan lain-lainnya. Kesemuanya itu merupakan alat pertanian yang sangat penting. Di dalam kemajuan teknologi pertanian sekarang, petani membuat tesser ‘perontok gabah’ juga dari bambu.
Kini setelah masuk teknologi mesin, ke dalam dunia pertanian kita, alat-alat pertanian dari bambu itu masih tetap dipergunakan dan dibutuhkan petani. Budaya plastik hanya sebagian saja (seperti karung plastik) yang masuk ke dalam kelompok alat pertanian yang dibutuhkan. Walau ada plastik lain yang digunakan seperti ember untuk membawa pupuk sewaktu memupuk padi, tetapi itu hanyalah tambahan saja karena sebenarnya ember itu lebih berperan di rumah.
Bagi petani peternak, bambu juga merupakan bahan baku yang sangat dibutuhkan, untuk membuat kandang (kandang domba, ayam, dan sebagainya) para peternak mempergunakan bahan baku bambu. Demikian pula untuk kebutuhan peralatan lainnya seperti tempat pakan dan minum ternak. Para peternak tingkat menengah dan besar pun masih mempergunakan karinjang ‘keranjang’ dan rancatan ‘pikulan’ dari bambu.
Untuk petani ikan, bambu paling utama digunakan sebagai saluran air talang atau kuluwung dan di pedesaan; tampian ‘MCK untuk madi, kala hajat’, dan lain-lain masih mempergunakan bahan baku bambu. Hal-hal lain yang berhubungan dengan pertanian perikanan adalah tempat karantina ikan, tempat menelurkan ikan, cireung keranjang ikan, karamba, buleng ‘tempat ikan dan membawa ikan’, oblok ‘tempat untuk membawa ikan’, gagang sirib ‘tangkai anco, dan masih banyak lagi.
Bambu Sebagai Alat Perang (Bambu Runcing). Hanya ada satu bangsa di dunia ini yang mempertahankan kemerdekaannya dengan senjata yang sederhana dan primitif dalam era bom atom. tetapi memberikan hasil yang paling optimal. Kita tahu bahwa senjata bambu runcing yang dijadikan senjata bangsa Indonesia saat itu bukan hasil penelitian dan dibuat bukan karena perintah pemimpin bangsa seperti Bung Karno dan lain-lainnya. Lewat getaran hati seluruh bangsa Indonesia, mereka menciptakan sebuah senjata ampuh yang mampu mengatasi senjata mutakhir musuh. Bambu runcing yang umumnya terbuat dari bambu hitam itu ternyata telah mampu membakar semangat juang dan patriotisme bangsa Indonesia. Mereka berjuang tanpa mengenal takut, hanya dengan satu tekad Merdeka atau Mati.
Sikap bangsa Indonesia yang militan dan penuh percaya diri, membedakan bangsa ini dengan bangsa-bangsa lainnya di dalam mempertahankan kemerdekaan dari penjajah yang ingin menguasai Republik Indonesia. Bahwa bangsa Indonesia dapat mempertahankan kemerdekaannya hanya dengan tongkat bambu benar-benar sesuatu yang paling mengagumkan, sebab perang kemerdekaan bangsa Indonesia terjadi pada era bom atom, pintu gerbang era teknologi yang canggih.
Bambu dalam Kehidupan Bathin Orang Sunda Pemberian nama daerah --toponimi-- di daerah Sunda (Jawa Barat), banyak yang berasal dari nama-nama jenis bambu, seperti Cicalengka, Cigombong, Ciater, Cihaur, Citamiang, Ciawi, dan lain sebagainya sesuai dengan rumpun bambunya yang tumbuh di sekitar lingkungan itu. pemberian nama ini disesuaikan dengan kondisi daerahnya, seperti di suatu daerah dimana banyak tumbuh rumpun bambu dan mengeluarkan air, maka daerah itu diberi nama Ci ‘air’ digabungkan dengan nama bambunya. Sedangkan bagi daerah yang banyak rumpun bambunya tetapi tidak memancarkan mata air, maka daerah itu diberi nama bambunya dan tidak diberi suku kata Ci-, seperti Gombong, Rangkasbitung, gegerbitung, haurpugur, haurpancuh, Kedungwuluh, dan lain-lain. Dalam bahasa Sunda baru, nama lengka mulai hilang dalam perbincangan sehari-hari, kini lebih dikenal dengan nama awi.
