WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Situasi Politik Kesultanan Cirebon Abas Ke-17-18

Oleh:
Prof.Dr. Nina Herlina Lubis, M.S.
Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran

Pengantar
Pada tanggal 5 Maret 2003, Elang Muhammad Saladin dilantik sebagai Sultan Kanoman XII, berdasarkan surat wasiat yang ditinggalkan oleh almarhum Sultan Kanoman XI, Pangeran Raja Haji Muhammad Djalaludin yang menunjuk Saladin sebagai penggantinya. Kemudian pada tanggal 6 Maret 2003, Pangeran Raja Muhammad Emirudin, dilantik pula menjadi Sultan Kanoman XII, karena ia adalah putra pertama Sultan Kanoman XI dari permaisuri, yang berdasarkan tradisi otomatis menggantikan Sultan yang wafat. Konflik pun terjadi berkepanjangan.

Ternyata konflik yang mengakibatkan perpecahan Kerajaan Cirebon yang didirikan pada akhir abad ke-15 ini, telah terjadi beberapa kali sepanjang lima abad ini. Rupanya perpecahan dimulai pada abad ke-17, setelah pendiri Dinasti Cirebon , Sunan Gunung Jati, tiada. Sangatlah menarik untuk dikaji bagaimana terjadinya perpecahan itu, dan apakah kita bisa memetik pelajaran dari sana , supaya konflik tidak terus terjadi.

Konflik Internal
Pada tahun 1482 Syarif Hidayatullah secara resmi melepaskan diri dari Kerajaan Sunda dengan tidak lagi mengirimkan upeti atau bulubekti . Setelah Syarif Hidayatullah meninggal tahun 1570, ia digantikan oleh cicitnya, yaitu Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Pada masa pemerintahnnya, ia menyaksikan lahirnya Kerajaan Mataram dan berakhirnya kekuasaan Sultan Pajang pada tahun 1586. Ia juga menyaksikan kedatangan Belanda pada tahun 1596, berdirinya VOC, dan Batavia. Diberitakan bahwa Senapati, pendiri Mataram telah membantu Cirebon dalam memperkuat benteng yang mengelilingi kota. Panembahan Ratu, dipastikan juga menyaksikan pertempuran antara Mataram dengan Banten pada masa kejayaan Sultan Agung.

Panembahan Ratu lebih banyak bertindak dan berperilaku sebagai ulama daripada seorang Raja, yang diduga sebagai bentuk pelaksanaan amanat Sunan Gunung Jati untuk menjaga agama dan orang miskin. Sementara di bidang politik, Panembahan Ratu menjaga hubungan baik dengan Banten dan Mataram. Ada satu peristiwa yang memedihkan hati, yaitu peristiwa larinya Ratu Harisbaya, isterinya yang masih sangat muda itu, ke Sumedang bersama Prabu Geusan Ulun. Hal ini diakhiri dengan ditebusnya talak Harisbaya dengan penyerahan daerah Sindangkasih dari Sumedanglarang kepada Cirebon. Setelah wafat pada tahun 1650, dalam usia 102 tahun, Panembahan Ratu digantikan oleh cucunya, yaitu Pangeran Karim yang dikenal dengan nama Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II karena anaknya Pangeran Seda Ing Gayam telah wafat terlebih dahulu.

Sementara itu di Mataram, pengganti Sultan Agung yaitu Sunan Amangkurat I, sedang bersaing dengan Banten dalam memperebutkan hegemoni di Jawa. Untuk mendekati Banten, Amangkurat I meminta Pangeran Karim, agar mau berkoalisi dengan Mataram. Amangkurat I juga meminta agar Banten menghentikan gempurannya terhadap Belanda yang sudah menjadi sekutu Mataram. Upaya Panembahan Girilaya gagal. Pendekatan Mataram kepada Cirebon, juga dilakukan dengan menjadikan Raja Cirebon ini sebagai menantu. Dari perkawinannya dengan Puteri Sunan Amangkurat I, Panembahan Girilaya mempunyai tiga orang anak, yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta.

