Oleh: Ade Suherlin (Ketua Adat Kampung Naga)
Mengacu pada tema makalah yang diminta panitia mengenai “mewujudkan Indonesia Kreatif melalui Pemberdayaan Komunitas Adat”, tidak ada salahnya kita perlu melihat serta memperhatikan tentang visi dan misi Propinsi Jawa Barat, dimana Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat telah menetapkan Visiya yaitu : “ Jawa Barat sebagai daerah Budaya dan Tujuan Wisata Andalan Tahun 2010”. Tentunyan, terkait dengan hal itu, untuk menyikapi visi dan misi tersebut perlindungan adapt istiadat dalam kawasan kampong adapt mutlak perlu dipertahankan.
Kami merasa gembira terselanggaranya Workshop dan Festival Komunitas Adat yang diadakan oleh Badan Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Bandung 2009. Kegiatan ini diharapkan membuka serta membangkitkan kembali wawasan bangsa tentang keberadaan nilai-nilai spiritual dan kearifan local tradisional yang memiliki masyarakat Khususnya masyarakat adat yang terbesar di seluruh Tatar Sunda).
Memperhatikan judul di atas, kiranya begitu banyak yang harus dipaparkan tetapi kami mencoba membatasi dan membahas judul makalah ini dari sudut pandang kami sebagai masyarakat Adat Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat..
Mengenai komunitas adapt dan permasalahannya, kegiatan yang dilakukan oleh kami adalah menjaga harmonisasi hidup dan kehidupan dengan mengedepankan hidup bersama alam di lingkungan sekitar, yang didalamnya termasuk aspek ekonomi, social, budaya dan agama/kepercayaan, sesuai dengan falsafah yang diwariskan leluhur.
Permasalahan yang dihadapi masyarakat adapt khususnya kampong adapt Naga saat ini adalah kesulitan minyak tanah sebagai kebutuhan primer untuk penerangan, akibat kebijakan pemerintah mencabut subsidi minyak tanah karena konversi minyak tanah ke gas. Padahal masyarakat adat kampung Naga sekalipun berada di tengah-tengah era modernisasi/globalisasi kami tetap eksisi terhadap petuah/pepatah leluhur. Sedangkan UUD 1945 Pasal 18 ayat 1 b, sudah jelas pengakuan hak hukum adapt selagi masih hidup.
Sebenarnya masyarakat Kampung Naga mempunyai salah satu falsafah untuk perlindungan budaya yang diuakininya, yaitu ‘Alam jeung Jaman Kawulaan, Saur Elingkeun’. Dengan mencermati dan menghayati falsafah itu, secara otomatis masyarakat adapt punya rasa kesadaran serta tanggungjawab untuk menjalankan amanah yang diwariskan leluhur.
Pada umumnya di Pulau Jawa terutama di Tatar Sunda, mempunyai kesamaan tata cara hidup dan kehidupan sehari-hari, terutama pada acara ritual atau upacara tradisional. Karena masyarakat adapt yang berada di Tatar Sunda mengakui yaitu: Boga Tatar/wilayah, Boga Bahasa, Boga Aksara.
Boga Tatar (wilayah). Wilayah dalam arti yang luas yaitu sikap hidup yang tidak bias ditawar-tawar lagi tentang “Ngarawat, Ngarumat Alam jeung Lingkungan”. Sikap hidup bukan hanya “di alam”, tetapi “hidup bersama alam”. Alam bukan hanya sebagai objek melainkan juga subjek, yang seharusnya dilindungi atau dilestarikan sekaligus dimuliakan, karena alam dan lingkungan dengan segala aspek yang terkandung didalambya baik flora maupun fauna pada hakekatnya diciptakan oleh Tuhan mempunyai “pancen” (tugas) yang mulia di bumi ini, sama halnya seperti manusia.
Boga Bahasa, yaitu Bahasa Sunda; Tetapi saying Bahasa Sunda belum menjadi bahasa yang dibanggakan oleh Orang Sunda, kadang orang Sunda sendiri malu menggunakan bahasa yang diwariskan leluhurnya.
Boga Aksara, yaitu aksara Sunda. Demikian juga nasib aksara Sunda, jangkan di
Mengenai ciri-ciri umum tapak lacak Ki Sunda, dimana Ki Sunda sudah memberi contoh; Cisadane, Citarum, Citanduy, Ciwulan, Cisanggarung, dst. Jadi jelas masyarakat Sunda punya rasa memiliki sat leluhur yang kerap kali disebut Ki Sunda.
Mengenai pengakuan kesamaan sejarah budaya, kami masih tetap beranggapan bahwa leluhur kami adalah pewaris budaya Ki SUnda dan kami masih akan tetap berpegang teguh pada adapt istiadat Ki Sunda. Masalahnya Siapa itu Ki Sunda?