Bambu dalam kebiasaan orang Sunda. Dalam adat istiadat orang Sunda, apababila bayi dilahirkan, tali ari arinya dipotong dengan sembilu -- kulit lengka yang diambil dari lengka yang tua dan masih terbungkus pelepah batang -- Lengka yang diambil sembilunya merupakan batang yang masih hidup dan belum ditebang.
Setelah bayi mandi untuk pertama kali, dibedong ‘dibungkus dengan kain’ dan diletakkan di atas nyiru ‘niru’ yang dilapisi dengan daun pisang. Hal ini menunjukkan, kearifan nenek moyang orang Sunda dalam menyembunyikan lambang. Nyiru yang terbuat dari bambu gunanya untuk menampi beras atau gabah; membuang yang kotor atau hampa, memisahkan yang bernas dan baik. Harapannya agar anak itu nantinya mampu membuang yang jelek dan tidak berarti serta mengambil yang baiknya. Sedangkan daun pisang, merupakan alat pembungkus dan biasanya untuk membungkus nasi. Harapannya agar anak itu nantinya mampu membungkus sebagian dari rizkinya untuk persediaan hari esok atau dengan kata lain agar hemat dan tidak boros. Dalam peribahasa bahasa Sunda dikatakan bisa ngeureut neundeun.
Saat menginjak umur 5-6 tahun anak laki-laki harus disunat. Kebiasaan dahulu di pedesaan, anak yang akan disunat itu pada saat menjelang subuh direndam terlebih dahulu di kolam atau lubuk yang besar. Pada waktu upacara rendaman ini biasanya ditemani oleh teman-teman sebayanya untuk menghibur anak yang akan disunat. Ketika anak sunat pada menjelang subuh tersebut diarak ke tempat perendaman biasanya diterangi dengan oncor bambu dan dibawakan makanan (Sunda : Bancakan) di atas sebuah nyiru. Bancakan ini dibagikan kepada teman-temannya seusai upacara rendaman. Harapan dari upacara rendaman ini agar anak tersebut setelah dewasa mau membagi rizkinya kepada orang lain (Sunda : daek mere maweh). Upacara rendaman anak sunat ini adalah semacam upaya anestesi (Sunda : dibaalan) agar anak sunat tidak merasa sakit saat disunat. Setelah upacara rendaman selesai, anak disunat oleh paraji sunat atau dukun sunat. Hal ini biasanya dilaksanakan di halaman rumah, maksudnya agar setelah anak dewasa selalu ingat rumah, tidak anclong-anclongan ‘pergi meninggalkan rumah dan lupa’ meninggalkan rumah seenaknya. Sunatan dilaksanakan oleh seorang paraji sunat dianggap sebagai pengesahan terhadap anak untuk masuk Islam (menurut kepercayaan orang desa). Pisau yang dipergunakan untuk menyunat adalah pisau bambu (hinis lengka, seperti pisau yang dipergunakan untuk memotong tali ari-ari). Pisau sunat tersebut dikenal dengan sebutan bengkong yang kemudian istilah ini pun menjadi sebutan bagi paraji sunatnya.
Setelah dewasa anat tersebut akan menikah, salah satu upacara dalam pernikahan adat Sunda yakni nincak endog ‘menginjak telur’. Sebenarnya dalam upcara nincak endog ini bukan hanya semata-mata menginjak telur, melainkan disertai dengan menginjak barungbung awi ‘sepotong bambu kecil sepanjang kurang lebih 20 cm dan bambunya adalam awi tamiang.’ pelaksananan upacara ini termasuk salah satu rangkaian upacara pernikahan adat Sunda. Biasanya setelah selesai walimahan, pengantin dibawa ke depan pintu rumah. Mereka didudukan dan disawer. Isi sawer adalah nasihat mengenai kerumahtanggaan bagi kedua mempelai. Dan setelah upacara sawer inilah upacara nincak endog dilakukan. Para petugas upacara menyiapkan sebutir telur ayam dengan sepotong barungbung awi yang disimpan di dalam cowet tanah, harupat ‘lidi ijuk aren’ yang ditutup dengan kain putih dan diletakkan di atas tikar pandan / mendong yang masih baru, sebuah pelita biasanya dari minyak kelapa dan sebuah kendi berisi air. Pelaksanaan upacara nincak endog ini, dilakukan oleh pengantin pria berdiri menghadap ke pengantin wanita di ambang pintu menghadap ke luar. Dengan aba-aba dari petugas upacara, pengantin pria menginjak endog dan barungbung awi sampai pecah. Berlelehanlah putih telur dan kuning telur mengena pada kaki pengantin pria, kemudian pengantin wanita harus mencuci kaki pengantin pria dengan air yang ada dalam kendi. Setelah selesai, maka kendi tersebut dilemparkan ke tanah sampai pecah berantakan.