Kegagalan Panembahan Girilaya utk mendekati Banten, membuat Sunan Amangkurat I marah dan ia bersama isteri dan kedua anaknya yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kertawijaya, diundang ke Mataram dan tidak pernah diijinkan kembali ke Cirebon. Anaknya yang ketiga, ada yg mengatakan tinggal di Banten, namun ada juga yang menyebutkan tetap tinggal di Cirebon (Atja, 1972: III). Pemerintahan di Cirebon dijalankan oleh Mangkubumi Martadipa atas nama Sultan Mataram, karena Pangeran Wangsakerta masih teramat muda waktu itu. Sementara itu, para pejabat dan kerabat kerajaan Cirebon serta para kepala wilayah (di sebut Ki Gedeng) tetap setia kepada Panembahan Girilaya. Mereka mengambil inisiatif untuk meminta bantuan kepada Sultan Banten untuk menghadapi Mataram. Menurut Babad Cirebon edisi Brandes, Sultan Banten menyanggupi permohonan itu dan akhirnya menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai Sultan Cirebon dengan gelar Panembahan Toh Pati (Toh Perlaya). Adipati Martadipa pun bersedia menerima keputusan itu. Untuk sementara Sultan baru itu tinggal di Banten. Akan tetapi menurut sumber lain, Pangeran yang terakhir ini tidak tinggal di Banten, melainkan di Cirebon, dan ia banyak menulis naskah, antara lain Negara Kertabhumi (Lubis et al., 2000 : 37-38).

Ketika terjadi Pemberontakan Trunojoyo, Panembahan Girilaya beserta keluarganya dijemput oleh utusan Sultan Banten ke Kediri. Namun Panembahan Girilaya yang sudah sakit-sakitan, meninggal di perjalanan dan dimakamkan di bukit Girilaya. Selanjutnya kedua anaknya dibawa ke Banten. Selanjutnya Sultan Banten, mengangkat Pangeran Martawijaya sebagai Sultan Sepuh (1678) dan Pangeran Kartawijaya sebagai Sultan Anom (1679). Selanjutnya, keduanya dikembalikan ke Cirebon sehingga Cirebon terbagi 3: Kesultanan Kasepuhan di bawah Pangeran Martawilaya yang digelari Sultan Raja Syamsuddin atau Sultan Sepuh I, Kesultanan Kanoman di bawah Pangeran Kartawijaya atau Sultan Muhamad Badriddin atau Sultan Anom I, dan Kacirebonan yang dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Cirebon (Hageman, 1869: 243; Kielstra, 1917:60). Tindakan Sultan Tirtayasa ini tampaknya dimaksudkan agar Cirebon menjadi daerah buffer (penyangga) antara Banten dengan Batavia dan Mataram, dan juga agar kedua Sultan Cirebon membantu Banten dalam upaya menaklukan Sumedang dan daerah-daerah Priangan lainnya. Pihak kerabat Cirebon sendiri tampaknya menerima keadaan ini, dengan prasangka baik, mengingat Banten dan Cirebon didirikan oleh leluhur yang sama yaitu Sunan Gunung Jati (Lubis et al., 2000 :38).

Pangeran Martawijaya atau Sultan Sepuh I kemudian mendirikan keraton yang baru di sebelah barat keraton Pakungwati dan disebut dengan keraton Kasepuhan, sedangkan Pangeran Kartawijaya atau Sultan Anom I mendirikan keraton yang letaknya kurang lebih satu kilometer sebelah utara keraton Pakungwati yang dikenal dengan keraton Kanoman. Sementara itu, Pangeran Wangsakerta tidak memiliki wilayah kekuasaan dan keraton sendiri, namun berdiri sebagai kaprabonan (paguron) (Sunardjo, 1996: 39,41).