Menurut pendapat kami (tidak ada tapi ada). Ki Sunda itu ”ngahiang” oleh karena itu Tatar Sunda sering disebut Parahiayangan. Walaupun di masa keemasannya, kerajaan-kerajaan yang berada di Tatar Sunda seperti Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Pakuan Pajajaran, Kerajaan Galuh, begitu termashur sampai ke penjuru dunia, tetapi ketiga begitu ”ngahiang”, itu semua tidak ada, hanya tertinggal ciri-ciri atau tanda-tanda bahwa kerajaan itu pernah ada. Dari situlah tapak lacak Ki Sunda yang sampai sekarang oleh masyarakat kelompok minoritas dijadikan tradisi dari sisi hidup dan kehidupannya. Dari situlah kita semua dapat mengenalinya, yang dinamakan kelompok-kelompok masyarakat minoritas yang berada tersebar di Jawa Barat dan Banten juga di perantauan sekarang masih kokoh melestarikan adat istiadat/tradisi. Itu semua tidak terlepas dari cerminan nenek moyang. Mereka punya definisi yang sama yaitu; Ada Wilayah bukan administratif melainkan DAS (Daerah Aliran Sungai). Ada Masyarakat dan Ada Aturan (falsafah). Bagi Negara/Pemerintah aturan itu undang-undang, bagi Umat aturan itu berupa Kitab, bagi Masyarakat Adat aturan itu berupa falsafah. Aturan-aturan yang ada pada masyarakat minoritas (adat) itu tidak tertulis, melainkan lisan (tidak tersurat tapi tersirat).
Kelompok masyarakat minoritas/masyarakat adat baik yang ada di kawasan maupun di luar kawasan mereka punya rasa satu pancen yang sama ”Sosoh, Seuseuh, Sisih”. Salah satu diantaranya yaitu ”Ngurus lembur akur jeung dulur panj’e’g dina galur”, lebih luas ngaheuyeuk dayeuh, ngolah Nagara, bagi kelompok minoritas/masyarakat adat itu sendiri diwujudkan dalam perilaku hidup dan kehidupannya, berupa gotong royong, baik perorangan maupun kelompok. Apalagi kalau sudah tiba waktu pelaksanaan upacara tradisi yang telah ditentukan, semua masyarakat sudah tertanam punya rasa memiliki atau suatu kewajiban dan kebutuhan bagi masyarakat minoritas tersebut.
Tatanan hidup dan kehidupan masyarakat adat itu sudah diatur oleh ”ugeran” (falsafah), diantaranya mengenai tatanan hidup dan kehidupan suatu bangsa yaitu ”Leungit cirina, leungit ajeng jeun inajenna, ruksak budayana, ruksak bangsana.” Nah, sebetulnya bangsa kita ini menurut penulis sudah banyak mengabaikan, bahkan meninggalkan budaya/kebiasaan yang telah diwariskan oleh nenek moyang, mereka lebih tergiur oleh arus modernisasi yang katanya mengikuti kemajuan zaman, yang pada akhirnya apa yang dikatakan oleh nenek moyang menjadi kenyataan bahwa, ”Pandita ilang sabarna, Wanita ilang wirangna.”
Saat ini kita semua berada dalam era modernisasi dengan segala aspek negatif maupun positifnya. Era modernisasi tidak bisadihindari, cepat atau lambat pasti mempunyai pengaruh dan menimbulkan berbagai perubahan kehidupan sosial, tidak terkecuali di pelosok desa terpencil sekalipun. Permasalahannya sekarang, bagaimana nilai-nilai baru (budaya kiriman dari luar) disikapi secara arif dan bijaksana, kemudian diselaraskan dengan nilai-nilai budaya tradisional yang ada di Tatar Sunda.
Saat ini nilai-nilai tradisi di Tatar Sunda berada di persimpangan jalan antara dicintai dan diabaikan, bahkan dilupakan terutama oleh generasi muda yang lebih menyukai budaya kiriman dibanding budaya lokal. Sebetulnya kita sudah berada pada masa pendangkalan nilai-nilai tradisional (kearifan lokal), ditengah-tengah membanjirnya budaya luar di negeri ini yang tidak sesuai dengan pribadi dan jati diri bangsa dengan kata lain ”Jati kasindih ku Junti”.
Secara tidak sadar, nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki dan diwariskan oleh nenek moyang sudah hampir punah. ”Luntur ku Lukut Usum, Laas ku Supa Jaman”. Kehilangan makna dan arti dari falsafah warisan nenek moyang, karena warisan tersebut telah ditinggalkan oleh sebagian masyarakat.
Pengkajian dan penjabaran nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai kearifan lokal Ki Sunda yang bisa meningkatkan ketahanan budaya dan mental spiritual yang merupakan jati diri bangsa dikhawatirkan tidak dicintai lagi, contohnya Basa Sunda jeung Aksara Sunda. Bahasa Sunda menjadi anak tiri di negeri sendiri, demikian juga Aksara Sunda hanya tinggal di museum.