Ketika meninggal dunia, pasaran atau jampana ‘keranda’ untuk mengusung mayat ke kuburan juga terbuat dari bambu, padung-nya terbuat dari bambu, tetengger-nya terbuat dari bambu, dan kuburannya di dipagar dengan pagar bambu disebut dengan istilah Galogor.
Dari sepanjang hidup manusia yang serba bambu ini, orang Sunda melihat ada keterkaitan langsung antara manusia dengan bambu, dari lahir hingga meninggal. Secara tidak sadar orang desa melihat bahwa lengka atau awi yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan tumbuhan biasa dan hanya memiliki nilai rendah, ternyata apabila dilihat secara hakekat awi merupakan benda yang sangat bearti dan mempunyai nilai filosofis yang tinggi.
Beberapa Pandangan dan pendapat Mengenai Bambu
1. Kiayi Haji Hasan Mustafa (1847 -1927) (Sunda - Indonesia) Jawa Barat memiliki seorang filosof yang cukup disegani, bukan saja oleh orang Sunda, melainkan juga oleh para cerdik pandai Barat yang pada jamannya, yaitu orang Belanda. Beliau telah menulis puluhan ribu Pada ‘bait’ pusis tembang Sunda dan karya sastra prosa yang hingga saat ini belum ada yang sanggup menterjemahkannya secara utuh. Karya-karya tersebut baru sebagian diinventarisir oleh Ayip Rosidi. Haji Hasan Mustafa pada jamannya sudah menjadikan bambu sebagai perlambang ‘simbol’. Beliau memperlambangkan bambu bukan saja dilihat dari pemikiran sastra, melainkan dari sudut pandang agama. Pandangan dan pemikiran yang sangat universal, tidak terpengaruh oleh sastra dn pandangan orang luar. Beliau pun menulis tentang bahasa, pandangan hidup, wawasan, dan jiwa Sunda. Sebagian tulisannya dalam salah satu pada sajaknya dari Kinanti Gusti Yang Kawung : Urang dipasihan iwung, iwung ilmuning sang awi, iwung kersaning awina, iwung kawasaning awi, rungu paningal awina,iwung andikaning awi,
urang dipasihan iwung, ku awi nu maha suci, lahang dipasihan lahang,ku kawung nu maha suci, mayang dibere mayang,ku jambe nu maha suci (Dalam : Ayip Rosidi, 19 :18)
Kedua bait di atas menunjukkan kepada kita betapa kekuasaan Tuhan dengan segala ciptaan-Nya. Bambu diposisikan sebagai yang dijadikan. Hal ini membuktikan bahwa Haji Hasan Mustafa meyakini betapa pantas - karena nilainya - bambu dijadikan perlambang hubungan antara Yang Menjadikan dengan yang dijadikan. Sedngkan yang disebut nira, mayang, dan pinang dalam bait ketiga hanyalah sebagai perbandingan untuk memperkuat posisi bambu dalam kedudukannya sebagai simbol. Pada kesimpulannya Haji Hasan Mustafa menjadikan bambu sebagai simbol antara Yang Menjadikan dengan yang dijadikan, antara Khalik dan makhlu-Nya. Di sinilah kearifan manusia Sunda (Haji Hasan Mustafa) menarik suatu makna yang ada di dalam bambu nilai filosofis yang lebih tinggi untuk menjadikannya sebagai simbol.