Ketiga penguasa Cirebon ini berusaha untuk menjadikan diri sebagai penguasa tunggal. Sultan Sepuh merasa bahwa ia yang berhak atas kekuasaan tunggal karena ia anak tertua. Sementara Sultan Anom, juga berkeinginan yang sama sehingga ia mencoba mencari dukungan kepada Sultan Banten. Di lain pihak, Pangeran Wangsakerta , yang menjadi pengurus kerajaan saat kedua kakaknya dibawa ke Mataram, merasa berhak juga menjadi penguasa tunggal. Sultan Sepuh mencoba mendapat dukungan VOC dengan menawarkan diri menjadi vassal VOC. VOC sendiri tidak pernah mengakui gelar sultan pemberian Sultan Banten dan selalu menyebut mereka panembahan (Sunardjo, 1996:42, 51).

Menjadi Vassal VOC
Dengan surat perjanjian tanggal 7 Januari 1681, Cirebon resmi menjadi vassal VOC. Jadilah, urusan perdagangan diserahkan kepada VOC, berbagai keputusan terkait Cirebon (termasuk pergantian sultan, penentuan jumlah prajurit) harus sepersetujuan VOC di Batavia, ketika para Sultan akan bepergian harus atas ijin VOC dan naik kapal mereka, dalam berbagai yupacara, pejabat VOC harus duduk sejajar dengan para Sultan. (Sunardjo, 1996:57-59).

Pada tahun 1696, Sultan Anom I wafat dan meninggalkan 2 anak kakak beradik yaitu Pangeran Raja Adipati Kaprabon, dan Pangeran Raja Mandurareja Qodirudin. Atas kehendak VOC, yang menjadi Sultan Anom II adalah adiknya sehingga anak pertama ke luar dari keraton dan mendirikan Keraton Kaprabonan di daerah Lemah Wungkuk sekarang. Ia bergelar Sultan Pandita Agama Islam Tareqat dan bertekad melaksanakan amanat Sunan Gunung Jati "Ingsun Titip Tajug Lan Fakir Miskin”.

Ketika tahun 1699, Sultan Sepuh I wafat, ia meninggalkan dua putera yaitu Pangeran Dipati Anom dan Pangeran Aria Cirebon. Anak tertua menjadi Sultan Sepuh II, sedangkan Pangeran Aria Cerbon, mendirikan Keraton Kacirebonan sehingga sekitar tahun 1700 di Cirebon ada 4 pusat kekuasaan, yaitu Keraton Kasepuhan di bawah Sultan Sepuh II, Keraton Kanoman di bawah Sultan Anom II, Keraton Kacirebonan di bawah Pangeran Aria Cerbon, dan Panembahan di bawah Pangeran Wangsakerta.

Pada tahun 1768, Sultan Kacirebonan dibuang ke Maluku karena dianggap terlibat dalam gerakan social melawan VOC dan kesultanan dihapuskan, tanah dan kraton miliknya dikembalikan ke Kesultanan Kasepuhan. Kemudian pada tahun 1773, Panembahan Cirebon meninggal dunia tanpa meninggalkan anak, maka tanah dan keraton miliknya dibagi antara Kasepuhan dan Kanoman. Jadi, setelah tahun 1773, di Cirebon hanya ada dua keraton, yaitu Kasepuhan dan Kanoman (Lubis et al., 2000 : 40-41).

Peranan Pangeran Aria Cirebon sebagai Opzichter dan Bupati VOC untuk Wilayah Priangan dan Penulis Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari

Situasi politik Cirebon yang sudah terkotak-kotak itu, memang tidak bisa dihindarkan. Namun ada hal yang menarik, bahwa seorang keturunan Sunan Gunung Jati, yaitu Pangeran Aria Cirebon, tampak berusaha langsung atau tidak langsung untuk menunjukkan soliditas Cirebon, sebagai suatu dinasti yang lahir dari seorang Pandita Ratu. Pertama, ketika ia diangkat sebagai opzigther dan Bupati VOC untuk Wilayah Priangan dan kedua , ia menulis naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.