Sudah saatnya nilai-nilai budaya Ki Sunda diterapkan lebih tepat dan seksama sesuai dengan perkembangan zaman itu sendiri, dan diharapkan lebih bermanfaat bagi perkembangan budaya bangsa kita di wilayah Nusantara khususnya du Tatar Sunda. Bagi masyarakat yang berada di Tatar Sunda minimal memahami; budaya kiriman tetap disikapi. Hal itu tidak bisa dibendung karena sebagai bagian dari proses perubahan zaman yang dinamis. Sesuai dengan falsafah nenek moyang kami anut yaitu; Saur Elingkeun, Jaman Kawulaan”.
Sebagai penangkal yang berupa ”pamali” (tabu), di kalngan masyarakat pada umumnya sudah tidak lagi mampu membendung era modernsasi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kearifan budaya bangsa kita. Dengan demikian, akibatnya terjadi perubahan perilaku/moralitas yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial, budaya dan agama. Maka dikhawatirkan masyarakat akan menyerah tanpa mempunyai keinginan untuk mengendalikan diri. Sebagai manusia yang menyerah para era modernisasi dan menelan mentah-mentah pengaruh budaya luar yang tidak sesuai dengan norma dan adat istiadat. Manusia hanya peka dan turut pada nilai-nilai kebutuhan dasar, yaitu materi dan kepuasan sesaat saja. Efek dari modernisasi ini bukan mempertahankan gaya hidup melainkan lebih mengarah kepada hidup gaya (boros, pamer, dan serakah).
Perrkembangan wayah yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal dan agama, dapat merusak alam dan lingkungan juga dapat menghancurkan moralitas bangsa. Misalnya: Budaya gotong royong yang diwariskan nenek moyang hampir punah. Masyarakat cenderung hidup individualisme, akibatnya terjadi jurang pemisah antara Si kaya dan Si Miskin. Yang pada akhirnya terjadi konflik horizontal antara komunitas atau satu dengan komunitas yang lain. Karena sudah kehilangan ”asih, asah dan asuh” antar sesama.
Pengkajian nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai tradisional dengan nilai-niilai karifan lokal yang bisa meningkatkan ketahanan budaya dan mental spiritual yang merupakan jatidiri bangsa dikhawatirkan tidak dicintai lagi bahkan ditinggalkan. Saat ini hidup dan kehidupan di masyarakat makna dan arti dari suatu ucapan yaitu; ”Tekad, Ucap dan Lampah” cenderung tidak selaras lagi. Akibatnya mengurangi wibawa dan kharismanya. ”leungit Cirina, Leungit Ajen Jeung Inajen. Ruksak Budayana, Ruksak Bngsana”.
Di dalam kehidupan masyarakat adat di manapu itu berada tidak terlepas dari alur atau galur (tapak lacak leluhur/nenek moyang). Walaupun rintangan dan tantangan di sekitar selalu menghantui, masyarakat adat tetap kokoh pada tatanan hidup dan kehidupan yang telah digariskan oleh nenek moyang. Baik itu untuk sandang, pangan, papan, besar ataupun kecil tetap menjalankan apa yang telah dilaksanakn oleh generasi terdahulu. Misalnya; melaksanakan ritual-ritual atau upacara adat.
Pada upacara tradisonal di masyarakat adat, apapun agama yang dianut oleh masyarakat adat itu sendiri, mereka tidak terlepas apa yang telah dan pernah dilaksanakan oleh generasi terdahulu. Jadi secara turun-temurun dari generasi ke generasi tetap dijalankan. Misalnya, di Kampung Naga, Masyarakat adat sebagai pemeluk agama Islam baik yang berada dikawasan ataupun di luar kawasan yang tersebar di beberapa desa/kecamatan dan kabupaten, apabila sudah tepat pada waktu yang bekaitan dengan hari atau bulan besar Islam, masyarakat adat Kampung Naga melaksanakan upacara tradisional, yang lebih dikenal dikalangan adat kampung naga yaitu Hajat Sasih.
Hajat Sasih dilaksanakan dalam setahun enam kali, yaitu
- Bulan Muharam (Tahun Baru Hijriah)
- Bulan maulid (Kelahiran Nab Muhammad SAW)
- Bulan Jumadil Akhir (Pertengahan Tahun Hijriah)
- Bulan Reuwah (Nisfu Sa’ban)
- Bulan Syawal (Idul Fitri)
- Bulan Rayagung (Idul Adha)
Pelaksanaan upacara tradisional (Hajat sasih) dilakukan oleh kaum lanang (laki-laki), sedang kaum wadon (isteri), menyediakan makanan berupa tumpeng dan makanan alakadarnya untuk hidangan yang disajikan pada riungan bersama di mesjid yang dipimpin oleh kuncen, yang diawali terlebih dahulu melaksanakan ziarah ke makam Kampung Naga.
Demikian terima kasih.
Sumber:
http://wisatadanbudaya.blogspot.com