2. Baumschule (Wolfgang) Eberts (Jerman) Lain lagi dengan Haji Hasan Mustafa, Wolfgang Eberts, tokoh bambu dunia. Beliau memandang bambu bukan saja dari titik pandang agama, melainkan dari hakekat pergaulan manusia. beliau memabndang bambu sebagai tumbuhan yang luar biasa di dalam kehidupan manusia, sehingga bambu tampil sebagai perlambang pergaulan dunia, perlambang hidup berdampingan yang saling menghormati sebagai sesama saudara. Dan beliau manifestsikan dalam baik puisinya :
no matter what country we are from, no matter what religion we belong to, no matter what colour skin has, no matter what political system we belong to,bamboo is our friends and, therefore we are all friend
Bait pusisi di atas, terasa sekali bagaimana mendalamnya jiwa persahabatan dan koeksistensi dunia dengan bambu sebagai simbol pemersatu. Dengan bambu - mestinya - hilang segala pendapat dalam pergaulan dunia. Dengan hendaknya semakin eratnya jalinan persatuan dan kesatuan ummat manusia sehingga tidak perlu pertentangan dan perang. Karena pada hakekatnya manusia itu benci perang dan kekerasan.
3. Yves Crouzet, Former President European Bamboo Sociaty (Perancis) Berpandangan lebih ekstrim dibanding yang lain, Yves berpendapat bahwa bambu penting dalam pergaulan dan perdamaian dunia. Yves mengatakan ‘... Bamboo is the green peace knight ...’ baginya bambu adalah pedang perdamaian dunia. Betapapun manusia berbicara tentang perdamaian dunia, senjatanya tiada lain adalah bambu.
Baginya bambu bukan lagi perbandingan, Yves secara tegas memperlambangkan bambu sebagai senjata yang langsung diarahkan kepada upaya pemeliharaan dan penciptaan perdamaian dunia. Ini adalah suatu pernyataan yang patut kita kaji secara mendalam apabila kita tidak lagi mau mendengar pertantangan manusia, pertentangan antarnegara, perang dan kekacauan. Kedalaman dari pernyataan ini harus dijadikan salah satu pandangan bangsa - bangsa di dunia. Bahwa perdamaian bukan harus dicapai dengan dentuman meriam, hujan peluru, dan penyiksaan. Perdamaian itu dapat diciptakan dengan pendalaman hakekat pergaulan dunia. bambu selalu hidup dalam suasana damai, penuh pengertian, teduh, dan romantis. Tidak dapatkah manusia hidup dalam situasi seperti rumpun bambu ? Pernyataan Yves harus jadi pernyataan para pencinta bambu, sebab pada hakekatnya mereka itu adalah pencinta perdamaian.
4. Shoji Shiba (Jepang) adalah seorang pencinta lingkungan dari Jepang, mengatakan ‘...bamboo is one of important factor to create natural enviroment...’ Bambu adalah salah satu faktor utama dalam menciptakan lingkungan yang alami. Pernyataan ini merupakan pernyataan perjuangan bangsa Jepang yang memiliki Teluk Minamata yang rusak oleh pencemaran yang berat. Sebagai seorang pencinta lingkungan, wajar sekali kalau mengangkat upaya penyelamatan lingkungannya ke permukaan. Dan pernyataan ini terbukti dengan telah dibangunnya hutan-hutan bambu di sekitar teluk Minamata. Pernyataan Shoji Shiba bukan tidak berdasar, ia yakin bahwa bambu memiliki daya menetralisir limbah berat di Teluk Minamata.
Jadi jelas bahwa bambu itu memiliki segalanya.
Orang Jepang mengangkat nilai dan martabat bambu dengan suatu keyakinan bahwa bambu memiliki segalanya, bukan hanya yang bersifat fisik semata, melainkan juga memiliki arti di luar itu.
Dengan dorongan bagi kita untuk lebih mencintai bambu dan mengangkatnya ke permukaan karena bambu memiliki seribu satu manfaat bagi manusia.
Yang Aneh-aneh tentang Bambu
Ada beberapa anekdot mengenai bambu yang dipergunakan sebagai alat kesenian, seperti contoh, beberapa penuturan Pak Daeng Sutigna dan Abah jaya mengenai pembuatan angklung.
1. "...... Juragan kanggo ngadamel angklung nu pangsaena mah, gantar pamoean kenging maling ...." (....Tuan, bambu yang paling bagus untuk membuat angklung adalah batang bambu jemuran hasil mencuri ....) Pada kenyataannya memang benar juga, bambu yang sudah dipergunakan untuk jemuran itu kering dan tegar, juga sudah jauh dari kemungkinan dimakan bubuk.