Ketika Sultan Sepuh I meninggal, Pangeran Aria Cirebon yang nama aslinya adalah Pangeran Aria Gede Wijaya atau Abi Mukharam Muhamad Kaharuddin, tidak menjadi pewaris Kesultanan. Ia mendirikan Keraton Kacirebonan yang sesungguhnya tidak setingkat Kesultanan. Pangeran Aria Cirebon, melalui besluit tertanggal 9 Februari 1706, akhirnya diangkat sebagai opzichter (pengawas) dan bupati kompeni, yang bertugas menertibkan administrasi pemerintahan, mengawasi produksi pertanian, dan bertindak sebagai jaksa bersama-sama dengan Residen Cirebon (Herlina, 1984).

Ada hal yang menarik tentang pengangkatan Pangeran Aria Cirebon ini. Mengapa ia diangkat sebagai pejabat setinggi ini? Ada beberapa alasan: Setelah Bupati Sumedang tidak diangkat lagi oleh VOC sebagai Bupati Wedana, maka diperlukan seorang tokoh yang bisa mengkoordinasikan para Bupati di Priangan, untuk menjaga persaingan tidak sehat, maka Pangeran Aria Cirebon, sebagai orang luar, dianggap pantas untuk jabatan ini. Pangeran Aria Cirebon banyak berhubungan dengan VOC , pada akhir tahun 1704 ia pernah diangkat sebagai penasihat Residen Cirebon, Jan Coin. Ia juga pernah menjadi pengawas penebangan kayu di Indramayu. Ketika wilayah Priangan diserahkan oleh Mataram kepada VOC pada tanggal 5 Oktober 1705, ia ikut menjadi anggota komisi yang ditugasi menyusuri daerah-daerah yang akan dijadikan batas wilayah VOC dengan Mataram. Jangan lupa juga, bahwa VOC akan lebih memilih pengawas yang bertindak sebagai middlemen ini bukan dari Sumedang, yang kecewa karena tidak diangkat sbg Bupati Wedana, namun dari Cirebon yang sudah menjadi vassal VOC.

Usaha Pangeran Aria Cirebon bekerja sungguh-sungguh sebagai pengawas Bupati Priangan, bisa dianggap sebagai usaha untuk menunjukkan bahwa Cirebon meskipun di dalam sudah terkotak-kotak, namun ke luar (dalam hal ini ke wilayah Priangan) masih bisa menunjukkan diri sebagai wedana bupati Cirebon yang memiliki wibawa, dan berkedudukan lebih tinggi dari para Bupati Priangan.

Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang disusunnya pada tahun 1720,. agaknya Pangeran Aria Cirebon merasa bahwa ia harus tetap menjunjung tinggi kebesaran Kesultanan Cirebon, kebesaran pendirinya yaitu Sunan Gunung Jati meskipun pada saat itu Cirebon hanyalah vassal VOC.

Ada beberapa cara untuk menjunjung tinggi leluhur atau pendiri dinasti dalam budaya politik tradisional di Nusantara, antara lain dengan pembuatan silsilah yang menunjukkan adanya kontinuitas (kesinambungan ) kerajaan dengan kerajaan yang ada sebelumnya. Dalam naskah tersebut Pangeran Aria Cirebon mengisahkan tentang asal-usul Sunan Gunung Jati yang ditarik terus hingga Nabi Muhammad SAW, dan juga mengait dengan Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran yang legendaris itu.