2. "Awi nu sae kanggo angklung mah, nya eta bambu nu tilas dihakan cangkilung" (Bambu yang baik untuk bahan angklung, adalah sisa cangkilung). Kenapa demikian ? Karena bambu bekas dimakan cangkilung ruasnya lalantas 'tipis, dan tegar'.
3. Awi nu dipake ngendong sireum eta nu pangsaena 'bambu yang dipergunakan untuk sarang semut' itu yang sangat baik untuk bahan angklung, hal ini menyebabkan bambu menjadi keras dan tegar.
4. Cara menebang bambu harus berdasarkan patokan pamali dan ulah. "....Upami nuar awi mah ulah ayeuna pamali, engke dina "mangsa" (kapat, karo, katiga), upami iwung parantos bijil daun, upami iwung parantos sumear" (...bila hendak menebang bambu jangan sekarang, pamali, nanti pada "musim-nya", bila rebungnya sudah tinggi dan berdaun). Hal ini disebabkan, Tuhan telah memberikan patokan-patokan khusus tentang masa-masa penebangan bambu. Hukum alam yang merupakan aksioma itu harus dipelajari dengan benar oleh manusia. Dan manusia Sunda surti akan hal itu. Saat yang paling ideal untuk melakukan penebangan yaitu pada mangsa 'musim' (kapat, karo, dan katiga) atau pada bulan-bulan kemarau, yaitu awal Juni sampai bulan Agustus. Sedangkan saat yang paling baik untuk menanam yaitu pada bulan-bulan penghujan, biasanya pada bulan-bulan yang berakhir dengan ber-ber (September, Oktober, dan seterusnya).
5. Cara menebang bambu, (bambu untuk dipergunakan sebagai bahan-bahan, baik angklung atau pun bahan bangunan lainnya). Menurut pepatah orang tua, apabila akan menebang bambu harus pada waktu sanggeus ci reumis turun 'setelah embun turun', yaitu mulai pukul 09.00 pagi kala bambu sudah tuus 'sudah tidak mengandung cireumis lagi' sampai dengan pukul 15.00 sore. Setelah ditebang, bambu diberdirikan agar kandungan air dalam batangnya cepat turun, dahan dan daunnya jangan dilepas dulu biarkan lepas sendiri. Bambu yang ditebang dengan cara demikian menjadi lebih baik dan tidak mudah dimakan bubuk.
6. Percaya atau tidak percaya, bahwa bambu pertumbuhannya dalam sehari dapat mencapai 30 cm.
7. Apabila menginginkan pohon bambu yang kecil dan kerdil, maka menanamnya jangan di tempat atau tanah yang subur.
Falsafah Bambu
Bambu sebagai pedoman hidup, artinya hirup hurip manusia di dunia terikat oleh aturan yang menjadi lambang kehidupan yaitu bambu. Seperti diungkapkan sebelumnya, bahwa manusia itu bagaikan parungpung pertanda masih kosong. Begitu manusia lahir ke dunia tungtung hirupna 'tali pusarnya' dipotong dengan hinis 'sembilu' dari bambu kemudian tali pusarnya dicangreudkeun 'disimpulkan' nyangreud pageuh teu bisa dipisahkeun jeung awi 'tersimpul kuat tak dapat dipisahkan dengan arti hakekat bambu sebagai lambang kehidupan'.
Bambu itu adalah ukuran. Ada tiga tingkatan ukuran hidup manusia dalam perlambang bambu, yaitu : lodong, ruas, dan katung. Lodong adalah bambu tempat air dengan panjang kurang lebih tiga ruas. Buku 'ruas' yang tengah disekruk 'dibuang' dibersihkan agar tiap ruas dari bambu menyatu. Ruas paling bawah dibiarkan sebagai alas. Ruas paling atas dibuang agar air dapat masuk. Ruas adalah bagian dari bambu yang hanya memiliki satu buku 'ruas', dan yang disebut sebagai lodong leutik apabila ruas yang paling atas dilubangi. Apabila ruas tersebut dipotong dan hanya sebagian saja disebut katung. Oleh paneresan 'orang yang mengambil nira / tukang nyadap' katung tersebut disebut kolanding.