Diceritakan bahwa pendiri Cirebon adalah Raden Walangsungsang, putera Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi, dari isterinya yang bernama Nyai Subanglarang, murid Syekh Quro, ulama pertama di Tatar Sunda yang mendirikan pesantren di Karawang. Setelah Nyai Subanglarang meninggal dunia, Raden Walangsungsang dan adiknya yang bernama Nyai Rara Santang, meninggalkan Pakuan dan pergi berguru kepada Ki Gedeng Danuwarsih, seorang pendeta Budha. Raden Walangsungsang kemudian menikah dengan putri Ki Danuwarsih. Selanjutnya, Walangsungsang bersama istri dan adiknya kemudian pergi berguru kepada Syekh Datuk Kahpi di Amparan Jati selama tiga tahun. Setelah cukup berguru ilmu agama Islam, Walangsungsang kemudian membuka hutan lalang, yang dikenal sebagai Tegal Alang-alang dan membangun sebuah gubug serta sebuah tajug dimulai pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Perkampungan ini lama kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai karena berdatangan orang untuk bermukim dan berdagang di tempat itu sehingga Tegal Alang-alang pun berubah menjadi Caruban, yang nantinya menjadi Cirebon. Ki Gedeng Alang-alang diangkat oleh masyarakat baru menjadi Kuwu Caruban yang pertama.

Syekh Datuk Kahpi kemudian meminta agar Raden Walangsungsang berangkat ke Mekah untuk melakukan ibadah haji dan menambah ilmu agama Islam bersama adiknya, Rarasantang. Dalam perjalanan ibadah haji itu, Rarasantang dinikahi oleh Syarif Abdullah, Sultan Mesir, yang silsilahnya bila ditarik terus ke atas, adalah keturunan Nabi Muhammad dari puterinya Siti Fatimah, dalam urutan ke-22. Dari pernikahan ini lahir dua orang anak yaitu Syarif Hidayatullah (1448) dan Syarif Arifin (1450).

Sepulang dari ibadah haji, Walangsungsang berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman, dan membangun sebuah tajug yang kemudian dikenal sebagai mesjid tertua di Cirebon, yaitu tajug Jalagrahan. Setelah Ki Kuwu Caruban yang pertama meninggal dunia, Raden Walangsungsang yang juga disebut Ki Cakrabumi, diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua dengan gelar Pangeran Cakrabuana. Setelah kakeknya, yaitu Ki Gedeng Tapa, yang juga bergelar Ki Gedeng Jumajan Jati yang menguasai pesisir utara dan masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda, meninggal, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan ia tetap sebagai Kuwu Cirebon, ia lalu mendirikan istana Pakungwati dan menyusun bentuk pemerintahan di Caruban serta membentuk angkatan perang.

Ketika Walangsungsang mendapat warisan harta dari kakeknya, Ki Jumajanjati, penguasa wilayah Singapura, kekuasaannya semakin besar. Kekuasaan atas Cirebon yang semakin besar itu kemudian diserahkan kepada Syarif Hidayatullah, keponakannya, yang datang dari tanah Arab dan bermukim di Gunung Sembung. Walangsungsang menjadi pendukung dan penasehat Syarif Hidayatullah sampai wafatnya pada tahun 1529 dan dikuburkan di Gunung Sembung. Syarif Hidayatullah dikenal sebagai salah seorang dari Wali Sanga, penyebar danpendiri Dinasti raja-raja Cirebon dan Banten. Sebagai Wali ia dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.

Yang menjadi pertanyaan, benarkan Syarif Hidayatullah adalah cucu Prabu Siliwangi dan keturunan Nabi Muhammad dalam garis ke 22?

Belum ada bukti historis, yang berupa sumber primer, yang dapat membuktikan bahwa Syarif Hidayatullah adalah cucu Prabu Siliwangi sekaligus anak Penguasa Mesir keturunan Nabi Muhammad. Menurut Soemarsaid Moertono, dalam tesisnya “Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau”, para penulis babad, yang dihadapkan kepada keganjilan bahwa ada dua dinasti (yaitu Cirebon dan Banten) yang tidak memiliki pertalian dengan dinasti sebelumhya (Pajajaran), dengan berbagai akal menghubungkan mereka dengan raja-raja lama Pajajaran hanya dengan membayangkan saja bahwa seorang putra dan seorang puteri salah seorang Raja Pajajaran terakhir telah dikirim ke Arab, ...”. (Moertono, 1985: 63). Ini disebutnya sebagai usaha legitimasi kekuasaan Sunan Gunung Jati, yang disebut sebagai pendatang, agar diterima oleh masyarakat di bekas kekuasaan Raja Pajajaran dan juga sah sebagai penyebar Islam. Menurut De Graaf, Syarif Hidayatulllah, lebih dapat diterima sebagai seorang ulama asal Pasei, yang datang ke Demak karena Pasai waktu itu dikuasai Portugis (De Graaf dan Pigeaud, 1985: 138-139). Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, disebutkan bahwa tokoh dari Pasai itu bernama Fadhillah Khan, menantu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dalam penelitian Dadan Wildan, ternyata di Pemakaman Raja-raja Cirebon itu, ada dua makam, yaitu makam Sunan Gunung yang berdampingan dengan makam Fadhillah Khan yang disebut juga makam Tubagus Pasai. Namun, belum bisa dipastikan benar apakah Falatehan atau Fatahillah ini sama dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati ataukah Faletehan ini adalah menantu Sunan Gunung Jati karena belum ditemukannya sumber primer tentang kedua tokoh ini.