Bambu sebagai ukuran. Di Tatar Sunda, kalau ada manusia bodoh suka disebut lodong kosong. Apabila manusia tersebut bodoh tapi banyak bicara dan guminter ‘seperti orang yang pintar’ disebut lodong kosong sok ngelentrung. Sama artinya dengan peribahasa dalam bahasa Indonesia yang berbunyi 'Tong kosong nyaring bunyinya'. Nah demikian pula bagi manusia yang lagi kasmaran tapi tidak ada kemauan dan kurang keberanian untuk mengungkapkannya kepada si wanita ’kemba’, ahli sindir di Tatar Sunda menyebutnya dengan sisindiran sebagai berikut :
sore lodong isuk katung, ti beurang kolanding tande sore noong isuk nangtung, ti beurang ngabanding bae
Apabila kita pelajari kehidupan tumbuhan bambu, akan kita temukan berbagai keunikan sifat-sifat bambu. Dari sifat-sifat keunikan inilah manusia dapat mengambil makna yang tersirat di dalamnya dijadikan sifat kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Sifat-sifat keunikan tersebut adalah :
Bambu dapat beradaptasi dengan berbagai lingkungan yang ada, tidak peduli tanah itu subur atau pun tidak. Makna ini pun dijadikan dasar bagi manusia sebagai makhluk sosial harus mampu beradaptasi dengan lingkungan setempat. Maka lahirlah peribahasa Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung atau dalam peribahasa bahasa Sunda dikatakan Pindah cai pindah tampian.
Bambu umum dibuat tali oleh manusia untuk mengikat benda-benda yang diperlu diikat. Ini berarti bambu dapat dijadikan perlambang kebersatuan atau lambang ikatan. Sebab dengan keterikatan satu sama lainnya, kita akan sulit untuk digoyahkan solid. Sebatang lidi tidak akan menjadi alat pembersih, tetapi apabila lidi-lidi terikat dalam satu ikatan sapu lidi yang diikat oleh simpay ‘jalinan tali dari bambu’, maka ia akan memiliki arti yang sangat penting. Di sini maka lahirlah peribahasa Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.
Bambu memiliki sifat lentur atau elastis. Dalam hal ini membuktikan bahwa kekuatan dan kemampuan bambu itu justru karena kelenturannya. Makna ini melambangkan bahwa manusia itu baru memiliki kekuatan, apabila memiliki sifat lentur, yaitu sifat bijaksana. Maka lahirlah ungkapan yang melambangkan kebijaksanaan seorang manusia dalam peribahasa Sunda Leuleus jeujeur liat tali. Jeujeur ‘joran’ biasanya dibuat dari bahan bambu.
Bambu selalu tumbuh berumpun dan tidak pernah tumbuh sendirian. Tumbuhan bambu selalu merupakan kelompok batang yang satu sama lainnya saling terikat dalam bongkot dan rimpangnya. Ini memberikan suri tauladan kepada kehidupan manusia yang berkelompok baik dalam kelompok keluarga, lingkungan, suku bangsa, bahkan bangsa yang satu dengan yang lainnya terikat pada akar budaya, adat istiadatnya, bahkan agama dapat menciptakan saling pengertian, saling menghargai, saling bantu dan seterusnya.
Bambu memiliki saling keterkaitan yang menjadikan kekuatan yang tidak tergoyahkan. Keterkaitan ini melambangkan adanya kebersatuan antara dirinya dengan yang lain. Maka makna yang tersirat dari kondisi ini, manusia menciptakan nilai-nilai. Dalam peribahasa Sunda disebutkan yaitu kudu kawas awi jeung gawirna ‘harus seperti bambu dengan tebingnya’. Hubungan yang melembaga antara awi dengan gawirna menunjukkan hubungan yang erat dan saling menguntungkan serta menciptakan kekuatan yang ampuh. Tebing akan terhindar dari bahaya longsor dan bambunya sendiri tumbuh dengan kuat dan akan menyesuaikan diri dengan kondisi yang alam yang ada.
Dengan mendalami sifat-sifat yang unik inilah manusia kemudian menyadari betapa awi telah memberikan suri tauladan yang patut dijadikan dan diimplementasikan dalam kehidupanya
Bambu Sebagai Lambang Filosofis pada Masyarakat Sunda
- Ulah pucuk awian ‘nuduhkeun jelema teu puguh janjina, luak leok teu puguh tangtungan’.