Selain itu, Pangeran Aria Cirebon juga mengisahkan pernikahan Sunan Gunung Jati, dengan beberapa wanita yaitu: (1) Nyai Pakungwati, puteri Raden Walangsungsang dan (2) Nyai Babadan, puteri Ki Gedeng Babadan. Walaupun tidak bersamaan waktunya, Syarif Hidayatullah menikah pula dengan (3) Nyai Kawung Anten (adik bupati Banten) dan berputera antara lain Maulana Hasanuddin, yang menjadi Raja Banten (4) Syarifah Baghdadi (adik Pangeran Panjunan), (5) Ong Tien Nio (puteri keturunan Cina), dan (6) Nyai Tepasari puteri Ki Gedeng Tepasari dari Majapahit yang berputera antara lain Pangeran Pasarean. Memang para raja, biasa memiliki isteri atau selir dalam jumlah lebih dari satu. Hal ini dilakukan untuk mengikat kesetiaan dari masyarakat dari mana si isteri atau selir itu berasal, dan mungkin juga untuk mengikat kesetiaan (loyalitas) tokoh politik lokal yang puterinya dinikahi. Perkawinan seperti ini bisa juga memudahkan Islamisasi. Selain itu, anak dari hasil perkawinan ini bisa dijadikan sebagai kepanjangan tangan raja.

Penutup
Bila dilihat situasi politik pada abad ke-17 hingga abad ke-18, Cirebon dari sebuah kesultanan yang berwibawa tinggi karena Sunan Gunung Jati selain sultan juga adalah wali, mengalami degradasi hingga terpecah-pecah dalam beberapa pusat kekuasaan. Hal ini sangat menyedihkan tentu saja karena perpecahan terjadi akibat masing-masing keturunan saling berebut kepentingan dan akhirnya situasi ini dimanfaatkan pihak ketiga yaitu VOC untuk merebut kekuasaan dan menjadikan Cirebon sebagai vassal.

Pangeran Aria Cirebon, langsung atau tidak langsung, dapat dianggap telah berusaha untuk meredam situasi yang tidak menguntungkan ini melalui perannya sebagai opzigter dan Bupati VOC, serta melalui jalur budaya, yaitu menulis naskah Carita Purwaka Caruban Nagari. .Mungkin usaha ini tidak bisa dianggap berhasil karena perpecahan terus terjadi hingga masa kini. Kesimpulannya adalah: perpecahan atau konflik bisa dicegah apabila para keturunan bisa menyatukan visi untuk kepentingan yang sama, jangan mempertajam perbedaan kepentingan. Oleh karena keraton sekarang ini tidak mempunyai fungsi politis lagi, dan lebih berfungsi sebagai pemangku adat budaya, maka kerabat kerturunan Sunan Gunung Jati haruslah menyamakan kepentingan yaitu memfungsikan keraton untuk memajukan budaya tradisional Cirebon.

Sumber:
Makalah disampaikan dalam Kegiatan "Seminar Sejarah" yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung tanggal 28-29 September 2010 di Cirebon

Popular Posts