- Kawas bujur aseupan ‘jelema nu teu bisa ngadalian diri, nepi ka teu ngabogaan katenangan hirup’
- Moal ditarajean ‘teu sieun nyanghareupan hirup’
- Sagolek pangkek, sacangreud pageuh ‘jelema anu sok tigin kana jangjina’ sarua jeung ngadek sacekna, nilas saplasna’
- Bobo sapanon carang sapakan ‘aya wae kakurangan = Tak ada gading yang tak retak’
- Lodong kosong ngelentrung ‘jelema nu loba nyaritana tapi teu eusian’
- Buku juga dijadikan perlambang ‘ manusa kudu inget kana batas kahirupan’
- Inggis batan maut hinis ‘kacida matak inggisna’
- Maut hinis ka congona ‘diibaratkeun ka jelema nu hirupna susah di kakolotan’
- Biwir nyiru rombengeun ‘jelema nu teu bisa neundeun rusiah, biasana dilarapkeun ka awewe’
- Pokrol bambu ‘jelema mah kudu bisa nyanghareupan sagala masalah dina kaayaan nu tenang, ngarah bisa survive’
- Anak mah ulah siga anak angklung ‘ulah joledar ka kolot’
- Indung mah siga angklung ‘ibu lebih sayang dan selalu ingat kepada anaknya, walaupun anaknya lupa kepada orang tusanya’
- Elmu angklung ‘Kolot wajib ngadidik jeung ngaping kanu jadi anakna ku elmu pangaweruh, kalauan, etika, jeung estetika supaya jadi jelema anu bageur’
- Peunggas rancatan ditinggalkeun ku jelema nu dijadikeun tanggelan’
- Kudu nepi ka paketrok iteuk ‘kudu nepi kakolot’
- Matak tibalik aseupan ‘awewe nu teu bisa masak tercela’
Pandangan Hidup Manusia dengan Masyarakat
Meungpeun carang ku ayakan ‘ pura-pura tidak tahu terhadap perbuatan yang tidak baik’
Hirup kumbuh jeung manusa kudu lir ibarat awi jeung gawirna ‘harus saling memperkuat, mendukung, tolong menolong’
Tamiang meulit ka bitis ‘malindes ka diri sorangan = perbuatan mencelakan orang lain tapi hasilnya kepada diri sendiri’
Leuleus jeujeur liat tali ‘lentur dalam menghadapi permasalahan’
Bubu ngawaregan cocok ‘memberi nasihat kepada orang lain untuk mengeuntungkan diri sendiri’
Pager doyong aya gebrage ’gotong royong di masyarakat’
Nu burung diangklungan nu edan didogdogan ‘nu salah dibenerkeun beuki kacida salahna’
Nete taraje nincak hambalan ‘ harus bertahap’
Ulah jiga meulah awi ‘sikaya makin kaya si miskin makin miskin adanya korban ketidakadilan’
Ulah ulin dina bebekan awi ‘jangan bermain dengan pekerjaan yang akan mencelakakan’
Pindah cai pindah tampian ‘dapat menyesusikan diri’
Kawas awi sumear di pasir ‘harus mempunyai pendirian dan bersatu dengan masyarakat sekitar’
.Ngadu angklung ‘berkumpul dan berbincang hanya untuk menghabiskan waktu’
Asup kana bubu ‘masuk ke dalam suasana yang sangat sulit untuk menghindar’
Pandangan Hidup Manusia dengan Tuhan
Awi = Ajining Wiwitan Ingsun Medal ‘ manusia hidup ada yang melahairkan secara syareat dan hakikat’
Kudu neangan galeuh bitung ‘pasrahdalam kekosongan’
Puhu nyurup ka tungtung, congo amprok kana bonggol ‘lingkaran hidup yang berkesinambungan’
Urang dipasihan iwung, iwung elmuning sang awi, iwung kersaning awina, iwung kawasaning awi, rungu paningal awina, iwung andikaning awi ‘Adanya keterkaitan antara yang dicipta dengan sang Pencipta’
Awi temen ngeluk tungkul nungkulan buku pribadi nulisna make hinis ‘Jatining diri’
Bisi teu inget ka ruas, sieun hinis salah nurih, nurihna Ruh - Asma - Allah ‘selalu ingat dengan cara berdoa kepada Allah’
Dina buku aya mata, keur maca buku pribadi ‘mata hati selalu tidak pernah tidur’
Kudu ngeusian awi ku uyah ‘Yahu - uyah’
Pandangan Hidup Manusia dengan Alam
Leuweung kaian, gawir awian, legok balongan, datar sawahan ‘Proporsional’.
Pandangan Hidup manusia dalam mengejar kebahagiaan lahir bathin
1. Ayakan mah tara meunang kancra ‘hasilnya tidak akan jauh dengan kemampuan’
2. Nyiuk cai ku ayakan ‘mengerjakan sesuatu yang sia-sia’
3. Dagang oncom rancatan emas ‘bekerja berlebihan tapi tidak sepadan dengan hasilnya’
Awi dapat dilihat dari berbagai disiplin ilmu, baik dari ekonomi, filsafat, dan nilai-nilai kehidupan manusia. Awi sangat erat dalam sisi kehidupan manusia Sunda, terbukti dari beberapa tokoh yang secara eksplisit menekuni dan mencintai bambu menyatakan pendapatnya.
Awi, adalah tumbuhan purba yang sangat penting artinya bagi kehidupan manusia. Sehingga, awi ‘bambu’ tidak saja dikenal di Indonesia, malahan di belahan dunia lain, seperti di India, bambu dikenal sebagai The wood of the poor ‘kayu untuk orang Miskin’. Orang Cina menyebutnya sebagai The friend of the people ‘kawan bagi manusia’, dan orang Vietnam menyebutnya sebagai The brother ‘saudara’.
Awi sebagai tumbuhan bukan saja memiliki nilai phisik melainkan juga memiliki nilai filosofis. Banyak suku bangsa yang menganggap bambu sebagai suatu tumbuhan yang memiliki kekuatan magis, memiliki daya ikat sehingga manusia banyak menjadikannya sebagai perlambang. Filsafat awi yang banyak digunakan oleh masyarakat Sunda, menunjukkan bahwa nilai kedekatan hidupnya tak lepas dari bambu. Filsafat itu digunakan untuk pedoman hidupnya. Sifat fisik bambu, kuat, liat, luwes, mudah didapat di sembarang tempat, sehingga cocok bagi bahan bangunan perumahan rakyat. Sifat awi yang luwes halus namun kuat (leuleus jeujeur) punya elkastisitas tinggi. Mampu menahan goncangan dan tekanan. Dari sifat awi ini timbul makna falsafah yang paradoks : “dalam keluwesan dan kehalusan, juga harus silih saksian”
Daftar Pustaka
Anang Sumarna, drs. Bambu, Angkasa.
Eddi Tarmiddi, 1993. Bambu dina Pilosopi Sunda (Makalah Saresehan Bambu)
Udjo Ngalagena, 1993. Hal Ihwal Bambu Dalam Kehidupan Sehari-hari (Makalah Saresehan Bambu)
Nandang Rusnandar, dalam Laporan Penelitian, BKSNT - Bandung, Edisi 10, 1996
Naskah kuno “Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian”
Koentjaraningrat .1981. Kebudayaan, mentalitasm dan Pembangunan. Gramedia. Jakarta
Maclaine Pont, Ir. 1933. Javaansche Architectuur, DJAWA, Tijdschrift van het Java Instituut, Jogjakarta.
Reid, Anthony. 1992. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450 - 1680. Jilid I : Tanah di Bawah Angin. Yayasan Obor Indonesia.
Ayip Rosidi, Karya-karya Hasan Mustafa, Giri Mukti.
Ottih Rostoyati, Dra. 1998 Bambu Thesis Universitas Padjadjaran Bandung
Haryoto Kunto, 1993. Bambu si Buluh Perindu, Makalah Saresehan Bambu. Bandung
Suwarsih , 1987. Pandangan Hidup Manusia Sunda, DEPDIKBUD
Sulaeman B. Adiwidjaja, 1993. Sikap dan Tata Nilai Tradisional Jawa Barat. Makalah.
Majalah Mangle
Sumber: http://sundasamanggaran.blogspot.com